Indonesia Pasca Pemilihan: Menuju Krisis Pemerintahan?

 

 November 6, 2014

 

Oleh Max Lane *

 

RINGKASAN EKSEKUTIF

Persaingan yang terus meningkat antara Presiden terpilih Joko Widodo dan Koalisi Merah Putih Koalisi yang memegang mayoritas kursi di parlemen.

Koalisi Merah Putih yang mendukung Prabowo Subianto untuk Presiden melancarkan serangan dengan mengubah aturan posisi kepemimpinan di parlemen. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengambil posisi ketua dan wakil ketua di parlemen. Pada saat yang sama, kelompok ini telah berhasil mendorong berakhirnya pemilihan kepala daerah secara langsung.

Haruskah Merah Putih Koalisi terus “memerintah dari parlemen” dan menantang presiden Joko Widodo, bila ini terjadi kemungkinan besar Indonesia akan menuju ke krisis pemerintah.

* Max Lane adalah Visiting Fellow di ISEAS, Dosen Politik Asia Tenggara dan Sejarah di Victoria University, dan Associate Kehormatan dalam Studi Indonesia di Universitas Sydney.

 

PENDAHULUAN

Pada tanggal 25 September, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (Dewan Perwakilan Rakyat, DPR) meloloskan undang-undang mengakhiri pemilihan langsung gubernur, bupati (bupati / bupati) dan walikota. Undang-undang baru ini mengembalikan proses pemilihan sama seperti model yang digunakan selama masa Orde Baru hingga tahun 2004. Dengan cara yang lama-tapi baru ini, kota, kabupaten dan DPRD provinsi (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, DPRD) yang akan memilih orang-orang di posisi ini. Hasil suara kemudian akan dikirim kepada Presiden, yang kemudian akan menunjuk pejabat yang bersangkutan. Secara signifikan, posisi bupati dan walikota telah menjadi posisi yang sangat penting selama sepuluh tahun terakhir, sebagai akibat dari berbagai undang-undang desentralisasi, yang mengalokasikan kekuatan anggaran besar untuk dewan legislatif dan administrasi di tingkat kota dan kabupaten.

 

Pengesahan undang-undang ini adalah hasil dari kampanye di parlemen oleh Koalisi Merah Putih (KMP), yang terdiri dari pihak-pihak yang menominasikan Prabowo Subianto sebagai calon dalam pemilihan presiden baru-baru ini[1]. Prabowo Subianto kalah dari Joko Wibowo dengan margin yang tipis, 47% dengan 53%, perbedaan 8 juta memberikan suaranya dari 190 juta. Subianto dicalonkan oleh partainya sendiri, Gerindra, dan juga oleh Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (Partai Keadilan Sejahtera, PKS), Partai Amanat Nasional (Partai Amanat Nasional, PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (Partai Persatuan Pembangunan, PPP). Sedangkan Joko Widodo dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, PDIP), Partai Demokrat Nasional (Nasdem), Partai Kebangkitan Nasional (Partai Kebangkitan Bangsa, PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hati Nurani Rakyat, Hanura) dan Persatuan dan Keadilan Partai Indonesia (Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia, PKPI). Dengan berlakunya hukum ini akan sangat mungkin posisi gubernur yang berasal dari Koalisi Merah Putih menjadi nominasi di 31 dari 34 provinsi.2 Jika hal ini terjadi, itu akan menjadi dasar yang kuat bagi KMP untuk menentang pemerintah Widodo-PDIP dan mencoba untuk menerapkan agenda kebijakan mereka sendiri.

Partai lain yang juga mempunyai porsi kursi yang cukup besar adalah Partai Demokrat (PD), yang dipimpin oleh Presiden incumbent Yudhoyono. Sebagian besar anggota PD melakukan aksi walk-out saat proses pemungutan suara untuk rancangan undang-undang, secara efektif mereka abstain, sehingga secara otomatis KMP menjadi mayoritas di parlemen. Presiden Yudhoyono berada di luar negeri pada waktu itu dan dalam pernyataan baru-baru ini nampaknya berusaha menciptakan kesan bahwa walk-out tidak seharusnya terjadi. Ia mengisyaratkan bahwa ia tidak akan menandatangani RUU menjadi undang-undang. Di Indonesia, undang-undang harus disahkan oleh DPR dan kemudian ditandatangani oleh Presiden sebelum diberlakukan. Namun, RUU ini bisa berlaku setelah 30 hari bahkan tanpa tanda tangan Presiden. Pada tanggal 2 Oktober, Yudhoyono akhirnya memang menandatangani undang-undang baru tersebut tetapi pada saat yang sama, ia mengeluarkan dua Peraturan Presiden yang akan membatalkan undang-undang baru dan mengembalikan pemilihan langsung3. Namun Peraturan Presiden ini akan memerlukan dukungan mayoritas di parlemen baru saja terpilih4. Akan tetapi, sekalipun pihak PD telah berkoalisi dengan  Widodo-PDIP, hanya akan memberikan 48% dari kursi, jumlah yang tidak cukup untuk mengkonfirmasi regulasi5. Koalisi PDIP dikombinasikan dengan PD akan memiliki 268 kursi, sementara KMP memiliki 273. Sementara voting blok PDIP-PD bukanlah hal yang mustahil, fakta bahwa PD berpihak dengan KMP dalam memilih ketua dan wakil ketua DPR, tidak termasuk perwakilan dari koalisi PDIP, menunjukkan bahwa PD dapat menuntut sesuatu yang substansial untuk berpihak pada koalisi6.

Dalam debat di TV nasional, Presiden terpilih Joko Widodo menyatakan bahwa ia mendukung sistem pemilihan langsung, seperti yang dilakukan partainya, PDIP7. Demikian juga Wakil Presiden terpilih, Jusuf Kalla, meskipun di masa lalu ia termasuk pihak yang mendukung kembali sistem lama8.  PDIP menyatakan akan membawa masalah tersebut ke Pengadilan Konstitusi, hal ini menunjukkan bahwa PDIP juga akan menerima putusan Mahkamah terhadap isu ini, bahkan jika itu adalah berupa dukungan terhadap legislasi9.  Partai koalisi PDIP, Nasdem, juga telah menyatakan akan menerima keputusan Mahkamah Konstitusi10.

 

DUA PEMILIHAN, DUA HASIL

Kebuntuan muncul ke permukaan oleh karena fakta bahwa dua pemilihan yang diadakan di Indonesia pada tahun ini memiliki hasil yang berbeda. Hasil pemilu pada bulan April menunjukkan rendahnya tingkat dukungan masyarakat untuk PDIP, meskipun PDIP sebelumnya sudah mengumumkan Joko Widodo sebagai calon presiden mereka. Ini adalah sebuah kampanye lemah yang dilakukan oleh Widodo dan PDIP, dengan tidak adanya kebijakannya yang yang jelas, dibedakan “kepribadian politik”, sehingga PDIP hanya 19% suara. Ini tidak ada keraguan besar daripada untuk pihak lain11, tetapi pemilu tidak meninggalkan partai dengan mayoritas atau bahkan dukungan dekat-mayoritas. Pada saat yang sama pemilih yang abstain jumlahnya cukup tinggi 40% dari pemilih terdaftar tidak memilih partai manapun.

 

Hasil ini menciptakan parlemen baru dengan komponen yang tidak terlalu berbeda dari yang sebelumnya, dimana PDIP merupakan minoritas kecil. Koalisi PDIP, Nasdem, PKB dan Hanura terdiri 37% dari kursi parlemen, sementara PDIP hanya memiliki 19%, atau setengah dari kursi koalisi. Koalisi ini akan terus mengecil kecuali satu atau lebih pihak dari KMP beralih. Partainya Yudhoyono akan menjadi pecundang terbesar dan dengan jumlah yang kecil, tetapi masih memiliku jumlah kursi di parlemen. Seperti disebutkan di atas, bahkan jika PD mendukung koalisi Widodo, KMP masih akan memiliki mayoritas, sekalipun jauh lebih kecil12.

 

Keuntungan yang diperoleh KMP dari pemilu (selama koalisi ini masih tetap bersama-sama) tidak diragukan meningkatkan keyakinan KMP untuk mengambil posisi oposisi Widodo dan koalisi PDIP. Meskipun Widodo berhasil menang dalam pemilihan presiden dengan 53% suara, yang 16% darinya merupakan gabungan suara dari partai-partai yang mencalonkannya sebagai presiden, nilai ini 60% di bawah tingkat dukungan yang didapatkannya selama masa jajak pendapat sebelumnya. Dalam situasi tertentu, Widodo tampaknya menjadi pemenang yang cukup “menarik”13.

 

Kampanye pemilihan presiden membagi-magi kalangan elit politik Indonesia ke dalam dua kubu. Keretakan ini diwakili oleh sisi kalangan konglomerat modal (kelompok Prabowo Subianto), dan kalangan provinsi atau kabupaten (kelompok Joko Widodo). Keduanya termasuk konglomerat dan modal lokal, dengan kekuatan utama yang berbeda, yang menyediakan dasar untuk perspektif politik yang berbeda-beda pula. Para konglomerat mengusulkan pengembalian kekuasaan negara yang terpusat dan promosi dari proyek-proyek14. Sementara ekonomi skala besar Koalisi Widodo-PDIP merasa nyaman dengan kapitalisme desentralisasi, di mana ada ruang yang lebih besar untuk pertumbuhan modal kecil dan menengah di bebagai provinsi. Perpecahan ini akan berlangsung antara KMP dan koalisi Widodo-PDIP.

 

POLITIK KESENJANGAN DAN POLITIK PEMILU

Koalisi KMP tidak hanya didorong oleh keinginan untuk mendirikan sistem politik terpusat dan mengembalikan sumbu negara dalam perekonomian. Hal ini juga bereaksi terhadap konsekuensi tidak terelakkan dari pembentukan sistem di mana kontrol atas pemerintah eksekutif dan posisi eksekutif tergantung pada pihak-pihak yang memenangkan pemilihan langsung. Mereka membutuhkan kandidat yang bisa menang dalam kontes popularitas15.

Tokoh masyarakat lokal memiliki pengalaman yang l nyata dalam berhubungan dengan non-elit, daripada mereka yang berbasis di Jakarta, yang tinggal di lingkungan elit dan bergaul dengan kalangan super-kaya. Sementara sebagian besar para pemimpin lokal yang muncul dari kapitalisme desentralisasi dengan cepat terlibat dalam kronisme lokal dan korupsi, beberapa diantaranya yang telah muncul memahami pentingnya memenangkan popularitas berdasarkan kebijakan, atau pencitraan kebijakan, di antaranya Widodo telah  menjadi contoh yang luar biasa. Selama masa Orde Baru, tujuan politisi adalah untuk menanamkan rasa takut dan kagum, tidak untuk memenangkan popularitas, baik dengan mengusulkan kebijakan yang baik, atau dengan berbohong, menipu dan melakukan berbagai tindakan. sementara Prabowo berkampanye keras sebagai seorang politisi, seperti yang dilakukan Bakrie dari Golkar pada Pemilu di bulan April, keduanya tidak menyukai hal ini sebagia metode politik. Widodo terbukti jauh lebih mampu berdiri selama dua jam dan berjabat tangan dengan masyarakat miskin dibandingkan Bakrie atau Prabowo, yang gayanya memancarkan otoritas dan kekuasaan. Yang satu berkampanye menggunakan taktik sederhana, yang lain menggunakan citra “pemimpin kuat”. Tapi pemimpin yang kuat, pada akhirnya, membenci kebutuhan untuk meminta persetujuan dari orang-orang yang seharusnya untuk memerintah.

Faktor yang baru ini – kebutuhan untuk memenangkan popularitas – telah memunculkan kemungkinan baru, sebuah “anomali” dalam proses pemilihan: bahwa tokoh dari partai atau koalisi dengan dukungan minoritas di parlemen dapat memenangkan jabatan politik tertinggi di negara ini. Pemuli tahun 2014 telah menunjukkan bahwahal ini mungkin terjadi, dan bisa saja terjadi di level lokal pula.

Dengan demikian, ketika KMP yang kini telas berhasil meluluskan undang-undang yang menghapuskan pemilihan langsung kepala daerah, akan melakukan hal yang sama untuk kantor Presiden16, dengan niat mengembalikan hak untuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (Majelis Permusyawaratan Rakyat, MPR), yang terdiri dari anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (Dewan Perwakilan Daerah, DPD).

 

DUKUNGAN UNTUK PEMILIHAN LANGSUNG

Selama kampanye pemilihan presiden Prabowo telah menegaskan bahwa ia mendukung diakhirinya sistem pemilihan langsung untuk bupati, walikota dan gubernur. Di sisi lain, Widodo dan pasangannya Kalla berpihak pada pemilihan langsung, dan menjelaskan bahwa mereka akan mencoba menghemat anggaran pelaksanaannya dengan menjadwalkan semua pemilihan dilakukan serentak pada waktu yang sama.

Dengan kesuksesan KMP mengikis pemilihan langsung, muncullak dukungan luas untuk tetap menjaga pemilihan langsung kepala daerah. Beberapa media liberal, seperti Jakarta Post, Jakarta Globe dan surat kabar dan majalah Tempo, telah berkampanye dengan keras untuk mengembalikan pemilihan langsung, dan mengutuk KMP dengan mengatakan bahwa koalisi ini hanya menginginkan kembalinya era Orde Baru.

Pernyataan dukungan untuk pemilihan langsung juga datang dari beberapa bupati, walikota, dan gubernur yang kini tengah menjabat. Dianranya yang paling sering dipublikan dan yang paling dramatis yaitu dari Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), Plt Gubernur DKI Jakarta, yang mengundurkan diri dari Prabowo Partai Gerindra sebagai aksi protesnya. Walikota Bandung, Ridwan Kamil, yang juga kepala Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), juga telah menentang penghapusan pemilihan langsung17. Kamil juga dicalonkan oleh Gerindra dan Partai KMP lain, PKS, ketika dicalonkan dalam pemilihan Walikota.

Di luar lingkaran basis elit oposisi ini, telah muncul pula sejumlah kecil (namun terus meningkat) protes jalanan, yang dilakukan baik oleh pelajar atau kelompok hak asasi manusia, serta para pemrotes yang menggunakan internet. Di Twitter, protes terhadap sikap abstain PD mencapai lebih dari 100.000 dalam hitungan hari18. Nampaknya hal Ini telah menjadi sentimen luas. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mengungkapkan bahwa dalam jajak pendapat yang dilakukan pada bulan September, 81% dari responden mendukung pemilihan langsung kepala daerah, 11% memilih seleksi oleh DPRD, dan 5% mendukung penunjukan oleh President19. Jajak pendapat LSI lain menyatakan bahwa sebanyak 70% pemilih yang mendukung partai KMP juga turut mendukung keputusan Presiden Yudhoyono untuk menerbitkan peraturan presiden mengembalikan pemilihan langsung.

Mungkin terjadi akan muncul koalisi baru hak asasi manusia, [2]mahasiswa dan organisasi “masyarakat sipil” lainnya untuk kampanye untuk mengembalikan pemilihan langsung. Namun, seberapa jauh gerakan itu dapat tumbuh, hingga batasan tertentu, sangat tergantung pada kepemimpinan dan dukungan langsung dari Widodo dan PDIP20.

Sejak penyelenggaraan pemilihan presiden, banyak media terutama yang bersimpati kepada Widodo, berspekulasi dengan menyatakan bahwa satu atau beberapa pihak dalam KMP akan menyeberang ke koalisi Widodo-PDIP. Setiap kali seorang tokoh KMP tidak hadir dalam sebuah acara yang diselenggarakan koalisi ini pasti akan menciptakan spekulasi-spekulasi baru. Hal ini juga didorong oleh pernyataan publik dari beberapa tokoh di Golkar, PPP dan PAN bahwa mereka lebih suka berada dalam pemerintahan dengan Widodo dan PDIP. Namun, sampai September 2014, sepertinya tidak ada cross-over yang terjadi, meskipun jelas bahwa Widodo dan PDIP telah mendorong kemungkinan ini.  Baik Widodo maupun Megawati sudah membuat pernyataan yang mendorong pihak lain untuk bergabung dengan koalisi mereka, juga terlihat dari upaya telah dilakukan PDIP untuk memenangkan PPP, PAN dan PD. Juru bicara PDIP juga telah menyatakan secara terbuka bahwa mereka telah memutuskan untuk tidak mendukung mobilisasi massa dan lebih memilih untuk membangn hubungan formal21. Jika terjadi perubahan posisi, mungkin ada kesempatan untuk mengumpulkan dan membawa hal ini mendapatkan dukungan publik sebagaimana yang tercermin di media sosial, dalam aksi-aksi dan jajak pendapat publik.

Dengan terpilihnya seorang politisi Golkar sebagai ketua DPR, dan Gerindra, PKS dan PAN anggota sebagai wakil ketua, dengan mengesampingkan perwakilan dari PDIP yang memimpin koalisi, menunjukkan bahwa lobi ini sama sekali belum berhasil sejauh ini. Hal ini dimungkinkan setelah kemenangan KMP sebelumnya dalam mengubah aturan lama yang secara otomatis memberi posisi ketua DPR kepada pihak yang memenangkan kursi terbanyak, yang seharusnya adalah PDIP.  Aturan baru ini telah membuka semua posisi untuk suara mayoritas di DPR, yang dalam hal ini adalah para anggota KMP. Dalam komentar terakhir, Widodo tampaknya masih berharap akan mendapatkan dukungan dari partai lain22. Namun, dalam laporan yang sama ia memperingatkan gejolak yang kini tengah terjadi di parlemen dan bahkan mengklaim bahwa KMP mungkin mencoba untuk mencegah pelantikannya pada Oktober 2023. Jika ini terjadi, Indonesia akan tanpa Presiden, dan hal ini akan memicu krisis konstitusional di mana mekanisme resolusi menjadi tidak jelas. Namun menurut KMP tindakan seperti itu akan bertentangan dengan pernyataan dibuat oleh sekretaris jenderal KMP seusai Mahkamah Konstitusi menolak banding Prabowo terhadap hasil pemilu. Dalam pernyataan itu, mereka menerima legalitas keputusan Mahkamah Konstitusi, meskipun juru bicara Gerindra masih mengkritiknya hal ini sebagai ketidakadilan24.

 

MENGUASAI PARLEMEN: TANTANGAN ATAU PERUNDINGAN?

KMP tidak hanya berhasil mengubah aturan parlemen yang sukses menempatkan  mereka di posiis kunci dalam parlemen. Merela juga telah berhasil mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD, dan menyuarakan niatnya untuk mengembalikan kekuatan pemilihan Presiden ke MPR25. Bahkan, Prabowo telah mengumumkan niat ini selama kampanye pemilu26. Bila KMP bermaksud untuk mempertahankan mayoritas di parlemen, undang-undang pemilu harus diubah untuk memungkinkan hal ini terjadi. KMP mengumumkan bahwa mereka akan mendirikan sebuah komisi parlemen untuk menyelidiki dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan pemilihan presiden, yang arahnya seperti ingin membuka kemungkinan untuk mendelegitimasi hasil pemilu. Ini akan menjadi taktik yang lebih cocok dilakukan KMP untuk menghapus Widodo bawah undang-undang saat ini. Pilihan untuk impeachment membutuhkan pembuktian kesalahan politik, atau perilaku kriminal, dan korupsi yang dilakukan Widodo, dan bila hal ini terjadi makan secara otomatis kekuasaan akan diberikan kepada wakil presiden Jusuf Kalla.

Lebih penting lagi, dalam jangka pendek, KMP berencana mengubah sebanyak 122 undang-undang, termasuk yang meliputi bidang ekonomi, seperti perbankan dan telekomunikasi. Mengingat jumlah mereka di parlemen dan kontrol mereka atas posisi yang mengelola proses kerja parlemen, mereka harus mampu mengatur agenda sesuai dengan prioritas mereka. Secara efektif hal Ini memungkinkan mereka untuk “mengatur” negara dari parlemen, dan melawan pengaruh presiden. Karena keduanya bisa mengklaim legitimasi pemilihan, didasarkan pada dua pemilihan yang berbeda, hal ini dapat menimbulkan krisis politik di beberapa titik.

Interpretasi dari dinamika parlemen saat ini adalah bahwa masih ada kesempatan bagi partai seperti PPP, PAN atau PD untuk bergabung dengan koalisi Widodo-PDIP, dan bahwa dukungan mereka terhadap manuver terbaru KMP adalah taktik untuk meningkatkan posisi tawar mereka dengan PDIP. Hal ini terlihat sangat jelas sekalis, sehingga spekulasi yang beredar mengatakan akan lebih baik bagi Widodo untuk memberi pihak-pihak ini posisi sebagai menteri sebagai pertukaran untuk posisi mayoritas di parlemen demi untuk  stabilitas pemerintah untuk lima tahun ke depan.

Jika koalisi Widodo-PDIP gagal memenangkan posisi mayoritas di parlemen, maka mereka harus menghadapi tantangan konstan untuk kepresidenen Widodo, dan prospek terjadinya krisis dalam pemerintah akan meningkat. Salah satu tes pertama ialah peratiran presiden yang dilekuarkan Yudhoyono untuk membatalkan UU Pemilu yang baru saja disahkan dan mengembalikan langsung pemilihan pimpinan daerah. Pertanyaannya adalah apakah sentimen publik yang ingin mempertahankan pemilihan langsung dapat dimobilisasi dan bisa diubah menjadi kekuatan politik yang dapat mempengaruhi proses parlemen.

 

Singapura | 16 Oktober 2014

 

Catatan kaki:

 

[1] Hal yang harus di catat adalah bahwa kementerian Dalam Negeri lah yang pertama kali mencetuskan RUU ini. Namun, segera setelah mengajukan rencana ini, pemerintah malah terombang-ambing akibat masalah ini.

 

2 http://www.tempo.co/read/news/2014/09/08/078605241/UU-Pilkada-Sah-Koalisi-Prabowo-

 

Borong-31-Gubernur

 

6.http://www.smh.com.au/world/joko-widodo-menghadapi-tantangan-sebagai-oposisi-dalam-parlemen-indonesia-tahun-2014.1002-10pe6j.html.

 

7 untuk melihat rekaman debat ini buka https://www.youtube.com/watch?v=MuL-1sW5b-8.menariknya, dalam debat ini, calon wakil presiden pasangan Prabowo’s Hatta Rajasa, menyatakan dukungan atas pemilihan langsung dengan pemilu yang diadakan serentak di seluruh indonesia

 

8 lihat laporan tahun 2011.http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/10/02/lses3bjenjang-demokrasi-terlalu-panjang-jk-dukung-pilgub-langsung-dihapus

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *