Maret 2, 2016
Oleh: Max Lane
RINGKASAN EKSEKUTIF
1). Presiden Joko Widodo terus membuat kebijakan politik yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dimana prioritas politiknya yang utama berpusat pada penarikan investasi untuk infrastruktur. Isu-isu lainnya seperti “Revolusi Mental” atau rekonsiliasi atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia hanya mendapatkan sediit perhatian.
2). Strategi utama Joko Widodo untuk menarik investasi dikemas dalam dua paket perubahan kebijakan yang bertujuan untuk memotong peraturan yang dapat menghambat investasi bisnis, terutama bisnis investasi asing.
3). Sebuah strategi dengan sangat jelas menunjukkan ketergantungan pada penawaran terbuka dari dana asing, dan pada deregulasi untuk membuat investasi lebih mudah, kritik risiko pada nasionalisme, mengingatkan nuansa nasionalistis sewaktu kampanye pemilu 2015 dan kritik yang luas atas kebijakan deregulasi neo-liberal sebagai kebijakan anti -nasional.
4). Pemerintah Joko Widodo memperkenalkan beberapa kebijakan awalan dengan muatan nasionalistik yang simbolik – tetapi mereka telah memainkan ulang, dimana gaya nasionalis terlihat pada masalah-masalah yang minor atau sub-teks” dan ini telah menjadi fitur dari politik yang ditampilkan sehari-hari.
5). Gaya nasionalisme tetap terlihat stabil tetapi hanya pada tingkat yang rendah karena tampaknya tidak ada ideologi – atau bahkan yang berifat taktis – dari oposisi di dalam parlemen untuk kebijakan-kebijakan pemerintahan Joko Widodo. Kredibilitas oposisi parlemen sendiri sebagai kritikus anti-asing telah melemah oleh beberapa tindakan mereka sendiri.
6). Kebijakan ekonomi nasional yang lebih mendasar – penggunaan wajib rupiah dan perpanjangan Daftar Negatif Investasi[i] – berjalan di tempat, menyebabkan beberapa investor asing dari negara-negara Barat untuk tetap berhati-hati.
* Max Lane merupakan peneliti pendatang senior di Program Studi tentang Indonesia di ISEAS-Yusof Ishak Institute, dan telah menulis ratusan artikel untuk majalah dan Koran di Indonesia. Dia menulis juga di blognya: maxlaneonline.com.
PENGANTAR
Ekonomi masih menjadi prioritas utama Presiden Joko Widodo. Sementara dia tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan atau mengulangi serentetan bukaan proyek infrastruktur yang dapat dilihat awal tahun ini,[ii] pada bulan Agustus dan September pemerintah mengeluarkan sejumlah besar kebijakan baru bersamaan dengan paket substansi deregulasi. Paket deregulasi ini, sangat jelas diharapkan, akan mendorong investasi swasta asing, terutama dalam proyek infrastruktur – yang mana Joko Widodo telah menyimpulkan, benar atau salah, adalah harapan utama untuk merangsang kegiatan ekonomi dan kemudian menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Luasnya paket deregulasi (lihat di bawah) memperlihatkan sentralitas pertumbuhan ekonomi, melalui infrastruktur, dalam program politik Joko Widodo – program dimana ia akan mendasarkan popularitasnya, yang masih berada dalam penolakan.[iii] Area lain dari kepemimpinan yang dibicarakan oleh Joko Widodo selama kampanyenya, seperti “Revolusi Mental”, yang seharusnya mengubah mentalitas birokrasi, tetap sulit dipahami. Beberapa dari mereka yang berkampanye untuknya juga berasumsi, atau berharap, bahwa ia akan mengambil inisiatif mengenai rekonsiliasi dan keadilan untuk pelanggaran HAM besar masa lalu. Presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono, pada satu titik dikabarkan telah siap untuk membuat permintaan maaf negara untuk para korban pembantaian 1965-1966, yang mana kemudian hal tersebut tidak pernah terjadi. Banyak pendukung Joko Widodo berharap bahwa Presiden baru akan melakukan sesuatu pada peringatan 50 tahun pembantaian massal ini, yaitu pada tahun 2015. Namun, juru bicara Presiden menyatakan bahwa tidak ada pikiran mengenai hal tersebut dan isu utama dalam pikiran presiden ialah mengelola ekonomi.[iv] Hal ini selalu menjadi pusat orientasi Joko Widodo.
Penekanan pada infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi muncul sebagai penyempitan agenda kepemimpinan politik Joko Widodo. Memang, bahkan pada saat ini kebijakan-kebijakan unggulannya mengenai jaminan sosial, yakni Kartu Sehat Indonesia dan Kartu Pintar Indonesia, masih tidak tampak diprioritaskan untuk peluncuran mendesak dan perluasannya. Mungkin ini sedang direncanakan melalui anggaran berikutnya, yakni bulan Januari, tapi hingga kini belum ada kemajuan yang substansial.
Infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi tampak menghabiskan semua perhatian hingga saat ini. Artikel ini akan menilai tekanan tambahan pada Joko Widodo yang terus mendorong agenda sempit ini. Hal ini juga akan menggambarkan karakter nasionalistik dalam politik yang diciptakan oleh deregulasi ekonomi untuk kegiatan bisnis asing dan keputusasaan dalam pencarian modal asing.
2015: TEKANAN BARU TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI
Pada bulan Juli 2015, terlihat jelas bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia melambat. Laporan Triwulan-an Bank Dunia mengenai Indonesia pada bulan Juli menilai bahwa Indonesia memasuki masa “penurunan keuntungan”.[v] Pertumbuhan diperkirakan telah turun dari 5,2% menjadi 4,7%, laju paling lambat sejak 2009. Pada saat yang sama pada bulan Juli, angka investasi langsung (asing) menunjukkan penurunan, yang sangat sedikit, bila diukur dalam dolar AS. Selama periode ini rupiah juga mulai menurun secara substansial terhadap dolar AS, seperti yang terjadi pada berbagai mata uang negara-negara lain di seluruh dunia. Lembaga seperti Bank Dunia, serta ekonom pemerintah, tidak melihat beberapa perkembangan ini sebagai masalah yang tak dapat diselesaikan. Namun, di luar diskusi teknokratis, tiga indikator mengenai penurunan pertumbuhan, penurunan investasi asing dan pergeseran nilai rupiah telah menciptakan suasana politik di mana Joko Widodo berada di bawah tekanan yang meningkat untuk menunjukkan bahwa ia mengelola ekonomi dengan baik. Joko Widodo sendiri juga telah menyatakan bahwa pada bulan Oktober ekonomi akan meroket.[vi]
Tekanan politik ini juga, dalam hal substantif, merupakan sebuah tekanan ekonomi. Pencarian dana habis-habisan, baik dengan memanfaatkan dana pensiun memanfaatkan dan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial),[vii] serta mencari investasi asing dan pinjaman luar negeri tidak mendukung strategi ekonomi Joko Widodo. Memaksimalkan investasi di bidang infrastruktur merupakan kebutuhan bagi Joko Widodo, membuat semuanya menjadi lebih mendesak secara politis dengan adanya nuansa indicator dari tiga indikator penurunan yang telah disebutkan sebelumnya. Hingga Oktober, meskipun rupiah telah mengalami sedikirt penguatan, ketiga indikator ini masih berdampak pada suasana politik. Pelaporan mengenai tingkat pertumbuhan yang melambat dan investasi yang menurun, tentu saja, semakin meluas. Penyamaan penurunan rupiah krismon (krisis moneter) yang terjadi pada tahun 1997 silam juga menimbulkan sentimen negatif. Media, termasuk melalui media sosial, mengejek beberapa pejabat pemerintah yang mengklaim bahwa “rakyat” tidak khawatir tentang penurunan rupiah. Kritikus nasionalis pun menjadi lebih vokal mempertanyakan kemampuan Joko Widodo dalam mengelola ekonomi.
Ditekan oleh kedua kebutuhan objektif (mengingat strategi berbasis infrastruktur nya) dan suasana politik, Joko Widodo telah memulai perluasan deregulasi. Meskipun ia tidak pernah benar-benar menggunakan istilah “deregulasi” dalam kampanyenya saat Pemilu yang lalu, ia membuat jelas bahwa ia mendukung perampingan regulasi untuk memudahkan bisnis “untuk melakukan bisnis”. Contoh paling jelas dari orientasi ini adalah dorongan yang cepat untuk membuat sebuah sistem satu atap bagi perusahaan untuk mendapatkan izin yang diperlukan dan memuaskan berbagai masalah pengaduan. Joko Widodo telah berhasil mendirikan semacam izin bisnis satu atap di Solo ketika dia dulu menjabat sebagai Walikota Solo.
Di luar skenario pusat satu atap, hal-hal yang ada, bagaimanapun, lebih rumit lagi. Beberapa keputusan pertama pemerintahan Joko Widodo dikonfirmasi atau bahkan lebih lanjut diwujudkan dalam regulasi, yang sangat tidak populer di mata investor asing, terutama mereka yang berasal dari “Barat”, Amerika Serikat dan Eropa. Peraturan-peraturan kunci yang tidak populer tersebut di antaranya:
Persyaratan bahwa semua transaksi yang terjadi di Indonesia harus dilakukan dalam rupiah. Penggunaan dolar AS tidak dimungkinkan lagi. Perusahaan-perusahaan internasional sekarang harus membayar staf internasional mereka dalam rupiah, serta untuk semua pembelian lainnya. Ini adalah, pertama-tama, sebuah istirahat dari latihan dan karena itu tidak diinginkan, sebagaimana masalah-masalah yang diperkenalkan yang terkait dengan memperkenalkan pergeseran nilai rupiah. Ada hukuman satu tahun penjara yang akan dikenakan bagi penggunaan dolar AS untuk transaksi domestic.[viii][ix]
Persyaratan bahwa semua ekspor dan transaksi impor dilakukan melalui Letter of Credit. Ini sangat populer di kalangan perusahaan internasional yang beroperasi di Indonesia, memaksa birokrasi dan potensi penundaan dalam pembayaran untuk transaksi. Ada fasilitas untuk membebaskan hal ini, tetapi hal ini membutuhkan diskresi dari Menteri.[x]
Revisi Daftar Negatif Investasi pada bulan Mei 2015. Daftar ini, yang dikenal sebagai DNI, adalah daftar wilayah-wilayah ekonomi dimana investasi asing dilarang atau sangat dibatasi. Sebuah perpanjangan daftar untuk “lebih berat membatasi investasi asing di sejumlah sektor lainnya, termasuk telekomunikasi, pertanian, minyak, gas, listrik dan daya”[xi] terlihat oleh, misalnya, American Chamber of Commerce atau Kamar Dagang Amerika sebagai disinsentif umum bagi penanaman Modal Asing. Beberapa pelunakan kecil dalam hal peraturan, misalnya, dalam hal obat-obatan tidak dilihat sebagai usaha untuk menyeimbangkan pembatasan yang lebih berat.[xii] Ada tanda-tanda bahwa pemerintah akan mundur pada beberapa pembatasan ini, ketika Menteri Perdagangan mengumumkan review dan menyerukan partisipasi publik untuk mengisi daftar. The Jakarta Globe melaporkan bahwa “Menteri koordinator perekonomian Indonesia, Darmin Nasution telah mengatakan sebuah revisi daftar negatif investasi akan menjadi bagian dari langkah-langkah dalam menstimulus ekonomi yang dijalankan pemerintah”.[xiii] Sebuah pelonggaran pembatasan akan menjadi kemunduran dari pendirian nasionalistik sebelumnya.
Persyaratan bahwa semua staf asing harus lulus ujian Bahasa Indonesia pada awal penugasan mereka di Indonesia.
Semua persyaratan ini memiliki daya tarik nasionalis yang populer. Ketika memiliki daya tarik itu, mereka semua bekerja melawan kampanye untuk meyakinkan investor, terutama investor dari negara-negara Barat, untuk membawa dana dalam skala besar ke Indonesia. Investor-investor asing, melalui perusahaan-perusahaan mereka dan badan perwakilan seperti Chambers of Commerce atau Kamar Dagang, telah membuat kritik mereka dikenal.
Selanjutnya, terutama dari investor-investor yang berasal dari negara-negara Barat, termasuk mereka yang sudah beroperasi di Indonesia, meningkatnya regulasi sosial adalah kekecewaan lain bagi investasi selanjutnya. Peningkatan peraturan sosial, terutama didorong oleh inisiatif dari partai-partai Islam yang konservatif, termasuk larangan penjualan alkohol di berbagai supermarket, pengenalan RUU di parlemen yang melarang semua konsumsi alkohol, undang-undang baru yang melarang seorang pria dan seorang wanita yang tinggal bersama-sama jika belum menikah. Ketika beberapa dari mereka masih berupa Undang-Undang, mereka dilihat sebagai gejala dari tren yang akan menciptakan lingkungan yang kurang menarik bagi sejumlah besar pekerja ekspatriat/asing.[xiv]
Di bawah tekanan untuk memaksimalkan masuknya dana asing, Joko Widodo kini memperkenalkan dua paket kebijakan deregulasi.[xv] Sebelum kita melihat politik dari paket-paket kebijakan ini, penting untuk mencatat pembalikan dari beberapa kebijakan yang lebih jelas menunjukkan nasionalistik secara simbolis. Pada bulan Agustus, persyaratan untuk ekspatriat untuk lulus tes Bahasa Indonesia – persyaratan ditegaskan pada bulan Juni – itu dibatalkan, bersamaan dengan janji bahwa izin tinggal untuk pekerja asing akan lebih mudah untuk didapatkan.[xvi] Segera setelah itu, peraturan yang melarang penjualan alkohol di supermarket juga dicabut.[xvii]
Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I dirilis pada 9 September.[xviii] Tahap Kedua dirilis pada 29 September.[xix] Tahap ketiga dikeluarkan pada tanggal 8 Oktober, yang menekankan penurunan harga bahan bakar, listrik dan gas untuk industri serta ‘perampingan’ birokrasi dalam mengakses lahan untuk keperluan investasi. Dorongan utama dari tiga paket ini adalah untuk mengurangi masalah regulasi untuk bisnis, dan juga menurunkan beberapa biaya. Ada juga beberapa langkah-langkah yang lebih spesifik di luar wilayah itu. Misalnya, visa masuk gratis diperpanjang untuk lebih dari 70 negara, meskipun ‘distorsi’ nasionalis lainnya termasuk dalam bahwa Australia masih dikecualikan dari rezim bebas visa,[xx] meskipun hal itu juga kini telah dibalik.[xxi] Ada juga peraturan-peraturan yang diduga efisien sehingga dapat mempercepat aliran dana pembangunan desa ke desa-desa.
Deregulasi muncul dalam skala besar dengan ratusan peraturan yang dibatalkan atau diubah. Ketika beberapa dari retorika telah menekankan peningkatan daya saing perusahaan nasional, penekanan lebih berat ada pada menarik investasi asing. Ada juga perubahan untuk membuat investor asing lebih mudah dalam memasuki pasar properti.[xxii] Menurut Sekretaris Kabinet, Pramono Anung:
“Ini semua untuk memberikan sinyal positif kepada negara-negara tetangga dan masyarakat bahwa Indonesia adalah teman untuk siapa ingin menanamkan modalnya di Indonesia.”[xxiii]
Fokus yang jelas untuk membuat Indonesia menjadi lebih mudah bagi investor asing untuk berinvestasi telah mulai mewujud, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Suharto di tahun 1960-an dan 70-an, seperti itulah fitur utama dari strategi ekonomi Joko Widodo. Target utama – meskipun bukan satu-satunya – adalah investasi asing untuk proyek-proyek infrastruktur, yang diharapkan akan menarik investasi lainnya dalam kegiatan produktif.
Kegiatan pemerintah yang intensif untuk menarik investasi asing sebagian karena ketidakmampuan untuk memobilisasi modal besar-besaran dari dalam Indonesia sendiri. Ketidakmampuan ini, pertama-tama, merupakan cerminan dari kurangnya modal relatif yang tersedia di Indonesia sebagaimana tercermin dalam rendahnya pendapatan per kapita, yang hanya sebesar 4.000 dollar AS. Selain itu, pemerintah, yang terdiri atas pihak yang berhubungan dekat dengan konglomerat swasta besar, dan menghadapi oposisi parlemen juga baik-baik, tidak siap untuk meningkatkan pajak untuk sektor konglomerat swasta, baik asing maupun dalam negeri. Pemerintah belum memenuhi target pengumpulan pajak dari tingkat pendapatan menengah dan bawah. Menurut Bank Dunia: “Pendapatan ditargetkan oleh anggaran untuk ditingkatkan menjadi 30 persen namun turun 1,3 persen pada tahun 2015 sampai Mei.”[xxiv] Sebagaimana ditunjukkan di ISEAS Perspective, Joko Widodo telah menginstruksikan berbagai kementerian untuk menilai apakah ada uang yang tersedia dalam dana sosial dan asuransi lainnya yang dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur.[xxv]
KONTRADIKSI DENGAN SENTIMEN NASIONALISTIK
Kebijakan ekonomi yang dibuat oleh Presiden Joko Widodo seharusnya bukanlah hal yang mengherankan. Selama kampanyenya dalam pemilu yang lalu, yang paling jelas dalam dialognya di televisi nasional dengan Kamar Dagang Indonesia (KADIN) ialah ketika Joko Widodo menjanjikan sebuah pendekatan yang bertujuan untuk mendorong proses pertumbuhan di sector swasta/privat. Dia menunjukkan bahwa kunci untuk mendorong proses tersebut adalah melalui janjinya untuk “memotong, memotong, memotong” ketika berkaitan dengan regulasi. Dalam dialog yang sama dengan KADIN tersebut, ia juga menunjukkan bahwa ia ingin menarik investor dan terbuka untuk mendekati para pemberi pinjaman asing. Ini adalah perspektif kebijakan yang jelas didukung oleh Joko Widodo, ia harus melakukannya dalam iklim di mana retorika nasionalis tinggi, termasuk penolakan nasionalis dari apa yang disebut sebagai neo-liberalisme. Di Indonesia, kebijakan ekonomi neo-liberal sering dilihat sebagai kebijakan deregulasi yang membuat kemudahan bagi investasi asing untuk beroperasi di Indonesia, terkadang, ada klaim, dengan mengorbankan bisnis domestik. Organisasi Non-Pemerintah, sejumlah besar ekonom serta politisi telah menggunakan retorika nasionalis anti-neoliberal ini untuk menyerang pemerintahan sebelumnya (Megawati dan S.B. Yudhoyono). Ada sentimen yang luas bahwa Sumber Daya Alam Indonesia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing dan bahwa Indonesia adalah wilayah yang sangat strategis bagi kepentingan-kepentingan tersebut.
Pada 2015, isu semacam ini mendapat sorotan yang cukup tinggi, terutama karena lawan utama Joko Widodo, Prabowo Subianto, mengambil retorika-retorika nasionalis dan membuat tuduhan bahwa ratusan miliar dollar telah tersedot ke luar negeri oleh perusahaan-perusahaan asing. Kritik muncul dalam hal pajak yang dibayar oleh perusahaan pertambangan raksasa, Freeport, di Papua Barat telah menjadi salah satu yang simbolik, namun hanya sebatas resonansi, manifestasi dari sentimen ini. Selama Oktober, telah ada diskusi lebih lanjut, bahkan perselisihan, di Kabinet mengenai bagaimana perpanjangan kontrak Freeport harus ditangani. Menteri Koordinator Kelautan, Rizal Ramli, – yang memiliki reputasi panjang sebagai seorang ekonom nasionalis – telah menegaskan bahwa Freeport harus diminta untuk membayar lebih banyak royalti.[xxvi]
Keberadaan sentimen nasionalistik seperti itu saat ini terkonsolidasi dalam politik Indonesia. Setelah Soeharto membuka pintu investasi asing yang begitu luas pada tahun 1967, politik nasionalis telah benar-benar kalah, seperti yang terlihat dalam kehancuran fisik dari nasionalis. Kiri. Pada 2015, Joko Widodo menghadapi sentimen nasionalis yang dihidupkan kembali. Namun, bagaimanapun, penting untuk dicatat bahwa sentimen ini tidak berada dalam kendaraan politik yang efektif.[xxvii]
Seperti yang ditunjukkan di bawah ini, bagaimanapun, oposisi parlemen, yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, mempelopori retorika anti-“kebocoran” dalam kampanyenya semasa pemilu yang lalu, belum dapat sepenuhnya menggunakan isu ini, karena beberapa disposisinya sendiri terhadap “asing” .
Situasi yang dihadapi oleh Joko Widodo ini telah menghasilkan berbagai pemutarbalikkan nasionalis. Meskipun telah ada penarikan mundur kebijakan pengujian bahasa Indonesia bagi ekspatriat, pelonggaran pembatasan visa bagi pekerja asing, penghapusan peraturan/regulasi tentang penjualan alkohol dan paket deregulasi 9 dan 29 September, ada juga beragam sikap untuk mengimbangi gaya nasionalistik – meskipun, sekali lagi, dalam praktinya, terkadang sulit dipertahankan. Sebagian besar gaya nasionalistik ini juga disajikan lebih sebagai sub-teks, sekunder bagi resep kebijakan utama, dan lebih untuk penuansaan. Untuk saat ini, bagaimanapun, harus tetap dicatat bahwa ketegasan pemerintah tentang penggunaan rupiah dalam semua transaksi, penggunaan Letter of Credit dan perluasan Daftar Negatif Investasi belum dicabut secara eksplisit, meskipun sekarang, Daftar Negatif Investasi, sedang ditinjau dan dapat dilihat mundur.
Gaya nasionalistik dapat dilihat dalam laporan awal pejabat yang berkaitan dengan protes Singapura atas kebakaran hutan yang berasal dari Sumatera. Wakil Presiden Jusuf Kalla telah bersikap sangat meremehkan. Baru-baru ini, mantan aktivis demokrasi dan anti-korupsi, yang sekarang menjabat sebagai Kepala Staf Presiden Joko Widodo, Teten Mazduki, membuat komentar bahwa Singapura sebenarnya harus bersyukur atas 9 bulan oksigen yang dipasok Indonesia untuk Singapura.[xxviii] Namun, ketika pada awalnya meremehkan tawaran bantuan Singapura untuk melawan kebakaran, Joko Widodo akhirnya menerima tawaran itu, bersama dengan bantuan dari negara-negara lainnya.[xxix]
Gaya nasionalistik lain telah terhubung melalui negosiasi dengan China dan Jepang tentang pembangunan kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. Proyek ini akhirnya diberikan ke Cina setelah melalui negosiasi yang alot dan setelah adanya pernyataan awal bahwa proyek tidak akan diberikan sama sekali.[xxx] Cina memenangkan kontrak dengan meyakinkan Indonesia bahwa hal itu bisa mendanai proyek tanpa dana anggaran Indonesia. Jepang memprotes keputusan itu, sebagian dengan alasan bahwa Indonesia telah mengubah beberapa kondisi.[xxxi] Sementara pejabat Indonesia menjanjikan bahwa investasi Jepang diterima di daerah lain, termasuk untuk kereta cepat yang lain, media, termasuk media sosial, berperan dalam keputusan Indonesia dalam menegaskan kekuatannya untuk melawan pemain besar seperti Jepang yang ingin Indonesia berkontribusi secara finansial untuk proyek tersebut. Pada saat yang sama, banyak yang memprotes kerjasama dengan Cina, sebagian dimobilisasi atas dasar sentiment lokal anti-Cina, tetapi juga menempel ke sentimen umum yang entah bagaimana Indonesia adalah memang kawasan yang strategis bagi bisnis asing.
Seperti dapat dilihat, retorika nasionalistik telah dibatasi sangat banyak di tingkat “sub-teks”. Isu-isu yang tidak substansial, dan kadang-kadang perlu dibalik. Retorika nasionalistik ini tetap berada di tingkat “sub-teks” karena dua alasan utama. Pertama, tentu saja, retorika nasionalistik yang berjalan langsung bertentangan dengan dasar fundamental dari strategi ekonomi Joko Widodo, yang bertujuan untuk memaksimalkan peran investasi asing dalam perekonomian dan telah mendapatkan dukungan luar biasa dari seluruh elit. Penghujatan awal Joko Widodo di Indonesia di kalangan kritikus neoliberalisme ialah penjualan langsung ke perusahaan asing di beberapa negara untuk datang dan melakukan bisnis di Indonesia. Pembalikan langsung dari beberapa kebijakan, seperti tes bahasa Indonesia untuk ekspatriat, merupakan gejala dari kontradiksi.
Orientasi menuju pembukaan ekonomi ini juga diwujudkan ketika Joko Widodo menunjuk manajer dana investasi sektor swasta di Singapura, Thomas Lembong, sebagai Menteri Perdagangan. Lembong mendampingi Presiden Widodo selama kunjungannya ke Amerika Serikat, di mana ia mengumumkan bahwa Indonesia akhirnya ingin bergabung dengan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), yang tentunya akan membutuhkan keterbukaan lebih lanjut.[xxxii]
Alasan kedua adalah tidak adanya kekuatan politik yang efektif di Indonesia yang mencoba untuk menggunakan retorika nasionalistik ini sebagai fokus utama untuk menentang Joko Widodo. Potensi yang paling jelas di sini adalah Koalisi Merah Putih (KMP), yang secara resmi dipimpin oleh Prabowo Subianto, yang menggunakan kartu nasionalis selama kampanye pemilu presiden yang lalu. Fadli Zon, anggota parlemen dari partai Prabowo, Gerindra, telah menjadi kritikus tetap Joko Widodo pada berbagai isu. Pada kebijakan ekonomi yang mendasar, seperti dua Paket Kebijakan Ekonomi, kritik yang diberikan relatif lunak, mengambil sikap “tunggu dan lihat”.[xxxiii] Fadli Zon telah lebih aktif mempromosikan dirinya sebagai seorang politisi anti-korupsi, terpilih sebagai kepala badan internasional parlemen melawan korupsi, dan membela eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia (KPK). Kritik yang lunak terhadap kebijakan ekonomi konsisten dengan gaya KMP sejak awal Kepresidenan Joko Widodo. KMP telah mendukung amandemen anggaran Joko Widodo dan kebijakan lainnya, tampaknya ingin memastikan bahwa setiap kegagalan ekonomi yang dihasilkan oleh Jokowi Widodo pada akhirnya akan dilihat sebagai kesalahannya sendiri, dan bukan hasil dari pelecehan yang dilakukan oleh oposisi di parlemen. Selain itu, tampaknya tidak ada perbedaan baik ideologis maupun fundamental antara KMP dengan kebijakan ekonomi Joko Widodo. Dalam hal apapun, kredibilitas setiap potensi agitasi anti-asing yang dilancarkan oleh Fadli Zon dan politisi KMP lainnya terganggu oleh tindakan mereka sendiri termasuk ketika mereka berfoto selfie dengan Donald Trump di reli Trump di Amerika Serikat. Biaya tinggi yang dibebankan kepada wajib pajak Indonesia, dari study tour anggota parlemen ‘, yang di dalamnya termasuk biaya untuk asangan dan anak-anak, juga merusak kredibilitas umum mereka.
KESIMPULAN
Pola peningkatan keterbukaan terhadap investasi asing, terutama untuk infrastruktur, akan tetap menjadi yang utama dalam Kepresidenan Joko Widodo. Dan hal ini akan terus menghasilkan kontradiksi dengan sentimen nasionalistik yang juga menyebar luas. Kontradiksi ini akan mesyaratkan kelanjutan sikap nasiomalis gaya-gayaan di tingkat bawah. Tidak adanya kendaraan politik nasionalis yang efektif, meskipun partai-partai baru terbentuk, akan memungkinkan sikap ini tetap berada pada tingkat rendah, sampai ada kegagalan utama dalam program infrastruktur atau pertumbuhan memburuk atau ada penurunan yang serius dalam angka FDI.
[i]Sebuah daftar kawasan dalam ekonomi dimana investasi asing dilarang atau dibatasi.
[ii]Max Lane, The Politics of Widodo’s Prioritisation of Accelerated Infrastructure Construction, http://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2015_43.pdf
[iii]http://www.smh.com.au/national/the-honeymoon-is-over-for-jokowi-20150709-gi98ug.html
[iv]http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150922144216-20-80296/jokowi-tak-akan-minta-maaf-kepada-korban-tragedi-g30s/
[v]Indonesia Economic Quarterly, July 2015: “Slower Gains” – http://www.indonesia-investments.com/upload/documents/World-Bank-Indonesia-Economic-Quarterly-July-2015-IEQ-Indonesia-Investments.pdf
[vi]http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/08/05/192311826/Jokowi.Mulai.September.Pertumbuhan.Ekonomi.Indonesia.Akan.Meroket
[vii]Lihat Max Lane, The Politics of Widodo’s Prioritisation of Accelerated Infrastructure Construction, http://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2015_43.pdf
[viii]http://www.bi.go.id/id/peraturan/sistem-pembayaran/Pages/se_171115.aspx
[ix]http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/04/09/154921326/Jaga.Stabilitas.Rupiah.BI.Keluarkan. Peraturan.Baru
[x]http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt551cf0e82975a/mendag-terbitkan-aturan-ketentuan-penggunaan-l-c-ekspor-barang-tertentu
[xi]http://www.amcham.or.id/opinion/4585-indonesia-s-revised-negative-investment-list-is-truly-negative
[xii]http://www.amcham.or.id/opinion/4585-indonesia-s-revised-negative-investment-list-is-truly-negative
[xiii]http://jakartaglobe.beritasatu.com/business/indonesia-seeks-public-submissions-revised-negative-investment-list/
[xiv]Komuikasi dengan ekspatriat dari Barat di kawasan bisnis Jakarta.
[xv]Paket kebijakan lainnya diluncurkan pada tanggal 15 October bertujuan untuk mengatur upah. Paket kebijakan ini membatasi kenaikan upah minimum tahunan yang didasarkan pada rumusan kenaikan upah yang ketat dan peninjauan atas upah minimum hanya diizinkan setiap lima tahun sekali. Paket kebijakan ini ditolak oleh seluruh serikat buruh dan disambut oleh para pengusaha.
[xvi]http://www.indonesia-investments.com/id/news/todays-headlines/no-indonesian-language-proficiency-test-for-foreign-workers-in-indonesia/item5857
[xvii]http://m.news.viva.co.id/news/read/674713-bir-boleh-dijual-di-minimarket-jakarta–ini-kata-ahok
[xviii]http://setkab.go.id/inilah-pokok-pokok-paket-kebijakan-ekonomi-tahap-i-september-2015/
[xix]http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150929_indonesia_paket_ekonomi2
[xx]Bebas visa kini juga telah tersedia bagi warga Australia. http://www.jakpost.travel/news/47-countries-including-oz-to-enjoy-visa-free-entry-by-october-1ZCPNJATvSdOaGHg.html
[xxi]Ini bukanlah hal yang baru bagi pemerintah Indonesia untuk menjaga beberapa sanksi melawan pemerintahan Australia semenjak sebuah seri skandal yang melibatkan mata-mata Australia di Indoenesia dan pernyataan mantan Perdana Menteri Tony Abbott yang dinilai tidak diplomatic.
[xxii]http://economy.okezone.com/read/2015/09/09/470/1211353/jokowi-dukung-investasi-asing-di-properti-indonesia
[xxiii]http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150929_indonesia_paket_ekonomi2
[xxiv]http://www.worldbank.org/en/news/feature/2015/07/08/indonesia-economic-quarterly-july-2015 Sepertinya target dari Januari-Mei
[xxv]Max Lane, op cit.
[xxvi]http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/14/078709386/sambil-gebrak-meja-rizal-ramli-tolak-us-3-m-dari-freeport
[xxvii]Beberapa parati baru telah didirikan dimana semuanya menggunakan juga gaya nasionalistik, meskipun hingga saat ini belum ada yang secara serius berada di tingkat nasional.
[xxviii]http://m.tribunnews.com/nasional/2015/09/28/teten-masdukisingapura-harus-memahami-kesulitan-kita
[xxix]http://dunia.news.viva.co.id/news/read/684485-singapura-lega-ri-akhirnya-mau-terima-bantuan-lawan-asap
[xxx]http://www.straitstimes.com/asia/se-asia/jakarta-scraps-high-speed-rail-project
[xxxi]http://www.ft.com/intl/cms/s/0/eca4af84-67fa-11e5-97d0-1456a776a4f5.html#axzz3oJI3Cr9s (Japan menangis setelah Indonesia memenangkan China dalam tender proyek pembangunan rel kereta api.)
[xxxii]http://www.nationmultimedia.com/business/Indonesia-not-ready-to-join-TPP-30271769.html
[xxxiii]http://fadlizon.com/perlu-evaluasi-kebijakan-ekonomi.html