Mayday 2016: Demokrasi Seluas-luasnya Demi Pembagian Kekayaan Nasional Untuk Kaum Buruh dan Rakyat!

 Oleh: Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI)

 

Mayday dan Internasionalisme Kaum Buruh

Tidak seperti di awal-awal reformasi, kini Hari Buruh Internasional atau yang sering disebut Mayday telah diperingati oleh semakin banyak kaum buruh dari berbagai organisasi dan berbagai daerah di Indonesia. Meskipun Orde Baru sempat menghilangkan hari bersejarah kaum buruh sejak tahun 1967, bahkan berusaha menghapus jejak perjuangan kaum buruh dalam sejarah kemerdekaan, namun pelopor-pelopor kaum buruh telah berhasil melengkapi syarat demokrasi—melalui reformasi 1998—untuk kembali memperingatinya saat ini.

Hari yang kita peringati sebagai Mayday tidak lain adalah suatu tonggak perjuangan kaum buruh untuk memperingati peristiwa berdarah Haymarket (pada 1-4 Mei tahun 1886 di Chicago AS) yang telah mengorbankan ratusan nyawa demi memperbaiki kesejahteraan kaum buruh dan mengantarkan kaum buruh pada beberapa kemajuan penting. Peristiwa Haymarket mendorong organisasi-organisasi buruh dari berbagai negara (Internasionale kedua) pada tahun 1889 untuk menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Ketika pertama kali dilaksanakan pada 1890, Hari Buruh Internasional dimaksudkan untuk mengenang peristiwa Haymarket, menjadikannya sebagai hari untuk mengungkapkan tuntutan-tuntutan kaum buruh, dan sekaligus meluaskan gerakan dan solidaritas buruh secara internasional. Jadi, 1 Mei bukan lah sekadar menjadi pesta (viesta) perayaan perjuangan kaum buruh. Tuntutan utama gerakan Haymarket yang langsung meluas bersamaan dengan penetapan Mayday adalah pembatasan waktu kerja 8 jam yang sekarang telah dinikmati oleh milyaran kaum buruh sedunia. Terima kasih kami pada para pejuangnya, terutama mereka yang gugur dan mengalami penganiayaan.

Sejak Mayday ditetapkan, solidaritas kaum buruh antar negara mulai meningkat. Walaupun perang dunia I dan II sempat mengganggu karakter internasional tersebut (oleh pengkhianatan beberapa pemimpin serikat buruh dan partai buruh), namun internasionalisme kaum buruh tetap muncul dengan cara “menolak perang”, yang sekadar mewadahi kepentingan (keuntungan) kaum pemilik  modal dan negara-negara pendukungnya, namun menyengsarakan kaum buruh dan rakyatnya. Oleh sebab itu pula, solidaritas internasional kaum buruh juga telah ikut berperan dalam mendukung kemerdekaan RI. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya surat dukungan atas kemerdekaan RI dari organisasi-organisasi buruh berbagai negara saat itu. Bahkan kaum buruh Australia telah ikut melakukan pemogokan untuk memboikot kapal-kapal pembawa persenjataan kaum kolonial-imperialis (Belanda) ke Indonesia setelah proklamasi (1946).

Sehingga, selain sebagai pengingat capaian dan pengorbanan para pelopor kaum buruh yang telah berjuang bagi kemajuan kaum buruh saat ini, Mayday juga merupakan pengingat kaum buruh seluruh dunia bahwa kaum buruh adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam perjuangannya. Sebenarnya dan selayaknya, kaum buruh itu tak berkebangsaan, warga dunia.

Karakter internasional perjuangan kaum buruh sesungguhnya didapat dari kenyataan bahwa kepentingan modal sebagai kepentingan yang mengksploitatif (menghisap) dan bertentangan dengan kesejahteraan buruh, juga berkarakter internasional. Selain itu, kaum buruh di negeri manapun berada dalam posisi yang sama-sama menjadi alat penumpuk kekayaan di bawah kapitalisme yang sudah berkarakter (monopoli) internasional, yang penghancuran sistem tersebut hanya mungkin dilakukan secara internasional pula. Untuk hal itu lah pertentangan sesama kaum buruh dari berbagai negeri adalah sesuatu yang bertentangan dengan semangat Mayday.

