Demokrasi terancam, gerakan sosial belum banyak bertindak

Koran Pembebasan Edisi I Juli-Agustus 2011

Oleh: Mutiara Ika Pratiwi[1]

Ancaman militerisme yang terdapat dalam rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Intelijen dan KUHP pada Juli 2011 mendatang ternyata masih cukup sepi direspon oleh kalangan gerakan sosial. Dari data yang dikumpulkan oleh penulis, intensitas ekspresi politik penolakan Respon RUU Intelijen yang tertinggi justru dilakukan oleh Gerakan Mahasiswa (GEMA) Pembebasan, sebuah organisasi mahasiswa yang menolak segala bentuk dominasi sistem kufur. Menurut mereka, sistem kufur tersebut meliputi Kapitalisme, Liberalisme, Komunisme, Sosialisme, dan idelogi lain selain Islam. Ekspresi politik berupa aksi (mimbar bebas atau long march), yang dilaksanakan di sekitar akhir April dan awal Mei 2011, ini dilakukan di beberapa wilayah seperti: Makasar-Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Kendari-Sulawesi Tenggara, Samarinda-Kalimantan Timur, Jawa Timur, Malang, Solo dan Lampung.

Tindakan yang dilakukan oleh Gema Pembebasan di atas juga diperkuat oleh organ afiliasi politik mereka, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Konferensi Pers pada tanggal 7 April 2011 di kantor HTI Jakarta, yang juga melibatkan beberapa ormas Islam seperti PB PII, KAHMI, MUI dan beberapa lainnya, tegas menyatakan penolakan terhadap RUU Intelijen. Landasan penolakan mereka adalah beberapa pasal karet yang ada didalamnya, seperti: definisi ancaman nasional, keamanan nasional, musuh dalam negeri, yang berpotensi melahirkan kembali rezim represif di Indonesia seperti pada zaman orde baru. 

Selain konsolidasi yang dilakukan oleh ormas Islam, sebenarnya tidak ada lagi konsolidasi yang secara intens melakukan aktivitas kampanye menolak RUU Intelijen hingga Mei 2011. Ada sebagian LSM yang intens berkonsolidasi merespon RUU Intelijen, namun dalam kerangka revisi (akan dibicarakan kemudian). Selanjutnya, penolakan RUU Intelijen dilakukan secara parsial oleh organisasi/kelompok demokratik yang menganggap RUU tersebut sebagai sesuatu yang berbahaya.

Tiga organisasi jurnalis, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyatakan menolak RUU Intelijen pada tanggal 12 Mei 2011 di Jakarta. Mereka menyatakan bahwa kewenangan intelijen melakukan penyadapan tanpa seijin pengadilan akan mengancam kebebasan pers di Indonesia. Adanya hak untuk melakukan penangkapan, yang juga tanpa seijin pengadilan, merupakan ancaman terhadap seluruh warga negara termasuk wartawan.

Menjadikan penolakan RUU Intelijen sebagai isu utama dalam respon 13 tahun reformasi, sebenarnya, direncanakan oleh Persatuan Perlawan Rakyat Indonesia (PPRI), sebuah aliansi demokratik yang terbentuk dalam rangka merespon Mayday 2011 di Jakarta. Dalam diskusi terbuka yang diselenggarakan oleh PPRI pada 17 Mei 2011, di sekretariat pusat Persatuan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia (PMKRI), terdapat kesimpulan bahwa dalam situasi krisis kapitalisme sekarang ini, pemerintahan SBY-Boediono berkepentingan untuk terus menciptakan stabilitas politiknya. RUU Intelijen menjadi salah satu strategi pemerintah untuk menjaga kestabilan politik, melindungi kebijakan neoliberal dari serangan gerakan rakyat. Melihat sangat berbahayanya RUU Intelijen bagi perkembangan gerakan rakyat, maka dicapai kesepakatan untuk mengangkat penolakan RUU Intelijen dalam respon 13 tahun reformasi di Indonesia.

Namun, perbedaan yang masih ada di internal PPRI dalam melihat kepentingan isu yang akan diusung pada respon 13 tahun reformasi membuat grand tema penolakan RUU Intelijen digantikan dengan kampanye kegagalan pemerintahan SBY-Boediono. Masih adanya perbedaan dalam memandang RUU Intelijen sebagai hal mendesak yang harus segera dikampanyekan, terungkap dalam pertemuan lanjutan PPRI paska diskusi terbuka 17 Mei 2011. Beberapa unsur yang tergabung dalam PPRI yaitu SP TBG, SP KAJ, SMI, SP 3, KPOP, PEMBEBASAN, REPDEM, PMKRI, SBTPI, PPBI, GSBM, KASBI, MAHARDHIKA, SPOI, SP BIS, FPBJ, PPI, GPPI, GESBURI, FBLP-PPBI, FNPBI, LMND, PI.

Selanjutnya, Mahasiswa Kalimantan Barat yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Pantai Utara (Solmadapar) melakukan aksi untuk menolak pengesahan RUU Intelijen pada 23 Mei 2011. Menurut mereka, undang-undang ini tidak sesuai dengan cita-cita reformasi ‘98, undang-undang ini juga akan membungkam pergerakan mahasiswa serta berbagai kalangan yang selama ini kritis terhadap kinerja pemerintah. Pada awal Juni 2011, Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) bersama dengan beberapa serikat buruh tingkat Jakarta dan Bekasi, seperti Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) dan Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (GSPB), serta Perempuan Mahardhika, melakukan mimbar bebas di Bundaran HI, Jakarta, menolak RUU tersebut. RUU ini dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi karena pemberlakuannya akan berdampak pada penyempitan ruang aktivitas sosial politik rakyat Indonesia.

Pertengahan Juni, tepatnya 20 Juni 2011 Komite Perjuangan Rakyat (KPR) melaksanakan mimbar bebas di Bundaran HI Jakarta untuk mengkampanyekan penolakan terhadap RUU Intelijen. Mereka menyatakan bahwa RUU Intelijen hanya akan menjadi salah satu alat untuk melancarkan jalannya program kapitalisme di Indonesia. Beberapa organisasi yang tergabung dalam KPR yaitu Persatuan Perjuangan Indonesia (PPI) Jakarta, Federasi Perjuangan Buruh Jabodetabek (FPBJ), Serikat Pekerja Kereta Api Jabotabek (SP KAJ), Gerakan Serikat Buruh Indonesia (GESBURI), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) dan Komite Persiapan Organ Pemuda (KPOP).

Pada 23 Juni 2011, terlaksana aksi serentak nasional yang direncanakan oleh PEMBEBASAN untuk mengusung isu utama yaitu penolakan terhadap RUU Intelijen. Daerah yang melaksanakan rencana aksi tersebut yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, Balikpapan, Samarinda, Medan serta Ternate. Di Ternate bahkan berhasil melibatkan beberapa organisasi lokal seperti PMII Ternate, Organisasi kampus UNKHAIR, SeBumi dan Perempuan Mahardhika Ternate.

Organisasi-organisasi mahasiswa juga menganggap bahwa RUU Intelejen yang anti demokrasi  ini dirancang untuk melemahkan gerakan rakyat, meningkatkan represi, yang pada akhirnya akan menghancurkan gerakan progresif. Mahasiswa juga memandang ada kepentingan kekuatan militer dibalik rancangan UU ini.

Revisi RUU Intelijen

Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa selain organisasi/kelompok yang menolak RUU Intelijen, terdapat pula kalangan yang merespon RUU ini dengan tuntutan utama adalah revisi. Landasan revisi ini dikarenakan pengaturan terhadap lembaga intelijen diperlukan, namun RUU Intelijen yang saat ini dibahas oleh DPR justru bertentangan dengan demokrasi. Hal ini diungkapkan oleh Koalisi Advokasi RUU Intelijen yang telah merilis 12 catatan tentang RUU tersebut. Di dalam 12 catatan itu terdapat pula kritisisasi tentang poin penyadapan dan penangkapan yang memberikan keleluasan tanpa batas kepada intelijen.

Beberapa unsur yang terlibat dalam Koalisi Advokasi RUU Intelijen yaitu Imparsial, Kontras, IDSPS, Elsam, the Ridep Institute, Lesperssi, Setara Institute, LBH Masyarakat, ICW, YLBHI, LBH Jakarta, HRWG, Praxis, Infid, Yayasan SET, KRHN, Leip, Ikohi, Foker Papua, PSHK, MAPI, Media Link. Pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar, juga tergabung dalam koalisi ini. Pewacanaan soal bahaya RUU Intelijen yang dilakukan oleh unsur koalisi ini tidak hanya dilaksanakan di Jakarta tapi juga di daerah lain seperti Lampung.

Kelompok lain yang juga menuntut adanya revisi dalam RUU Intelijen yaitu para korban kekerasan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang terorganisir di bawah Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan Tahun 1965-1966 (YPKP 1965). Walaupun sebenarnya tidak bermasalah dengan pengaturan terhadap intelijen, namun beberapa pasal dalam RUU Intelijen, seperti penyadapan dan pemeriksaan intensif selama 7×24 jam disinyalir bisa membuat lembaga intelijen kembali seperti Kopkamtib pada masa Orde Baru, yang sewenang-wenang melakukan penyiksaan korban. DPR harus memberikan waktu lebih banyak kepada publik, khususnya para korban kekerasan aparat intelijen untuk mengerti lebih dalam tentang RUU ini.

Namun, mendekati rencana pengesahan pada 15 Juli 2011 sepertinya wacana penolakan lebih mendominasi  dalam ajang konsolidasi respon RUU Intelijen. Hal ini terlihat dalam Aliansi Menggugat RUU Intelijen yang paling tidak mempertemukan dua unsur yang menolak dan merevisi. Aliansi yang berawal dari pertemuan antar organisasi di kantor KONTRAS pada pertengahan Juni 2011 ini telah melakukan ekspresi politik berupa aksi mimbar bebas di depan kantor DPR RI pada 22 Juni 2011. Dalam aksinya, massa melakukan pembakaran draft RUU Intelijen sebagai symbol penolakan terhadap rencana pengesahan RUU tersebut.

Dalam kerangka respon RUU Intelijen penulis melihat sikap tegas menolak rencana pengesahan RUU tersebut lebih tepat dilakukan dibandingkan hanya sekedar merevisi beberapa pasal di dalamnya. Karena, landasan perumusan RUU ini tidak berangkat dari kebutuhan memberikan rasa aman pada rakyat, melainkan kebutuhan pemerintah untuk menciptakan stabilitas politik demi keberlangsungan penjajahan modal asing di Indonesia. Maka wajar jika di dalamnya terdapat pasal-pasal yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi, mengancam aktivitas sosial politik rakyat dan proses penetapannya yang tertutup, jauh dari pengawasan dan keterlibatan publik.

Kesimpulan

Dari serangkaian fakta di atas, tampak bahwa justru  penolakan RUU Intelijen secara masif dilakukan oleh kelompok yang secara ideologi menolak demokrasi. Gema Pembebasan dan HTI dalam isunya tegas menolak rencana pengesahan RUU Intelijen, dan dalam aspek ruang lingkup penolakan juga terjadi secara masif di beberapa daerah di Indonesia. Selain itu, 2 unsur ini juga berhasil membangun poros konsolidasi ormas-ormas Islam untuk bersama-sama menolak keberadaan RUU tersebut. Kepentingan ormas Islam fundamentalis menolak RUU ini lebih banyak dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa mereka dijadikan “sasaran tembak” pemerintah terhadap fenomena maraknya tindakan teror belakangan ini.

Dari data respon penolakan RUU Intelijen yang tertera di atas, terlihat bahwa di luar konsolidasi yang dilakukan oleh ormas Islam, belum ada lagi konsolidasi yang luas dan mempunyai ruang lingkup nasional untuk merespon RUU tersebut. Realitanya, mayoritas unsur demokratik yang melakukan respon terhadap RUU Intelijen (baik yang tegas menolak ataupun menuntut revisi) belum mempunyai pusat-pusat konsolidasi dan masih terkonsentrasi di Jakarta.

PPRI sebagai aliansi demokratik yang secara politik beroposisi terhadap pemerintahan belum mampu sepenuhnya memperjuangkan isu-isu demokrasi saat ini. Dalam hal keterlibatan, padahal, PPRI dapat dikatakan luas berdasarkan sebaran struktur dan komposisi kekuatannya. PPRI mampu melibatkan sekitar 30 organisasi dari berbagai unsur, baik itu serikat buruh, organ mahasiswa, dan orsospol lainnya. Selain itu, pembentukan PPRI di Jakarta juga mampu menstimulus pembentukan alat persatuan serupa, seperti yang terjadi di Yogyakarta dan Palu. Dalam segi program, PPRI sudah mampu menegaskan perlawanannya pada Imperialisme (penjajahan modal asing) dan anteknya di Indonesia, yaitu Pemerintahan SBY-Boediono.

Ketidaksanggupan PPRI dalam mengusung isu demokrasi ini terlihat dari kegagalannya untuk mengangkat penolakan RUU Intelijen sebagai hal yang mendesak untuk dikampanyekan karena ancamannya terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Dalam respon 13 tahun reformasi yang merupakan momentum besar untuk mengevaluasi capaian demokrasi di Indonesia, penolakan RUU Intelijen tak mendapatkan sorotan dalam aksi yang dilakukan oleh PPRI di Jakarta. Hal ini kemungkinan disebabkan belum munculnya kepentingan yang besar gerakan sosial progresif di Indonesia terhadap perjuangan demokrasi, atau tidak dapat mengaitkan perjuangan demokrasi dengan perjuangan untuk kesejahteraan.

Respon yang dilakukan oleh unsur-unsur demokratik yang sekarang ada terhadap RUU Intelijen juga terasa lepas dari konteks dan kecenderungan penyempitan demokrasi di Indonesia saat ini. Karena selain RUU Intelijen, terdapat pula RUU KUHP yang sudah masuk menjadi pembahasan Prolegnas di DPR, dan direncanakan akan disahkan pula dalam bulan Juli nanti. Di dalam RUU KUHP ini terdapat beberapa pasal yang mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, seperti dengan tegas akan mengkriminalisasi setiap perbuatan penyebaran ideologi Marxisme-Leninisme.

Pada titik ini terasa perjuangan demokrasi akan menjadi pekerjaan rumah yang semakin berat. Militerisme, sebagai sebuah gagasan ideologi dan tindakan politik aparatus negara pro modal, belum berhasil dihapuskan pasca reformasi 1998. Dan kini, kedua RUU anti demokrasi ini akan menjadi kunci pengebirian hak demokrasi rakyat apabila tak segera mendapatkan perlawanan dengan serius.

Masihkah ada harapan bagi perjuangan demokrasi ke depan?

Sejarah membuktikan, bahwa perjuangan demokrasi (pembukaan ruang berpendapat, berorganisasi dan berpolitik) adalah nafas bagi perjuangan kesejahteraan (pemenuhan hak-hak normatif buruh, pendidikan gratis, kesejahteraan petani, dll). Jika berkaca pada masa Orde Baru, dapat dilihat kesulitan berkembangnya wadah-wadah perjuangan rakyat, karena setiap warga dilarang untuk berfikir berbeda dari apa yang telah diputuskan oleh negara. Oleh karenanya, perjuangan demokrasi merupakan pekerjaan penting bagi kaum gerakan sosial di Indonesia.

Benar, bahwa pintu demokrasi telah terbuka  dengan jatuhnya kediktatoran Soeharto. Terdapat kebebasan untuk mengkritik kinerja pemerintahan, terdapat kuota 30% bagi perempuan untuk berpolitik di Parlemen, terdapat mekanisme pemilihan langsung dalam Pemilu, serta kemenangan-kemenangan kecil lain yang telah didapat. Lantas, apakah perjuangan demokrasi telah selesai sehingga tak perlu alokasi waktu dan tenaga yang besar untuk memperjuangkan lagi demokrasi? Apalagi di tengah menajamnya penindasan ekonomi, maka tak ada kemendesakan untuk memperjuangkan demokrasi?

Sejatinya, perjuangan demokrasi adalah perjuangan pembangunan alat politik rakyat untuk merebut kekuasaan dari kelas-kelas penindas. Oleh karenanya, secara tegas dapat dikatakan bahwa sekarang perjuangan demokrasi di Indonesia masih jauh dari selesai. Karena sampai saat ini belum ada alat politik rakyat yang mampu menghancurkan kekuasan borjuasi (rezim Boediono dan semua faksi dan alat borjuasi pro kapitalisme) untuk secara politik memperjuangkan peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia.

Di tengah masih bercokolnya kekuasaan borjuasi, maka kemenangan-kemenangan kecil demokrasi tidak akan bisa dimaksimalkan untuk perjuangan mencapai kesejahteraan. Alih-alih menampilkan tokoh gerakan sebagai representasi kekuatan gerakan rakyat, pemilu 2009 justru menjadi ruang bagi para tokoh pelanggar HAM di zaman Orde Baru untuk mencalonkan diri sebagai Presiden. Bagaimana mungkin perubahan orientasi ekonomi negara dari pro penjajahan asing menjadi pro rakyat terjadi?

Paska reformasi 1998, gerakan demokratik belum sanggup menjadi alternatif politik bagi rakyat, baik karena kekuatannya yang kecil dan terpisah-pisah sehingga sulit memunculkan alternatif politik secara nasional, atau karena minimnya gagasan dan strategi perjuangan sebagai tawaran solusi atas persoalan masyarakat Indonesia saat ini. Pilihan politik rakyat masih didominasi oleh kekuatan politik sisa orde baru. Pemilu 2004 berhasil mengantarkan SBY menjadi presiden, seorang jenderal pada masa OrBa. Lebih parah lagi, pada pemilu 2009 dua partai politik pimpinan Jenderal pada masa OrBa melejit menjadi partai yang menyedot perolehan suara partai-partai besar sebelumnya.

Sampai saat ini penulis belum mampu merumuskan secara pasti hal-hal apa yang menjadi penyebab kegagalan konsolidasi demokratik gerakan di Indonesia paska reformasi 98. Jika dilihat sekilas sebenarnya terdapat alat-alat persatuan luas yang terbangun sebagai penyikapan terhadap isu tertentu. Misalnya, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), sebuah alat persatuan buruh yang terkonsolidasi melalui isu penolakan revisi UUK pada tahun 2006. ABM berhasil membentuk pengurus nasional melalui Konferensi Nasionalnya pada Juli 2006. Namun, konferensi nasional ABM ternyata belum mampu memastikan keberlangsungan ABM menjadi alternatif politik bagi gerakan buruh. Di tahun 2010 terlihat adanya ketidaksatuan gerak diantara unsur-unsur yang terdapat dalam ABM. Bahkan, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) secara tegas menyatakan keluar dari ABM dalam waktu menuju respon Mayday 2010.

Hal serupa juga terjadi pada Front Pembebasan Nasional (FPN). Alat persatuan yang terbentuk dari konsolidasi menolak kenaikan BBM pada tahun 2008 yang berhasil mengkonsolidasikan sekitar 40 organisasi di Jakarta. Pada 21 Mei 2008, selain menyerukan penggagalan kenaikan BBm, FPN juga mampu mengusung program radikal seperti nasionalisasi industri migas di bawah kontrol rakyat dan seruan pembentukan pemerintahan rakyat. Namun, paska momentum kenaikan BBM, FPN tidak sanggup melakukan konsolidasi dan ekspresi politik dalam momentum-momentum yang lain.

Gerakan gagal memanfaatkan momentum sebagai sebuah landasan pijak untuk membangun alat persatuan permanen yang bertujuan menjadi alternatif politik rakyat dalam situasi saat ini. Berbagai organisasi akan beramai-ramai membuat ajang konsolidasi hanya ketika ada momentum besar, seperti Mayday, upah, kenaikan listrik,  atau yang lain. Setelah momentum berlalu, maka semuanya akan kembali disibukkan dengan urusan internal masing-masing.

Melihat kaitan situasi di atas dengan kepentingan mencari harapan bagi perjuangan demokrasi, maka dua kesimpulan awal yang dapat diambil. Pertama, isu dan momentum yang bisa mengkonsolidasikan kaum gerakan secara luas masih terbatas pada isu-isu kesejahteraan seperti upah-outsourching, kenaikan BBM-listrik, kesehatan gratis, dsb. Kedua, minimnya ajang konsolidasi bersama antar gerakan tidak menyediakan ajang bagi perdebatan terbuka dan proses saling belajar. Hal itu berdampak pada lemahnya ide/gagasan kaum gerakan terhadap solusi persoalan masyarakat Indonesia saat ini termasuk ancaman demokrasi yang sedang dihadapi rakyat.

Sumber :

–          http://dakwahkampus.com/berita/berita-kampus/1580-gema-pembebasan-sulselbar-tolak-ruu-intelijen.html

–          http://www.tribunnews.com/2011/04/29/ratusan-mahasiswa-tolak-ruu-intelijen-usai-salat-jumat

–          http://jogja.tribunnews.com/m/index.php/2011/04/30/gema-pembebasan-solo-aksi-tolak-uu-Intelijen

–          http://www.borneonews.co.id/news/palangkaraya/11-palangkaraya/9717-gema-tuntut-pembatalan-ruu-intelijen.html

–          http://beritakendari.com/mahasiswa-tolak-pemberlakuan-uu-intelijen.html

–          http://www.korankaltim.co.id/read/news/2011/8449/aktifis-gema-pembebasan-tolak-ruu-intelijen.html

–          http://kalbar-online.com/news/metropolitan/mahasiswa-kalbar-tolak-ruu-intelijen

–          http://www.harianbhirawa.co.id/legislatif/29470-gmp-tolak-ruu-intelijen

–          http://www.primaironline.com/berita/politik/134296-korban-65-tolak-ruu-intelijen

–          http://malangnews.com/klojen/mahasiswa-demo-tolak-ruu-intelijen

–          http://www.harianjogja.com/beritas/detailberita/HarjoBerita/23808/aji-yogyakarta-tolak-ruu-intelijenview.html

–          http://politik.vivanews.com/news/read/219956-ruu-intelijen-ancam-kebebasan-pers

–          http://www.tribunnews.com/2011/04/07/hti-tolak-ruu-intelijen

–          http://www.detiknews.com/read/2011/04/07/173542/1611197/10/hti-tolak-ruu-intelijen-bisa-bahayakan-kehidupan-rakyat

–          http://www.metrotvnews.com/read/newscatvideo/hukum/2011/05/01/127339/Mahasiswa-Lampung-Tolak-RUU-Intelijen

–          http://hizbut-tahrir.or.id/2011/04/08/dianggap-legalkan-rezim-represif-ormas-islam-tolak-ruu-intelijen/

–          http://www.gemapembebasan.co.cc/p/selamat-datang.html

–          http://www.metrotvnews.com/read/newscatvideo/polkam/2011/06/11/129999/Mahasiswa-Menilai-Demokrasi-Mati-Jika-RUU-Intelijen-Disahkan

–          Catatan penulis sebagai peserta diskusi PPRI tentang RUU Intelijen 17 Mei 2011

–          http://us.detiknews.com/read/2011/03/28/192315/1603197/10/12-catatan-penting-ruu-intelijen

–          http://pembebasan-pusat.blogspot.com/2011/06/kompilasi-berita-aksi-serentak-nasional.html

–          http://www.gatra.com/2011-06-11/artikel.php?id=149056

–          http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/06/22/ln6u92-draft-ruu-intelijen-dibakar-di-depan-gedung-dpr-ri

–          http://nasional.kompas.com/read/2009/04/11/18140584/Golkar.Akui.Suaranya.Tersedot.ke.Gerindra.dan.Hanura

–          http://abm2006.multiply.com/journal/item/2/2

–          http://kprm-prd.blogspot.com/2008/05/sikap-pernyataan-sikap-fpn-21-mei-2008.html


[1] Aktivis Partai Pembebasan Rakyat; Ketua Pusat Pergerakan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN); anggota Perempuan Mahardhika.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *