Revolusi Arab: untuk demokrasi dan kesejahteraan

Koran Pembebasan Edisi I Juli-Agustus 2011

Dian Septi Trisnanti[1]

Di tengah krisis kapitalisme yang menimpa negeri-negeri pusat imperialis, dunia dibuat terhenyak dengan revolusi negeri-negeri Timur Tengah yang selama ini menjadi ladang minyak kapitalisme. Meledaknya Revolusi Arab merupakan perlawanan terhadap kediktatoran, sekaligus perlawanan terhadap kemiskinan akibat kapitalisme. Kebijakan pasar bebas kapitalisme telah menyebabkan harga pangan melonjak, pengangguran meningkat, dan kemiskinan semakin meluas. Dengan demikian, revolusi Arab adalah revolusi politik sekaligus revolusi sosial. Seluruh rakyat tumpah ke jalan menuntut kesejahteraan dan demokrasi. Gerakan di negeri-negeri Arab yang berawal di Tunisia, meluas ke Mesir, Libya, Bahrain, Aljazair, Yaman, Yordania dan berpengaruh di negeri-negeri lain di dunia.

Dalam sejarahnya, negeri-negeri Arab adalah anak emas kapitalisme. Negeri-negeri imperialis bisa dengan mudah menikmati  kekayaan alam di negeri-negeri Arab pada umumnya karena pemerintahan negeri-negeri ini merupakan pemerintahan boneka kapitalisme internasional[2]. Tunisia dan Mesir adalah sebagian negara-negara yang konsisten menerapkan perdagangan bebas sebagai mahzab kapitalisme. Sejak tahun 1974 misalnya, Presiden Anwar Sadat telah membuka Mesir bagi perdagangan bebas yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Husni Mubaraq  di tahun 1991 dengan melakukan reformasi ekonomi berupa pegurangan subsidi, privatisasi, menekan inflasi, memotong besaran pajak dan melakukan liberalisasi perdagangan dan investasi.

Faktanya, perdagangan bebas tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat Mesir. Pada tahun 2010, ILO menyatakan 44% rakyat Mesir berada di bawah garis kemiskinan. Total pengangguran tahun lalu mencapai 7,9 juta orang dan kini bertambah 26,3%, dengan mayoritas usia 15- 29 tahun. Banyak kaum muda pinggiran kota keluar sekolah dan tidak bisa mendapat kerja karena dianggap bukan tenaga kerja sesuai keinginan pasar, sehingga akhirnya bekerja di sektor informal atau bekerja serabutan. Semua itu adalah dampak dari perdagangan bebas.

Sementara di Tunisia, harga bahan pokok yang melonjak, pengangguran  mencapai hampir 30%, dan ratusan ribu kaum muda terlatih dan berkualitas tidak memperoleh pekerjaan adalah landasan utama keresahan sosial. Kenaikan harga luar biasa terjadi pada semua produk-produk penting, termasuk beras, gandum dan jagung, antara tahun 2006-2008. Harga beras melonjak tiga kali lipat dalam lima tahun, melampaui dari harga maksimal $600 ton pada tahun 2003 menjadi lebih dari $1800 per ton pada Mei 2008. Selain itu, harga gabah melonjak hingga 32% selama paruh kedua tahun 2010. Besarnya kenaikan harga gula, sereal, dan bahan-bahan dasar minyak goreng, membuat harga-harga makanan dunia mencapai rekor di bulan Desember melampaui harga di tahun 2008, yang menyulut kerusuhan di seluruh dunia.

Di waktu yang sama, IMF dan WTO menuntut pencabutan semua hambatan tarif dan penghentian semua subsidi bahan makan. Meningkatnya spekulasi harga bahan pangan mendorong bertambahnya kelaparan di seluruh dunia dalam skala yang luar biasa, yang memukul serangkaian negeri-negeri di Afrika dan dunia Arab.

Di tengah kemiskinan yang kian dalam, Presiden Ben Ali dan kerabat terus menerus memperkaya diri. Menurut Transperancy Internasional, Ben Ali dan keluarga mengontrol 30%- 40% perekonomian, sekitar 10 milyar dollar AS. Setelah Ben Ali terguling, istrinya, Leila Trabelsi melarikan diri ke Arab Saudi membawa 1,5 ton emas batangan. Hal tersebut menyulut kemarahan rakyat dan tuntutan demokrasi dan kesejahteraan pun tak bisa lagi dibendung.

Revolusi Arab: Akumulasi Gerakan Rakyat

Revolusi Arab yang dimulai dari Tunisia dan Mesir bukanlah revolusi yang tiba-tiba. Baik gerakan revolusi di Tunisia maupun Mesir memiliki kemiripan. Sama-sama dimulai dari serangkaian demonstrasi dan pemogokan-pemogokan yang digalang oleh serikat buruh independen/semi independen, yang kemudian meluas ke lapisan masyarakat lain, terutama kaum muda. Kedua revolusi ini merupakan hasil dari serangkaian aksi-aksi massa dan pemogokan.

Pergerakan Tunisia dipengaruhi oleh sejarah perjuangan rakyat Tunisia yang digerakkan oleh beberapa organisasi seperti organisasi demokratik, HAM, dan serikat-serikat buruh seperti UGTT (Persatuan Serikat Buruh Tunisia). Serangkaian aksi-aksi massa yang melatarbelakangi revolusi diantaranya: perjuangan beberapa tokoh untuk kebebasan ekspresi dan untuk melakukan perjalanan di tahun 1999, pergerakan pelajar-pelajar SMU di tahun 2000, mobilisasi melawan perang Irak di tahun 2001, intifadah kedua di tahun 2002-2003, pemogokan dan demonstrasi di Gafsa tahun 2008, Ben Guerdane pada Juni 2010, dan Sidi Bouzid pada akhir tahun 2010 yang membuka jalan bagi revolusi.

Melihat gelombang protes yang meluas, Ben Ali kabur ke Arab Saudi dan rakyat pun semakin yakin bahwa RCD (partai pemerintah) harus dibubarkan, semua sistem pemerintahan harus dirubah dan ruang demokrasi harus diperbesar. Perombakan seluruh institusi pemerintahan dan pembentukan pemerintahan revolusioner adalah tuntutan yang tidak bisa dirubah. Rakyat ingin kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, kebebasan membuat partai politik, dan kesejahteraan bagi semua.

Dalam revolusi Tunisia, menurut catatan PBB, 219 orang tewas termasuk 72 orang di dalam berbagai penjara di negara itu. Jumlah ini jauh lebih tinggi dari angka yang dikeluarkan oleh pihak berwenang Tunisia. Pemerintah sementara pun telah menunjuk pemerintah baru, dan dinas polisi rahasia, yang berbiaya mahal serta terkenal ganas bentukan rejim Ben Ali, telah dibubarkan. Tak hanya itu, untuk pertama kalinya dunia pers Tunisia menikmati kebebasan pers setelah sebelumnya, selama 30 tahun, disetir oleh pemerintah Ben Ali. Kini, Ben Ali dikenai 18 dakwaan termasuk penghilangan nyawa dan penyeludupan narkotika. Menteri Kehakiman Lazhar Karoui Chebbi mengatakan dakwaan-dakwaan itu adalah sebagian dari 44 dakwaan terhadap Ben Ali, keluarganya, dan para bekas menterinya.

Demikian halnya dengan Gerakan di Mesir, tidak lepas dari gerakan sebelumnya. Pada tahun 2000, bahkan protes rakyat Mesir tidak dimulai dengan protes anti rejim namun protes terhadap invansi Israel ke Palestina, dan protes pada tiga tahun berikutnya adalah protes terhadap invansi AS ke Irak. Dalam perkembangannya isu solidaritas tersebut bergeser menjadi isu lokal, dan dalam momentum-momentum serupa berkembang menjadi isu anti rejim Husni Mubarak yang dalam prakteknya adalah rejim pro AS. Gerakan rakyat tidak hanya meneriakkan slogan anti Israel, namun juga slogan anti rejim. Hal tersebut tercermin pada gelombang protes pada tahun 2004. Gelombang protes yang meluas pertama kali adalah pemberontakan April 2008 di Mahalla, diikuti dengan protes berikutnya di Borollos, bagian utara Mesir.

Gerakan di Mesir adalah gerakan yang terutama melibatkan buruh, kaum muda, dan kaum miskin kota. Gerakan buruh di Mesir memegang peranan yang cukup besar dalam revolusi Mesir. Sebenarnya gerakan buruh sebelumnya telah diserang oleh kepolisian pada periode 1980-an dan 1990-an. Serangan menggunakan amunisi melawan pemogokan damai para buruh tambang baja terjadi pada tahun 1989, dan pemogokan pabrik tekstil di tahun 1994. Gelombang pemogokan terbesar dan paling bertahan sejak tahun 1946, terjadi pada tahun 2006. Pemogokan di tahun 2006 ini dipicu oleh pemogokan buruh tekstil di kota Nile Delta di Mahalla, kawasan buruh terbesar di Timur Tengah. Lebih dari 28.000 buruh terlibat dalam pemogokan tersebut. Isu pemogokan ini memang isu perburuhan, namun berhasil meluas di sektor masyarakat lainnya, kecuali polisi dan tentara. Pemogokan yang meluas ini berhasil memunculkan 2 (dua) serikat buruh independen untuk pertama kalinya sejak pengumpulan pajak properti tahun 1957. Kedua serikat buruh tersebut adalah serikat bagi pemungut pajak property dan teknisi kesehatan dengan jumlah total 70 ribu buruh.

Hal yang membedakan karakter gerakan buruh di Mesir dan Tunisia adalah, meski buruh di Tunisia berada di bawah kediktatoran, namun mereka memiliki sebuah federasi serikat buruh semi independen. Sehingga, meski pimpinan serikat buruhnya berkolaborasi dengan rejim, para anggotanya adalah anggota serikat buruh yang militan. Hal itu memudahkan konsolidasi kekuatan buruh pada saat pemogokan umum. Sementara, di Mesir, serikat buruh independen hasil pemogokan tahun 2006 segera mendapat teror dari negara sejak pendiriannya, seperti gugatan hukum, dan teror dari serikat buruh sokongan negara, serta upaya lainnya untuk membungkam aktivitas serikat buruh independen. Meski demikian, keanggotaan serikat buruh independen terus bertambah besar dan menjadi unsur kekuatan utama dalam revolusi Mesir.

Dua minggu pasca revolusi di Tunisia, pimpinan serikat buruh pemerintah menarik dukungan dari pemerintah Husni Mubarak. Mereka menuntut kontrol terhadap harga, peningkatan upah dan suatu sistem distribusi bahan pangan yang disubsidi, karena rakyat tidak sanggup memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti teh dan minyak. Revolusi Tunisia telah mendorong pimpinan serikat buruh pro pemerintah berbalik melawan pemerintah, meski sejatinya tetap saja pimpinan serikat buruh ini berwatak reformis atau moderat. Hal yang sulit dibantah adalah peran serikat buruh independen yang muncul sebagai kekuatan pemukul rejim (karena tak bisa dikontrol oleh negara) dengan menggalang pemogokan-pemogokan jauh sebelum terjadinya peristiwa pembakaran diri Sidi Bouzid yang menjadi pemicu revolusi Tunisia.

Revolusi Mesir telah menyatukan berbagai spektrum rakyat, karena tidak hanya melibatkan buruh dan kaum miskin kota, namun juga anak-anaknya para elit. Buruh, kaum miskin kota, kaum muda, masyarakat kelas menengah dan anak para elit, seluruhnya terlibat dalam revolusi. Unsur kaum miskin kota adalah unsur yang menginginkan gerakan menjadi lebih radikal melawan korupsi, sementara unsur yang reformis berposisi hendak mengupayakan lobi, mendorong perubahan dari atas, dan turut terlibat dalam mengendalikan kekuasaan negara tapi tetap mempertahankan unsur-unsur kekuatan lama negara sebelumnya. Dalam hal revolusi Mesir, perbedaan itu (dimana beberapa pimpinan reformis tersebut memilih berkompromi) juga muncul hingga di level pimpinan massa tingkat basis, sehingga menimbulkan lebih banyak perpecahan.

Pertarungan Pasca Revolusi

Momen pasca kediktatoran adalah kesempatan penting baik bagi imperialis dan agen-agennya, maupun bagi gerakan rakyat, dengan kepentingan yang berbeda. Imperialis dan agen-agennya berkepentingan untuk mengembalikan rakyat ke rumahnya masing-masing supaya tidak melakukan aksi-aksi di jalanan atas nama stabilitas. Sementara, kalangan gerakan rakyat berupaya terus melakukan radikalisasi-radikalisasi untuk mengawal proses revolusi hingga membuahkan perubahan mendasar. Beberapa langkah perbaikan oleh pemerintah sementara pasca revolusi memang dilakukan, namun hal itu dilakukan karena mobilisasi rakyat tidak berhenti, sehingga pemerintahan sementara harus tampak serius melakukan perubahan. Itulag buah perbaikan dari bertahannya gerakan rakyat. Situasi semacam ini, secara umum, tercermin di  Tunisia maupun Mesir pasca revolusi.

Di Mesir, pasca tergulingnya Husni Mubarak, dibentuklah Dewan Militer sebagai pemerintahan sementara sampai pemilu terselenggara. Husni Mubarak dan dua menteri senior (Ahmed Nazif, dan mantan menteri penerangan, Habib al-Adly) dijatuhi denda $90 juta karena memutuskan layanan telepon selular dan internet semasa protes anti pemerintah pada bulan Januari 2011. Selain dikenai denda, Husni Mubaraq terancam hukuman mati karena dikenai dakwaan yang lebih berat, termasuk memerintahkan pembunuhan para pengunjuk rasa. Selain itu, pemerintahan sementara juga membebaskan 222 tapol dan merencakan pemilu pada bulan September 2011.

Akan tetapi benarkan dewan militer sebagai pemerintahan sementara ini benar-benar pemerintahan yang demokratik? Tidak. Pengadilan terhadap Husni Mubaraq dan keluarganya serta beberapa kroninya, pembubaran partai penguasa, semua itu dilakukan karena desakan dari rakyat, dan mereka terpaksa menunjukkan diri sebagai pemerintahan sementara yang ‘demokratis’. Di balik itu, Dewan Militer menerapkan Hukum Draconian yang bertujuan mengkriminalisasi aksi protes atas nama stabilitas. Dewan Militer melakukan beragam upaya untuk  mendemoralisasi massa, termasuk dengan menginstruksikan pekerja supaya kembali bekerja dan tidak melakukan aksi jalanan. Bahkan Dewan Militer telah membubarkan aksi pendudukan mahasiswa di fakultas Komunikasi yang telah berlangsung selama 10 hari. Dengan demikian, karakter Dewan Militer adalah serupa dengan rejim Husni Mubaraq yang menggunakan cara represif menghadapi aksi protes massa.

Sementara, di kalangan gerakan Islam fundamentalis, seperti Muslim Brotherhood, mengkampanyekan perubahan konstitusi untuk merubah Mesir menjadi negara Islam. Dan ini mendapat dukungan Dewan Militer. Mereka mengusulkan referendum untuk mencapai tujuannya, dan mengkampanyekan kepada rakyat Mesir untuk menyetujui Mesir sebagai negara Islam. Di sisi lain, pasca revolusi, polisi rahasia berupaya menutupi kejahatan masa lalu mereka dan mengancam pimpinan revolusi seperti Mohamed El Baradai dan George Ishaq, pemimpin kelompok Kefaya.

Hal positif pasca revolusi adalah, beberapa kelompok masyarakat yang awalnya mendukung Dewan Militer sebagai pemerintahan sementara, sekarang mulai menyadari bahwa Dewan Militer tidak berkepentingan mempertahankan revolusi. Demikian halnya dengan organisasi-organisasi kaum muda, mulai mengidentifikasi Dewan Milter sebagai kelompok kontra revolusi. Inilah wujud bahwa pengalaman politik juga akan menjadi guru peningkatan kesadaran rakyat. Untuk itulah, pada tgl 1 April lalu, organisasi kaum muda ini menggalang mobilisasi protes dengan slogan “Selamatkan Revolusi”. Hasilnya, Dewan Militer terpaksa menangkap para pejabat korup dan mengadili pelanggar HAM di masa pemerintahan Husni Mubaraq. Di Bulan Maret, buruh turut ke jalan menggelar aksi-aksi protes dengan tuntutan untuk mengganti UU Perburuhan yang lama dan memaksa pemerintahan sementara supaya mengakui keberadaan serikat buruh independen.

Hal positif lainnya adalah, munculnya partai-partai baru sebagai hasil dari terbukanya ruang demokrasi. Kelompok Muslim Brotherhood telah mengumumkan akan membentuk partai baru yang serupa dengan “Partai Islam Sejahtera” di Turki. Sebaliknya, kelompok-kelompok liberal membentuk partai-partai baru dengan program kiri-liberal dan demokratik. Demikian halnya dengan kelompok buruh yang membentuk Partai Pekerja Demokratik, dan kelompok sosialis yang membentuk Aliansi Sosialis Kerakyatan. Revolusi Mesir, belum selesai. Belum semua elemen rakyat, yang sebelumnya terlibat dalam penggulingan rejim Husni Mubaraq, turut serta dalam mempertahankan revolusi. Hal itu terlihat dalam aksi protes Tgl 1 April 2011 yang mengusung slogan “Pertahankan Revolusi”.

Hal yang hampir serupa, terjadi di Tunisia. Pasca tergulingnya Ben Ali, pemerintahan sementara yang diberi nama “otoritas publik” dibentuk dan terdiri atas 22 orang yang tidak menjadi bagian dari rejim sebelumnya. Selain mengadili mantan rejim dan kroninya, serta membubarkan partai RCD, pemerintahan sementara ini merencanakan pemilu yang akan diagendakan pada bulan Oktober 2011 (sebelumnya direncanakan bulan Juli). Tercatat 70 partai menjadi peserta pemilu tersebut. Namun gerakan rakyat tidak boleh lengah, sebab pemerintahan sementara belum merupakan pemerintahan yang demokratik. Hal itu tercermin dari  pemberlakuan jam malam, dengan dalih agar tidak ada aksi unjuk rasa dan untuk mengendalikan keamanan, sebuah kebijakan yang dulu diterapkan oleh rejim Ben Ali dan berhasil dilawan oleh gerakan rakyat. Dari sini tampak bahwa mobilisasi politik, aksi-aksi massa, sebagai senjata politik utama rakyat, begitu ditakuti oleh rezim demokratik palsu manapun. Untuk mengehntikan revolusi berkembang lebih radikal penghentian mobilisasi politik adalah target para status quo.

Menurut Jalel Ben Brik Zoghlami (Pimpinan Ligue de la Gauche Ouvrière (LGO – Workers’ Left League/Liga Pekerja Kiri) dan pimpinan OCR, Revolutionary Communist Organisation/ Organisasi Komunis Revolusioner) meski Ben Ali dan RCD telah digulingkan, pemerintahan sementara melakukan segala hal untuk melanjutkan karakter pemerintahan Ben Ali, meski tanpa Ben Ali. Pada faktanya, korupsi telah menjalar ke seluruh keluarga elit politik. Di sisi lain, milisi sipil alat Ben Ali tidak turut serta hancur bersamaan dengan dibubarkannya RCD. Bahkan, meski RCD dibubarkan, orang-orang di dalamnya masih memegang sektor ekonomi yang penting di Tunisia, dan masih pula bisa berkonsolidasi untuk membangun alat politiknya yang baru.

Karena itu, menjadi kebutuhan gerakan revolusioner Tunisia untuk membangun konsolidasi melalui Kongres Nasional untuk Mempertahankan Revolusi Tunisia yang didalamnya terdapat serikat-serikat buruh, organisasi Hak Asasi Manusia, serta komite-komite atau organisasi-organisasi rakyat. Berbagai pendiskusian di kalangan gerakan rakyat pun muncul, termasuk penggulingan pemerintahan sementara dan pembangunan pemerintahan baru yang terdiri atas elemen-elemen gerakan rakyat yang terkonsolidasi dalam gerakan revolusi tersebut. Di sisi lain, pemerintahan sementara memilih mengundurkan pemilu yang awalnya dijadwalkan 24 Juli 2011 menjadi 16 Oktober 2011.

Revolusi Mesir dan Tunisia masih jauh dari selesai. Tetapi prosesnya telah memberikan inspirasi luar biasa, serta dengan kecepatan mengangumkan, ke negeri-negeri lain di sekitarnya: Bahrain, Libya, Aljazair, Yaman, Yordania, bahkan Palestina, dan seterusnya Inilah makna internasionalisme di dalam revolusi.

Rejim di negeri-negeri Arab pun segera berkonsolidasi karena tak mau hal yang terjadi di Mesir dan Tunisia terjadi di negeri mereka. Karenanya mereka mati-matian mempertahankan kekuasaan dengan berpura-pura tampil dengan kebijakan kerakyatan. Mobilisasi rakyat di negeri-negeri tersebut kini sedang bertarung dengan represi kediktatoran, seperti pembantaian yang dilakukan Khadafi di Libya beserta serangan pasukan NATO, pemecatan ribuan buruh tambang yang berlawan di Bahrain, dll. Represi tersebut dilakukan tidak hanya untuk mengamankan kekuasaan namun juga mengamankan kepemilikan modal yang dimiliki para penguasa tersebut.

Para penguasa pun sadar bahwa apabila gejolak perlawanan rakyat sudah tak terbendung, dukungan imperialis akan segera beralih dengan lebih memilih membuka ruang demokrasi dan segera mempersiapkan pemerintahan sementara yang bisa disetir sembari mempersiapkan struktur pemerintahan baru sebagai bonekanya, dengan tujuan utama menyelamatkan sumber minyaknya di negeri-negeri Arab.

Namun, dalam situasi ini, Libya adalah pengecualian, karena imperialis tidak berhasil mengontrol penuh Khadafi. Mereka, lewat serangan pasukan sekutu NATO, mengambil manfaat pergolakan rakyat melawan pemerintahan Khadafi yang anti demokrasi, untuk menggulingkan Khadafi. Libya tampaknya menjadi kunci kekuatan imperialis di dunia Arab, sehingga pertempuran di Libya adalah pertempuran untuk masa depan kekuasaan imperialis di Arab. Sementara gerakan rakyat yang terdiri dari berbagai kepentingan yang bersatu menuntut keadilan dan demokrasi dari Khadafi pun tak silau pada kepentingan imperialis ini. Dengan berbagai kesulitan mereka berusaha meneruskan perlawanan terhadap Khadafi sekaligus menolak intervensi NATO. Sebuah pilihan yang jauh lebih sulit dibandingkan yang harud dihadapi pergerakan rakyat untuk revolusi di berbagai dunia Arab lainnya.

Revolusi Arab telah dimulai, dan bahkan lebih siap dibandingkan yang terjadi di negara kita pada reformasi 1998. Revolusi tersebut tak bisa dihentikan dan dipukul mundur begitu saja. Gaungnya kini bahkan sampai di jalan-jalan di Spanyol, Italia, Yunani, dan Portugal. Tenda-tenda perjuangan, seperti yang didirikan rakyat di Tunisia dan Mesir menjadi ikon perjuangan rakyat di Spanyol saat ini. Sebuah pencapaian yang menggembirakan, yang akan membuka lebih banyak pilihan bagi masa depan perjuangan untuk menjatuhkan kapitalisme dan mambangun sistem baru yang lebih adil, demokratik, dan berkemanusiaan. Sosialisme akan mendapat kesempatan baru di dunia Arab di abad 21 ini.*


[1] Aktivis Partai Pembebasan Rakyat; anggota Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia; anggota Perempuan Mahardhika.

[2] Libya mungkin pengecualian karena Khadafi tak benar-benar sekadar menjadi boneka imperialisme, ia juga mengembangkan oligarki modal dalam negeri dan bermain posisi berhadapan dengan modal asing. Walau demikian ia dikenal sebagai sekutu pemerintah Italia dan Inggris yang baik.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *