Neoliberalisme dan Perang, Musuh Perempuan Sedunia

Oleh Zely Ariane

Persoalan  mendesak kaum perempuan di seluruh dunia  saat ini adalah kemiskinan (akibat neoliberalisme) dan perang terhadap terorisme (militerisme)—yang jalin-menjalin dengan  bertahannya sisa-sisa feodalisme demi keberlangsungan kapitalisme. Capaian positif gerakan perempuan gelombang kedua—yang seharusnya semakin sulit ditarik mundur oleh pemerintah neoliberal—seperti hak formal untuk upah, kesempatan kerja yang sama, dan kebebasan dari diskriminasi, seakan mati langkah dihadapan neoliberalisme. Sejak Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Program/SAP) diterapkan, hak-hak kaum perempuan, yang sebelumnya sudah dimenangkan, kemudian dipreteli. Pemotongan besar-besaran jaminan sosial—pendidikan dan tunjangan kesehatan—di negeri-negeri maju, menyengsarakan kaum perempuan. Ketiadaan akses terhadap kesehatan (khususnya reproduksi) membuat setiap tahun tingkat produktivitas kaum perempuan di seluruh dunia berkurang 20%.

Neoliberalisme Menghancurkan Tenaga Produktif  Kaum Muda dan Perempuan[1]

Seharusnya, hampir 3 milyar jiwa tenaga produktif kaum muda yang berusia di bawah 25 tahun—jumlah yang terbesar dalam sejarah—dapat memberi manfaat bagi kemaslahatan umat manusia dan kaum perempuan pada khususnya. Namun, 85% kaum muda tersebut, hidup di  negeri-negeri miskin—bahkan negeri termiskin memiliki persentase kaum muda paling tinggi. Dari jumlah itu, 100 juta kaum muda perempuannya, dalam 10 tahun ke depan, akan menikah sebelum usia 18 tahun. Sehingga, setiap tahun, 14 juta remaja perempuan yang akan melahirkan berkonsekuensi meninggal terkait komplikasi kehamilan yang meningkat 2 hingga 5 kali dibanding perempuan berusia duapuluhan. Inilah kenyataan jahat yang dihadapi tenaga produktif perempuan di masa depan bila kita tak bias mengatasi masalah neoliberalisme.

Ada 3 milyar orang, 500 juta di antaranya kaum muda, yang hidup kurang dari $2 perhari dan menerima hanya 5% saja dari total pendapatan dunia. Ada 600 juta kaum perempuan di seluruh dunia saat ini dalam keadaan buta huruf. Setiap tahun tak kurang dari 800.000 orang diperdagangkan (secara seksual) ke luar negeri untuk dieksploitasi, dan 80%-nya adalah kaum muda perempuan.

Di hadapan kenyataan-kenyataan di atas, beserta 500.000 kaum perempuan yang mati melahirkan setiap tahunnya, dan 8 juta lebih kaum perempuan yang menderita sakit jangka panjang akibat komplikasi kehamilan, maka salah satu butir ‘kehendak’ Milenium Development Goals (MDG’s)—yang ‘menjamin’ kesetaraan dan pemberdayaan kaum perempuan oleh Bank Dunia dan IMF—adalah omong kosong. Setiap tahun, 76 juta kehamilan yang tak dikehendaki terjadi di negeri berkembang saja. 19 juta di antaranya melakukan aborsi illegal. Bahkan, penyebab utama sakit dan kematian pada perempuan yang berusia 15-44 tahun adalah kondisi kesehatan reproduksinya. Kejamnya lagi, meski hampir pasti dapat dicegah, 99% dari kematian (ibu) tersebut terjadi di negeri berkembang dan miskin.

Negeri-negeri miskin adalah negeri-negeri di mana ketidakadilan terhadap perempuan terjadi paling tinggi, dan akses terhadap kesehatan serta hak reproduksi paling rendah. Kehancuran tenaga produktif negeri-negeri miskin akibat neoliberalisme berdampak lebih besar terhadap 1,7 milyar kaum perempuan berusia antara 15-49 tahun, yang merupakan mayoritas tenaga kerja produktif di negeri miskin.

Neoliberalisme Mempreteli Hak-hak Perempuan[2]

Meskipun semakin banyak kaum perempuan masuk dunia kerja, berbagai bentuk diskriminsi serta keterbatasan pilihan pekerjaan dan upah yang lebih rendah masih menjadi persoalan hingga kini. Dalam beberapa kasus, memang, buruh perempuan memperoleh kemajuan dengan mendapatkan akses pekerjaan yang berupah tinggi, namun itu tak sebanding dengan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh semakin mendalamnya jurang antar-kelas.

Di Amerika Serikat (AS), kemuduran gerakan perempuan juga terkait dengan penguatan politik kanan (konservatif), dan semakin kentara ketika Bush terpilih kembali—mungkin secara umum bisa disamakan dengan terpilih kembalinya Blair (Inggris) dan Howard (Australia). Dalam Konvensi Southern Baptist bulan Juni tahun lalu, Bush menegaskan bahwa ia akan berjuang sekuat tenaga tenaga untuk melarang perkawinan gay dan aborsi.

Menurut Bank Dunia, di negeri-negeri maju, perempuan memperoleh 77 sen dari setiap dollar yang diperoleh laki-laki, dan di negeri berkembang 73 sen saja. Laki-laki di dalam pemerintahan Bush menerima $76,624 setahun, sedangkan perempuannya rata-rata hanya $59,917. Kesenjangan upah tersebut terus terjadi di seluruh AS hingga kini. 1.3 juta pekerjaan musnah sejak resesi ekonomi Maret 2001. Kaum buruh perempuan kehilangan lebih dari 300.000 pekerjaan antara awal Maret, 2001, dan Maret, 2004.

Di Mexico, migrasi kaum laki-laki akibat tekanan ekonomi membuat kaum perempuan harus bekerja di ladang sekaligus menjaga anak. Dalam satu abad terakhir, kepala rumah tangga perempuan, baik di perkotaan maupun di pedesaan, bertambah dua kali lipat jumlahnya. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dialami oleh 14 perempuan setiap hari, namun hukum di 8 negara bagian tidak menganggap KDRT sebagai kejahatan. Pembunuhan dan pemerkosaan terhadap perempuan muda yang bekerja hanya dianggap sebagai ‘resiko’ demi investasi asing dalam pabrik-pabrik lepas pantai (perbatasan negeri) yang, katanya, menyangga perekonomian lokal.

Di Argentina, setiap lima menit seorang remaja perempuan menjadi ibu, sementara pemerintah melarang aborsi yang memarakkan aborsi illegal sebagai penyebab utama kematian ibu. Pertumbuhan ekonomi 8,8% dan surplus fiskal sebesar $20 milyar di tahun 2005 tidak menguntungkan kaum perempuan. Setengah penduduk mendapatkan kurang dari 400 peso ($130,5) sebulan. Dari 18 juta rakyat miskin di Argentina, kaum perempuan adalah yang termiskin—6 dari 10 perempuan, dengan total 16,6%, hidup miskin dengan rata-rata pendapatan 221 peso per bulan, yang hanya memenuhi 58% dari total kebutuhan keluarga. Di bidang akademik, kesenjangan upah antara lelaki dan perempuan mencapai 34% hingga 45,9%. Ditambah dengan inflasi, sebetulnya, upah kaum perempuan hilang sebesar 32,4%. Memang, sebagian besar program-program sosial ditujukan pada kaum perempuan, namun pada kenyataannya, 63%-nya dikuasi kaum lelaki. Agar dapat menerima program keluarga, yang dirancang untuk 230.000 ibu yang memiliki lebih dari 3 anak kekurangan gizi, kaum ibu terpaksa tinggal di rumah dan selalu bersiaga bila tiba-tiba ada pemantauan dari pengawas pemerintah. Mayoritas organisasi perempuan setuju bahwa hal tersebut merupakan bentuk penghancuran militansi kaum perempuan sebagai pejuang di jalan-jalan, dan dapur-dapur umum warga menjadi berada di bawah kontrol pemerintah.

Perang Melawan Teror,  Meneror Perempuan[3]

 

Perang terhadap terorisme oleh AS menambah kesengsaraan kaum perempuan di Iraq dan Afganistan. Sejak pendudukan Amerika dan pergantian rejim, lebih dari 50% kaum perempuan di Irak kehilangan lebih banyak kebebasan ketimbang yang sebelumnya sudah mereka peroleh; pemerkosaan dan kekerasan adalah ancaman sehari-hari. Serupa dengan kondisi di Afganishtan, perdagangan perempuan meningkat tajam, seperti halnya juga pemerkosaan, perkawinan paksa, penggunaan obat bius, dan kekerasan. Tetap saja, sepertiga kaum perempuan yang tinggal di Kabul tidak diperbolehkan keluar dari rumah, tak punya hak waris, hampir tak mungkin melakukan perceraian, dan sedang berjuang untuk memperoleh kembali hak kesehatan dan mata pencaharian.

Penghancuran infrastruktur dan peningkatan kekerasan oleh tentara pendudukan AS, kebangkitan ekstrimis relijius menjadi ancaman baru bagi kaum perempuan. Jaringan Women Living Under Muslim Laws (WLUML) (kaum perempuan yang hidup di bawah Undang-Undang Islam) menunjukkan ada pola yang sedang terjadi di Irak dan, dalam konteks yang sama, mungkin terjadi di Afganistan: kekerasan terhadap kaum perempuan, sebagai sebuah bentuk imtimidasi politik, adalah salah satu strategi kekuatan ekstrim kanan yang  sistematis untuk menerapkan hukum dan negara Islam.

Perang terhadap teror tidak pernah terbukti menghancurkan fundamentalisme—yang menjadi salah satu penghambat pembebasan kaum perempuan—yang selama ini oleh AS dijadikan sebagai pembenaran. Yang terjadi sebenarnya hanyalah pergantian rejim fundamentalis anti AS dengan rejim fundamentalis yang pro-AS. Kebangkitan fundamentalisme selain oleh karena perang melawan terorisme juga merupakan suatu bentuk ketidakmampuan gerakan memunculkan alternatif terhadap tatanan neoliberalisme saat ini. Hal yang disebutkan oleh Nawal El Saadawi sebagai “…dalam situasi kebingungan, tidak menentu dan tidak aman, banyak orang mencari pemecahan dan kenyamanan di dalam agama. Muncullah apa yang disebut sebagai kebangkitan agama. Padahal, agama hampir selalu digunakan untuk tujuan-tujuan politik. Situasi tersebut dapat menjelaskan tumbuhnya kekuatan fundamentalisme. Yang berkuasa di India saat ini adalah kelompok fundamentalis Hindu; di AS, kelompok neokonservatif, kapitalis neoliberal dan fundamentalis; di negeri-negeri Asia dan Arab, gerakan Islam fundamentalis tumbuh; di Israel, kelompok fundamentalis berkoalisi dengan pemerintah.”

Perempuan di Negeri-negeri Imperialis[4]

 

Kemapanan yang menjadi ciri khas organisasi-organisasi perempuan internasional saat ini adalah kelanjutan dari mandegnya feminisme gelombang kedua. Gelombang pertama dan kedua sama-sama bermuara pada eksistensi feminis kaum perempuan kelas menengah. Bahkan, di era ‘80an, pimpinan-pimpinan gerakan perempuan di negeri maju kerap disuap kedudukan-kedudukan dalam birokrasi pemerintah, dunia akademik atau parlementer. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kemerosotan gerakan perempuan di negeri-negeri maju, selain erat pula kaitannya dengan kemunduran gerakan (kiri) secara keseluruhan akibat ketidakmampuan melahirkan alternatif bagi kapitalisme. Barbara Epstein dalam Apa yang Telah Terjadi dalam Gerakan Perempuan?[5] menggambarkan banyak capaian gerakan perempuan di negeri-negeri induk imperialis. Namun, keberhasilan tersebut belum membawa kesetaraan jender yang sesungguhnya.

Mayoritas organisasi perempuan di negeri imperialis masih percaya pada penyelesaian persoalan kaum perempuan di bawah syarat-syarat kapitalisme. Padahal persolan yang dihadapi saat ini terus berputar-putar di sekitar: bekerja diluar rumah dengan upah lebih rendah—sehingga menjadi lebih miskin ketimbang lelaki; tanggung jawab memelihara anak tetap lebih banyak pada kaum perempuan; dan yang paling gawat, tak ada lagi gerakan massa perempuan.

Padahal, tak terhitung jumlah proyek-proyek kaum feminis yang terorganisir, yang memfokuskan diri pada persoalan-persoalan KDRT, hak-hak reproduksi dan kesehatan kaum perempuan. Terdapat jaringan (internasional) kaum perempuan yang melanjutkan usaha-usaha yang telah dimulai pada pertemuan kaum perempuan internasional di Beijing pada tahun 1995. Para penulis feminis muda mempublikasikan buku-bukunya, yang dipersembahkan bagi, atau berbicara pada, generasi mereka. Namun, feminisme lebih menjadi suatu gagasan ketimbang mejadi sebuah gerakan, dan itulah yang menyebabkannya sering kekuarangan kualitas visi yang penah dimilikinya.

Memang, secara umum keterlibatan kaum perempuan didalam aksi-aksi anti perang dan isu-isu anti kapitalisme serta anti imperialisme meningkat, seperti bentuk-bentuk aksi yang dilakukan oleh jaringan World Women March (derap kaum perempuan dunia) dalam melawan kekerasan dan kemiskinan. Tapi, belum terlihat signifikansinya terhadap kemunculan dan pembesaran gerakan perempuan. Keterlibatan kaum perempuan dalam isu-isu tersebut bersifat empirik, artinya dukungan/keterlibatannya meningkat setelah mereka   merasakan serangan imperialisme dan perang yang berdampak langsung pada penurunan hak-hak kesejahteraan mereka. Kondisi tersebut juga terkait dengan bertahannya program-program sosial-demokrasi yang mengkanalisasi perlawanan rakyat dan kaum perempuan terhadap instrumen-instrumen negara borjuis. Di luar kehebohan yang ditampilkan organisasi-organisasi perempuan di Barat, sedikit sekali dari mereka yang menjadi pompinan partai-partai politik progressif.

Perempuan di Negeri-negeri Miskin[6]

 

Dampak neoliberalisme memupuk perlawanan kaum perempuan di negeri-negeri Dunia Ketiga bersama-sama dengan sektor masyarakat lainnya. Dalam sejarahnya, radikalisme gerakan perempuan menyatu dengan gerakan pembebasan nasional dan penggulingan kediktatoran, seperti di negeri-negeri Amerika Latin—Nicaragua dan El Savador—Nepal, Filipina (dengan Gabriella-nya), dan Palestina. Di Amerika Latin, setelah kemenangan hak pilih di awal 1930-an hingga akhir 1950-an, radikalisme dan militansi kaum perempuan berlanjut untuk perjuangan demokrasi di era 70-an hingga 80-an. Setelah liberalisasi politik, tampak gerakan perempuan yang berperan sangat besar dalam perubahan politik Amerika Latin hampir-hampir berhenti pada parlementarianisme, kecuali gerakan massa perempuan yang menjadi bagian dari perjuangan yang bertujuan mencapai  masyarakat sosialisme. Namun, tak seperti di negeri-negeri induk kapitalis, situasi tersebut tidak kemudian mematikan gerakan massa perempuan. Perubahan politik yang meluaskan semangat anti imperialisme di Amerika Latin (di bawah pimpinan Chavez, Castro dan Morales) memberi ‘angin segar’ gerakan perempuan di Amerika Latin.

Salah satu yang berhasil mempertahankan ciri gerakan massa perempuan yang politis, anti globalisme neoliberal dan tidak sektarian adalah organisasi payung perempuan Gabriella di Filipina. Perwakilan Gabriella di parlemen Filipina tetap melanjutkan tradisi politik revolusioner Gabriella dengan terus terlibat aktif dalam gerakan anti imperialisme dan aksi-aksi anti Arroyo baru-baru ini.

Lain dengan Brazil, semasa kediktatoran, politisasi perempuan di Brazil begitu cepat. Organisasi perempuan yang pada awalnya hanya membagikan susu pada ibu-ibu miskin berkembang menjadi gerakan anti kediktatoran yang meluas. Namun, angka-angka yang mencerminkan kemajuan (politisasi) perempuan—seperti peningkatan 5 kali lipat kaum perempuan yang masuk Universitas, hingga setara dengan jumlah kaum lelakinya di akhir 80-an; peningkatan 18, 5%  populasi perempuan yang aktif secara ekonomi antara tahun 1970-1980—masih didominasi oleh perempuan kelas menengah dan berkulit putih. Pada pertengahan 2003, National Confederation of Agricultural Workers (CONTAG) (konfederasi nasional pekerja pertanian) dan organisasi-organisasi lainnya mengorganisir 30.000 kaum perempuan Brazil untuk menuntut akses terhadap tanah dan air, pelayanan kesehatan, kenaikan upah, dan peraturan untuk mencegah kekerasan seksual.

Di Chile, Presiden kiri-tengah, Michelle Bachelet, menunjuk 10 perempuan dan 10 lelaki dalam kabinetnya, termasuk Menteri Pertahanan dan stafnya serta Menteri Ekonominya. Namun semua itu belum tentu lebih bermakna bagi perjuangan pembebasan perempuan, karena Bachelet sejak awal tak tegas menolak neolibealisme.

Di Bolivia, Presiden Evo Morales membentuk kabinet yang sebagian besar berasal dari masyarakat adat, serikat buruh dan kaum perempuan—sektor-sektor yang paling parah menjadi sasaran neoliberalisme. Nila Heredia, seorang Professor Universitas dan juga pejuang pembela hak sipil dipilih sebagai Menteri Kesehatan, dan Casimira Rodriguez seorang antropologis dan aktivis perempuan menjadi Menteri Kehakiman/Peradilan

Setelah Kuba, Venezuela adalah negeri berikutnya yang sedang berjuang memberikan basis bagi pembebasan kaum perempuan melalui Revolusi Bolivarian yang demokratik dan anti imperialisme. Konsitusi Republik Kelima Venezuela yang terkenal sebagai konstitusi paling baik melebihi Magna Charta, menjamin hak-hak perempuan secara khusus. Bahkan konstitusi diputuskan melalui referendum, setelah sebelumnya kaum perempuan, melalui Front Perempuan Konstitusional Pergerakan Republik Kelima (FCMMVR), mengorganisir aktivis-aktivis feminis, mantan-mantan pejuang gerilya (kiri) perempuan, ibu-ibu rumah tangga, para profesional, dan anggota-anggota organisasi perempuan seperti Women for Venezuela (kaum perempuan demi Venezuela) serta United Women Leaders (pimpinan-pimpinan kaum perempuan bersatu), untuk mendata persoalan perempuan yang harus dijawab oleh Konstitusi. Hasilnya, konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa perempuan berhak atas kewarganegaraan penuh, berhak bersuara atas diskriminasi, pelecehan seksual dan KDRT. Tak cukup sampai disitu, Konstitusi Venezuela adalah satu-satunya konstitusi di Amerika Latin yang menyatakan pekerjaan rumah tangga sebagai sebuah aktivitas produktif secara ekonomi, dan menjamin ibu rumah tangga memperoleh jaminan sosial (pasal 88).

Konstitusi juga menghindari penggunaan bahasa yang seksis. Contohnya, terkait dengan sebutan orang, konsititusi menggunakan baik kata president (mengacu pada presiden laki-laki) maupun presidenta (presiden perempuan). Untuk mengatasi 50% kaum perempuan yang bekerja di sektor informal dan berupah rendah, pemerintah Chavez membentuk Bank Pembangunan Perempuan (BANMUJER) pada tanggal 8 Maret, 2001. Bank memberikan pinjaman berbunga rendah kepada kelompok perempuan untuk berproduksi. Seringkali pinjaman-pinjaman tersebut tak mampu dikembalikan, namun landasan pembentukan BANMUJER bukanlah laba, melainkan kemajuan tenaga produktif perempuan.

Hasilnya, partisipan program-program (mission) politik dan komunitas sosial, serta pertemuan-pertemuan politik lainnya, paling banyak dihadiri kaum perempuan. Hasil-hasil terebut dipertahankan dengan membentuk INAMUJER (Lembaga Perempuan Nasional) yang dikoordinir Maria Leon [bekas pejuang gerilya (kiri) dan aktivis perempuan]. Tujuan utamanya adalah mempertahankan hak-hak politik yang saat ini sudah diperoleh dan meluaskannya hingga masyarakat yang demokratik secara politik, sosial dan budaya menjamin pembebasan perempuan.

Perang Rakyat yang dimulai sejak Februari, 1996, sampai saat ini di Nepal, meluas di 73 distrik dari 75 distrik yang ada. Mobilisasi kaum perempuan adalah yang terbanyak dalam perang tersebut. Di antara semua organisasi massa lainnya, organisasi perempuan ANWA(R) (Perhimpunan Permpuan Seluruh Nepal) adalah yang paling aktif dan paling militan di barisan depan pergerakan—bahkan kaum perempuan lebih dulu menyerahkan perhiasan-perhiasan warisan keluarganya untuk kepentingan perjuangan. Setelah diberlakukannya keadaan Darurat di bulan November, 2001, semakin banyak kaum perempuan yang diperkosa, dibunuh, dan hilang. Namun situasi tersebut tidak menyurutkan peningkatan partisipasi perempuan dalam perang rakyat di Nepal. Terkait erat dengan kepemimpinan Partai Komunis Nepal (CPN-Maois), lapangan perjuangan kaum perempuan adalah di dalam partai, ketentaraan, dan front persatuan. Saat ini semakin banyak kaum perempuan memiliki keberanian memberontak melawan perkawinan yang menindas dan secara politik tidak tepat. Juga meningkat kecenderungan perempuan yang menjanda untuk menikah lagi (yang dikutuk oleh tradisi Hindu ortodok).

Di Palestina, kaum perempuan juga terlibat dalam bermacam bentuk perlawanan, termasuk perjuangan bersenjata. Bahkan, perjuangan kaum perempuan Palestina adalah inti dari sejarah keseluruhan perjuangan rakyat Palestina. Pada intifada pertama (1987), kaum perempuan berperan penting dalam memimpin demonstrasi, membangun komite-komite pelayanan rakyat, dan mempelopori kampanye boikot produk-produk Israel di Gaza dan Tepi Barat. Mayoritas LSM perempuan yang bergantung pada pendanaan LSM perempuan negeri-negeri imperialis sering tak mengaitkan feminisme dengan kehendak pembebasan nasional perempuan Palestina. Kaum perempuan yang bergerak di jalan-jalan berkeyakinan bahwa akar penyebab penindasan mereka juga terkait dengan penjajahan/pendudukan negerinya. Kaum perempuan seperti itulah yang bertahan dalam pergerakan pada intifada kedua pasca Oslo. Ratusan kaum perempuan Hamas berperan besar di dalam berbagai Universitas, termasuk Universitas terbesar di Palestina Al-Najah, dimana pergerakan memperoleh kemenangan gemilang pada pemilihan dewan mahasiswa/i.

Kaum perempuan Hamas menghendaki kesempatan yang sama untuk menyebarluaskan ideologi pergerakan ke sebanyak mungkin rumah rakyat Palestina—mereka melakukan kunjungan rutin ke distrik-distrik tempat rumah-rumah ratusan keluarga Palestina. Peran besar mereka, rekor pelayanan sipil, kesehatan dan bakti-bakti sosial untuk masyarakat tak bisa dikalahkan oleh kaum lelaki.

Hasilnya, dalam kemenangan Hamas pada pemilu di Palestina, juga  di tingkat kabupaten, jumlah pendukung Hamas dari kalangan kaum perempuan jauh lebih besar dibandingkan dari kalangan kaum lelaki, dan Hamas menempatkan enam orang perempuan di parlemen. Rakyat mengakui bahwa ”Sebelum Hamas (menjalankan programnya), perempuan tidak melek situasi politik. Hamas lah yang menunjukkan dan menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Perempuan sekarang jauh lebih sadar.”

Kesimpulan

 

1. Krisis neoliberalisme yang menghancurkan tenaga produktif kaum perempuan mempreteli hak-hak ekonomi dan politik yang sempat dimenangkan sebelumnya. Solusi ala MDGs adalah retorika imperialis untuk sekadar membuat negeri-negeri berkembang dan miskin, yang bergantung pada hutang, berdaya sebatas bisa membayar cicilan hutangnya kembali. Sehingga pemenuhan hak-hak perempuan, termasuk kampanye melawan kekerasan dan pemberdayaan perempuan dalam kerangka neoliberalisme (MDGs), tidak akan pernah menyelesaikan persoalan mendasar perempuan.

2. Perjuangan melawan neoliberalisme dan perang melawan teror, sebagai penyebab kemiskinan dan kehancuran tenaga produktif, adalah persoalan mendesak kaum perempuan seluruh dunia saat ini. Terpecah-pecahnya (fragmentative) kelompok-kelompok perempuan kedalam isu-isu seperti HAM, aborsi dan lingkungan adalah akibat dari krisis dan hasil dari perbedaan pendapat berbasis kelas dalam pergerakan perempuan yang, sedikit demi sedikit, mulai terkikis oleh kenyataan bahwa semakin fragmentatifnya tuntutan perempuan maka semakin jauh ia dari kemenangan sejatinya. Fragmentasi isu dapat digunakan sebagai taktik untuk kemenangan kecil namun tidak strategis. Kemandegan kelompok-kelompok perempuan di negeri imperialis membuktikan bahwa isu yang fragmentatif tersebut pun tak bisa lagi dipenuhi oleh pemerintah imperialis.

3. Di tengah kemunduran gerakan perempuan internasional secara umum, terdapat sebuah celah bagi konsolidasi gerakan perempuan yang memang (seharusnya) menemukan momentumya. Kebutuhan alternatif terhadap model ekonomi neoliberalisme yang sudah bangkrut merupakan momentum bagi kebangkitan gerakan perempuan. Bangkitnya perlawanan hingga terwujudnya sebuah pemerintahan dan sistem alternatif di luar neoliberalisme semakin nyata di Amerika Latin, dan kaum perempuan mampu berada di barisan terdepan. ***


[1] Data-data diambil dari UNFPA, on Women Condition September 2005.

[2] Data-data diambil dari www.thetruthaboutgeorge.com/ dan 20th National Women’s Encounter, Mar del Plata Olga Cristóbal, serta Womens Rights Eroding in Latin America oleh Laura Carlsen.

[3] Data-data dari Green Left Weekly; Monthly Review; Kompas.

[4] Lihat pamflet Setara yang diterbitkan Lembaga PEMBEBASAN, Media dan Ilmu Sosial (LPMIS) dan Kalyanamitra, 2004.

[5] Ibid.

[6] Data-data dari Green Left Weekly; tulisan Women Right to Employment and Fair Wages, Miriam Nobre; Bolivia, Indigenous Leaders, Women Head New Cabinet, Franz Chávez.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *