Wawancara dengan Max Lane
Koran Pembebasan berkesempatan melakukan wawancara dengan DR Max Lane. Wawancara ini dilakukan setelah hiruk pikuk pemilu legislatif 2014 dan selanjutnya kita dihadapkan pada pemilu presiden yang akan berlangsung bulan Juli nanti. Perbedaan-perbedaan pandangan terhadap pemilu 2014 mengemuka dari berbagai kelompok, begitu pula akan terjadi dalam pemilu presiden 2014. Ada kah kemungkinan-kemungkinan alternatif yang perlu dibangun? Mari kita simak bagian kedua ini.
Surya: Bagaimana kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada Pemilu Presiden nanti?
Max Lane: Saat ini orang melihat akan ada : Prabowo Subianto, ARB, dan Joko Widodo. Entah siapa yang akan jadi calon wakil presiden dari masing-masing Capres. Bisa juga nanti kalau hamper semua partai yakin Widodo akan gampang menang, semua gabung ke sana dan hanya ada satu capres.
Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana nanti sifat-sifat kampanye yang sekarang akan berlangsung. Apakah kampanye menuju pemilihan presiden sama dengan kampanye Pemilu legislatif, penuh retorika pencitraan. Dan tanpa kelihatan ada perbedaan ideologis atau program yang berarti. Atau akan lebih daripada itu. Kalau kampanyenya, masih kampanye retorika doang, ini akan sangat menguntungkan kekuatan reaksioner di Indonesia, baik sekarang maupun tahun depan. Kalau retorika PDIP: Indonesia Hebat!, kemudian terjadi perdebatan dan kritikan dan jawabannya tetap orapopo, maka, PDIP dan Capresnya bisa semakin kehilangan momentum. Tetapi apakah memang ada perbedaan diantara 3 Capres ini? Semua memang mendukung strategi Neoliberal Washington Consensus, cuma dengan sedikit tekanan berbeda-beda yang tidak signifikan. Tetapi dalam membayangkan model politik yang sering di ungkapkan Bakrie maupun Prabowo, mereka berdua-dua sering melontarkan ide bahwa model politik jaman Soeharto adalah yang paling bagus. Bahkan Prabowo dan Gerindra tidak segan mengatakan bahwa hak asasi tidak penting dan menampilkan Capresnya memang sebagai pemimpin, penguasa militer, daripada penguasa sipil. Hanya Subianto yang di kampanye-kampanyenya pasang “keris” di ikat pinggangnya. Apakah Widodo, sanggup melakukan kampanye yang lantang, jelas dan kongkret menolak segala aspek kembali kepada model politik Soeharto? Apakah Jokowi sanggup berkampanye dengan slogan: Demokrasi yes, Militerisme ala Soeharto No? Apakah Jokowi sanggup berkampanye dengan menyatakan: jangan memilih pelanggar HAM berat? Apakah Jokowi sanggup di depan publik berjanji akan mengadili para pelanggar HAM berat? Atau apakah perbedaan tentang model politik kembali kepada masa Soeharto berani ditentang habis-habisan oleh Jokowi?
Saya belum melihat ada tanda-tanda bahwa akan ada kampanye seperti itu. Bahkan PDIP pada akhirnya akan merupakan sebuah minoritas dalam koalisi yang terdiri dari partai-partai lama, termasuk sisa-sisa Orde Baru. Ada yang bilang sentimen di masyarakat adalah Jokowi Yes, PDIP No. Saya kira ada benarnya, bahwa itu memang sentimen di masyarakat. Cuma dalam realitas tidak bisa ada Jokowi tanpa PDIP. Bahkan tidak bisa ada PDIP memerintah tanpa berkoalisi dengan elemen-elemen sisa-sisa Orde Baru. Jadi kita kembali ke masalah kalau ingin pembaharuan politik di Indonesia, memang akan membutuhkan partai dan gerakan politik yang baru. Bukan hanya yang baru tetapi yang muncul dari bawah dengan perspektif demokratis progresif.
Surya: Bung, berkali-kali menekankan soal membangun alternatif dari bawah dengan perspektif demokratis dan progresif serta berangkat dari kekuatan buruh. Proyek semacam ini pernah kami lakukan saat membangun POPOR dan PAPERNAS, namun gagal. Banyak yang kemudian patah arang dengan proyek semacam ini. Menurut bung apa saja hambatan proyek politik ini, dan apa solusinya?
Max Lane: Sebenarnya tidak ada hambatan. Tetapi memang harus ada yang mulai mengkampanyekan kebutuhan membangun yang baru dari bawah secara terbuka di depan publik dimana-mana. Apalagi sejak 2-3 tahun ini juga ada faktor baru dalam politik Indonesia yaitu sudah terbentuk dan hidup dunia sektor buruh yang riil dan sejati. Sudah jelas juga bahwa tahun 2013-2014 ini dibanding 8 -10 tahun yang lalu tingkat frustrasi dimasyarakat semakin tinggi. Golput tetap naik. Untuk pertama kali orang pasang di facebook, foto-foto, coretan-coretan mereka di kertas surat suara, seperti: bangun partai buruh atau pengkhianat semua. Bukan hanya itu, di kampus-kampus, sudah ada generasi mahasiswa dimana sebagian daripada mereka sudah mengalami pelajaran sekolah SMP dan SMA tanpa lagi dikungkung oleh kekuasaan ideologi Orde Baru yang luar biasa. Mungkin pelajarannya di buku teks sama dengan pelajarannya di masa Orde Baru, namun suasananya sudah tidak lagi membekingide-ide jaman Orde Baru. Jadi banyak faktor yang menguntungkan. Cuma masalahnya harus ada yang memulai.
Konsep pembangunan POPOR dan PAPERNAS adalah mengumpulkan kontak-kontak lama PRD. Sekarang konsepnya tidak lagi sekedar kumpulkan kontak-kontak lama tetapi menemukan dan mengorganisir wajah-wajah baru. Baik di dunia sektor buruh, maupun di kalangan kaum demokrat progresif secara umum. Maupun di antara rakyat-rakyat yang sudah frustasi dengan situasi kemacetan sosial ekonomi dan membutuhan jalan keluar. Wajah baru.
Surya: Menurut bung, kekuatan politik alternatif yang dibangun sebaiknya memiliki program dan metode politik yang seperti apa?
Max Lane: Kalau dari segi program tuntutan, saya melihat bahwa manifesto Komite Politik Alternatif sudah bisa dianggap sebuah permulaan yang berguna. Tetapi yang paling penting saya kira adalah 2 hal: pertama, merumuskan program-program mendesak di bidang ekonomi, yang memang akan mengakibatkan redistribusi kekayaan dari yang kaya kepada yang miskin. Di Indonesia dan dunia pada umumnya sedang terjadi konsentrasi kekayaan yang luar biasa pada segilintir orang. Dan hal ini harus dihayati dan direspon paling mendesak. Hal ini harus dibedakan daripada sekedar menyelenggarakan social safety net, Washington Consensus kaum neoliberal. Kaum neoliberal menganjurkan dengan keras supaya di negeri-negeri yang sedang berkembang diadakan jasa kesehatan dan pendidikan dasar yang gratis atau murah. Tetapi ini dianjurkan dan dijalankan bersamaan dengan menghapuskan semua subsidi yang selama itu meringankan beban bagi rakyat. Makanya di Indonesia berbagai program pendidikan dan kesehatan murah yang sekarang dijalankan, semuanya dianjurkan dengan keras oleh neoliberal Amerika, hanya dijalankan dengan sekaligus mengurangi subsidi BBM, mengurangi subsidi sembako dan mengurangi subsidi untuk pembangun pertanian. Bukan hanya mengurangi subsidi;m bahkan untuk membiayai kesehatan murah pemerintah akan mengumpulkan triliunan rupiah dari rakyat. Jadi dalam memuluskan program ekonomi yang mendesak, yang penting menganalisa bagaimana satu paket kebijakan yang memang meredistribusi kekayaan dari yang kaya kepada yang miskin. Menghapuskan subsidi, meskipun ada program baru untuk pendidikan dan kesehatan murah, belum tentu memindahkan kekayaan dari yang kaya kepada yang miskin, bahkan justru bisa sebaliknya. Dan kenyataannya kekayaan semakin terkonsentrasi kepada segelintir orang.
Dalam waktu jangka menengah, yang penting adalah menundukan program investasi pembangunan kepada suatu rencana pembangunan yang disusun secara demokratis oleh masyarakat. Yang punya modal harus sanggup tunduk kepada rencana pembangunan ekonomi yang disusun oleh rakyat. Kalau tidak sanggup tunduk seperti itu, apakah memang sepantasnya dibenarkan terus juga memiliki modalnya?
Hal kedua yang penting, dan yang berkaitan dengan masalah menundukan kapital dalam hal investasi pembangunan ialah bahwa harus ada demokrasi yang sepenuh-penuhnya. Artinya hak-hak demokrasi untuk kebebasan berbicara dan kebebasan berorganisasi harus lengkap, tanpa dibatasi. Hanya demokrasi sepenuh-penuhnya bisa menciptakan suasana dimana seluruh rakyat akan bisa berpartisipasi aktif dalam menentukan rencana pembangunan sosial ekonomi yang diinginkan. Jadi, oleh karena itu sebuah kekuatan politik alternatif yang mau menyatukan seluruh kaum demokratis progresif harus punya program mendukung hak demokratis dan melawan militerisme dan sejenisnya.
DR Max Lane adalah aktivis, akademisi dan seorang Indonesianis.
Pewawancara: Surya Anta, Juru bicara Partai Pembebasan Rakyat dan Anggota Komite Politik Alternatif.
*Gambar: Max Lane dan Pramoedya Ananta Toer