Sayup-Senyap Perjuangan Hak Asasi Manusia

Oleh: Surya Anta *

 

Sebelumnya, album dan pendiskusian film “Jagal / The Act of Killing”, dapat dikatakan berhasil membuka kembali ruang pendiskusian dan sekitar tragedi 1965, dengan segala macam kontroversi, Joshua Oppenheimer, film sutradaar ini membuat filmnya yang paling anyar, berjudul “Senyap”. Film ini menekankan pada suara-suara korban dan ekspresi pelaku saat bertemu dengan anggota korban.

Ditayangkan dan didiskusikan di 457 tempat, film senyap yang mengangkat isu tragedi 1965 ini, masih saja sebagai sebuah kontroversi, yang dapat dikatakan haram untuk ditonton apalagi didiskusikan. Tentu saja, militer dan kelompok sipil reaksioner yang sejak dahulu mudah untuk digerakkan anggota PKI, dengan alasan-alasan tak rasional membubarkan pemutaran film seperti yang terjadi di Warung Kelir, Malang.

Sebenarnya film senyap merupakan potongan kecil dari tragedi paska 1 Oktober 1965. Namun, potongan kecil dalam film senyap ini menjadi pintu untuk memahami bagaimana pola-pola penyiksaan dan pembunuhan yang terjadi selama tragedi tersebut berlangsung. Sementara itu tragedi 1965 adalah puzzle terbesar dari berbagai kasus kasus-kasus Hak Asasi Manusia masa lalu. Teka-teki terbesar karena memakan korban kurang lebih 2 Juta manusia. Sementara, puzzle-puzzle yang lain seperti kasus Tanjung Priok, Kedung Ombo, Blangguan, Talang Sari, Timor Leste, Aceh, Papua, Poso, Ambon, Sum Kuning, Penculikan aktivis, Penembakan Misterius (PETRUS), Marsinah, Udin-Bernas, Trisakti , Kerusuhan Rasial Mei 1998, Semanggi, Munir dan lainnya.

Belum pula selesai, kasus-kasus kasus HAM masa Orde Baru di bawa ke meja keadilan, dan kebenaran sejarah serta keadilan di tempatkan orang seharusnya, kejahatan-kejahatan baru terjadi, bergulir, bahkan dalam skala yang meningkat.

 

Hambatan Besar

Al-Araf, Direktur Imparsial dan seorang Pembela Hak Asasi Manusia , dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh ELSHAM, menyatakan bahwa isu dan diskusi Hak Asasi Manusia saat ini tak se-ideologis awal-awal tahun paska 1998, paska tergulingnya Suharto. Saat ini sedikit yang tertarik untuk terus memperjuangkan isu HAM, sementara kasus-kasus kasus HAM baru akan terus terjadi.

Benar sekali. Sejak pemerintahan Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, SBY dan saat ini Jokowi, grafik kekerasan dengan berbagai bentuk dan tema berkembang. Dimana Negara dan korporasi yang terlibat dalam melakukan kekerasan, dengan menggunakan aparatus kekerasan Negara (Tentara, Polisi, Satpol PP) atau ormas dan preman bayaran dilakukan. Namun, tak jarang Negara pula melakukan pembiaraan tersebut. Dan akibatnya, pelaku merasa bahwa tindakannya benar dan sah. Atau bahkan seperti yang sering dijadikan alasan oleh para pelaku pembunuhan dalam “Senyap / The Look Of Silence”: “setan Negara”, “setan agama”.

Berbagai kekerasan HAM terjadi baik yang berdasar pada ideologi-politik, seperti pelarangan mantan-mantan PKI berkumpul, meski untuk arisan sekalipun, seperti yang terjadi di Semarang pada Februari tahun 2014 lalu. Kekerasan berbasis Agama, dengan menggunakan Perda Syariah, SKB 4 Menteri atau pembiaran terhadap Front Pembela Islam, terhadap agama-agama lokal — seperti yang terjadi baru-baru ini dimana Jenazah Penganut Aliran Kepercayaan dilarang dimakamkan di TPU. Bahkan tak luput pula Agama-Agama Islam (Syiah dan Ahmadiyah) dan Non Islam yang diakui oleh Negara. Atau bahkan kekerasan terhadap perempuan, bahkan korban, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu di Aceh, seorang perempuan, korban pemerkosaan di hukum cambuk. Dan meski pasal karet penghinaan terhadap pejabat Negara seperti yang disukai oleh Ignatius Mahendra sebagai korban pemenjaraan paling lama (3 tahun) karena pasal karet tersebut, namun, kekerasan berbasis pengekangan kebebasan berekspresi dan berpendapat dilegitimasi oleh UU ITE seperti yang menimpa Ervani di Yogyakarta. Potret suram ini akan terjadi lagi, dan lagi kedepannya. Penutasan anti HAM masa lalu dan kini, akan “sayup-senyap”.

Ada beberapa faktor mengapa kasus-kasus Pelanggaran HAM masa lalu dan masa kini, bahkan potensi diri akan “sayup-senyap” untuk dituntaskan:

Pertama , kekuasaan politik masih di tangan kekuatan lama dan atau agen-agen kekuatan Lama, Orde Baru . Dalam film “Senyap”, MY Basrun, Ketua Komando Aksi pembantaian, saat ini masih menjadi Ketua DPRD Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Angkatan 66 yang terlibat mendukung dan bahkan membantai tak sedikit yang menjadi anggota Dewan atau Pemerintah, seperti MY Basrun ini. Oleh upaya upaya untuk membawa kasus-kasus pelanggaan HAM 1965, dan sesudahnya ke Meja Hijau, teramat sangat sulit, selama pelaku dan pendukungnya masih berdiri.

Kedua ,  upaya membangkitkan kerinduan pada Orde Baru atau bahkan menjadikan para pembunuh sebagai Pahlawan, seperti upaya menjadikan Suharto sebagai Pahlawan. Dan hal tersebut mengungkapkan bahwa seluruh korban bencana masa Orde Baru, baik PKI, Islam, Tionghoa, maupun para aktivis pejuang demokrasi sebagai: Penjahat, Iblis atau segala macam keburukan dimuka bumi ini.

Dan upaya membangkitkan kerinduan terhadap Orde Baru ini dipelopori bukan hanya oleh Partai Golkar sebagai alat politik Soeharto semasa ia menunjuk. Namun pula oleh Partai Gerindra yang di pimpin oleh Prabowo — putra mantan petinggi PSI (Sumitro Djojohadikusumo), beserta ormas pendukungnya seperti Gerakan Rakyat Indonesia Baru (GRIB). Dan, bahkan Partai Keadilan Sosial (PKS) —yang notabene adalah salah satu keterbukaan dan kebebasan politik (Reformasi) “anak kandung”

Ketiga, kaum reformis palsu atau setengah hati , seperti PDIP, Megawati, Amien rais, dan PAN, PKB. Yang semasa Orde Baru sudah mempunyai massa yang besar, tapi tak sungguh-sungguh atau mempelopori perjuangan reformasi, meskipun mereka sangat berkepentingan terhadap keterbukaan politik. Namun, ketika hak-hak politik mereka dilanggar secara pragmatis-oportunis menggunakan isu Hak Asasi Manusia untuk melawan. Tapi diam dan menolak penuntasan kasus-kasus HAM yang menimpa dirinya.

Dari deretan nama elit diatas, hanya Abdurahman Wahid (Gusdur) yang paling maju dari kesetengah-hatiannya. Abdurahman yang mengembangkan pencabutan TAP MPRS N0 25/1966, meminta maaf terhadap korban-korban Tragedi 1965, dan mengupayakan ditetapkannya Tahun Baru Cina (Imlek).

Potret semacam Amien Rais, Megawati, atau Gusdur, yang akan kita terus kita lihat dalam potret diri Joko Widodo atau elit yang lain. Jokowi mau bertemu dengan istri almarhum Munir, namun disisi lain menggandeng Hendro Priyono dalam barisan pendukungnya, serta diam dan tak bergeming when; atau menerima wahyu susilo, adik Widji Thukul, serta anak-anak Widji Thukul (Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah) namun tak serius berupaya menuntaskan kasus yang sangat berkaitan dengan rival politiknya, Prabowo Subianto. Atau, dengan leluasanya Jokowi bertemu dan berbincang dengan warga Papua selama masa kampanye, namun ketika Jokowi berkuasa, ia, menjadikan Ryamizard Ryacudu yang memiliki kasus-kasus HAM di Papua, padahal RR adalah mantan Jendral yang sangat ingin agar pendekatan militeristik sebagai ujung tombak Papua . Dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh ELSHAM, seorang mantan Wakil MPR periode 2009-2014 yang hadir menyampaikan, sebelum RR menjadi Menteri Pertahanan, menyampaikan pesan-kali lisan agar ada anggaran untuk memperbanyak Kodam-Kodam di Papua. Belum 100 hari Jokowi berkuasa, tanah Papua yang pernah ia sambangi itu, baru saja 7 warganya ditembak dengan keji.

Keempat, regulasi perundangan-undangan yang menghambat demokrasi . Sejak SBY berkuasa ada beberapa UU dan RUU yang masuk ke Prolegnas. Jokowi yang diharapkan oleh berbagai aktivis HAM, akan membawa arah angin demokrasi dan HAM ke arah yang lebih baik, justru tak bahkan bertentangan seperti UU Ormas, yang bahkan sebelum disahkan pun sudah mengorbankan korban di Papua. UU Pengedalian Konflik sosial yang memberikan kesempatan bagi Gubernur / Walikota dan Bupati untuk menyatakan bahaya sehingga tentara bisa menggunakan pendekatan militeristik. RUU Keamanan Nasional yang sebelumnya ditolak oleh PDIP, justru masuk ke Prolegnas 2015 dan Program NAWACITA-Jokowi.

Kelima, sangat menganggap penting perjuangan HAM . Kata Ikbal, Presiden KSPI-FSPMI, beberapa waktu sebelum Pemilu Legislatif menyampaikan bahwa isu Hak Asasi Manusia tak diterapkan buruh. Sejurus dengan pimpinannya, banyak anggota-anggota serikat yang ia pimpin, dalam media sosial kala dikritik oleh berbagai kalangan atas dukungan Serikatnya kepada Prabowo pada Pemilu Presiden lalu, mencibir isu HAM dengan umpatan, “Hamburger”, “Ham-Hem-Hom” , “Makan itu Ham!”.

Rupanya, pandangan yang menganggap perjuangan HAM tak penting, tidak hanya menghinggapi kepala Pimpinan Serikat buruh yang paling mampu memobilisasi puluhan bahkan ratusan ribu anggotanya dalam “Mogok Nasional” I dan II itu. Aneh, tapi nyata. Ada pula unsur kiri yang mengabaikan isu HAM, isu Militerisme, isu bahayanya upaya membangkitkan Orde Baru oleh Prabowo-Koalisi Merah Putih, dengan argumentasi: Isu HAM atau Militerisme tidak akan membuat massa tumpah ruah dijalanan. Memang aneh, tapi sebuah kenyataan yang harus dirubah.

Padahal isu pelarangan kebebasan berserikat di pabrik ( Union Busting ). Bebas melakukan usaha, solidaritas antar pabrik, menyebaran selebaran, selebaran, dan spanduk di kawasan pabrik, mendapatkan perlindungan dari aparat negar dari serangan preman bayaran pengusaha, mendapatkan peradilan yang layak, adalah bentuk dari pemenuhan Hak Asasi Manusia-Sipil Politik (Hak SIPOL).

Dan, pemenuhan terhadap perumahan yang layak, air bersih, asrama untuk buruh, bus jemputan, tanah tak dirampas oleh pengusaha, upah yang layak, tunjangan sosial, dan sebagainya adalah bentuk-bentuk pemenuhan Hak Asasi Manusia-Ekonomi Sosial Budaya (Hak EKOSOB) .

Keenam, budaya mudah melupakan . Keberhasilan Suharto dan Rejim Orde Baru adalah Membuat Rasa Takut. Takut untuk melawan. Takut untuk berani. Dan hasilnya, floating mass (massa mengambang). Namun, ada satu lagi perjuangan Suharto dan perjuangan untuk melawan dan merubahnya butuh waktu panjang, yakni: Budaya Lupa. Tentu saja, faktor budaya lupa ini disebabkan oleh percaya diri Suharto dan tatanan Orde Baru secara masif dan sistemik memutarbalikkan sejarah, menjadikan sejarah sebagai deretan ruang dan waktu tanpa konteks dan makna, dan dianggap sebagai Hapalan. Terbukti, generasi muda berusia 18 – 25 tahun hari ini tak mengerti dan memahami kejadian yang paling dekat, seperti Mei 1998 dan penjatuhan Suharto, apalagi kejadian 1965 dan sesudahnya.

Ketujuh, Militerisme belum lumpuh . Militerisme sebagai ideologi-politik masih kuat. Pendidikan militer mengacu pada pendidikan kolonial, Jepang serta pelabuhan benning (Amerika) dijadikan pegangan untuk “menghadapi” rakyat sendiri. Upaya untuk memperbesar “Militerisme” dikalangan mahasiswa melalui Menwa dan kaum muda melalui RUU Tentara Cadangan terus digodok. 15 tahun reformasi, tak satu pun Jendral Pelanggar HAM diadili, dan Komando Teritorial hingga ke desa-desa (Babinsa) tak berhasil dihapuskan.

 

Penutup

Apa yang kita lihat di masa orde baru dan masa reformasi ini akan terjadi dengan pola yang sama dan kadar yang berbeda. Namun secara esensi, potret buram penuntasan HAM ini menemukan jalan berliku, panjang dan terjal, sebab penuntasannya menuntut perimbangan kekuatan yang lebih besar pada kekuatan massa yang sadar untuk merebut kekuasaan politiknya ( machtsvorming ) dari tangan para penguasa lama dan baru.

Sejarah 16 tahun reformasi ini sudah menjelaskan secara gamblang. Siasat untuk mendesakkan perubahan melalui partai dan elit yang pada umumnya selalu menemui jalan buntu, atau ditampung tetapi dibelokkan seperti rencana rancangan undang-undang kebenaran dan rekonsiliasi (RUU KKR) —yang membelokkan menjadi saling memaafkan tanpa pemenuhan rasa keadilan dan hak ideologi-politik para korban.

Siasat “ berubah dari dalam” atau “ berubah dengan masuk” dengan cara masuk ke partai-partai yang ada, justru tak membuahkan hasil. Malah, tak sedikit larut dalam hingar-bingar dan budaya menggunakan serta korup dari partai-partai yang ada.

Tak bisa lagi mengharapkan pada partai dan elit yang ada. Sejak awal mereka, bukan elemen yang paling terdepan, serius dan gigih dalam memperluas demokrasi dan HAM.

Proses pembentukan yang. Soekarno sebagai “upaya upaya menjadikan kaum sana tunduk kepada kita” bisa dan hanya bisa dilakukan melalui Persatuan Politik Alternatif yang Demokratis dan Mandiri — tidak mensubordinasikan diri dibawah ketiak kekuatan lama.

Rumit. Jelas, rumit. Namun yang jelas perjuangan kita menuntaskan kasus-kasus yang menyerang Hak Asasi Manusia berat di masa lampau, atau kasus-kasus melawan HAM paska Orde Baru (Reformasi), adalah upaya mengembalikan sejarah pada tempat yang benar, serta upaya menjadikan kita sebagai Bangsa dan Manusia yang beradab dan bermartabat. Selesai .

* Juru Bicara Partai Pembebasan Rakyat

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *