(Mengapa Perolehan Suaranya Ketat?)
Memang, Pemilu Presiden 9 Juli sudah rampung, namun perseteruannya belum usai. Hasil pemilu baru akan ditentukan pada tanggal 22 Juli nanti oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dan itu pun tidak berarti perseteruan akan usai, namun perseteruan di antara faksi-faksi borjuasi bisa saja didamaikan—dengan kompromi demi kepentingan pertimbangan ekonomi-politiknya.
Pangkal pertarungannya tak bisa di ukur dari perbedaan hasil hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survey yang memenangkan kubu koalisi Prabowo-Hatta (di satu sisi) dan kubu Jokowi-JK (di sisi lain). Akan tetapi, ilusi (dalam retorika, bual-bualan) yang dibangun keduanya telah menghasilkan “terbelahnya” rakyat dalam posisi (ketat) mendukung calon presidennya. Dukungan rakyat terhadap faksi-faksi borjuasi ini, memang harus dinilai sebagai dukungan yang meningkat—dilihat dari menurunnya tingkat Golput; dan partisipasi rakyat dalam membangun komunitas-komunitas relawan. Misalnya, terbangun lebih dari 1.200 organisasi komunitas relawan untuk memenangkan Jokowi-JK.
Dukungan rakyat yang marak ini merupakan cerminan dari: pertama, muak pada gaya pejabatisme; kedua, benci pada korupsi; ketiga, marah pada sistem ekonomi neoliberalisme yang berimbas pada kemiskinan dan ketimpangan; keempat, hasrat akan kemandirian bangsa menyaksikan dominasi modal asing atau imperialisme; kelima, keinginan untuk perubahan; keenam, tak ada alternatif lain yang disediakan oleh kaum pergerakan.
Kehendak untuk perubahan itu lah yang kemudian dimanfaatkan, di satu sisi, oleh borjuasi kabupaten/lokal seperti Jokowi, yang mendapatkan popularitas yang mencuat selama 3 tahun terakhir ini dengan jargon-jargon “Jujur, Merakyat, Sederhana” “blusukan” dan lain-lain; dan, di sisi lain, oleh kekuatan lama borjuasi(kroni) sisa-sisa Orde Baru (OrBa) yang hendak bangkit dengan cara membelokkan harapan rakyat tersebut dengan jargon-jargon lama “Macan Asia!”, “lebih enak jaman Orba!”, “Indonesia Bangkit!”, “Tegas”, “Berani” dan lain sebagainya. Serta borjuis bagian paling belakang pendukung kekuatan sisa-sisa OrBa—sebut saja ring (lingkaran) kedua atau ketiga—yang diakhir-akhir reformasi berbalik mengkhianati “tuannya”, Soeharto, segera setelah jutaan massa turun menggulingkan rejim paling berdarah dalam sejarah negeri ini. (Sedangkan lingkaran pertama borjuasi kroninya praktis lumpuh secara politik sehingga modalnya tidak bisa lagi berkembang, kecuali sisa-sisa modalnya yang mengalami kesulitan dikembangkan sebagai borjuis independen, terutama karena sulitnya mendapat dukungan dana dari konsorsium-konsorsium modal asing. Prabowo adalah cerminan borjuis kroni lingkaran pertama yang berusaha merebut kembali otoritas politik demi menjadi borjuis kroni lingkaran pertama lagi.)
Faksi borjuasi lingkaran kedua dan ketiga yang awalnya pula adalah kapitalis-kapitalis lokal atau borjuis nasional berskala modal menengah, pada masa reformasi berkembang menjadi borjuasi nasional bermodal lebih besar, seperti Jusuf Kalla, Hatta Rajasa, Aburizal Bakri, Surya Paloh dan lain-lainnya(1) beserta mantan-mantan Jenderal yang, dalam pemilu presiden ini, menjadi pembonceng mendukung kubu Jokowi-JK di satu sisi, maupun kubu prabowo-Hatta di sisi lain. Tujuannya adalah berebut kekuasaan dan masuk dalam lingkaran kekuasaan. Sebab, hanya dengan berkuasa dan atau masuk menjadi bagian paling dalam dari kekuasaan lah maka kesempatan mereka sebagai borjuasi (kroni) dapat berkembang semakin besar. Hal semacam itu merupakan ciri khas atau tipikal dari borjuasi negeri-negeri tak terindustrialisasi.
Karena itu, dalam menentukan arah perjuangan ke depan, penilaian terhadap situasi yang berkembang sangat lah penting. Pertanyaan fundamental penting diajukan, yakni: pertarungan kepentingan apakah di antara Koalisi Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK ini? Apakah pertarungan tersebut merupakah pertarungan hidup-mati? Ataukah dapat di damaikan? Lalu, dimana kah posisi kau buruhdan rakyat yang sudah berpolitik—bila dilihat dari partisipasinya yang meningkat dan sengit dalam pemilu?
Situasi saat ini merupakan produk historis yang ada sebelumnya. Sehingga, analisis historis yang memproduksi kenyataan obyektif saat ini patut dikemukakan terlebih dahulu sebagai basis (material) analisa. Setelahnya, penilaian atas peluang politik alternatif bisa dirumuskan, sehingga rumusan tindakan politik ke depan bisa lebih jernih. Jernih dalam pengertian, tak berakhir menjadi “ekonomisme” serta “abstensionis” di satu sisi atau “kapitulasi” di sisi lain, melainkan menghasilkan terobosan-terobosan politik.
Kapitalisme Cangkokan
Pertama, bahwa analisa kemiskinan masyarakat Indonesia tak bisa direndahkan pada kesimpulan bahwa kebijakan ekonomi neoliberalisme sebagai faktor utama dan tunggal. Ekonomi neoliberalisme sendiri adalah hasil dari persoalan akut dari krisis kapitalisme yang berkelanjutan. Jika kita menggunakan kesimpulan neoliberalisme sebagai faktor utama dan tunggal maka, wajar saja, bual-bualan (retorika dan demagogi) Prabowo dan Jokowi—yang “seolah-olah” anti neoliberalisme atau kapitalisme keynesian (negara kesejahteraan)—bisa dianggap sebagai jalan keluarnya, tanpa upaya menggulingkan dan mendorongnya lebih jauh.
Dalam konteks Indonesia, faktor yang mendasar adalah kapitalisme “cangkokan” yang sudah ada sejak masa merkantilisme akhir (VOC) menghisap, merampok, sumber daya alam dan manusia negeri ini serta, yang terpenting, tidak meng-industrialisasi negeri jajjahannya. Kapitalisme “cangkokan” ini selanjutnya mengakibatkan rendahnya tenaga produktif (teknologi, skill, dan alat-alat produksi), basis industri kapitalismenya rendah teknologi, borjuasi yang kering-kerontang dan miskin—yang pada akhirnya berlaku sebagai agen bagi borjuasi-borjuasi besar dan manufaktur-menengah Amerika, Eropa, Jepang, Korea, Taiwan, Singapura, Malaysia, Hongkong, Cina dan lain-lainnya.
Kapitalisme “cangkokan” tersebut tidak membabat habis tatanan lama yang menghambatnya, feudalisme, terutama dalam aspek supra-struktur (politik, budaya dan ideologinya), yang menghambat perkembangan tenaga produktif. Kapitalisme “cangkokan” yang melahirkan anak kandung borjuisnya yang lemah dan kering-kerontang itu pula lah yang mengakibatkan mereka tak bisa membendung lahir, berkembang dan selanjutnya berkuasanya borjuasi bersenjata beserta aparatus politik-ideologinya, militerisme, seperti Nasution, hingga “The Smiling General” Soeharto.