 

Kemiskinan Kaum Buruh dan Rakyat Indonesia

Walaupun negeri-negeri di dunia mayoritas menganut sistim kapitalisme dan kaum buruh di mana pun berada dalam posisi yang sama-sama tertindas, Indonesia tetap dapat dibedakan dengan negeri-negeri kapitalis maju, yang teknologi industrinya lebih maju. Di Indonesia, dengan rendahnya teknologi yang dimiliki, 1 jam kerja buruh tentu kalah produktif dengan 1 jam kerja buruh di negeri-negeri industri maju, dan karakter monopoli kapitalis-monopoli internasional (terutama dalam hal modal dan teknologi) menyebabkan kelimpahan industrialisasi nasional (yang dikontrol rakyat melalui kaum pekerja) hampir-hampir tidak mungkin bila tidak ada perubahan kebijakan ekonomi-politik dalam menghadapi serangan kapitalis-monopoli internasional, sehingga industrialisasi nasional (yang dikontrol rakyat melalui kaum pekerja) dapat melimpah tanpa ditelikung oleh ketergantungan pada kapitalis-monopoli internasional demi kepentingan kaum pekerja serta rakyat keseluruhan. Ilusi bahwa masih ada persaingan di dalam dunia usaha, layaknya mimpi di siang bolong, sebagaian besar dunia usaha—terutama modal dan teknologinya—sudah berada dalam cengkraman kapitalis-monopoli internasional

Oleh karena upah yang murah, kaum buruh kemudian dipaksa mengorbankan waktu istirahat dan kehidupan sosialnya untuk kerja lembur (di atas 8 jam) demi penghasilan tambahan yang menentukan. Di banyak tempat, anak-anak (dibawah usia kerja) juga masih dibebankan keharusan bekerja demi biaya pendidikan sendiri atau bagi penghasilan keluarga. Demikian halnya di bawah sistem kerja kontrak dan outsourcing, perlindungan dan kepastian kerja, serta pengembangan tenaga kerja semakin tidak dipedulikan.

Kondisi tersebut dipengaruhi pula oleh masih dominannya kaum buruh yang bekerja di sektor-sektor informal, dan jumlah pengangguran (termasuk ‘setengah pengangguran’) yang cukup tinggi. Kebijakan upah minimum (yang murah) tentu hanya menyentuh kaum buruh formal yang jumlahnya tidak lebih 50% dari keseluruhan tenaga kerja. Kaum buruh informal umumnya tidak dapat mengakses upah minimum karena dianggap bukan sebagai kaum buruh, atau bekerja di bawah tekanan atas banyaknya pengangguran dan pendidikan/ketrampilan yang rendah. Buruh informal ini tersebar massif di Indonesia.

Di tengah minimnya perlindungan sosial kepada anak di bawah usia kerja, kepada pengangguran, dan kepada pensiunan, maka seorang buruh (formal) dikondisikan untuk menghidupi lebih dari dirinya sendiri. Tentu lebih sulit bagi kaum buruh untuk menanggung beban hidup keluarga jika untuk menghidupi dirinya sendiri dengan layak saja kaum buruh masih kesulitan mengatur konsumsinya dengan upahnya yang murah.

Hasilnya, tingkat kemiskinan yang masih diukur dengan pendapatan 2$/hari saja sudah menunjukkan jumlah rakyat miskin yang lebih dari 50% jumlah penduduk. Bagaimana lagi jika ukuran kesejahteraan (berdasar pendapatan) dinaikkan diatas upah minimum? Pasti jumlahnya lebih dahsyat dari angka-angka pemerintah.

Namun ironisnya, pada saat yang sama, jumlah kekayaan para pemodal di Indonesia juga meningkat. Nilai kekayaan mereka bahkan sudah hampir menyamai orang-orang terkaya di dunia. Walaupun krisis menerpa, kekayaan 1% pemodal di Indonesia masih menguasai 50,3% kekayaan Indonesia. Dan parahnya lagi bila kekayaan tersebut dimasukkan kedalam bidang agraria, maka 0,2% penduduk telah menguasai 56% luas daratan di Indonesia—baik dalam bentuk permukiman, perkebunan, pertambangan, pertanian sampai pengelolaan hutan. Tidak heran jika Koefisien Gini (sebagai salah satu alat untuk mengukur kesenjangan sosial) di Indonesia berada pada angka 0,41—yang berarti berada dalam kondisi yang sangat senjang.

Kemiskinan tentu bukan disebabkan oleh malasnya kaum buruh maupun rakyat Indonesia seperti yang sering dikatakan pemerintah maupun pemodal, namun karena tidak adanya kebijakan negara yang mendasar untuk menuntaskan kemiskinan tersebut. Dari situasi tersebut, tugas mendesak kaum buruh di Indonesia adalah meringankan beban penderitaan kaum buruh dan rakyat, serta meningkatkan kapasitas produktif rakyat dengan mendorong suatu pembagian kekayaan nasional yang adil. Dengan cara pembagian yang adil tersebut, kaum buruh akan lebih merenggangkan dirinya dari cekikan modal baik yang dikenakan langsung pada kaum buruh, maupun yang tidak langsung yakni melalui pemiskinan kepada rakyat keseluruhan. Juga, melalui pembagian kekayaan nasional yang adil, rakyat Indonesia dimungkinkan untuk semakin produktif dalam tugas-tugas produksi dan kemanusiaan selanjutnya.

 

Demokrasi Seluas-luasnya Demi Pembagian Kekayaan Nasional Untuk Kaum Buruh dan Rakyat

Apa itu kekayaan nasional? Kekayaan nasional adalah segala sesuatu yang telah dihasilkan oleh kerja kaum buruh dan rakyat serta segala potensi ekonomi yang terdapat di Indonesia. Ini mencakup kekayaan sumber daya alam, kekayaan sumber daya manusia, kekayaan keuangan, serta kekayaan barang, teknologi, produk hukum, politik dan kebudayaan, serta ilmu pengetahuan di Indonesia.

Selama ini kekayaan nasional dalam pengertian diatas telah di kuasai dan di monopoli oleh penguasa dan korporasi internasonal dari tangan kaum buruh dan rakyat Indonesia.  Penguasaan dan monopoli atas kekayaan nasional ini membuat kapitalis nasional dan internasional semakin kaya dan mendapatkan keistimewaan (privileged) dan dominasi atas ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan.

 

Pembagian kekayaan nasional dapat dibagi menjadi beberapa program utama, yaitu:

Pertama, Upah Layak Nasional. Yaitu pendistribusian hasil keuntungan—yang merupakan bagian dari nilai-tambah yang dihasilkan oleh keringat buruh dalam proses produksi yang—lebih adil kepada kaum buruh. Distribusi tersebut mencakup standar upah minimum dan ‘upah progresif’ yang memungkinkan kaum buruh mendapat pembagian yang lebih adil dari peningkatan keuntungan perusahaan. Dalam hal ini, segala ‘ketidakmampuan’ perusahaan dalam memenuhi upah minimum harus diambil-alih tanggungjawabnya oleh negara. Dan sebagai konsekuensinya, sistem kerja kontrak dan outsourcing, yang menjauhkan hak-hak buruh atas suatu proses produksi, harus dihapuskan. Selain itu, demi memperbaiki tunjangan-tunjangan bagi kaum buruh, jaminan-jaminan sosial bagi kaum buruh, kondisi kerja kaum buruh, hak-hak demokrasi keserikat-buruhan, menuntut kaji-ulang (revisi) Undang-Undnag Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003.

Kedua, Reforma Agraria. Yaitu pendistribusian tanah kepada petani tak bertanah (penggarap), bantuan modal dan teknologi/sarana-sarana produksi lainnya yang berkualitas serta murah, dan penetapan harga hasil-hasil produksi pertanian yang adil seketika diselaraskan dalam perbandingan (trade-off) dengan hasil-hasil produksi industri (apalagi yang dikonsumsi oleh kaum tani) agar tidak terjadi pemiskinan dan “penghisapan desa oleh kota”, serta pertanian yang memungkinkan kaum tani mendapat kesejahteraan dari kerjanya atas tanah. Lebih jauh lagi reforma agraria mencakup demokratisasi pengelolaan atas sumber-sumber alam lain di luar tanah seperti air, hutan, mineral, dan sebagainya, yang mampu mengangkat kesejahteraan hidup rakyat sekaligus menjaga daya tahan lingkungan.

Ketiga, Pajak Progresif. Yaitu penarikan pajak yang lebih tinggi kepada keuntungan dan pendapatan pemodal-pemodal besar dengan cara meningkatkan persentase pajak dalam setiap kelipatan pendapatan pemodal. Itu berarti semakin tinggi keuntungan suatu perusahaan, maka semakin besar persentase pajak yang harus dikenakan. Ini juga berarti penghapusan segala jenis pajak yang dibebankan kepada rakyat.

Keempat, Nasionalisasi dan Industrialisasi Aset-Aset Vital Nasional yang dikontrol rakyat. Yaitu mengembalikan aset-aset yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang selama ini dikelola oleh swasta (baik asing maupun nasional) ke tangan negara, untuk kemudian diperkuat dengan melakukan perencanaan (kontrol rakyat) atas industrialisasi nasional yang berwatak sosial atau kerakyatan. Industrialisasi sendiri bukan hanya dikenakan kepada aset yang di nasionalisasi, tetapi juga aset yang selama ini tidak dipergunakan dengan maksimal oleh negara. Nasionalisasi dan Industrialisasi selain akan menambah pemasukan negara, juga akan membuka lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyat.

Kelima, Peningkatan Subsidi dan Fasilitas Umum Bagi Rakyat. Yaitu pemenuhan kebutuhan hidup ekonomi maupun budaya bagi rakyat yang berasal dari anggaran negara. Ini mencakup subsidi pangan, subsidi energi, subsidi perumahan, dan pemberian fasilitas gratis terhadap kesehatan, pendidikan, listrik, irigasi, laboratorium, internet, perpustakaan, fasilitas kesenian, olahraga, kesenian, dan sebagainya.

Pemberian fasilitas infrastruktur ekonomi dan budaya yang demikian, walaupun dibutuhkan oleh seluruh rakyat, namun terlebih lagi di pedesaan. Hal ini adalah konsekuensi dari kemiskinan yang mayoritas berada di pedesaan. Dengan pemerataan infrastruktur antara kota dan desa, maka dimungkinkan pula untuk memeratakan penduduk yang hari ini masih terpusat di kota-kota besar. Dalam hal kesehatan, kenaikan iuran BPJS (bahkan penerapan sistem iurannya dari awal) sudah bertentangan secara mendasar dengan pemerataan kekayaan. Sehingga hal ini secara bersamaan akan menuntut penghapusan sistem iuran dalam BPJS.

Politik Kaum BuruhPada akhirnya, sistem yang menguntungkan segelintir orang hanya dapat dihancurkan dengan mendemokratiskan tenaga produktif—manusia dan sarana-sarana/alat-alat produksinya—di tangan rakyat pekerja dan masyarakat. Tugas tersebut hanya mungkin dituntaskan sebagai tugas internasional yang menyatukan berbagai kekuatan produktif bangsa-bangsa di dunia. Namun demikian, karena sistim kapitalisme yang mendunia masih menghisap negeri-negeri (bangsa) yang dikuasainya, maka tidak ada jalan lain bagi kaum buruh selain membangun suatu transisi dialektika nasional-internasional menuju sistem yang berkeadilan sepenuhnya.

Sekarang ini, dalam Mayday yang menempatkan kaum buruh Indonesia sebagai agen kaum buruh seluruh dunia, sekaligus yang menyandang beban sebagai kaum pelopor perjuangan rakyat Indonesia, kaum buruh harus tampil ke depan dalam memberikan solusi bagi masalah-masalah rakyat Indonesia sekaligus menyerukan persatuan kaum buruh seluruh dunia. Seruan ini menjadi penting di tengah potensi konflik sesama buruh yang dilahirkan kapitalisme melalui peperangan, migrasi dan perdagangan bebas.

Politik kaum buruh harus menegaskan dirinya sebagai politik yang anti perang, anti rasisme, anti seksisme, dan anti nasionalisme sempit. Politik kaum buruh juga harus menegaskan dirinya sebagai politik yang bersahabat dengan pengungsi maupun buruh migran. Namun suatu upaya politik kaum buruh hanya dapat dicapai dalam sebuah alat politik. Dan alat politik yang dimaksud bukan lah sekedar alat politik yang memakai jubah ‘buruh’ tanpa program apapun yang hendak diperjuangkan, melainkan alat politik yang tahu persis apa masalah dan apa yang hendak diperjuangkan. Dan, diatas semuanya, tujuan dari program yang akan berupapaya membahagiakan kamu buruh dan rakyat secara keseluruhan, TAK AKAN BERHASIL DIWUJUDKAN BILA TANPA SEKALIGUS JUGA MEMPERJUANGKAN DEMOKRASI YANG SELUAS-LUASNYA, YANG SEPENUH-PENUHNYA BERKUALITAS MENGHARGAI HARKAT MANUSIA SECARA SOSIAL.

Memperjuangkan Demokrasi yang seluas-luasnya bermakna: menghancurkan musuh-musuh yang menghambat perkembangan kebebasan politik dan partisipasi kaum buruh dan rakyat (misalnya, demiliterisas, menghancurkan kebudayaan politik warisan Orde Baru, dsb), menghapus hingga merubah produk hukum dan politik yang menghambat kebebasan ekspresi, berpendapat, beragama dan berkeyakinan, kemerdekaan berpikir, kebebasan berorganisasi dan berpolitik (misalnya, RUU Keamanan Nasional, UU Ormas, UU Partai Politik, UU Pemilu, RUU KUHAP, UU Intelejen, UU Penanggulangan Konflik Sosial dan sebagainya).

Hanya dengan cara memperjuangkan demokrasi seluas-luasnya lah kaum buruh Indonesia menyatakan dirinya sebagai suatu kekuatan politik yang siap memberikan sumbangan bagi kebahagiaan dunia dan negerinya, memanusiawikan manusia!

 

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *