Ketika Kentang Cina dan Dieng Diadudomba

Zely Ariane

Kentang Dieng kini sedang menunggu dalam ketidakpastian. Seharusnya masa-masa sekarang adalah masa paling baik untuk mulai ditanam, tetapi kini dipanenpun belum. Kaum tani kentang di Dieng sedang beharap-harap cemas pada kawan-kawannya yang sedang berjuang ke Jakarta untuk mencari dukungan dan bantuan agar harga jual kentang mereka kembali normal, dari yang biasa Rp.5000 s/d 6000 per kg, sekarang hanya Rp. 3000. Dengan harapan besar di dalam hati, mereka hendak bertemu Kementerian Perdagangan.

Namun, Dirjen perdagangan sekadar menjawab bahwa kejatuhan harga itu hanyalah mis komunikasi dan ‘kecolongan’ antar departemen. Sebuah mis komunikasi yang masal dan mahal dampaknya menyangkut hidup 700.000 petani kentang di Dieng. Sebuah ‘kecolongan’ yang bisa membuat orang tidak makan. Biasanya tindakan yang demikian, bila dilakukan petugas pintu kereta, akan membuat tabrakan kereta dan kematian penumpang. Dan biasanya petugas itu akan ditanyai Komite Nasional Keselamatan Transportasi. Untuk kasus petani kentang, entah siapa yang akan menanyai pejabat pintar yang duduk menjadi dirjen  itu.

Tiga kawan petani kentang Dieng, bersama kawan-kawan dari Serikat Petani Indonesia (SPI), hari ini membuat hangat lokasi pendudukan #Duduki Jakarta, di pelataran rumput BEI/BEJ, selepas hujan. Kedatangan kawan-kawan memang bertepatan dengan tema 99% Bicara tentang Krisis Pangan.

Ketika 100% pangan kita dikuasai oleh 1% saja korporasi-korporasi raksasa–diantaranya Carefour, yang mengambil untung dari kerja kaum tani mengolah lahannya, maka itulah krisis pangan. Ketika ribuan rakyat di Alor kelaparan dan  pontang panting mencari makan, sementara korporasi malah tambah untung dari bisnis pangan, maka itulah krisis pangan. Ketika produksi pangan meningkat, tetapi petani malah mendapat imbal hasil yang semakin murah, maka itulah krisis pangan. Ketika kentang Dieng, yang tak tau apa-apa, dibiarkan membusuk tak laku karena dipaksa bersaing dengan kentang Cina, yang juga tak punya dosa, itulah krisis pangan. Ketika harga pasar justru ditentukan oleh transaksi berwujud angka-angka maya judi saham di pasar bursa oleh monopoli dan persaingan korporasi pangan  raksasa, yang mekanismenya jauh dari kontrol bahkan pengetahuan produsen pangan sebenarnya, yaitu kaum tani, itulah juga krisis pangan.

Kentang Dieng tak sanggup bersaing dengan kentang Cina dari segi harga, walau secara kualitas jauh lebih baik. Kentang Cina bisa jauh lebih murah karena negaranya mensubsidi pertanian, sementara di negeri kita kaum tani dibiarkan mengurus dirinya sendiri sekreatif-kreatifnya tanpa pemerintah ambil pusing. Hal yang sama juga terjadi di negeri-negeri Eropa seperti Inggris dan Perancis yang juga mensubsidi pertaniannya.

Dari situasi ini, bagaimana bisa kaum tani di Indonesia leluasa, kreatif dan percaya diri mengembangkan kualitas hasil produksinya, misalnya, agar lebih memenuhi standar kesehatan–tanpa pestisida, tanpa GMO (genetically modified organism) ? Dari situasi ini pula bagaimana mungkin para pembeli produk makanan dapat memilih dan sadar produk pangan yang ia makan? Sudah harga mahal, nilai gizi dan standar kesehatan tidak diurus sama negara–mau dibawa kemana dan dipekerjakan dimana nanti para ahli gizi kita?, jaminan pemenuhan pangan pun, gilanya, tak  masuk dalam agenda mendesak para penguasa.

Ah, sudah terlalu panjang rasanya kita menghela nafas. Entah apa fungsinya negara ini bagi 99% rakyat yang bergantung pada kaum taninya. Ternyata semakin kentara saja negara melayani korporasi yang segelintir itu; yang 1% itu, ketimbang melayani mayoritas kaum tani. Tak heran jika salah seorang ‘penduduk’ (occupier) mengatakan kita hanya sekadar dibuat bertahan hidup untuk memperkaya segelintir orang saja. Mekanisme bertahan hidupnya ya lewat bantuan-bantuan sosial yang berumur pendek, ketimbang mengubah seluruh struktur penopang kehidupan mayoritas  rakyat. Apa bedanya kita dengan binatang? yang hidup hanya untuk makan dan reproduksi, tanpa dikembangkan daya pikir dan kemanusiaannya? Bahkan binatang bisa memiliki nilai kemanusiaan karena dilatih daya pikirnya untuk menolong orang lain.

Ketika kaum tani kita, pemberi makan seluruh rakyat, menjadi korban terbanyak dari ketidakadilan perdagangan yang disinyalir ‘bebas’ saat ini, perdagangan semacam itu, artinya, tidak dibutuhkan kaum tani. Sayangnya, kami tidak sempat banyak mengulak-ngulik soal perdangan bebas ini lebih jauh. Hujan tak bisa diajak negosiasi, sehingga kami, sementara ini, belum bisa memberi jawaban pada kentang-kentang Dieng, kenapa mereka dipaksa bersaing dengan sesama kawan  kentangnya dari Cina. Dan kami juga belum banyak membongkar siapa yang paling diuntungkan dari ‘kebebasan pasar’ lewat, salah satunya, AFTA (Kawasan Perdagangan Bebas Asia) saat ini. Walau kami semakin tahu bahwa yang ‘bebas’ itu adalah si 1%, sementara yang 99% tak punya kebebasan itu. Sekian (zy)***

Catatan hari ke-8 pada 99% Bicara Krisis Pangan #Duduki Jakarta

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *