Aksi Pendudukan Wall Street: Revolusi akan Merebak.

Occupy Wall Street demonstrations in New York. Photograph: Tina Fineberg/AP

KEVIN POWELL

TIDAK jelas apa yang aku harapkan pada sore yang cerah itu, ketika aku meninggalkan tempat janjian makan siangku di sekitar Wall Street di Lower Manhattan, New York City, hari Rabu, tanggal 5 Oktober  yang lalu. Aku sengaja janjian disana, sehingga bisa dengan mudah berjalan dari restoran itu ke Zuccotti Park, di Broadway antara Liberty dan Cedar dekat Ground Zero. Di mana para demonstran telah berkemah selama tiga minggu lamanya. Tidak, mereka sebenarnya tidak menduduki Wall Street (pihak Pemerintah Kota dan Polisi telah memastikannya), namun jarak mereka cukup dekat dari sana, tepat di jantung distrik bisnisnya Amerika.

Musim panas itu baru saja berakhir, ketika majalah anti-kapitalis AdBusters mempublikasikan sebuah iklan yang menyerukan dan mengajak warga Amerika untuk menduduki Wall Street pada tanggal 17 September  yang lalu. Ketika itu masihlah segar dalam ingatan  tentang aksi-aksi massa yang telah mengguncang Mesir, juga Spanyol, dan  terjadi  juga di negara bagian Wisconsin. Dan tampaknya kini hanya masalah waktu saja bahwa protes-protes seperti itu akan juga merebak disini, bagai percikan api yang akan membakar keringnya padang ilalang, dan menyebar ke seluruh pelosok Amerika. Terlepas siapapun yang mendiami Gedung Putih saat ini.

Aku datang ke Zucotti Park karena aku memang mendukung para demonstran ini. Gerakan Pendudukan Wall Street di New York, dan aksi-aksi sejenis dimana-mana, aku dukung karena dua alasan dasar.
Pertama, ya aku juga telah sangat merasakan dampaknya The Great Recession, resesi masif yang secara langsung telah menhantam kehidupan finansial kami. Aku dibesarkan dalam kemiskinan, ibuku, seorang single mother telah membanting tulang, memburuh memeras keringat untuk dapat menghidupiku. Jadi aku selalu merasa sangat tidak nyaman, jika aku harus menyaksikan orang lain mengalami hal sama yang pernah kami rasakan. Hidup sengsara dibebani masalah masalah keuangan, dan masalah masalah terkait lainnya.
Kedua, aku pribadi telah menjadi aktivis politik dan community organiser selama 27 tahun terakhir. Sejak ketika remaja dan kuliah, aku sudah bekerja untuk berbagai gerakan-gerakan massa  dalam skala besar maupun kecil. Aku sering mengorganisir, atau paling tidak ikut serta dalam berbagai aksi. Aksi-aksi yang sudah tak kuingat lagi jumlahnya. Dari aksi pendudukan gedung-gedung, demo-demo,  aksi untuk menolong korban-korban bencana, mengorganisir konser-konser, juga dalam berbagai inisiatif komunitas komunitas untuk intervensi dan negosiasi politik. Yang begini ini memang telah menjadi pekerjaanku. Menjadi hidup dan gairahku; Membantu sesama agar dapat menolong dirinya sendiri. Jadi kapanpun aku mendengar tentang adanya aksi sosial yang akut perlu bantuan, jika situasiku memungkinkan, sebisanya aku akan langsung terjun dan terlibat didalamnya.
Berbekal semangat ini aku datang ke Zuccotti Park. Dan apa yang aku jumpai disana adalah suasana spiritual dan politik yang luar biasa; Orang-orang yang bekerja nonstop dengan laptop dan perangkat genggam mereka masing masing. Mengetik, mengedit, mengirim berita atau SMS tanpa berhenti. Orang-orang lain tertidur dibalik selimut, di sleeping bags, atau direrumputan.Mereka memetik senar-senar gitarnya, meniupkan terompet, dan memukul-mukul drum dan kaleng-kaleng sampah mengikuti irama nan ritmik. Disana sini terlihat orang-orang dengan penuh gairah terlibat dalam berbagai percakapan dan diskusi; tentang ‘kapitalisme’, ‘demokrasi’, ‘presiden Obama’, ataupun soal ‘polisi’. Juga terlihat orang-orang yang duduk dengan tenang dalam lingkaran, seakan tengah bermeditasi ditengah-tengah segala kesibukkan organik khaotik disekitarnya yang begitu memukau. Orang-orang menyediakan makanan bagi para demonstran di dapur umum. Sementara yang lainnya terlihat sibuk menuliskan slogan-slogan diatas karton, kain atau apapun yang tersedia. Digoreskannya dengan kuas berisi pesan-pesan seperti :”Poor people did not crash the economy”, Rakyat Miskin Tidak Membuat Ekonomi Hancur, atau“Give Me Back My Future”,“Kembalikan Masa Depanku!”. Mereka membaca buku-buku, yang diambilnya dari rak-rak asal jadi disatu sudut yang disebutnya perpustakaan darurat.
Mereka, yang sehari-hari ada disitu, kebanyakan adalah anak-anak muda, namun juga terlihat beberapa yang sudah cukup berumur. Aku yakin beberapa diantaranya adalah aktivis  yang dulu pernah bekerja untuk aksi anti perang Vietnam, atau pun untuk Civil Rights Movement, gerakan untuk persamaan hak sipil bagi warga berkulit hitam di Amerika. Dan mungkin juga suasana Woodstock, masihlah segar dalam ingatan mereka. Kebanyakan dari mereka berkulit putih, tapi ada juga yang berkulit berwarna. Kebanyakan hetero, tapi juga terlihat kaum gay, mereka yang cacat, dan juga veteran-veteran perang. Beberapa malah hadir dengan mengenakan seragam kamuflase hijaunya.
Saat aku berjalan perlahan-lahan melalui taman Zuccotti, dari pintu masuk Broadway ke sisi Trinity Place, kupikir ini agak aneh dan juga ironis! Taman ini terletak hanya di seberang tempat World Trade Center dulu. Malah taman ini kuingat sempat putih tertutup debu, sesaat setelah penyerangan 11 September 2001. Dan juga langsung menjadi tempat untuk menampung dan menolong para korban korban yang terluka saat itu. Tinggi menggapai langit diatas taman Zucotti sekarang, adalah Freedom Tower, bangunan dengan 105-cerita. Seharga sekitar $ 3 miliar lebih yang terus membengkak. Dan yang konon akan dibuka sesuatu saat di tahun 2013an.
Aku juga teringat bahwa area Lower Manhattan ini, dulu sempat menjadi tempat yang cukup penting bagi Perdagangan Budak di Amerika. Dimana orang orang Afrika, sebangsaku itu, telah diimpor. Dan dengan sendirinya telah ikut serta mengadakan konsep Wall Street, jalan tembok, dan juga The New York Stock Exchange, atau bursa pertukaran barang kota New York.
Bukankah barang  atau komoditi pertama yang diperjual-beli kan disini, dan juga sistim ekonomi global pertama, adalah pertukar belian orang-orang berkulit hitam yang diperbudak paksakan? Sebagai bukti, beberapa tahun yang lalu tidak jauh dari tempat protes ini tulang belulang dari orang orang afrika pertama ini telah ditemukan. Juga perlu diingat, sebelum orang-orang pertama asal afrika itu tiba disini, dan juga para pendatang asal eropa, juga para pedagang dan pemilik budak, sebelum para kolonis itu menempati daerah ini, pemilik pertama tempat ini tentunya adalah kaum Native American, para penduduk asli amerika. Manhattan, istilah ini diambil dari bahasa lokal suku Lenape, yang berarti “Pulau Yang Berbukit Bukit”.
Bukan berarti rata rata orang amerika akan mengenal apa yang aku sebutkan diatas, malah mungkin mereka yang protes disini pun rata-rata tidak mengetahuinya. Walaupun demikian, aku pikir ini penting. Ini penting bagi kita yang kerap menyebut diri kita American, bangsa amerika, ataupun Human Being , manusia biasa, dan sering juga keduanya. Aku pikir haruslah jelas,bahwa apapun yang kita lakukan, dengan atau tanpa struktur, selalu sarat dengan konteks. Dan juga tidak pernah terputuskan dari ikatan tali sejarah yang bercerita mengenai siapa kita itu sendiri. Sesungguhnyanya kita ini sedang berjalan diatas makam makam, dan roh roh, dari mereka yang baik maupun yang buruk. Perjalanan panjang yang telah mengantarkan kita semua kemari. Ke hari-hari aksi pendudukan dan protes ini.
We the People, Kamilah Rakyat. Itulah, dan karena itu juga gerakan yang masih sangat muda inipun benar ketika mereka dengan keras berseru:“We Are the 99 percent“, “Kamilah (rakyat) yang 99 persen itu”. Ya itulah kita rakyat amerika, dengan segala latar belakangnya yang beragam, sementara kaum super kaya negri ini, kaum yang 1 persen itu, telah memiliki dan mengontrol 42 persen dari semua kekayaan negeri ini.
Anda saksikan bagaimana angka pengangguran membengkak tidak terkontrol, bagaimana kaum menengah amerika pada jatuh termiskinkan, dan ketika anda melihat kenyataan yang mengerikan, yang telah menjadi realitas keseharian dikalangan kelas bawah di Amerika. Anda melihat bagaimana korporasi, dan tentunya juga para eksekutifnya, mendapatkan berbagai keringanan pajak dan bonus-bonus tambahan (in your face salaries). Kita melihatnya juga dari melonjaknya angka angka kriminalitas di komunitas kita, terutama yang di ghetto ghetto. Hal ini erat kaitannya dengan masalah  finansial yang membuat banyak orang berputus asa. Anda juga mennyaksikan banyaknya mahasiswa yang drop out, karena tidak mampu membayar kenaikan biaya kuliah, dan karena dipotongnya pinjaman  bagi mahasiswa. Anda menyaksikan bagaiman para sarjana  kita di berbagai tingkatan, tidak bisa mendapatkan pekerjaan, bukan saja yang sesuai dengan pendidikannya, tapi juga pekerjaan apa pun. Atau para  keluarga di bangku-bangku pengadilan yang berjuang agar rumah rumahnya tidak disita oleh bank. Juga para penyewa yang sedang berseteru dengan para juragan pemilik gedung apartemen dan rumah sewaan. Juga pada minggu aksi-aksi masal pendudukan Wall Street ini, aku mengalami bagaimana kantorku kebanjiran telpon, e-mail, dan pesan-pesan via jejaring sosial dari begitu banyak orang — orang-orang biasa yang sedang mencari pekerjaan, atau sedang mencari sebuah appartemen murah yang mampu mereka sewa. Juga bagaimana seorang nenek berumur 74 tahun, seorang warga Brooklyn, yang tengah terancam untuk diusir dari rumah sewaannya. Beliau hanya mampu menyisihkan sekitar 800-850 dollar per bulan untuk biaya sewa rumah. Padahal tunjangan sosial yang ia terima hanyalah 931 dollar. Dan ini berarti si nenek ini hanya akan bisa menyisakan sekitar 80-130 dollar setiap bulannya, dan ini untuk semuanya, untuk belanja makanan, untuk biaya transportasi, dan juga untuk obat-obatanan yang harus ia beli.
Bahwa disini, di negeri terkaya di muka bumi ini, ada begitu banyak orang yang sengsara, yang sehari-harinya hampir tidak mampu untuk tetap bertahan hidup, adalah kenyataan yang bukan saja tidak manusiawi, tapi juga obsceen, sangat memalukan. Bersamaan dengan itu semua, citra kemakmuran, simbol kekuasaan dan eksklusivitas, ditamparkan kemuka kita tanpa berhenti oleh budaya media masa.
Karenanya, aksi protes pendudukan Wall Street di kota New York, dan aksi-aksi serupa di kota-kota lainnya di Amerika, merupakan aksi-aksi bagi mereka. Mereka yang merasa bahwa suara derita dan keluhannya tidaklah dipedulikan. Aksi inipun juga bagi mereka di antara kita, yang pernah menaruh harapan dan percaya hingga ke sumsum tulang tulangnya, bahwa Barack Obama, kandidat presiden ditahun 2008 itu, adalah tokoh yang akan memberinya perubahan itu sendiri. Perubahan yang telah begitu lama dinantikan di Amerika. Tapi sebenarnya waktu itu pun, aku sudah sadar bahwa hal ini tidaklah demikian. Sebaik-baiknya Barack Obama, dia hanyalah pantas menjadi simbol dari apa yang bisa dimungkinkan, namun perubahan yang sebenarnya hanyalah bisa terjadi kalau datangnya dari bawah (bottom Up), dan tidak datang dari atas (Top Down). Itulah halnya dengan perbudakan dan gerakan abolusionis yang telah menghapuskan perbudakan itu (Abolitionist Movement). Itu juga berlaku bagi kaum perempuan dan gerakan feminis. Juga berlaku bagi komunitas kaum lesbian, biseksual, gay, dan transgender. Dan juga tentunya bagi orang Hitam dan Gerakan Hak-Hak Sipil di Amerika.
Jadi itulah juga yang seharusnya terjadi saat ini. Dan itulah juga mengapa “Revolusi Rakyat” ini akan merebak, berlipatganda. Jika Anda mengunjungi http://www.occupytogether.org, anda akan menemukan berbagai kelompok kelompok afinitas dan grup grup temu antar warga (Meet Ups Group) diberbagai tingkatan, di hampir 500 kota-kota di Amerika.
Jika Anda mengunjungi http://wearethe99percent.tumblr.com/Introduction anda akan mendapatkan testimoni personal para warga yang bercerita tentang bagaimana beratnya hidup mereka masing masing disaat sekarang ini.
Beberapa media mainstream telah mencoba pada awalnya untuk mengacuhkan, mendistorsi, dan bahkan untuk mencemoohkan gerakan protes ini. Tapi sekarang hal itu sudah tidak bisa lagi. Lebih lagi setelah figur-figur selebritis seperti Susan Sarandon dan Russel Simmons turun ke sana untuk menyatakan simpati dan dukungannya. Dan juga tidak setelah 700 orang demonstran ditangkap ketika mencoba melintasi jembatan Brooklyn pada hari lainnya. Dan tentu saja sangat repot untuk berurusan dengan anak- anak muda yang sangat cakap dan lihai dalam memanfaatkan teknologi. Anak anak muda ini sadar akan biasnya media mainstream, dan karenanya mereka membangun media media perlawanan mereka sendiri. Mereka datang ke Wall Street dengan video video kamera genggamnya, mereka membangun website untuk penyebaran informasi, dan malah telah juga menerbitkan koran mereka sendiri, yang mereka namakan “The Occupied Wall Street Journal”, atau Berita Pendudukan WallStreet.
Karena gerakan ini telah menjadi gerakan semua orang. Anda akan membutuhkan surat terlambat datang, jika anda tertinggal dengan apa yang sedang terjadi di sini. Karena yang sedang merebak di sini adalah momen-momen historis.
Setidaknya Serikat Buruh di kota-kota seperti New York dan Boston sadar akan hal ini. Yang membuat hari aksi ditanggal 5 Oktober  yang lalu  itu begitu istimewa, adalah keikutsertaan para buruh  yang datang dengan masal untuk pertama kalinya. Sekitar 20.000 buruh telah ikut disana. Kebanyakan dari mereka adalah anggota dari serikat buruh terbesar di kotaku, dan hadir dibawah pimpinan langsung dari ketuanya. Di Foley Square, selemparan batu dari pintu masuk jembatan Brooklyn, dimana drama televisi “Law And Order” sering diambil, para perawat, guru guru, dan kaum pekerja yang terorganisir lainnya datang, berkumpul dan melakukan aksi mars solidaritas dengan rekan rekannya yang sedang menduduki Wall Street. Yang juga berkesan adalah bahwa para pemimpin serikat buruh ini, satu persatu mengakui bahwa mereka hanya mengikuti jalan yang telah dibukakan oleh ‘those young leaders’, ‘para pemimpin pemimpin muda itu”. Serikat Serikat Buruh tentu tetaplah penting diarena perpolitikan kota New York. Tercermin dari antrian panjang kunjungan para politisi politisi Pemerintah Kota ke markas markas mereka. Para politisi ini kerap datang sekedar untuk berfoto dan mendapatkan momen wajib dengan mikrofon ditengah-tengah para anggota Serikat Buruh.
Namun menurutku, jika kita ingin adanya gerakan yang benar-benar progresif dan multikultural. Sekarang ini yang dibutuhkan di Amerika adalah suatu bentuk koalisi baru yang lain dari yang biasanya. Suatu persekutuan atau konfigurasi dari suara suara progresif. Yang tidak diisi oleh banyaknya pemimpin- pemimpin Serikat Buruh. Yang tidak dibanjiri oleh politisi-politisi biasa, dan juga tidak oleh para pemimpin pemimpin keagamaan. Dan yang pasti ia harus independen dari dana dana korporasi, ataupun yayasan-yayasannya (kucatat figur figur dan organisasi organisasi yang tidak hadir dalam aksi ini, karena jelasnya siapa yang telah membiayai pekerjaan pekerjaan mereka). Koalisi konvensional yang sudah dibangun sejak di saat Gerakan Hak Hak Sipil di tahun 50 dan 60an, dan sejak itu telah menjalankan fungsinya, kini harus dibiarkan mati secara alami. Dan biarpun akau tetap merasa bangga dan terhormat telah hadir dalam demonstrasi yang dipimpin oleh Serikat Buruh ini ( ibuku sendiri sejak lama aktif sebagai anggauta dari Serikat 1199SEIU dikota Jersey, dimana aku dilahirkan dan dibesarkan), hati dan pikiranku ada di Zuccotti Park, bersama anak anak muda ini. Kini bukanlah saatnya untuk ber ego tripper, atau untuk bermain-main kekuasaan tentang siapa yang boleh atau tidaknya berbicara dalam aksi. Aksi ini ada untuk rakyat biasa, seperti si nenek yang berumur 74 tahun itu, dimana aku dan kawan kawanku mencoba sebisanya untuk mencarikan tempat tinggal yang dapat ia bayar. Dan ini tidak akan sia-sia, kita harus mendukung para pemimpin muda itu, secara terbuka ataupun tidak, karena merekalah yang menyuarakan suara rakyat dan tetap meletakkan jarinya menjaga denyut nadi ditangannya rakyat.
Bagi kita yang berada di posisi kepemimpinan, terlepas dari kita menyebut diri kita pemimpin atau tidaknya, dan mulai berfikir seperti mereka, dan tidak lagi berdasarkan kepentingan karir ataupun gengsi pribadi dan organisasi kita masing masing, maka dan hanya dengan cara ini kita bisa melahirkan apa yang telah dicapai oleh gerakan Tea Party di tahun 2009: Sebuah gerakan yang lahir secara alami, yang dipimpin oleh warga warga biasa, yang kemudian tumbuh berkembang dan dipelihara oleh kekuatan politiknya sendiri. Bagian dari upaya pemeliharaan ini adalah dengan menyertakan komunitas komunitas dari warga kulit berwarna kedalam gerakan Pendudukan Wall Street ini. Dan serikat serikat buruh bisa memainkan peran ini, hanya karena jumlah anggaotanya yang melimpah. Hingga kemarin sore, setidaknya di kota New York, kebanyakan dari para peserta aksi ini masihlah our white brother and sister, kawan kawan dan saudara saudara kita yang berkulit putih. Ya merekapun kawan-kawan dan saudara saudara kita, itu tidak perlu diragukan lagi!
Ya, tentu kalian, aktivis aktivis aksi pendudukan Wall Street ini bermaksud baik, tapi niat baik saja tidak akan membuat kalian menjadi benar benar progresif. Kalian tidak bisa terus berseru ”Kamilah rakyat yang 99 persen itu”, jika tidak tercermin adanya koalisi pelangi yang konsisten di setiap kota kota di Amerika dalam gerakan ini. Kalian tidak bisa terus berseru “Kamilah rakyat yang 99 persen itu”, jika kepemimpinan gerakan yang katanya tidak mempunyai pemimpin ini – dan hal ini tidaklah benar, karena jelas ada figur figur yang berpengaruh disini, setidaknya sesekali waktu- hanyalah terdiri dari kaum laki laki berkulit putih. Dan tidak menyertakan, sebagaimana seharusnya, saudara saudara kita yang perempuan, yang dari kalangan kulit berwarna, saudara saudara kita dari komunitas gay, dan komunitas komunitas lainnya yang terpinggirkan sebagai partner yang setara didalam kepemimpinan gerakan. Secara terbuka ataupun tidak. Kalian tidak dapat terus berseru “Kamilah rakyat yang 99 persen itu!”, dan tidak memahami pentingnya sejarah, sejarah perlawanan bersama kita, sejarah dari gerakan gerakan yang ada. Juga tidak, jika kalian tidak menguasai bagaimana caranya bukan hanya untuk mengajak anak anak muda tapi juga orang orang tua kedalam gerakan ini, dan juga para aktivis aktivis baru maupun aktivis aktivis yang telah berumur, seperti aku ini, kedalam gerakan. Dan bersama sama kita dapat menjadikan gerakan ini benar benar kuat, bukan hanya untuk beberapa minggu, atau beberapa bulan, tapi jika diperlukan juga untuk beberapa tahun kedepan.
Dan kalian juga tidak dapat terus menyerukan “Kamilah rakyat yang 99 persen itu!” jika, selain menghantam Wall Street, kalian tidak mempunyai agenda yang jelas tentang perlunya pengadaan lapangan pekerjaan, atau untuk menghentikan semua peperangan, dan seterusnya.
Dimana para pendukung penting dari gerakan Tea Party, selain brilyan juga sangat strategis berada dibelakang gerakan ini dan terus menerus mendorongnya maju. Hingga mempunyai calon politik mereka sendiri di dalam Partai Republikan. Sehingga mereka yang bertarung untuk pencalonan presiden dari partai ini harus menanggapi agenda agenda nasional dari gerakan Tea Party ini.
(Dan untuk bersikap adil terhadap saudara saudari kita yang berkulit putih, orang hitam dan kaum latino di Amerika, dua komunitas yang paling terpinggirkan secara ekonomi di Amerika, pun haruslah segera bersama-sama menggabungkan dirinya kedalam gerakan pendudukan Wall Street ini. Seperti halnya kata pepatah, Anda menjadi bagian dari solusi atau bagian dari masalah…)
Itulah yang kita kaum kiri perlu lakukan, kita yang sering disebut progresif, atau liberal, atau apapun kita mau menamakan diri kita sendiri. Arahkan diskusi diskusi nasional dan masalah masalah keseharian kita ke arah yang baru. Dan bukannya sebagai reaksi terhadap kaum republikan, atau gerakan Tea Party, atau kaum konservatif sayap kanan, tapi karena kita sebagai rakyat mengerti bahwa perubahan benar-benar ada ditangan kita sendiri. Sungguh, gerakan ini hanya akan bisa bertahan jika kita proaktif, dan memiliki visi yang jelas tentang apa yang seharusnya terjadi, biarpun kita pertahankan struktur kepemimpinan demokratik yang sangat longgar, dimana berbagai suara dapat didengar dan dihormati.
Aku berfikir mengenai hal ini ketika sekitar 20 ribu orang dari kami berjalan dari Broadway menuju Zucotti Park. Sekaligus dalam ritme beraturan dan tidak, lambat dan pelan, menguatkan dan membuat frustasi. Dan saya menikmati seluruh perjalanan ini, ketika semua orang memenuhi taman, dengan perasaan penuh cinta dan perdamaian di mana-mana. Intensitas tabuhan drum dapat terdengar diantara hiruk pikuk sebagai sebuah panggilan, untuk perlindungan dan keberanian para demonstran. Tuhan tahu bahwa kami membutuhkan perlindungan. Sebab ketika hari semakin dingin dan menjadi gelap, semakin banyak Polisi New York, di kuda, di motor, berjalan kaki, dan di mobil diterjunkan ke area. Seorang satuan pengamanan di sebuah gedung tinggi memberitahu saya bahwa polisi datang dalam beberapa kali per minggu ke gedung tertinggi untuk memata-matai para demonstran.
Russel Simmons memberi julukan pada mereka sebagai “anak manis”. Mereka berpartisipasi dalam sebuah gerakan sipil pembangkangan, sebuah akar kuat tradisi demokrasi, sebagaimana yang dijarkan oleh Gandhi dan Dr. Martin Luther King, dua figur yang sering dikutip oleh para penguasa ketika mereka membutuhkannya. Tapi tidak penting ketika struktur kekuasaan terancam atau dipermalukan pada setiap negara, baik di Mesir atau di Amerika. Ketika seribu demonstran memutuskan untuk berdemo menuju Broadway, secara literal untuk menduduki Wall Street, mereka akan berhadapan dengan seluruh kekuatan Departemen Kepolisian New York. Sekitar tiga puluh orang ditangkap dan rumor yang berbau pesing seperti kencing di sisi jalan Wall Street, memberitakan bahwa mereka bahkan telah dihajar dan dipukul oleh polisi. Bahkan kru televisi lokal pun ikut dipukul (lihat http://occupywallst.org/ untuk ditailnya). Barikade polisi pun bermunculan, semakin banyak dari mereka yang datang, dan tanpa kita sadar kita telah dikepung dalam radius satu blok setelah Broadway tepat di depan taman, seperti babi dalam kandang. Peringatan telah dimaklumkan: kalian dapat berdemo tapi ketika kalian berani menembus batas yang telah kami tentukan, maka kami akan menyetop dan menangkapmu. Slogan gerakan yang menjadi kesukaanku ialah yang berseru: “Show me what democracy looks like. This is what democracy looks like.”, “Tunjukkan kepadaku seperti apa demokrasi itu. Seperti inilah demokrasi itu!”
Namun ketika kita memukul dan menghajar anak anak muda kita sendiri, hanya karena mereka menggunakan hak demokratik mereka untuk berpendapat dan berkumpul secara damai, pesan apa yang kita kirimkan kepada mereka? Kepada diri kita sendiri, dan kepada dunia? Dan apa bedanya kita dari seorang Bull Connor, komandan polisi Alabama yang telah menghajar dan melepaskan anjing-anjingnya ke anak-anak muda demonstran diwaktu kita memperjuangkan Hak Hak Sipil dulu? Dan apa bedanya kita dari para penguasa di negeri  lain yang telah menyerang para demonstran yang menuntut demokratisasi, dan kita melakukan hal hal yang sama di jalanan kita sendiri?
Dan bukankah walikota kota New York Mr. Michael Bloomberg sendiri, yang telah berkata beberapa minggu yang lalu disebuah wawancara radio, bahwa bakal segera terjadi kerusuhan jika kita tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga amerika. Kata demi kata, Mr Bloomberg menyatakan:” Kita mempunyai banyaknya anak anak lulusan universitas yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Itu yang telah terjadi di Kairo. Itu juga yang terjadi di Madrid. Anda tentu tidak menginginkan adanya kerusuhan seperti itu disini.”
Aku juga tidak, Mr. Bloomberg. Tapi, seperti halnya para demonstran itu, yang aku inginkan di negri kita ini, adalah adanya kesempatan dan keadilan ekonomis buat semua, dan bukannya hanya untuk beberapa gelintir orang orang yang diuntungkan saja. Dan aku lugaskan, anda tidak bisa menggoda rakyat dengan slogan slogan tentang adanya kemungkinan kemungkinan yang tak terbatas di Amerika, dan kemudian ketika mereka memutuskan untuk meraihnya, kita bilang tidak bisa! kita tidak serius disini!
Tidak seorangpun yang dapat meramalkan, kemana gerakan ini akan berangkat dari titik ini. Mungkin, ini hanyalah sebuah ruang dimana meraka yang kecewa dan muak pada akhirnya dapat menyuarakan keluhannya. Ataukah, ini akan menjadi suatu gerakan multikultural progresif yang ingin aku saksikan, yang kupikir Amerika sangat butuhkan di abad ke 21 ini. Apapun yang akan terjadi, kemanapun gerakan ini akan beranjak, semuanya menjadi begitu jelas, lebih dari apa yang telah dikatakan dulu selama Gerakan Hak Hak Sipil, bahwa kepemimpinan yang telah lama kita nantikan itu, adalah kita sendiri…[JB]
Kevin Powell, adalah seorang aktivis, penulis dan pekerja komunitas yang tinggal di Brooklyn New York.
(Sumber: kevinpowell.net. Diterbitkan di blognya pada tanggal 6 Oktober 2011. Diterjemahkan oleh Reza Muharam, 14/10/ 2011)
Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *