January 10, 2015
Oleh: Mirza Asahan
Kita tentu tak pernah lupa heroik pemuda di jalanan pada masa-masa krisis negeri ini di tahun 1997-1998, gelora pemuda yang sudah muak dengan golongan tua mampu menggegerkan dunia, di mana hanya terjadi sekali, di belahan dunia manapun. Rejim bertangan besi (Soeharto) yang telah menghancur-leburkan cita-cita Revolusi, dengan menggulingkan Soekarno, membubarkan partai-partai politik dan organisasi rakyat yang berbeda pandangan dengannya, pembunuhan massal yang keji, pemenjarahan tanpa pengadilan, bisa runtuh oleh dorongan massa pemuda tanpa senjata!
Setelah reformasi Indonesia sedikit berbeda; kebebasan berpendapat, berkumpul, berdiskusi, sudah tidak menjadi barang langka.Kembalinya ABRI ke dalam BARAK, sehingga tak punya wewenang mengatur lagi persoalan sipil. Lalu berdirinya lembaga independentyang bergerak di bidang HAM dan Korupsi, menjamurnya serikat buruh, dan aksi massanya, memberikan pandangan berbeda di dalam sejarah bangsa Indonesia, yang masa lalunya: masih penuh teka-teki?
Tapi, kebebasan yang berhasil direbut para pemuda heroik, kini semakin lama kembali ditimbun hidup-hidup oleh para penggiat negara. Membiarkan aparatur tanpa pangkat dengan seragam jubah, meronta-ronta marah di tempat diskusi pemutara Film Senyap di Jogja, Malang, Padang, (UGM, ISI, Brawijaya Malang). Pemutara Film Senyap ini diselenggarakan para mahasiswa dan akitivis HAM di kampus-kampus, kafe, sampai di sekretariat organisasi, untuk memenuhi keingintahuan mereka terhadap sejarah yang berbeda dari versi pemerintah, namun dibubarkan tanpa penjelasan yang rasional.
Yang terkesan “aneh” tapi nyata, adalah saat tentara juga ikut terlibat menghadang pemutaran Film Senyap. Di Malang misalnya: pemuda-pemudi yang haus akan pengetahuan terhadap sejarah, harus mendapat teror dari tentara, hanya karena ingin memutar film Senyap, saat memeringati hari Hari HAM pada 10 Desember 2014 di kampus mereka sendiri. Lalu kenapa tentara hadir? Bukanya mereka seharusnya di Barak?
Film Senyap (The Look Of Silence hasil kerja keras Joshua Oppenheimer. Sebelumnyaia juga mengeluarkan karya fenomenal: Jagal (The Act Of Killing),mendapat banyak penghargaan di dunia internasional. Fillm Senyap berdurasi tak lebih dari 2 jam banyak menggambarkan peristiwa-peristiwa pelik yang terjadi di Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Melalui pemeran utamanya Adi Rukun yang di dalam Film tersebut dipertemukan dengan pembantai kakaknya yang selama ini ia cari.
Di dalam film ini Adi Rukun berperan sebagai pencari keterangan tentang kematian kakaknya Ramli Rukun. Dia menjumpai satu persatu pembunuh kakaknya, yang ternyata para pembunuh tersebut dengan bangga mengatakan: pembantaian massal itu pekerjaan yang terhormat demi kepentingan negara. Raut wajah yang bingar dan tanpa penyesalan itu Adi dapatkan saat menjumpai Yusuf Basrunsatu anggota DPRD Deli Serdang, dengan semangat berlebihan mengatakan: “Jika saya salah tidak mungkin saya dipercaya seperti ini”. Ungkapan-ungkapan yang membuat Adi marah terus dia dapatkan dari para pembunuh kakaknya, namun Adi menjawab segala macam ungkapan-ungkapan pengakuan yang tak memerlihatkan penyesalan itu, dengan rendah hati: “Mungkin karena penyesalan begitu dalam yang dia lakukan pada waktu itu. Karena rasa penyesalan yang begitu dalam, saat memeragakan pembunuhan itu seperti mati rasa”.
Jika kita dapat menelisik maksud dari film tersebut dengan jelas ingin memperlihatkan bagaimana para bajingan-bajingan yang bernaung di dalam Pemuda Pancasila digambarkan oleh film itu sebagai algojo-algojo yang melakukan pembantaian secara keji pada orang-orang yang dicap PKI, maupun para simpatisannya. Seperti film Jagal yang terbit dahulu sebelum Senyap dengan terang mengupas kulit sejarah yang dikotori daki Soeharto. Jagal memerlihatkan algojo-algojo pembantaian tanpa belas kasihan menyiksa para korban, memberi isyarat nyata pada kita bahwa Soeharto yang selalu mengaggungkan perdamaian, ternyata berkuasa di atas jutaan mayat rakyat Indonesia.
Lantas kenapa TNI membubarkan pemutaran film Senyap?
Mengatakan bahwa Joshua Oppenheimer membuat film ini tanpa maksud juga keliru, namun jauh lebih keliru yang mengatakan film Senyap dibuat untuk menjadikan rakyat bersimpati terhadap ajaran Marxisme. Jika kita melihat secara gamblang dua film karya Joshua Oppenheimer tidak memuat keterangan-keterangan tentang ajaran Marxisme. Sehingga upaya pelarangan memutar film Senyap, karena ditakutkan jatuh pada keyakinan Marxisme, adalah tindakan yang kebelinger. Kita tidak perlu menonton film Senyap jika ingin mempelajari Marxisme, buku-buku Marxis dan koran on line maupun cetak begitu gampang ditemukan saat ini di Indonesia. Di dalam film Senyap dan Jagal,Joshua Oppenheimer memiliki tujuan kemanusiaanyang tergambar jelas di dalam film tersebut, dimana para korban ingin negara mengakui kejahatan HAM di masa lalu. Tentu harapan korban dan Joshua Oppenheimer dengan para pemuda tidak berbeda dalam aspek demokratis.Dengan adanya film ini negara harus mengakui peristiwa yang menyedihkan terjadi di Indonesia, selama priode 1965-1968, dan dengan tegas meminta maaf kepada para korban Orde Baru, memberikan kompensasi terhadap kerugian harta benda, serta merehabilitasi korban dan keturunannya, sampai pada penghapusan aturan keliru: Tap MPRS XXV/1966, yang membatasi rakyat untuk berideologi. Film Senyap memang hanya menggambarkan sedikit peristiwa pembantaaian massal yang terjadi di seluruh Indonesia. Namun film ini bisa menjadi jembatan untuk rakyat melek sejarah, bertanya apa sebenarnya yang pernah terjadi di kampungnya masing-masing, di pinggiran sungai, di sudut gang kota dan ladang-ladang.
Apakah perjuangan kemanusiaan yang menjadi tujuan dalam Film Senyap karya Joshua Oppenheimer bertentangan dengan TNI, atau dengan para Organisasi “Islam” reaksioner? Kebingungan ini dapat kita jawab dengan membuka sedikit sejarah tentang peristiwa yang banyak kalangan menyebutnya: Gerakan 30 September, yang menjadi titik awal api. Konfik di dalam Angkatan darat berakhir pada tewasnya tujuh petinggi militer yang ditemukan di Lubang Buaya. Berselang dari penemuan mayat-mayat para Perwira Tinggi, TNI dengan lantang lansung menuduh bahwa penyebab kematian para Perwira Tinggi adalah PKI. Setelah berhasil menuduh PKI, Soeharto mengambil alihkepemimpinan Angkatan Darat dengan membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) sebagai alat utama untuk menjalankan pembantaian massal, seperti apa yang pernah dikatakan Sarwo Edhi: bahwa dia telah menumpas tiga juta orang komunis di Indonesia.
Tak sampai disitu, tentara dengan Kopkamtibnya merekrut organisasi-organisasi yang sebelumnya anti Soekarno dan rakyat yang dipengaruhi oleh propganda hitam tentara, seperti: PKI pembunuh para Perwira Tinggi, bahwa PKI anti Agama, PKI berkhianat pada negara. Propaganda hitam itu dimaksudkan memprovokasi, agar organisasi dan rakyat yang dapat dipengaruhi tentara bisa terlibat lansung melakukan pembantaian terhadap orang-orang yang dicap PKI. Seperti yang ada di dalam film Jagal, Algojo utamanya Anwar Kongo (Pemuda Pancasila) mengakui bahwa dia membantai PKI hanya karena selama menjadi preman di bioskop mendapat penghasilan kecil, sebab PKI mendukung Soekarno yang mengeluarkan kebijakan pelarangan terhadap film Amerika di putar di Indonesia, karena film-film tersebut menurut Soekarno, membawa budaya individualis, hedonis, dan kekerasan. Atau Banser NU yang sebelumnya sudah dipersiapkan oleh para Kyai di Jawa Timur, untuk menghadang gerakan petani yang menjalankan reformasi agraria, berhasil digandeng tentara untuk melakukan pembantaian secara brutal di Jawa Timur.
Tentu kenyataan sejarah yang dimanupulasi berbeda dengan apa yang di propagandakan Soeharto dan Militer, contohnya di dalam Museum Nassional tesirat Nugroho Notousanto berupaya keras membangun kultus individu yang menyerupai Soekarno terhadap Soeharto. Bersama dengan para petinggi militer lainnya, ia menyelipkan peran Soeharto di dalam rancangan museum 1969, hadir di dalam tiga adegan: “Pembebasan Irian Raya”, “Hari Kesaktian Pancasila”, serta “Surat Perintah Sebelas Maret”, sengaja ditampilkan agar Soeharto di mata rakyat sebagai pahlawan negara, yang tak perlu diragukan lagi, dan tentara menjadi satu-satunya organisasi negara yang besar kontribusinya terhadap kemerdekaan maupun memertahankan negara dari “Bahaya Komunisme”.
Jadi kita masih ingin bertanya kenapa tindakan “aneh” TNI dan Ormas “Islam” reaksioner bisa terjadi? Ya cukup sederahana jawabannya: bahwa TNI sebagai Institusi yang maha agung di mata masyarakat awam, tidak tercoreng wajahnya dengan pemutaran film Senyap. Dimana saat rakyat sadar bahwa ada ketidakberesan di dalam sejarah akan menambah keingintahuan rakyat untuk menggali kebenaran sejarah yang pada akhirnya berujung pada antipati rakyat terhadap insititusi maha agung tersebut. Jika satu saja kejahatan yang dilakukan TNI terbongkar, maka tidak menutup kemungkinan yang lainnya juga ikut terbongkar, seperti pelanggaran HAM di Aceh, kasus Kedung Ombo, penculikan para pejuang demokrasi, peristiwa Tanjung Priok, penembakan mahasiswa Trisakti, atau bisnis para tentara yang merajalela saat berkuasa akan terbongkar, dan tentu itu tidak diinginkan oleh tentara. Sementara sudah dari dulu kita mengetahui jika organisasi reaksioner yang berkedok agama maupun kedaerahan memang dipelihara oleh negara untuk meneror gerakan buruh dan rakyat. Pelarangan terhadap pemutaran film senyap ini juga dapat dilihat bahwa, tentara tidak hanya memusuhi para pemuda yangingin meluruskan sejarah, lebih dari itu, bahwa sesungguhnya tentara tidak ingin rakyat memaksa negara untuk mengakui kesalahan di massa lalu, karena akan berakibat fatal bagi tentara jika permintaan maaf negara dikeluarkan. Tuntutan rakyat akan bertambah dengan menutut pencabutan Tap MPRS XXV 1966 yang berisi pelarangan menyebarluaskan gagasan Marxisme-Leninnisme. TNI tidak akan memiliki alasan lagi untuk menghadang bangkitnya kembali perjuangan rakyat yang revolusioner, dan pendiskusian secara terang-terangan tentang ideologi Marxis akan mengusik kenyamanan TNI.
Kampus kerajaan kecil di tengah negara.
Ya selayaknya kerajaan di dalam negara, kampus juga mempunyai prajurit yang setia terhadapnya, seperti Satpam dan Memwa. Kekuatan prajurit seperti ini pernah ditunjukkan dengan bangga oleh Rektor UMY saat menggunakan Satpam sebagai barisan terdepan untuk menggebuki mahasiswanya yang sedang melakukan demonstrasi pada tahun 2011. Rektor sebagai raja, yang mempunyai kekuasaan begitu besar tanpa tandingan di dalam kampus bisa setiap saat bersikap sewenang-wenang. Seperti yang beberapa waktu lalu terjadi di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dimana seorang Raja membredel penerbitan buletin salah satu UKM Jurnalis di dalam kampusnya. Belum hilang dari ingatan kebiadaban Rektor UNY kini kita kembali tercengang jijik melihat sikap Rektor Universitas Brawijaya Malang, Muhammad Bisri yang melarang pemutaran film Senyap di kampusnya. Ini adalah bukti-bukti nyata kalau mereka yang biasa disebut para akademisi, tidak bertanggung jawab terhadap ilmu pengetahuan.
Lalu kita mendengar kabar mengharukan dari UGM, diberitakan dalam media on line maupun cetak jika Rektor UGM ingin menggalang kekuatan untuk melawan intimidasi, tapi ternyata itu tidak benar sepenuhnya, sebab saat ada beberapa organisasi yang ingin kembali memutar film tersebut dalam waktu dekat pasca pemutaran film dibubarkan di UGM.Sebagai penunjukan sikap yang menentang intimidasi, Rektor beserta jajaranya, masing-masing saling melemparkan tanggung jawab, dan memberi alasan yang berbeli-belit agar pemutaran film tersebut ditunda, dan berjanji akan membuat konsep untuk pemutaran film tersebut. Kita sudah muak terhadap janji-janji para pejabat negara, kini kita mendapat lagi janji manis dari seorang raja yang kecenderungan besarnya mencari aman dari segala persoalan demi sebuah kenyamanan sebagai raja di tengah rakyatnya (mahasiswa) yang sebagian besar lupa pada sejarah.
Dimanakah para dosen? Yang selalu “membimbing” mahaisiswa untuk berani berpendapat. Ternyata mereka sedang sembunyi di balik lemari perpustakaan. Selama berdirinya Orde Baru, kampus bukan lagi menjadi tempat dimana ilmu pengetahuan bebas diperdebatkan, kebebasan-kebebasan kecil memang didapatkan oleh mahasiswa namun dalam batas tertentu: asal tidak merugikan kampus. Sementara para dosennya dibuat seperti mayat tanpa hati nurani, selalu memoderasi mahasiswa dengan kesadaran palsu: bahwa mahasiswa, harus menjadi orang sukses ditengah pemuda-pemuda tidak bekerja, mahasiswa harus membangun negara dengan cara yang lama. Seluruh ungkapan yang dikeluarkan para dosen seperti sudah diatur sebelumnya di dalam bilik perpustakaan, yang tentunya harus tunduk pada raja, raja tunduk pada presiden, presiden tunduk pada kekuatatan modal.
Mahasiswa sudah tidak bisa berlindung lagi dibalik almamater yang secara terang-terangan menghambat kemajuan mahasiswa. Kampus yang selama ini sudah menjadi lembaga resmi kekuatan modal, dengan mengajarkan teori yang menghalalkan: manusia menindas manusia lainya, sudah tidak bisa diharapkan untuk berlaku demokratis terhadap agenda-agenda mahasiswa. Dengan aturan adminitrasi (presensi 75%, Batas Kuliah, dll) kampus mengkrangkeng mahasiswa untuk tidak kritis, apalagi dengan kembali aktifnya Menwa di bawah kendali tentara, semakin memperlihatkan kampus juga menjadi bagian dari ideologisasi militerisme yang digagas tentara melalui Menwa, akan semakin membahayakan bagi mahasiswa yang pro-demokrasi.
Dimanakah Pemerintah? Mereka ada di Jamban!
Saat pembubaran Film Senyap terjadi di berbagai daerah, banyak dari para peserta pemutaran film bertanya, dimana pemerintah? Pertanyaan yang sudah kusam, namun tanpa di sadari pertanyaan itu selalu muncul di benak rakyat saat menghadapi ancaman. Sementara para polisi yang seharusnya menjamin keamanan rakyat saat berkumpul dan berdiskusi tidak berbuat apapun untuk menghadang kelompok anti dmokrasi, justru sebaliknya meminta para panita pemutaran film Senyap untuk membubarkan acaranya. Apakah pemerintah bisa menjawab pertanyaan usang yang ditanyakan rakyat saat menghadapi ancaman? Tidak mungkin pemerintah dapat menjawabnya dengan gamblang, sebab pemimpinya lagi asyik bersafari keliling pulau-pulau Nusantara. Sampai pada peristiwa bengis yang baru-baru ini terjadi menimpa masyarakat papua,menelan korban jiwa, hasil dari kebiadaban angkatan bersenjata yang bertindak sewenang-wenang,tak menggubris hati nurani pemerintah, justru memilih sikap diam yang membuat rakyat antipati.
Padahal kita masih ingat betul janji-janji Jokowi saat masa kampanye pemilihan presiden, lewat Andi sebagai juru bicara Tim Transisi Jokowi mengatakan, pemerintah menjanjikan akan menyelesaikan kasus 1965, dan akan meminta maaf kepada korban pembantaian 1965. Namun belum 100 hari Jokowi terpilih jadi presiden, Yusuf Kalla sudah mengatakan tegas bahwa pemerintah tidak akan melakukan permintaan maaf terhadap korban kejahatan HAM masa lalu. Tragis bukan? kemanusiaan hanya dijadikan bahan kampanye.Sampai saat ini saja pemerintah belum berbuat apapun untuk membuka ruang demokrasi di Indonesia. Kita masih melihat bahwa UU yang anti demokrasi (UU Ormas, UU PKS, UU Intelejen dll) masih berdiri tegak di dalam konstitusi, padahal janji partai penguasa akan memberikan demokrasi kepada rakyat.
Dari kenyataan-kenyatan yang ada apakah kita masih mengharapkan pemerintah untuk menuntaskan kasus kejahatan HAM di masa lalu, semetara sebagian pelakunya seperti Hendropriyono dkk ada dibalik kekuasaanya. Di satu sisi lain kita melihat kekuatan militerisme semakin kuat dengan partai-partai politiknya, yang dalamsewaktu-waktu dapat membahayakan demokrasi, propaganda kerinduan terhadap Orba disebarkan kemana-mana, penyelundupan watak militerisme melalui Menwa kembali dijalankan, komando-komando teritorial diperbanyak. Lalu dimanakah pemerintah? Mereka ada di jamban!
Awas! Kembali ke Orde Baru.
Tentu kita tidak ingin Indonesia menjadi Jerman di bawah Adolf Hitler: Sebelum Hitler berkuasa tak ada satupun pengamat politik Jerman yang dapat memprediksi jika Hitler akan berkuasa. Pada tahun 1928 Partai Nasional Sosialist(NAZI) masih berada di pinggiran politik Jerman, pada tahun berikutnya 1929, ekonomi dunia mengalami krisis yang membuat negara-negara besar di Eropa berada dalam ambang kehancuran. Bagi rakyat Jerman, inflasi yang terjadi menjadi bencana besar. 6 juta rakyat Jerman menjadi pengangguran, dan hanya mengharapkan tunjangan yang tidak layak dari negara. Wajah-wajah lesuh yang khawatir menatap masa depan, menggambarkan kehidupan pelik yang di derita oleh rakyat Jerman. Hingga keputusan memberi dukungan kepada Hitler.Rakyat Jerman menjadi percaya terhadap gagasan-gagasan Hitler yang dianggap sebagai jalan keluar, walau dmokrasi punah di bawah kediktatoran Hitler.
Hitler dan Nazi memberikan harapan semu kepada rakyat Jerman, seruan mereka adalah sesuatu yang emosional. Mereka menjanjikan Jerman akan bangkit dari keterpurukan ekonomi dan kebangkitan Jerman harus berdasarkan kebanggaan Ras dan Kesetiaan. Propaganda-propaganda Nazi terus diterima rakyat Jerman, namun isian propaganda Nazi disampaikan berbeda berdasarkan klas sosial. Jika berhadapan dengan rakyat yang menderita kelaparan, Nazi mengatakan mereka yang menderita kelaparan adalah Ras yang unggul. Dan dibangnlah kesadaran di rakyat Jerman, diluar dari Rasnya adalah kambing hitam, seperti yang dimaksud Nazi terhadap Ras Yahudi. Bagi kelas menengah seruannya: Nazi akan menjaga hukum dan tata tertib, dan melindungi mereka dari bahaya Merah. Bagi bangsawan, pemimpin militer, dan pemilik-pemilik industri, orang-orang pendukung yang sangat vital, pesannya Nazi kepada mereka: hanya negara yang sangat kuat dapat melindungi kepentingan mereka. Percayanya rakyat terhadap janji-janji palsu membuat Nazi berhasil berkuasa, walau dengan mengorbankan jutaan orang Yahudi yang dijadikan kambing hitam dari krisis yang melanda eropa, menjadikan tindakan Nazi tak terampuni karena telah melakukan kejahatan HAM terbesar di dunia.
Kalau di Jerman ada Hitler, maka di Indonesia ada Soeharto yang tak kalah brengseknya dalam melakukan kejahatan HAM. Di Jerman gagasan-gagasan Fasisme sudah tidak mendapat dukungan dari rakyat, sementara di negeri kita ini, sisa-sisa Orde Baru masih memiliki kekuatan politik yang sangat besar. Kita dapat melihat hasil pemilu 2014 lalu bahwa Golkar, Gerindra, Hanura, masih mendapat suara yang begitu besar. Propaganda rindu Orde Baru berhasil membuat rakyat kembali terilusi dengan kehidupan di zaman Soeharto. Sehingga bahaya politik yang dapat menghancurkan kebebasan rakyat di Indonesia adalah bangkitnya kembali Orde Baru lewat partai-partai politik. Kebangkitan Orde Baru terlihat saat Prabowo mendapat suara yang begitu besar pada pemilihan presiden 2014, karena keberhasilannya membohongi rakyat. Di satu sisi Prabwo menjanjikan kepada buruh, upah layak dan kerja tetap, sementara ia juga menjadi Dewan Pembina GIBAS, organisasi preman yang selama ini menghadang demontrasi buruh. Prabowo berjanji kepada para akademisiuntuk menjalankan demokrasi di Indonesia, tetapi cacatan sejarah memperlihatkan bahwa dia petinggi TNI yang membetuk Tim Mawar yang bertugas menculik para pejuang demokrasi.
Jika gerakan tak tanggap melihat situasi politik yang berubah-ubah maka tak mengherakan jika kelak Prabowo atau siapapun yang menjadi sisa-sisa Orde Baru akan berkuasa. Kita harus melihat sejarah rakyat Jerman, yang menaruh harapannya kepada Hitler hingga menghasilkan kehidupan yang lebih kacau. Jangan sampai kekacauan yang dialami rakyat Jerman, dirasakan oleh rakyat Indonesia.
Jangan menunda, ayo galang kekuatan.
Kita tak bisa menunda terlalu lama untuk menggalang persatuan yang memegang teguh prinsip demokrasi dan memperjuangkan demokrasi. Di tengah situasi yang kacau ini, cepat atau lambat, kebebasan akan direbut kembali dari tangan kita. Menjadi penting melakukan penggalangan persatuan sebagai tahap awal yang harus kita lakukan merespon situasi yang ada. Langkah taktis yang dapat dilakuan oleh aliansi ataupun Fron, adalah menggalang kembali pemutara film Senyap sebagai tahapan awal yang secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap pembredelan.
Belajar dari gerakan buruh, di Jakarta-Bekasi-Karawang-Batam kita dapat mengambil pentingnya pembangunan Satgas, atau Laskar Rakyat, sebagai barisan terdepan menghadang kelompok-kelompok anti demokrasi. Kekerasan tidak bisa dimaknai secara fulgar, seperti kebanyakan terdapat pada pandangan kaum biokrat,: bahwa melakukan perlawanan terhadap anti demokrasi bisa dilakukan dengan baik-baik (konferensi pers, lewat jalur litigasi) melakukan perlawanan dengan komunakatif yang persuasif. Pandangan tersebut sudah menjadi daki sejarah, yang terus menggulirkan kekalahan-kekalahan di massa rakyat, akhirnya memperpanjang barisan Demorisasi. Yang membedakan Laskar Rakyat dengan kelumpok sipil reaksioner dapat kita lihat dari landasan dan tujuannya berdiri . Laskar Rakyat dibangun di atas program rakyat memperjuangkan demokrasi, sementara para kelompok reaksioner hanya berpedoman dengan saweran yang diberikan oleh militer atau elit-elit politik. Tidak menjadi persoalan kita mempertahankan kebebasan yang secuil ini dengan kekerasan, sebab kelompok organsasi reaksioner tidak akan pernah bersedia jika ditawarkan untuk berdialog, melakukan kekerasan demi mempertahankan diri dilakukan oleh seluruh rakyat di dunia, dari zaman, ke zaman, demi sebuah perubahan.
Situasi yang berubah-ubah ini harus diketahui rakyat, rakyat tidak bisa terus dibiarkan hanya membaca koran-koran yang berafiliasi pada kepentingan modal. Sebab di dalam media tersebutrakyat tidak akan menemukan jalan keluar baginya. Sudah saatnya pula persatuan-persatuan organisasi yang pro-demokrasi membangun media untuk rakyat secara bersama, mau itu on line atau pun koran cetak, media propaganda ini akan menjadi jembatan antara rakyat dan fron. Media propaganda ini yang akan memberi penjelasan pada rakyat bahwa Jokowi tidak dapat berbuat apa-apa, Prabowo bukan jalan keluar. Satu-satunya jalan adalah kekuatan politik alternatif yang dibangun dengan persatuan rakyat dan berdasarkan kepentingan rakyat. Media propganda ini juga bisa menjadi tempat perdebatan di kalangan organisasi yang masih saling berseteru terhadap perbedaan pandangan. Gagasan-gagasandiperdebatkan dalam media propaganda sebagai upaya memperkecil perbedaan, dan memberikan hak kepada rakyat untuk memilih gagasan yang paling baik dalam memperjuangkan kepentingannya. Media propganda ini juga dapat dimaknai sebagai ukuran bahwa organisasi-organisasi yang terlibat di dalam fron atau aliansi serius membangun kekuatan politik alternatif untuk dirinya sendiri dan rakyat.
Jika tahap-tahap tersebut berjalan dengan baik, fron berjalan di atas program, persatuan teruji dengan kerja nyata (propganda dan mobilisasi massa untuk aksi massa), langkah selanjutnya kita dapat kembali merumuskan pembangunan kekuatan politik alternatif sebagai jalan keluar untuk rakyat memperjuangkan kesehjateran dan demokrasi yang seluas-luasnya.
*Mirza Asahan
Kader Partai Pembebasan Rakyat
Daftar Rujukan:
http://www.tempo.co/read/news/2014/12/10/058627715/Militer-Intimidasi-Pemutaran-Film-Senyap-di-Malang
http://www.tempo.co/read/news/2014/12/10/058627715/Militer-Intimidasi-Pemutaran-Film-Senyap-di-Malang
http://news.detik.com/read/2014/12/19/152009/2782627/10/pemutaran-film-senyap-dibubarkan-ormas-rektor-ugm-hentikan-intimidasi?n991104466
http://www.tempo.co/read/news/2014/12/10/058627745/Ini-Alasan-Rektor-Unibraw-Larang-Pemutaran-Senyap
http://sinarharapan.co/news/read/141004063/jokowi-akan-tuntaskan-kejahatan-ham-span-span-
http://koranpembebasan.org/2014/12/setelah-film-jagal-indonesia-1965-merehabilitasi-korban-merehabilitasi-revolusi.html
Katharine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam, Yogyakarta: Syarikat, 2008.
Hugh Purcell, Fasisme, Yogyakarta: Insist Press, 2000.
Arah Juang, Pelajaran Dari Pemilu 2014, Edisi III, November 2014.