Soekarno beserta pendukungnya PNI-Kiri dan PKI hendak menjalankan garis ekonomi BERDIKARI. Mengendalikan bahkan menolak modal asing masuk. Mempersiapkan tenaga-tenaga terdidik dan profesional untuk mengolah kekayaan alamnya sendiri. Membangun kerjasama internasional dengan negeri-negeri yang baru saja keluar dari kolonialisme dan tak memihak blok barat melalui konferensi Asia-Afrika, atau apa yang disebut “The New Emerging Forces (negeri-negeri atau kekuatan-kekuatan baru saja bangkit)”. Mengambil alih modal Eropa (khususnya Belanda) yang sudah ada, dan kemudian Amerika dan Jepang, melalui Program Banteng (1957). Namun sayangnya tak diserahkan kepada organisasi rakyat, melainkan kepada Kolonel Ibnu Sutowo dan kekuatan militer. Kebijakan ekonomi-politik tersebut menghambat. Tidak hanya menghambat modal asing Amerika, Jepang dan Eropa. Namun juga menghambat borjuasi pribumi dan keturunan Tionghoa, India serta Arab yang kurus kering itu.
Penggulingan Soekarno, pemenjaraan dan pembunuhan para pendukungnya adalah satu keharusan, bukan hanya bagi kepentingan modal internasional, melainkan juga dan terlebih dahulu bagi kepentingan borjuasi dalam negeri (pribumi dan keturunan).
Tentara, khususnya Soeharto, mempersatukan kepentingan borjuasi pribumi, tionghoa dan lainnya, serta kepentingan modal asing (Amerika, Eropa dan Jepang dan lainnya). Borjuasi bersenjata plus borjuasi pribumi dan Tionghoa lah yang membuka “karpet merah” bagi modal asing, melalui UU PMA 1967 dan, sebelumnya, kontrak karya I Freeport.
Tentara, khususnya Soeharto, yang mempersatukan kekuatan seperti Masyumi, NU, PNI-Kanan, Bob Hassan, Liem Sio Liong dan lainnya. Bersatu melawan kekuatan anti modal barat, Soekarno, PNI-Kiri dan PKI, yang dianggap terlalu sibuk dengan “keributan” politik bukan pertumbuhan ekonomi.
Kapitalisme Kroni-OrBa
Orde Baru lahir. Lahir dari persatuan, pengkhianatan, dan pembantaian kekuatan anti modal barat. Atas nama stabilitas politik untuk “kesejahteraan” tatanan baru ini di bangun. Perlahan dan pasti, borjuasi bersenjata dan sipil, berkembang. Bukan hasil jerih payah dari pembangunan sistematik industrialisasi kapitalisme, melainkan dari suntikan dana (utang) luar negeri dan ceceran konsesi serta lisensi yang diberikan oleh kekuasaan politik Orde Baru dan faksi-faksi borjuasi asing kepada borjuasi dalam negeri, seperti Bob Hassan, Liem Sio Liong, Probosutedjo, Ginandjar Kartasasmita, Ibnu Sutowo, beserta konco-konco dan keluarga-keluarganya.
Dalam kemenangan politik besar ini, Soeharto dan Orde Baru, tak memiliki oposisi politik yang signifikan. Meskipun upaya melahirkan oposisi dari kaum demokrat ada, namun lemah dan mudah dipecah belah.
Borjuis-borjuis lokal yang sudah ada sebelumnya maupun yang tumbuh seiring dengan jalan ekonomi “Pembangunanisme” berkembang. Namun, untuk berkembang, tak bisa berdiri sendiri, harus masuk dalam lingkaran kekuasan. Dan memang itu lah yang dikehendaki oleh kooptasi politik Orde Baru melalui deideologisasi, depolitisasi dan deorganisasi. Bukan hanya menyingkirkan kelompok kiri. Namun, mendamaikan pertentangan dan memapankan dominasi kekuasaan kapitalisme orde baru. Dengan demikian lah kapitalisme kroni lahir dan terbangun. Lahir hasil dari dominasi dan kooptasi politik borjuasi bersenjata.
Selanjutnya, formasi kapitalis berkembang, tak hanya Soeharto beserta elit-elit bersenjata dan borjuasi pendukungnya(2). Formasinya berkembang menjadi lebih “hierarkis”. Demikian lah kita mengenalnya sebagai kapitalisme kroni.
Kapitalisme kroni sendiri adalah cerminan dari borjuasi di negeri yang tak terindustrialisasi seperti Indonesia. Sebab, hanya menjadi bagian dari kroni penguasa lah, borjuasi yang miskin modal, rendah teknologi, tergantung pada modal dan utang luar negeri, serta terbatas jaringan produksi dan distribusi itu lah mereka dapat berkembang. Tanpa itu, mustahil.
Secara umum, kapitalisme kroni ini dapat dibagi menjadi 3 lingkaran. Lingkaran pertama, Soeharto bersama para pendukung terdahulunya: seperti Sumitro Djoyohadikusumo, Ibnu Sutowo, dan borjuasi bersenjata lainnya; Lingkaran kedua, seperti Liem Sio Liong, Bob Hassan, dan lain sebagainya. Lingkarang ketiga, seperti Aboerizal Bakrie, Jusuf Kalla, Sofyan Wanandi, Arifin Panigoro, dan lain sebagainya.
Dalam perkembangannya, meski berkuasa, lingkaran pertama sendiri tak banyak berkembang. Borjuasi bersenjata misalnya, yang menguasai industri persenjataan, BUMN, Pertamina, dan lain sebagainya tak berhasil membangun industri hulu dan hilir secara sistematis dan terencana. Sebaliknya, tak sedikit yang bangkrut atau jadi ladang korupsi, kolusi dan nepotisme. Dan hal tersebut merupakan cerminan dari borjuis yang tak terindustrialisasi.
Sebaliknya, lingkaran kedua dari kroni Soeharto berkembang. Tak hanya mendapatkan bantuan dana dari negara hasil pinjaman utang luar negeri dan dari konsorsium-konsorsium modal asing, mereka juga mendapatkan ceceran bisnis dan kontrak dengan perusahaan-perusahaan asing untuk mengerjakan tender-tender kecil di hilir industri, konsesi dari bisnis-bisnis militer, serta membangun jejaring bisnis dengan borjuasi manufaktur Jepang, Taiwan, Korea, Hongkong. Dan lingkarang kedua ini lah yang banyak berkembang di industri manufaktur bersaing dengan investor-investor Jepang, China, Taiwan, Korea, India yang bermain di industri, misalnya, Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), perakitan (assembly), dan lain sebagainya. Borjuasi Eropa dan Amerika sendiri pada mulanya tak bermain di industri manufaktur, mereka, lebih mensasar bahan baku (raw material), pertambangan dan migas.
Di sisi lain, lingkaran ketiga di masa Orde Baru, seperti Aburizal Bakrie, Jusuf kalla, bahkan Arifin Panigoro dan lainnya, merupakan kapitalis kroni paling pinggir. Yang menikmati recehan pinjaman, sedikit jejaring bisnis, dan memulai binis mereka tersendat-sendat dari lokal. Sembari menjadi agen bagi lingkaran pertama dan atau kedua, serta agen bagi faksi-faksi borjuasi internasional yang satu dan lainnya.
Pada akhir dan setelah kekuasaan Soeharto, lingkaran pertama dan kedua, secara politik tersisih, namun modalnya tak benar-benar ambruk. Sementara tuan-tuannya tersisih secara politik. Lingkaran ketiga, berkhianat, ikut menyingkirkan dominasi lingkaran I. Mengapa? Karena akan lebih mudah untuk masuk atau menjadi bagian kekuasaan, lebih mudah menggunakan negara untuk menggelontorkan dana bagi perusahaan-perusahaan mereka, menggunakan negara sebagai bargain untuk masuk dalam rantai modal faksi-faksi kapitalisme internasional.
Liberalisasi dan Bangkitnya Sisa Lama
Ketiga, reformasi dan paska kejatuhan Soeharto. Paska jatuhnya Soeharto, bangsa ini masuk kedalam kediktaktoran baru: lebih berkembang menyempurnakan Kediktaktoran Modal. Keran liberalisasi ekonomi dan politik di buka. Pertama-tama sekali, lingkaran pertama, Soeharto beserta keluarga Cendana serta para pendukungnya tersisih secara politik, tidak secara ekonomi. Namun karena bukan berasal dari borjuasi industri sedikit dari bisnis mereka bisa berkembang dan atau bertahan. Bagian lingkaran pertama lainnya, Tentara, secara bertahap dilucuti akses politiknya, pertama sekali posisi strategis mereka di Parlemen. Kemudian pemisahaan TNI dan POLRI, yang membuat ladang bisnis lebih banyak dikuasai oleh POLRI. Dan selanjutnya, terutama, di masa pemerintahan SBY, reformasi bisnis TNI membatasi ruang gerak mereka, meski reformasi bisnis TNI hanya sedikit saja yang berjalan. Bisnis pengamanan dan konsesi-konsesi bisnis masih mereka dapatkan.
Praktis paska jatuhnya Soeharto, tak ada lagi Borjuasi yang Dominan. Persaingan dan persatuan terbuka diantara elit politik satu dan lainnya, yang dalam banyak hal merupakan cerminan dari pertarungan borjuasi satu dan lainnya, dan juga tak bisa dilepaskan sebagai persaingan faksi kapitalis internasional satu dan lainnya.
Saat lingkaran pertama dan kedua tersisih secara politik. Lingkaran ketiga berebut menguasai alat-alat politik dan kekuasaan. Perseteruan Jusuf Kalla, Aboerizal Bakrie, Surya Paloh dalam menguasai Golkar atau Arifin Panigoro sebelumnya di PDIP atau SBY yang mendirikan Partai Demokrat adalah upaya bersaingan untuk masuk ke dalam kekuasaan. Berkuasa! Memperbesar akses terhadap modal. Berupaya menjadi dominan dan membangun kroninya sendiri, tapi sulit(3).
Liberalisasi politik dan ekonomi tak hanya menguntungkan lingkaran ketiga Orde Baru. Desentralisasi politik dan ekonomi melalui otonomi daerah menguntungkan banyak pihak: pertama, sudah tentu kapitalisme internasional, yang dimudahkan untuk melakukan investasi langsung dengan bekerjasama dengan pemerintah daerah. Kedua, lahirnya borjuasi-borjuasi lokal yang baru, atau “raja-raja” lokal, yang tentu saja mendapatkan keuntungan dari pinjaman daerah, dan kerjasama langsung dengan borjuasi asing (Amerika, Eropa, Jepang, Cina, Taiwan, Korea atau India), misalnya, penjualan raw material (contoh: batubara) oleh pengusaha-pengusaha lokal ke Cina. Pembukaan proyek listrik 10.000 MW yang bekerjasama dengan perusahaan Cina. Pembukaan lahan hutan untuk perkebunan sawit dan karet bekerjasama dengan perusahaan Singapore dan Malaysia(4).
Dan dalam hal ini, Jokowi, merupakan produk langsung dari liberalisasi ekonomi-politik. Apakah Jokowi terpisah sebagai borjuis lokal independen secara politik dan ekonomi? Tentu tidak. Hubungan dengan jejaring lingkaran ketiga atau lingkaran kedua sudah ada. Itu lah mengapa mempermudah kelompok lama, seperti Luhut Panjaitan dan lainnya, atau hubungannya dengan Eropa dan Cina.
Begitu pula dengan Prabowo dan lingkaran terdekatnya, Hasjim Djojohadikusumo. Mereka merupakan bagian dari lingkaran pertama, yang tersisih. Masih bisa bertahan dengan mencantol kepada faksi korporasi internasional, Arab atau bahkan Amerika. Tidak hanya itu. Prabowo sebagai bagian lingkaran pertama yang tak memiliki keistimewaan (privilege) seperti masa Orde Baru, hanya bisa bertahan dan berkembang, apabila memiliki hubungan dengan kekuasaan dan memiliki kekuatan politik. Itu lah mengapa, ia, meninggalkan Golkar, dan mendirikan Partai Gerindra. Sebab kekuatan politik dan kekuasaan politik akan mempermudahnya untuk mendapatkan kredit dari pemerintah, hubungan dengan asing, dan posisi tawar ekonomi dalam meloloskan kepentingan-kepentingan bisnisnya.
Jadi, pada dasarnya, borjuasi nasional ataupun lokal tak bisa berkembang tanpa memiliki kekuatan politik dan berkuasa. Dalam dalam hal ini, Prabowo, sebagai mantan lingkaran pertama Orde Baru, dan sebagai bagian bisnis semi taipan Hashim Djojohadikusumo, harus memperbesar kekuasaannya, dan hanya melalui cara itu lah, dapat menjadi agen terbaik bagi kapitalisme internasional dan meraup pembelanjaan APBN.
Prabowo dan pada umumnya lingkaran pertama kekuatan Orde Baru, Tutut, Titiek, Tomy Soeharto, dan lainnya tak pernah benar-benar tersingkir. Upaya mereka untuk kembali mendominasi dilakukan secara sistematis. Apakah dengan mendirikan partai-partai baru, seperti PKPI, PKPB, Gerindra, tak lama ketika mereka menyadari tak mampu memenangkan pertarungan melawan kekuatan lingkaran ketiga dalam Partai Golkar.
Selain mendirikan partai-partai. Berbagai proyek-proyek memperbesar kekuatan juga dilakukan. Apakah itu membina ormas-ormas reaksioner; menjadi penyokong dan inisiator bagi pemenangan kepala-kepala daerah, misalnya Ahok, Ridwan kamil, dan lainnya; membuat ormas-ormas baru seperti GRIB; membuat slogan kerinduan kembali ke massa Orde Baru, seperti “Pie le leuwih penak jamanku to”; berupaya menjadikan Soeharto pahlawan; menjadikan kediaman Soeharto dan keluarganya sebagai museum; menjadi ketua organisasi tani; atau mensogok (tuntutan) para pimpinan serikat buruh; kampanye kembali ke UUD 45 atau bahkan menggunakan jargon-jargon kiri, seperti: anti neoliberalisme, anti kemiskinan, kedaulatan rakyat, dan lain sebagainya. Tujuannya: membangun struktur, memperbesar kekuatan, menghilangkan pobia atas kekejaman Orde Baru, mengembalikan kembali dominasi mereka, kaum Orbais.
Kembali ke pertanyaan awal, pertarungan apakah antara Koalisi Prabowo-Hatta versus Jokowi-JK? Sudah dapat di jawab, pertarungan antara kekuatan Borjuasi Orde Baru yang di dukung kelompok konservatif dan lingkaran-lingkaran lama pendukung Orde Baru melawan Kapitalis Kabupaten/Lokal yang di dukung oleh kaum reformis gadungan dan juga lingkaran ketiga Orde Baru. Dan masing-masing kubu di dukung oleh mantan-mantan Jenderal, yang terus berupaya mendapatkan akses ke kekuasaan dan pengaruh agar lebih mudah memiliki hubungan dengan tentara aktif. Masing-masing koalisi juga di dukung oleh faksi-faksi borjuasi internasional yang menyokong bisnis mereka.
Dalam upaya memenangkan pengaruhnya, masing-masing kubu mencoba membangun hegemoni ideologis(5). Bagi lingkaran pertama Orde Baru, seperti Prabowo, membangun hegemoni ideologis ini adalah suatu hal yang baru, sebab sebelumnya dalam masa Orde Baru, dominasi represi dan kooptasi lebih memudahkan mereka untuk memapankan kekuasaan dan rantai bisnisnya. Jokowi, sebagai Kapitalis Kabupaten, seperti pada umumnya, sudah terbiasa dengan liberalisasi politik elektoral.
Namun, masing-masing kubu, terutama Prabowo, menggunakan jargon-jargon KIRI. Dan memang harus menggunakan jargon KIRI. Sebab, obyektifnya, rakyat menghendaki perubahan atas kenyataan: ketimpangan, kemiskinan, intervensi modal asing, kedaulatan, dan kemandirian. Siasat mengilusi ini terpaksa dilakukan agar dapat menang. Namun, siapapun pemenangnya, tidak akan mampu menyelesaikan problem ketimpangan, kemiskinan, bahkan ketergantungan pada modal asing. Sebab, perubahan negeri ini hanya dapat dilakukan oleh perubahan tatanan kekuasaan oleh rakyat, demokrasi seluas-luasnya, dan redistribusi kekayaan sebesar-besarnya untuk rakyat bagi pengembangan kemajuan sumber daya alam, manusia, teknologi (tenaga produktif).
Apakah Prabowo, Jokowi atau elit-elit lainnya mampu mewujudkan bual-bualannya seperti anti neoliberalisasi? TIDAK! Sebab, pada dasarnya, masing-masing membutuhkan modal dan jaringan bisnis yang dimiliki faksi-faksi kapitalisme internasional, agar dapat mempertahankan bisnis dan posisinya dalam kekuasaan.
Kemungkinan pembatasan dalam derajat minimum, seperti pembatasan bea impor, memperketat investasi, dan keluar-masuk modal uang (capital finance), mungkin bisa dilakukan, terutama kepada faksi imperialis yang tak menyokongnya. Sebaliknya, akan lebih dipermudah bagi faksi imperialis yang menyokongnya, siapapun yang menang. Karenanya, ADA CELAH ALTERNATIF KE ARAH KIRI, jika kelompok kiri (yang benar dan tak kaku-sektarian) dapat menempatkan posisinya dengan jelas, independen dan fleksible—terutama dalam hal persatuan di antara kaum kiri dan progresif—dalam memobilisasi delegitimasi ilusi terhadap Prabowo atau Jokowi.
Dari elaborasi di atas, sudah jelas ini pertarungan apa. Sehingga, dalam situasi sekarang ini, yang mendesak yang harus kita selamatkan adalah: penyempurnaan dan capaian demokrasi, serta redistribusi kekayaan (nasional). Prabowo yang di dukung oleh koalisinya, akan melakukan apa saja untuk masuk menang dalam pemilu presiden. Harus! Entah apapun caranya, mencurangi hasil pemilu, intimidasi, black propaganda, dan lain sebagainya, bahkan setelah ia kalah sekalipun. Sebab, berkuasa adalah satu-satunya cara untuk memperbesar bisnis mereka, dan menjadi agen imperialis terdepan. Sebaliknya, kubu koalisi Jokowi-JK, yang kemungkinan tak menang besar, berada dalam posisi semakin sulit ketika SBY ternyata tidak netral. Dan apalagi Jokowi (terutama) dan relawan pendukungnya, tak menggunakan cara-cara militan dalam memastikan kemenangnya. Di tambah, tentara, turut menciptakan situasi krisis, yang dalam banyak hal menguntungkan kubu Prabowo-Hatta.
Apa yang dapat dilakukan?
Memang pertarungan antara Prabowo vs Jokowi bukan lah pertarungan kita. Namun, bukan berarti kaum kiri dan proletariat tak boleh berposisi dan memobilisasi diri. Sebaliknya, jika kita lihat, beberapa serikat-serikat buruh turut terpolarisasi dalam situasi politik saat ini. KSPSI Andi Gani mendukung Jokowi. KSPSI-FSPMI Said Ikbal mendukung Prabowo, meski tak sedikit anggota-anggota dan beberapa pimpinannya mendukung Jokowi. Serikat buruh “merah” baik KASBI, GSBI ataupun yang tergabung dalam Sekber Buruh berbeda posisi dalam pilpres kemarin. Serikat-serikat tersebut merupakan serikat yang militan dan politis.
Dalam perjuangan politik kelas untuk memenangkan pertarungan dengan imperialisme dan kaum borjuasi pada umumnya, kesadaran kaum proletariat tak bisa berada dalam dominasi dan hegemoni penindasnya. Sehingga, menghancurkan ilusi terhadap kaum borjuasi, dalam konteks ini Prabowo dan Jokowi beserta elit lainnya, merupakan tugas sejarah.
Namun bukan berarti kita menarik diri dari perkembangan politik yang ada (abstain). Sebaliknya, kita harus mengerti bahwa situasi saat ini adalah situasi di mana demokrasi sedang dipertaruhkan, kekuatan lama Sisa Orba berupaya sekuat tenaga untuk bangkit dan berkuasa. Maka, perjuangan menyelamatkan demokrasi adalah keharusan. Di sisi lain, sensitifitas perjuangan demokrasi: anti militerisme dan anti sisa-sisa Orde Baru, di kemudian hari, dapat memagari elit-elit borjuasi yang akan mengkhianati demokrasi.
Sehingga ada beberapa hal yang dapat kita lakukan: pertama, propaganda delegitimasi sistematis dan substansial atas ilusi Prabowo dan Jokowi; kedua, membangun persatuan melawan kecurangan pemilu dan intimidasi yang dalam hal ini persatuan bersama kelompok demokratik-progressif dan relawan Jokowi dapat dibangun sejauh prinsip kemandirian—kebebasan agitasi propaganda—dapat di jalankan; ketiga, membangun gerakan melawan militerisme dan kebangkitan sisa-sisa Orde Baru; keempat, menyadarkan pemilih Prabowo atas pilihan politiknya yang keliru; kelima, terus berkampanye tentang kebutuhan pembangunan alat politik alternatif (partai persatuan rakyat) sebagai jalan keluar bagi kebuntuan politik kaum buruh dan rakyat.
Oleh: Tim Materi Partai Pembebasan Rakyat
Catatan Kaki:
(1). Termasuk di dalamnya adalah borjuis tipe Sofyan Wanandi yang pada masa OrBa berada pada lingkaran yang jauh dan, pada masa reformasi masih mengalami kesulitan untuk masuk ke lingkaran dalam kekuasaan. [Patut diingat bahwa borjuis kroni lingkaran pertama juga melakukan pencucian uang (modal) nya ke tangan borjuis kroni lingkaran kedua atau ketiga yang masih bisa menyintas (survive) secara politik pada masa reformasi.]
(2). Militer yang mendapatkan kemudahan menjadi borjuis dan birokrat pada akhirnya tak bisa berkembang karena tidak mampu menjadi borjuis tapi sekadar menjadi calo-calao atau penjual konsesi dan lisensi, atau menjadi herder borjuis.
(3). Bekas lingkaran pertama seperti Prabowo dan lainnya seperti keluarga-keluarga lingkaran pertama pencuci uang (modal) mulai berupaya dan mendapatkan kesempatan sejarah untuk masuk ke dalam politik bekerjasama dengan lingkaran kedua dan ketiga yang masih bisa menyintas atau, bahkan, membiayainya. Prabowo bahkan bisa unggul kembali mendominasi mereka.
(4). Desentralisasi jangan sekadar dianggap sebagai perampokan atau dianggap sebagai basis material bagi perkembangan borjuis menengah dan kecil provinsi/kabupaten, tapi juga telah menjadi agen-agen (politik dan ideologi) faksi-faksi status quo borjuis lingkaran pertama (seperti Prabowo dan yang lainnya) dan lingkaran kedua (seperti Abur Rizal Bakri, Yusuf Kala, dan lainnya), serta partai-partai pro status quo (seperti mereka yang masuk ke dalam koalisi kedua belah pihak). Itulah mengapa Prabowo 9dan partainya) memiliki agen-agen (politik dan ideologinya) di seluruh negeri sehingga memperoleh suara signifikan-ketat dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden.
(5). Kebutuhan akan hegemoni (ideologi dan budaya) lebih tinggi pada masa sekarang ini ketimbang pada masa Orde Baru—pada masa Orde Baru dominasi represi dan kooptasi lebih mengemuka (dengan slogan pembangunan, pemerataan dengan stabilitas) kecuali, belakangan, dalam slogan kesederhanaan, kencangka ikat pinggang, kekeluargaan, harmoni dan lain sebagainya.