Kau ada di mana?

[Menengok ke Barat (Western) Menikmati Bintang Utara]

 

Danial Indrakusuma

Salah satu perbedaan antara manusia dengan binatang adalah bahwa manusia bisa merenungkan sejarah, binatang tidak. Perenungan terhadap sejarah—yang kenyataan-kenyataannya dicari, diunggkap dan diakui secara benar serta jujur—dapat memberikan pelajaran untuk mengenali kekuatan-kekuatan yang didapat oleh kelas yang dihisap dan ditindas untuk dilipatgandakan menjadi senjatanya. Dan kau di mana untuk melipatgandakan kekuatannya?

 

Kami telah mengalami arus-balik, yang seolah tak bisa menjadi arus-maju lagi, hingga bisa diatasi pada abad ke-20. Hingga kami bisa paham pelajaran dari kapital dan multi-kultur (pertukaran budaya baik) telah memberikan pengertian: bahwa kita harus melawan secara modern dan bernama; hingga kekejian fisik dan budaya 1965 meng-arus-balik-kannya, lagi. Kapital dan multi-kultur pula yang mendorong pelopor-pelopor kaum muda membangkitkan perlawanan kaum mahasiswa, kaum cendikiawan, kaum tani, kaum buruh—tanpa senjata di hadapan kebrutalan rejim Orde Baru—dan mampu menjengkangkan Orde Baru (menurut Pramoedya Anantar Toer: “Itu satu-satunya kejadian dalam sejarah umat manusia, jangan lupakan itu); datang lah “kebebasan reformasi”—walau bertanda kutip, ia juga mampu memberikan kesempatan lebih luas dalam perlawanan kaum yang dihisap dan ditindas, terutama kaum tani, kaum mahasiswa dan kaum buruh (bahkan, sebagaimana masa kekejian Orde Baru, dipelopori oleh kaum muda yang berdiri di simpang Kiri). Perlawanan bahkan merembet hingga ke serikat buruh kuning; namun, sisa-sisa Orde baru lingkaran-dalam yang tidak dituntaskan secara politik dan finansial, rindu restorasi, dan nyaris digjaya—tipis sekali kekalahannya (dalam pemiliha presiden) dari sisa-sisa Orde baru lingkaran-luar, hanya karena kerinduan budaya “Indonesia adil dan makmur” (yang ditipu oleh hegemoni (demagogi) populisme. Serikat buruh kuning—yang, karena warisan sejarahnya dalam Orde Baru, belum bisa bertransformasi menjadi reformis pada pasca-Suharto—mendukung kerinduan restorasi Orde Baru, hendak meng-arus-balik-kan kerinduan populisme kaum yang dihisap dan ditindas. Namun, kemenangan tipis restorasi Orde Baru (dalam pemilihan presiden) mendapatkan bantuan dari parlemen (dengan kemenangannya dalam pemilihan legislatif, Prabowo-Koalisi Merah Putih (KMP). Lagi-lagi, bila kita tidak jeli pada pelajaran renungan sejarah, kaum tertindas dan terhisap terpeleset oleh hegemoni bual-bualan (demagogi) “membela rakyat dan nasionalisme” Prabowo-KMP. Kaum terhisap dan tertindas belum mampu menarik garis demarkasi.

 

Dan kau di mana saat mengalahkan restorasi Orde Baru lingkaran-dalam?

 

Aku bantu menjelaskan poisisi yang benar setelah sebelum dan sesudah reformasi:

 

Partai Rakyat Demokratik (PRD) berkonsentrasi untuk mencari sekutu yang mau berjuang untuk pencabutan Paket 5 UU politik dan penghapusan Dwifungsi ABRI. Bila kami tidak menemukan sekutu (karena masih banyak yang takut), maka kami berjuang, melawan, dan aksi sendiri dengan segala resikonya. Bila sekutu hanya mau mengangkat issue-issue demokratisasi (tanpa mau mengangkat issue Paket 5 UU politik dan penghapusan Dwifungsi ABRI), maka kami terima (malah kami anjurkan persekutuan tersebut), tapi kami benar-benar memilih sekutu demokrasi tersebut, tidak serampangan, dalam arti: benar-benar sudah terbukti penolakannya terhadap Orde Baru, tidak punya kaitan dengan Orde Baru, tidak pernah melakukan tindakan anti-demokrasi, atau berlaku hendak melakukan bargain terhadap Orde Baru untuk mengambil manfaat dari persatuan dengan kita. (Itulah kenapa akhirnya muaranya adalah: Reformasi.) Kami melakukan persekutuan dengan kaum demokrat dengan kreteria tersebut di atas tujuannya adalah agar dapat memanaskan atmosfir perlawanan dan membuka ruang demokrasi sehingga memudahkan perjuangan selanjutnya. Selain itu, kenapa kita tidak mau bersekutu dengan unsur-unsur yang  “pernah melakukan tindakan anti-demokrasi, atau berlaku hendak melakukan bargain terhadap Orde Baru untuk mengambil manfaat dari persatuan dengan kita”, adalah agar rakyat jangan bingung dan berpikir bahwa: kita bisa berkompromi memperlemah (memoderasi) perlawanan terhadap Orde Baru, yang akan menyebabkan konsesi dan perlambatan radikalisme perlawanan terhadap Orde Baru.

Hasil atmosfir perjuangan yang semakin memanas itu—hasil dari persekutuan pimpinan atas ajang politik dengan MASSA (jangan lupakan itu)—kami arahkan untuk lebih memilitankan dan meradikalisir rakyat, karena kami tahu sekutu-sekutu kami terbatas kapasitasnya untuk setia (konsisten) melawan Orde Baru. Dengan landasa itulah kami menginstruksikan kepada kawan-kawan di seluruh nasional—untuk berkorban melepaskan segala kepentingan pribadinya—untuk deploy/pindah ke Jakarta, ditempatkan di 92 kelurahan kampung kumuh, kampus dan pabrik di Jakarta serta sekitarnya. Atmosfir perjuangan semakin memanas, sehingga kami bisa mengintervensi kampanye pemilu (tanpa persetujuan partai-partai yang terlibat dalam pemilu) dan mengarahkannya kepada tuntutan Mega-Bintang-Rakyat (MBR) agar bersatu menjatuhkan Orde Baru. Tuntuan MBR sengaja, harus, diungkapkan di hadapan rakyat (hampir sejuta rakyat yang berarak-arakan kampanye pemilu) agar rakyat sendiri melihat apakah Mega(wati) dan Bintang (Partai Persatuan Pembangunan/PPP) berkehendak atau tidak dalam melawan Orde Baru. Dan bila mereka tidak berkehendak, maka kita akan lebih terhormat di hadapan rakyat. Hampir sejuta rakyat bertempur di jalanan, bahkan mampu men-sweeping tentara. Dan pemanasan atmosfir perjuangan inilah yang merembet menyeret mahasiswa untuk melakukan pukulan akhir pada Orde Baru—tentu sajatak bisa lain, dengan issue reformasi, yang juga dibajak oleh Ciganjur, karena kami tak punya kesempatan muncul dalam strategi atas mengingat kami bergerak dari bawah tanah. Tapi, jelas keuntungannya: ruang demokrasi yang sedikit-banyak terbuka, dan sedang dinikmati oleh kawan-kawan sekarang ini, yang akan memudahkan perjuangan selanjutnya. (Lihat attachment/lampiran, “INDONESIA: ORGANISING THE MASS STRUGGLE FOR REAL DEMOCRACY, interview with Marlin”.)

Setelah kejatuhan Suharto, reformasi, posisi dalam persatuan seperti itu tetap kami pertahankan, termasuk menggunakan semua alat-alat politik legal untuk memperluas penyadaran rakyat secara lebih luas—termasuk terlibat dalam pemilu dalam rangka memanfaatkan kesempatan dapat berbicara kepada rakyat secara lebih luas. Kami sadar bahwa kami tak akan bisa menang dalam pemilu, mengingat keterbatasan sejarah yang ada pada kami, tapi kami gunakan kesempatan sekecil apapun untuk berbicara pada rakyat, yang dimaksimalkan seluas-luasnya. Tapi memang masih ada beberapa kawan yang belum sanggup mengemban posisi tersebut dalam praktek, sehingga mereka lebih memilih berdiaspora dan mengambil posisi yang lain. Posisi kami (termasuk dalam persatuan) adalah menyisihkan dan menghancurkan kaum reformis (gadungan), sisa-sisa Orde Baru, militerisme dan milisia reaksioner—dalam beberapa hal juga adalah fundamentalisme yang anti demokrasi (dalam hal ini, tentu saja anti-kiri). Hasilnya: perlawanan terhadap Golkar meledak di mana-mana secara lebih militan yang, seperti pada masa Orde Baru, tidak dapat diemban oleh sekutu-sekutu demokrat yang terbatas kemampuannya. Lagipula, dengan adanya ruang demokrasi yang lebih luas, kami bisa lebih berkonsentrasi mengajak dan menyerukan pada kaum muda (mahasiswa) dari generasi yang baru yang lebih terbuka pada pemikiran-pemikiran maju (termasuk gagasan-gagasan kiri), pada kaum buruh dan pada kaum tani, serta pada kaum sosial-demokrat kiri anti kapitalisme (yang tidak melakukan propaganda hitam anti-kiri, seperti kaum sosial-demokrat gadungan dan kaum fundamentalis). Di situ lah kami meletakkan posisi kami dalam persatuan.

Menjamurlah kaum muda generasi baru yang terbuka terhadap gagasan-gagasan demokrasi-sejati dan gagasan-gagasan kiri sampai ke tingkat praktek (dengan menjamurnya kelompok-kelompok kiri generasi baru, yang di banyak kelompok punya kaitan dengan generasi kiri lama). Bahkan mereka sanggup membangkitkan gerakan kaum buruh (SEKBER dan Aliansi Buruh Menggugat/ABM) dan kaum tani (KPA, FPR, FMN, AGRA dll). Dalam situasi seperti itu, tentu saja sebagian konsentrasi kami adalah bersekutu dengan mereka. Itulah mengapa kami menolak upaya untuk membawa PRD bersekutu apalagi berfusi dengan Partai Bintang Reformasi/PBR, seperti yang dilakukan oleh “mayoritas” anggota PRD lainnya. Tamat lah kelanjutan PRD dari tradisi posisi-posisi lamanya yang berjangka panjang—karena, sebenarnya posisi-posisi lamanya masih valid, mengingat musuh-musuh rakyat belum sepenuhnya dituntaskan.

Dalam situasi tersebut, di mana terdapat kesulitan untuk mempersatukan unsur-unsur gerakan kiri, masih juga terdapat gangguan terhadap prioritas kerja tersebut—dikarenakan tuduhan bahwa prioritas tersebut akan menyimpangkan pembebasan-pembebasan “rakyat non-kelas”. Itulah landasan kenapa kami berpisah dengan Politik Rakyat (PORAK) dan menghentikan perjuangan internal dengan PRD. Namun, yang menggembirakan, adalah kebangkitan gerakan buruh yang tadinya berasal dari serikat kuning—yang sekarang mau menerima metode aksi massa dalam perjuangannya dan tidak tabu politk (terima kasih pada reformasi), walaupun reformasi belum dapat mentransformasikan pemikiran program-program perjuangannya (ideologinya) disebabkan belum ada perubahan mendasar dalam kurikulum pendidikannya (tentu saja bisa dipahami bila dianalisa secara sosiologis-historis); hambatan lainnya adalah birokratisme serikat kuning yang masih melekat sehingga sulit mewadahi hasrat militan dan radikal keterbukaan pemikiran massanya. Di situlah juga posisi prioritas persatuan kami letakkan.

Dalam massa sebelum pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, dan setelah serangan-balik kapitalis-negara-lumpen/preman, sudah nampak ketidakmampuan (kapasitas) kebangkitan gerakan buruh (bekas serikat kuning) untuk mendorong maju perjuangannya sebagaimana dikehendaki hasrat obyektif perspektif sejarah: menjadi serikat buruh sejati dan bertransformasi menjadi partai tandingan (alternatif) (seperti dalam kasus Partai Buruh Brazil). Hal itu lebih diperparah dengan kesalahan mereka bersekutu dengan sisa-sisa Orde Baru (lingkaran-dalam yang mewujudkan restorasinya), kaum reformis (gadungan), dan kaum fundamentalisme (FPI, HTI, dan milisia lumpen/preman reaksioner). Tentu saja kami paham bahwa Jokowi tidak akan memperbaiki keadaan; tapi Prabowo/GERINDRA-Reformis Gadungan-dan fundamentalisme (FPI, HTI, dan milisia lumpen/preman reaksioner) justru akan memperburuk keadaan. Namun Jokowi memiliki ajang strategi atas yang lebih luas yang dapat digunakan untuk melumpuhkan (dalam kasus perebutan kekuasanaan negara) aliansi Prabowo/GERINDRA-Reformis Gadungan-dan fundamentalisme (FPI, HTI, dan milisia lumpen/preman reaksioner). Dengan tanpa memperlihatkan dukungan pada Jokowi, kami memperkuat tekanan serangan pada Prabowo/GERINDRA-Reformis Gadungan-dan fundamentalisme (FPI, HTI, dan milisia lumpen/preman reaksioner). Karena kurang miltan dan selalu mencari kesempatan kompromi dari anti-militerisme dalam unsur-unsur pro-Jokowi, maka keberhasilan serangan terhadap Prabowo/GERINDRA-Reformis Gadungan-dan fundamentalisme (FPI, HTI, dan milisia lumpen/preman reaksioner) tidak lah cukup memuaskan—lihat kemenangan tipis Jokowi, 4,7%, dan kemenangan Prabowo/GERINDRA-Reformis Gadungan-dan fundamentalisme (FPI, HTI, dan milisia lumpen/preman reaksioner di parlemen seperti dalam wujud Koalisi Merah-Putih (KMP). (Sudah kelihatan wujud anti-demokrasi mereka diparlemen.) Dan posisi persatuan kami: mengajak dan menyerukan untuk berjuangan melawan militerisme dan Prabowo/GERINDRA-KMP-Reformis Gadungan-dan fundamentalisme (FPI, HTI, dan milisia lumpen/preman reaksioner) dalam wujudnya yang kongkrit, yakni: menghancurkan  Prabowo/GERINDRA-KMP-Reformis Gadungan-dan fundamentalisme (FPI, HTI, dan milisia lumpen/preman reaksioner)—yang sekarang lebih terkonsolidasi dalam wujud KMP. Ajakan dan seruan persatuan dengan platform tersebut jelas tidak lah mudah, bahkan di kalangan kelompok-kelompok kiri sekalipun. Di situ lah posisi persatuan kami letakkan.

Namun, kami tak mau menyerah, tak mau melakukan rekapitulasi (menyerah), karena kami harus mampu melihat sisi posistif, di samping sisi negatif, dalam perjalanan sejarah: kita punya kesempatan sejarah untuk memiliki sasaran serang yang jelas dan unsur-unsur persatuan yang sejati (yang harus diberi prioritas):

Kesempatan Politik dalam Sejarah:

Politik adalah formasi kekuatan, perimbangan kekuatan. Saat pilpres, semakin banyak rakyat yang terlibat dalam politik karena rakyat semakin mendambakan politik pro-rakyat dan DEMOKRASI (walaupun masih banyak yang ditipu oleh demagogi elit-elitnya). Bahkan, yang dahulu apatis (putus asa) terhadap politik, seperti kaum buruh, seniman, artis dan kelas menengah lainnya, mulai memberikan sumbangan bagi peningkatan keterlibatan (partisipasi) politik rakyat.

Setelah pilpres, apalagi setelah dipancing (diprovokasi) oleh UU yang tidak demokratik dan tidak pro-rakyat, terutama UU Pilkada, maka semakin tumbuh kesadaran bahwa demokrasi dan kepentingan rakyat semakin terancam. Oleh karena itu, sekarang inilah kesempatan yang diberikan oleh sejarah untuk menyingkirkan Prabowo-KMP dari arena politik karena sangat mengancam kemajuan demokrasi dan kepentingan rakyat.

Bukan kah Prabowo-KMP adalah musuh rakyat yang nyata dan mendesak sehingga harus menjadi sasaran yang konkrit dan tegas. Kalau melihat pendapat yang beredar di media sosial maupun di media-media lainnya, massa sudah menjadi lebih jelas (dapat melihat) kebusukan Prabowo-KMP, hal ini bisa dilihat dari mulai bergeraknya massa (baik yang dikoordinir relawan maupun oleh kelompok pro demokrasi lainnya). Jadi, kami tak mau menarik mundur lagi kesadaran massa dengan mengaburkannya seolah-olah sekadar menjadi tuntutan “kembalikan Pilkada Langsung” atau istilah “Neo-Orba”.

Coba tengok kesejarahan Orde Baru (yang kuat dan brutal) dan sisa-sisanya (yang masih kuat dan anti-demokrasi), apa bisa seandainya sejak dahulu Orde Baru dihadapi dengan “soft-soft-an” (seperti yang dianjurkan PORAK)? Apa bisa Suharto terguling dengan cara “elegan” (seperti yang dianjurkan PORAK)?; apa bisa Prabowo (yang hampir menang dalam pilpres, yang dapat suara 47 % lebih) dikalahkan oleh cara “santun” (seperti yang dianjurkan PORAK)? Sebaiknya, KITA HARUS BELAJAR dari dinamika (lembut dan kerasnya) gerakan mahasiswa sejak 1971-1972; 1974;1978; 1996; 1998; dan partisipasi massa pada masa reformasi.

“ …bukan saja kelas yang berkuasa tak bisa digulingkan dengan cara lain, tapi juga karena kelas yang menggulingkannya hanya bisa mensucikan dirinya melalui revolusi—mereka akan bisa membersihkan dirinya dari SELURUH KOTORAN yang telah melekat berabad-abad, SAMPAH ZAMAN, hingga, dengan demikian, mereka siap mendirikan masyarakat baru.” (Engels)

Konsekwensinya, kelas buruh harus terlibat aktif dalam aksi-aksi massa menentang kekuasaan rejim-rejim anti-demokrasi, menyokong perjuangan untuk MENDORONG DEMOKRASI SEPENUH-PENUHNYA. Dengan demikian, kelas buruh dapat menciptakan KONDISI-KONDISI YANG LEBIH MENGUNTUNGKAN BAGI PERJUANGAN KELAS BURUH DALAM MENENTANG KAPITALIS DAN ANTEK-ANTEKNYA. (M-DI)

Saat kami harus menengok ke ilmu Barat (Western) untuk menikmati Bintang Utara:

 

Bintang utara

ia lah satu-satunya bintang yang tak pernah bergerak

ajeg

stabil

tak bergeming

bisa jadi panduan melaut.

 

Lalu, bintang panduan apa untuk revolusi?

 

Baik hati, berani, mau belajar, mau bekerja

itulah bintang panduan revolusi

yang tak pernah bergerak

ajeg

stabil

tak bergeming

oleh kekalahan.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *