Tak ada kesejahteraan dan keadilan tanpa demokrasi

Koran Pembebasan Edisi I Juli-Agustus 2011

Zely Ariane[1]

Demokrasi (saat ini) digunakan untuk membuka ruang bagi kelas tertindas menyatukan diri; menyediakan sarana melawan kapitalisme; menyediakan syarat-syarat untuk menggantikan negara borjuis dengan mesin negara baru yang jauh lebih demokratik

[Lenin, Negara dan Revolusi Bab 5]

Rakyat membutuhkan demokrasi agar mendapatkan kesejahteraan, keadilan, kesetaraan, kebudayaan dalam semua bentuk kreativitasnya. Bukan untuk demokrasi rakyat jatuhkan Soeharto di tahun 1998, melainkan untuk keadilan dan kesejahteraan. Bukan untuk reformasi mahasiswa dan rakyat menduduki gedung MPR, melainkan untuk Indonesia yang bebas dari todongan senjata dan mata-mata tentara, bersih dari korupsi dan nepotisme, terpenuhi sebagian kesejahteraan karena bahan-bahan pokok dapat terjangkau. Demokrasi adalah alatnya; demokrasi adalah caranya, untuk mencapai tujuan pembebasan manusia dari penindasan manusia lainnya.

Gerakan reformasi di Indonesia pada tahun 1998 telah berhasil menjatuhkan diktator, memperluas partisipasi politik rakyat lewat sistem multipartai, kebebasan pers, kebebasan berorganisasi dan yang terpenting, telah berhasil mengembalikan senjata politik rakyat yang paling ampuh yaitu aksi massa. Namun, itu semua masihlah sebuah awal, yang jauh dari cukup dan apalagi selesai.

Serangan demokrasi

Sedikit demi sedikit beberapa keberhasilan paling penting dari perjuangan demokrasi 1998 diambil kembali dari tangan rakyat, padahal agenda dan sebagian tujuannya masih jauh dari tercapai. Padahal sebagian yang dimenangkan tersebut merupakan bagian paling awal dan kecil dari demokrasi rakyat yang sesungguhnya, yaitu kekuasaan dari-oleh-dan untuk rakyat yang hanya dapat dicapai melalui kebebasan berpendapat, jaminan partisipasi politik, beraksi, berkumpul-berorganisasi-berpartai bagi berbagai gagasan dan ideologi yang pro kemanusiaan.

Demokrasi di Indonesia yang baru setengah dimenangkan itu kini mengalami serangan yang menyakitkan. Aturan-aturan berorganisasi dan berpartai semakin dipersulit, termasuk pemberangusan serikat buruh; aksi-aksi pembakaran dan pelarangan buku; pemukulan bahkan pembunuhan terhadap wartawan; represi dan penembakan aksi-aksi kaum tani menuntut hak atas tanah dan hasil taninya; pengkebirian hak mogok kaum buruh; aturan demonstrasi yang diperketat; penambahan komando territorial tentara khususnya di daerah sasaran operasi militer seperti Papua dan daerah padat modal seperti Kalimantan Timur; penambahan tentara di Papua; pembatasan waktu kegiatan mahasiswa di kampus; pelarangan aktivitas mahasiswa di luar kampus—bahkan hingga melarang partisipasi mahasiswa di organisasi ekstra dan intra kampus; berbagai tindakan kekerasan dan gangguan kebebasan sipil atas nama agama; peraturan-peraturan daerah bernuansa kepentingan reaksioner agama-agama tertentu seperti perda-perda syariah dan perda anti-miras prostitusi; ancaman dan gangguan terhadap kegiatan-kegiatan kaum kiri dan komunitas LGBTIQ; kekerasan bahkan pembunuhan terhadap aktivis; UU Pemilu yang menghambat partisipasi seluruh rakyat; wacana pemilihan langsung yang dianggap boros, dan seterusnya.

Dari bentuk-bentuk serangan di atas, berdasarkan caranya, dapat dikategorikan menjadi tiga wujud: represi/kekerasan, teror/ancaman, dan depolitisasi. Sementara aktor-aktor pelaku dan penanggung jawabnya secara langsung adalah pemerintah, institusi dan atau pejabat militer dan kepolisian, organisasi-organisasi fundamentalis reaksioner dan milisi reaksioner, serta kekuatan sisa-sisa orde baru. Berdasarkan cara-cara dan siapa aktor-aktor yang bertanggung jawab tersebut segera tampak bahwa serangan terhadap hak demokrasi rakyat ini adalah serangan yang sistematis dan terencana, walau terbuka kemungkinan diantara aktor pelaku pun memiliki pergesekan kepentingan dan tujuan. Namun, pada akhirnya, semua menguntungkan satu kepentingan kelas yang berkuasa.

Landasan serangan

Seorang pengamat intelejen, Wawan Purwanto, mengatakan bahwa lambannya penanganan teroris di Indonesia lebih disebabkan karena munculnya reformasi. Tidak semudah pada saat zaman dahulu ketika orde baru masih berkuasa… Dulu masih ada Undang-undang subversif mudah menanganinya…” (7/5/2011).  Pendapat status quo lainnya juga menyatakan bahwa demokrasi Indonesia saat ini kebablasan. Jusuf Kalla menyatakannya sebagai demokrasi yang mahal—karena terlalu banyak pemilihan langsung dan jumlah partai politik.

Pendapat Purwanto mencerminkan watak khas ideologi Orde Baru yang militeristik, yang tidak bisa memahami, tidak membutuhkan, dan memusuhi demokrasi. Dan ideologi ini masih banyak penganutnya, apalagi dikalangan birokrasi. Pernyataan Jusuf Kalla juga mencerminkan posisi pragmatis dan anti demokrasi karena tidak bisa melihat pentingnya partisipasi rakyat dan dinamisasi politik di dalam pemilihan umum langsung dan pendirian partai politik. Pemilu tahun 1955 juga terdiri dari banyak partai, namun kehidupan politik berlangsung begitu dinamis dan partisipasi politik rakyat serta perbedaan pandangan politik berlangsung terbuka begitu nyata. Itulah pendidikan politik yang sebenarnya buat rakyat.

Secara umum semua kekuatan politik berkuasa di Indonesia memang tidak ada yang sungguh-sungguh dan berkepentingan terhadap tegak dan berkembangnya demokrasi. Pengkhianatan kekuatan reformis, yang ingin menunjukkan diri sebagai kekuatan berbeda dari kelas penguasa Orde Baru, seperti PDIP, PAN dan PKS, menjadi kentara ketika mereka segera mendukung dan bergabung dengan tentara dan sisa orde baru menjatuhkan Gusdur pada tahun 2001; tidak serius mendukung peradilan terhadap jenderal-jenderal pelanggar HAM; dan tidak segan-segan bersanding dengan para jenderal pelanggar HAM tersebut menjadi kandidat dalam pemilu. Oleh sebab itulah mereka secara historis dinamakan reformis gadungan, dan segera kehilangan relevansi reformisnya ketika dengan telanjang memperlihatkan karakter gadungannya.

Ditengah fakta pengecutnya kekuatan politik sipil dan reformis gadungan di arena kekuasaan, terdapat beberapa landasan yang saling berkaitan dan memungkinkan terjadinya penyempitan ruang demokrasi di Indonesia pasca reformasi 1998. Pertama, kepentingan stabilisasi ekonomi kapitalisme internasional dan konsolidasi kekuatan modal nasional pasca reformasi. Konsolidasi ekonomi kapitalisme masif dilakukan di era pemerintahan Megawati. Ciri utama ekonomi kapitalis internasional pasca Soeharto adalah menggalakkan neoliberalisme dengan menghancurkan sebagian besar perlindungan negara terhadap pasar. Seluruh layanan jasa sosial dan kebutuhan dasar rakyat seperti bahan-bahan pokok, perumahan, pendidikan dan kesehatan, harus dikomersialisasi (baca: ladang akumulasi profit para pemilik modal).

Pemerintahan Megawati-PDIP lah yang paling berperan besar dalam menjatuhkan Indonesia lebih dalam ke jurang ketergantungan terhadap imperialisme (membuka pintu lebih lebar bagi kebijakan neoliberalisme) melalui privatisasi perusahaan yang menyangkut hajat hidup rakyat, penandatanganan berbagai surat kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia yang membuat Indonesia semakin terjerat dalam mekanisme keuangan kapitalis internasional. Pemerintahan SBY pun melanjutkan skema ekonomi kapitalistik yang serupa dengan perbedaan tekanan kebijakan dibanding pemerintah-pemerintah sebelumnya, misalnya, SBY lebih banyak mendulang hutang luar negeri ketimbang pemerintah sebelumnya, membuka keran liberalisasi lebih deras lagi. Semua tujuan ekonomi politik mereka sama: sama-sama menjadi anak baik imperialisme—sambil memperkaya diri dan mencari celah membangun oligarki modal dalam negerinya; sama-sama tidak punya visi jangka panjang peningkatan kesejahteraan rakyat.

Serangan-demi serangan terhadap hak ekonomi dan sosial politik rakyat pun harus terus dilanjutkan demi stabilisasi ekonomi dan politik borjuasi pasca reformasi. Kekalahan gerakan buruh yang masif melawan revisi UU Ketenagakerjaan tahun 2003 adalah titik balik perjuangan buruh di Indonesia sekaligus surga bagi fleksibilitas tenaga kerja yang dibutuhkan neoliberalisme di Indonesia. Hasilnya, pemerintah SBY-Budiono saat ini semakin gampang mengobral kekayaan dan mengkomersialisasi alam dan tenaga kerja Indonesia beserta seluruh paket layanan sosialnya, ke tangan para kapitalis internasional yang memang sedang membutuhkan lahan baru untuk mengatasi kemandegan akumulasi kapital di dalam negerinya yang sedang diserang krisis. Demi semua inilah stabilisasi politik nasional segera dibutuhkan.

Kedua, gerakan pro reformasi tidak berhasil menghancurkan dan mengubah watak anti demokrasi kekuatan militer dan sisa orba yang menjadi ciri utama politik Indonesia sejak tahun 1965. Reformasi ini tidak berhasil mengubah watak militeristik, kedudukan dan fungsi fundamental tentara melalui berbagai komando teritorialnya—walau berhasil menghalau tentara dari parlemen. Reformasi tak berhasil mengadili jenderal-jenderal pelanggar HAM berat termasuk diktator Soeharto. Reformasi tak berhasil melemahkan kekuatan partai penopang utama Orde Baru, Golkar dan kroni Soeharto.

Hersri Setiawan, seorang penyair dan aktivis Lekra, mengomentari reformasi 1998 sebagai gelombang  besar yang berhasil membuat rezim militer Suharto tumbang, tetapi tidak turut atau belum menumbangkan militerisme , karena “isme” adalah sebuah konsep kebudayaan. Pernyataan Hersri benar di dalam konteks bahwa militerisme memang masih menjadi momok di negeri ini. Penambahan komando teritorial tentara, keterlibatan militer dalam konflik pertanahan serta penembakan kaum tani, keterlibatan petinggi militer dalam pembentukan mayoritas partai-partai politik peserta pemilu, wacana bahwa pimpinan politik yang berlatar belakang tentara lebih baik dari sipil, wacana nasionalisme sempit dalam perdebatan batas-batas wilayah, pernyataan pengamat intelejen di atas, adalah diantara wujud-wujud pikiran dan tindakan militeristik yang masih terus terjadi.

Munculnya organisasi dan partai seperti Nasional Demokrat dan Nasional Republik yang keduanya tegas membela kejayaan politik orde baru dan hendak melakukan restorasi politik dan ekonominya, menunjukkan bahwa sumber-sumber kekuatan politik baru ini masih saja Golkar dan tentara. Bahkan yang terakhir dipimpin langsung oleh anak Soeharto: Tommi Soeharto.  Sebetulnya tidak terlau mengherankan karena sejak pemilu tahun 2004 Golkar, penopang utama kekuatan Orde Baru, kembali menjadi pemenang. Hal ini menunjukkan bahwa hegemoni politik kekuatan sisa orba ini tidak berhasil dijatuhkan.

Hasilnya, sejak pemilu 2004 ketika proses stabilisasi politik mulai menemukan bentuknya, konsolidasi partai-partai penguasa semakin tersentral pada beberapa partai utama saja yang kesemuanya memiliki kaitan dengan tentara sisa orba ataupun pendukung seluruh maupun sebagian ideologi anti demokrasinya. Sejak saat itu pula hampir tak ada bedanya kekuatan pro reformasi dengan kekuatan sisa orde baru, apalagi ketika tokoh-tokoh aktivis-aktivis mahasiswa pelaku reformasi 1998 berduyun-duyun masuk menjadi pendukung dan kandidat partai-partai pengkhianat reformasi dan pro orde baru tersebut. Pemilu 2009 kemudian tinggal melanjutkan konsolidasi serupa hingga mengerucutkan kekuasaan borjuasi pada tujuh partai politik utama saja.

Kedua uraian di atas menunjukkan bahwa pertarungan demokrasi pasca 1998 dimenangkan oleh kekuatan anti demokrasi. Dan diantara kekuatan lama tersebut juga termasuk kekuatan baru yang berkembang pasca reformasi, yaitu kekuatan politik yang anti keberagaman, konservatif dan fundamentalis reaksioner. Penyebab meningkatnya fenomena ini tidak dapat diurai lebih dalam di sini karena membutuhkan pemeriksaan dan penilaian lebih mendalam diartikel yang lain. Namun seperti dinyatakan sebelumnya, bahwa reformasi 98 memberikan landasan keterbukaan bagi semua kepentingan untuk berkonsolidasi dan berkontestasi meraih dukungan rakyat. Dalam pertarungan ini, gagasan konservatisme yang justru mampu maju ke depan, sementara gagasan progresif, gagasan sosialis, gagal menunjukkan dirinya.

Dan semua ini berkaitan langsung dengan faktor yang ketiga, yaitu, gerakan kiri atau kekuatan progresif gagal berkonsolidasi dan memunculkan alternatifnya.  Gerakan sosial progresif gagal menunjukkan ideologi alternatif melawan kapitalisme, melawan ideologi birokratisme dan militerisme khas Orde Baru, melawan konservatisme-fundamentalisme reaksioner yang mendapat tempat di tengah kekosongan ideologi alternatif, dan gagal hidup, mengarahkan dan mendesakkan terus menerus tuntutannya. Musuh berkonsolidasi dengan berkali-kali lebih cepat, sementara gerakan progresif, yang telah lama dihancurkan orde baru dan mulai bagkit  di penghujung 1990-an, kalah cepat menandingi konsolidasi musuh. Inilah sumber penyebab kekalahan utama perjuangan demokrasi di Indonesia.

Gerakan tidak sanggup memanfaatkan kesempatan dan potensi mengubah aturan main politik, pada fase-fase awal reformasi, dengan baik. Kemungkinan sebab ketidaksanggupan tersebut adalah pada kenyataan bahwa gerakan masih berumur sangat muda (baru berkembang di penghujung 90-an) dengan teori-teori strategi dan taktik perjuangan yang belum kaya dalam menghadapi perubahan situasi politik. Namun penyebab ini memang harus diurai dengan lebih bertanggung jawab pada materi lain karena membutuhkan penilaian dan pemeriksaan seksama terhadap problem-problem gerakan sosial progresif dan kiri di Indonesia pasca reformasi.

Ancaman mendesak saat ini

Di tengah meningkatnya serangan demokrasi, wacana pengesahan RUU KUHAP, rencana pengesahan RUU Intelejen Negara, dan wacana RUU Kemanan Nasional, menjadi semacam kesimpulan hukum yang akan menjerat seluruh sendi demokrasi kehidupan rakyat Indonesia ke depan.  Seluruh kemenangan kecil demokrasi hasil reformasi sedang dihancurkan dan celah-celah pemajuannya akan tertutup sama sekali apabila kedua RUU tersebut disahkan.

Rancangan UU Intelejen, RUU Keamanan Nasional, dan RUU KUHP adalah tiga proyek besar status quo melegitimasi ciri militeristik dan anti demokrasi dalam politik Indonesia. Pendapat pengamat intelejen di atas menyangkut dibutuhkannya kembali semacam UU anti subversif sebagai legitimasi penangkapan warga sipil, mewakili alasan dipersiapkannya rancangan UU semacam itu.

Fenomena meningkatnya terorisme, dan gerakan Negara Islam Indonesia (NII) terlepas siapapun dalang, tujuan, dan kepentingan di belakangnya, dimanfaatkan negara untuk menakut-nakuti rakyat sekaligus meningkatkan represi dan pengawasan aktivitas sosial politik rakyat melalui RUU ini. Ketiga RUU ini menjadi semacam pelengkap dan penyimpul bagi berbagai serangan hak-hak demokrasi rakyat yang meningkat di masa pemerintahan SBY-Boediono ini.

Di dalam rilis Koalisi Advokasi RUU Intelejen, terlihat ancaman nyata terhadap kebebasan berekspresi dan berorganisasi rakyat di dalam RUU tersebut, terutama dalam pasal-pasal terkait rahasia informasi intelejen, penangkapan sewenang-wenang atas nama kerahasiaan, dan ketiadaan mekanisme kontrol rakyat dalam bentuk apapun atas nama kerahasiaan negara. Senada pula dengan RUU Keamanan Nasional yang dapat secara sepihak menetapkan status ancaman kemanan berdasarkan intepretasi kelas dan rezim penguasa.

Sementara di dalam salah satu pasal RUU KUHAP dinyatakan dengan jelas bahwa “barangsiapa secara melawan hukum menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk, dan perwujudannya” dan “setiap orang yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga keras menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dapat dipidana”.

Setelah banyak kekalahan terpaksa kita terima, dua ancaman terakhir ini merupakan senjata pamungkas yang akan benar-benar merugikan dan segera mengancam perjuangan rakyat apabila kita biarkan.

Sosialisme membutuhkan demokrasi

Demokrasi dan kapitalisme sebenarnya tidak akan sejalan, karena kapitalisme tidak membutuhkan konsep dasar demokrasi yang paling utama: partisipasi langsung mayoritas rakyat. Kapitalisme memang dapat memberikan demokrasi dibanding sistem perbudakan atau feodalisme, namun, hanya demokrasi terbatas, terkendali, dan formal untuk keberlangsungan penghisapan modal. Demokrasi di dalam kapitalisme adalah demokrasi untuk minoritas para pemilik modal, demokrasi yang dikebiri, menyedihkan, dan palsu. Oleh sebab itu demokrasi dalam kapitalisme bersifat birokratik, seperlunya, formal, dan dapat ditarik sewaktu-waktu.

Kapitalisme tidak berkeberatan dengan para diktator dan kediktatoran selagi mereka berkesesuaian dengan kepentingan akumulasi keuntungannya. Di dalam bukunya Negara dan Revolusi, Lenin, salah seorang pemimpin Revolusi Rusia 1917, mengatakan: “demokrasi dalam kapitalisme adalah demokrasi untuk para pemodal yang posisi dan ekonominya bebas dari kontrol rakyat. Cukup rakyat diberikan dewan-dewan perwakilan tanpa rakyat diberi hak memecat para wakil yang dipilihnya sendiri; cukup rakyat diberikan institusi-institusi ‘demokratis’ sebagai fungsi perwakilan atas aspirasinya tanpa perlu mengerti dan terlibat langsung. Semuanya bertujuan satu: menjauhkan rakyat dari politik, karena politik yang mereka kehendaki adalah politik yang melayani kepentingan pemodal, bukan politik rakyat. Demokrasi seperti ini akan membuat masyarakat apatis, dekaden, pasif tak punya kekuatan politik, dan dimobilisasi hanya untuk kepentingan kelas penguasa”.

Sebaliknya, sosialisme justru membutuhkan demokrasi seluas-luasnya, demokrasi dari-oleh dan untuk rakyat atau demokrasi dari bawah, demokrasi yang anti birokratisme, demokrasi yang menjamin pemerataan kesejahteraan. Pada prinsipnya, demokrasi yang menjamin keberlangsungkan kemanusiaan dan kemajuan seluruh rakyat tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, warna kulit, dan orientasi seksual, untuk dapat menikmati hasil kerjanya secara adil dan mengembangkan kreativitas setinggi-tingginya untuk kebaikan sesama manusia dan alam.

Perjuangan untuk sosialisme adalah perjuangan membalik semua logika demokrasi terbatas kapitalisme tersebut. Sosialisme menghendaki perluasan partisipasi politik rakyat, karena rakyatlah yang pada akhirnya harus berkuasa atas dirinya sendiri. Perjuangan sosialisme membutuhkan perluasan logika demokrasi ke wilayah-wilayah politik yang lebih luas, termasuk memerangi birokratisasi negara—yang merupakan satu bentuk depolitisasi massa. Perjuangan sosialisme bahkan mempolitisasi dan mendemokratisasi seluruh aspek kehidupan rakyat: ekonomi (melalui perjuangan kelas), bahkan rumah tangga (melalui perjuangan feminisme).

Sosialisme membutuhkan sumbangan pikiran, tindakan (partisipasi) seluruh rakyat secara langsung untuk membicarakan dan mencari jalan keluar atas problem-problem kehidupannya. Semakin banyak yang terlibat, semakin kaya dan berhasil sosialisme.  Itulah sebabnya perjuangan sosialisme harus terus menerus mengintervensi perjuangan politik dengan serius, karena setiap langkah kemajuan atau kemunduran politik akan berpengaruh pada kemungkinan kemenangan sosialisme itu sendiri.

Kaum kiri, kaum sosialis, dan kaum progresif, membutuhkan demokrasi seluas-luasnya untuk mengembangkan gagasannya. Oleh karena itu kaum sosialis harus mengambil peran sebesar-besarnya di dalam perjuangan demokrasi. Karena perjuangan demokrasi hanya akan menguntungkan kita, yang menginginkan sosialisme, bukan kekuatan-kekuatan status quo dan pro kapitalisme. Perjuangan demokrasi untuk sosialisme adalah pembuka jalan atas perubahan sistem yang berurat akar pada penindasan manusia atas manusia.

***


[1] Aktivis Partai Pembebasan Rakyat; anggota Perempuan Mahardhika.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *