Gerakan untuk Partisipasi Kerakyatan

Oleh Martha Harnecker

1. Model globalisasi yang dipaksakan di benua kita terbukti gagal/tak mampu mengatasi persoalan-persoalan yang paling menekan di negeri-negeri kita ini, dan sebagai konsekuensinya mengintensifkan penolakannya sendiri.

2. Penolakan tersebut diekspresikan melalui berbagai macam praktek perlawanan dan perjuangan.

3. Front kiri atau proses politik kaum kiri melawan neoliberalisme sedang berkonsolidasi di sebagian negeri Amerika Latin. Sebagian lainnya adalah gerakan sosial yang kuat dan telah menjadi aktor politik utama, yang kini berada di garis depan perjuangan melawan globalisasi neoliberal.

409. Setelah mempelajari delapan pengalaman perlawanan (terhadap neoliberalisme) yang paling relevan di Amerika Latin: EZLN di  México; FMLN di El Salvador; Revolusi Bolivarian Venezuela; gerilya di Colombia; gerakan pribumi dan ekspresi politiknya di Ecuador; PT dan MST di Brazil, Frente Amplio di Uruguay, maka harus kusimpulkan bahwa poros strategis perlawanan terhadap neoliberalisme adalah, pertama-tama (paling utama), melalui pengartikulasian sektor-sektor kaum kiri yang berbeda-beda. 

410. Aku memaknai Kiri sebagai seluruh lingkaran kekuatan yang bangkit melawan sistem kapitalis (dengan logika labanya), yang berjuang untuk sebuah masyarakat alternatif berdasarkan kemanusiaan dan solidaritas dalam memperjuangkan kepentingan kelas pekerja, membebaskannya dari kemiskinan material dan penderitaan spiritual yang diternakkan oleh kapitalisme.[1]

411. Kiri, oleh karenanya, tak sekadar dalam pengertian unsur-unsur yang melawan baik dalam partai kiri maupun dalam organisasi politik; namun juga termasuk aktor-aktor dan gerakan sosial. Mereka seringkali dinamis dan bermental juang, mereka mengakui gagasan/cita-cita yang disebutkan di atas, walaupun tidak melawan dalam partai politik atau organisasi manapun.  Di kalangan yang pertama (dalam partai atau organisasi politik) terdapat mereka yang lebih cenderung mengakumulasi kekuatan dengan mentransformasi institusi-institusi, dan  yang lainnya memilih perang gerilya revolusioner; sedangkan di kalangan yang terakhir (aktor-aktor dan gerakan sosial), beberapanya mencoba menciptakan gerakan sosial yang otonom dan berbagai tipe jaringan.

412.  Bila disederhanakan, aku menyebut grup pertama sebagai “Kiri-Partai”; dan grup kedua sebagai “Kiri-Sosial.” Aku yakin bahwa hanya dengan menyatukan upaya-upaya militan berbagai ekpresi Kiri yang berbeda-beda itulah yang akan mampu menjalankan dengan tepat tugas kedua: membangun persatuan yang lebih luas dari seluruh kepentingan yang menderita akibat kapitalisme yang kejam saat ini, dan menciptakan suatu blok sosial yang signifikan dalam melawan neoliberalisme.

421. Kita hidup pada masa ketika partisipasi politik (yang tepat) telah menyempit—sebuah fenomena yang mendunia—dan telah mengorientasikan dirinya ke arah lain serta menuju bentuk-bentuk tindakan yang lain.[2]

422. Pada saat yang sama, secara umum, terjadi ketidakpercayaan rakyat (yang terus meningkat) terhadap politik dan politisi.

423. Hal tersebut ada hubungannya dengan hambatan luar biasa yang ‘harus dihadapi’ rejim demokratik saat ini.

424. Franz Hinkelammert menjelaskannya sebagai demokrasi agresif, minim konsensus, memiliki kontrol ekstrim terhadap media dalam hal mengkonsentrasikan kepentingan ekonomi; kedaulatan tidak berada pada pemerintahan sipil melainkan pada lembaga-lembaga pertahanan dan, terlebih lagi, pada organisasi keuangan internasional yang mewakili pemerintahan negeri-negeri yang lebih maju. Demokrasi yang terkontrol adalah demokrasi yang para pengontrolnya malah mereka yang tidak tunduk pada mekanisme demokratik manapun juga.[3]

425. Kontrol berintensitas rendah ini, menghambat, membatasi, atau mengawal rejim demokratik—yang tipenya digambarkan berbeda-beda (oleh berbagai penulis)—yang mengkonsentrasikan kekuasaan ke dalam institusi berkarakter permanen, yang bukan elektoral dan, oleh karena itu, tidak tunduk pada proses pemungutan suara, seperti: Dewan Keamanan Nasional, Bank Sentral, Institusi Penasehat Ekonomi, Mahkamah Agung, dan institusi serupa lainnya, yang secara drastis membatasi kapasitas efektif para pejabat yang terpilih secara demokratik. 

428.  Hal lain yang dapat menjelaskan peningkatan ketidakpercayaan rakyat terhadap politik dan politisi termasuk, di satu sisi, suatu belas kasihan Kaum Kanan (yang tidak tepat) masuk ke pembahasaan dan diskursus Kiri, misalnya saja kata-kata semacam: reformasi, perubahan struktural, perhatian terhadap kemiskinan, transisi,  yang saat ini telah menjadi bagian dari perdebatan sehari-hari; dan, di sisi lain, semakin seringnya sebagian praktisi politik Kiri mengadopsi praktek-praktek yang hampir-hampir tidak berbeda dari yang biasa dilakukan partai tradisional

431. Rakyat biasa sudah muak dengan sistem politik tradisional dan menginginkan pembaruan; suatu pendekatan baru atas proses politik dan menghendaki pembaruan; mereka menginginkan politik yang sehat; trasparan dan partisipatif; mereka ingin merengkuh kembali harapannya.[4]

433. Ketidakpercayaan pada politik dan politisi tumbuh setiap hari dan juga merembes ke dalam gerakan Kiri-Sosial. Dalam arena politik, tempat partai politik bekerja, hal tersebut tak memberikan bahaya bagi politik Kanan, namun membahayakan bagi Kiri. Kanan bisa bekerja dengan sempurna tanpa partai politik, seperti yang sudah sering ditunjukkan selama periode kediktatoran, namun Kiri […] tak bisa melakukannya tanpa alat politik, baik itu partai politik, front politik, atau instrumen lainnya.[5]

 Pengkerdilan aktivitas politik menjadi semata-mata institusional 

442. Kaum kanan telah menunjukkan inisiatif politik yang luar biasa dengan mengontrol dan memanfaatkan institusi negara serta keuletan pengaruh ekonominya dalam memaksakan model neoliberal. Mereka menjabarkan dan mempraktekkan strategi fragmentasi (pemecah-mecahan) yang simultan dan pintar yang, secara tak setara, memajukan gerakan sosial tertentu dan membangun sentimen anti-partai. Biasanya, mereka menggunakan hampir seluruh institusi-institusi yang ada untuk pekerjaan politiknya tersebut. Ia berkecenderungan mengadaptasi dirinya pada aturan main yang dipaksakan musuh, dan hampir-hampir tak pernah mengejutkan musuh. Tingkat absurditas semacam itulah yang diatur Kaum kanan terhadap agenda Kaum kiri.

443. Setelah mereka mengetahui hasil elektoral tak seperti yang mereka harapkan, kapan kita tidak mendengar kaum kiri yang mengeluh mengenai kondisi merugikan yang, sebenarnya, harus dilawan selama pemilu? Sejauh ini, kaum kiri semacam itu sangat jarang mengritik aturan main yang diterapkan tersebut, termasuk tak pernah memberikan suatu proposal reformasi elektoral selama kampanye elektoral. Sebaliknya, biasanya, karena haus akan suara, ketimbang melakukan kampanye-pendidikan dalam rangka mempromosikan kandidatnya (sehingga rakyat dapat memperbaiki organisasi dan kesadarannya), mereka malah menggunakan teknik yang sama dengan kelas penguasa.

444. Di sisi lain, aturan main yang diterapkan oleh kelas yang dominan menghambat persatuan Kiri dan menstimulasi kultus individu.[6]

445. Sebagai akibatnya, pasti, ketika terjadi kekalahan elektoral, pada puncak keputusasaan, keletihan dan keraguan yang membebaninya selama kampanye, upaya elektoral tidak diterjemahkan sebagai pertumbuhan suara politik pemilih,  dan mereka sekadar menyisakan organiser yang berada dalam perasaan kesia-siaan. Situasi tersebut akan menjadi sangat berbeda jika kampanye disusun dari sudut pandang penyadaran/pendidikan, menggunakan pemilu untuk memperdalam kesadaran tentang organisasi kerakyatan yang, bahkan, sekalipun hasil pemilu tidak menyenangkan, namun waktu dan usaha yang sudah diinvestasikan dalam kampanye tidak akan dianggap sia-sia[7].

446. Pernah disebutkan, setidak-tidaknya oleh beberapa orang, bahwa sistem yang dominan menciptakan kultus institusi sebagai kuda Trojan yang mengantarkan Kiri ke dalam benteng transformasinya; yang kemudian menyerang Kiri dari dalam.[8]

447. Kerja-kerja militan semakin lama semakin didelegasikan kepada orang yang memegang jabatan publik dan administratif. Kerja keras yang paling pokok adalah menghentikan dan mengubah aksi kolektif menjadi aksi parlementer[9] atau menjadi mediator.

448. Aksi militan dikurangi cakupan/jangkauannya menjadi sekadar: di hari pemilu, memasang poster-poster propaganda dan tindakan-tindakan umum tak penting lainnya.[10]

449.  Bahkan ada yang lebih buruk, mengorbankan partai sekadar menjadi institusi yang mendorong partisipasi kader partai dalam institusi negara, parlemen, pemerintahan lokal, komisi pemilu, dan sebagainya, yang semuanya berbuntut pada ketergantungan dan tekanan yang luar biasa.

450. Di sisi lain, ‘penyatuan’ Kiri-Partai dan gerakan Kiri-Sosial akan difasilitasi jika konseptualisasi politik tradisional—yang cenderung melemahkan perjuangan gerakan Kiri-Sosial dalam mengontrol institusi-institusi politis-yuridis dan melebih-lebihkan peran negara—akan disingkirkan.[11] Konsepsi tersebut menyebar baik ke sektor yang paling radikal maupun ke sektor yang paling reformis. Yang radikal ‘membatasi’ tindakan politiknya pada  perebutan kekuasaan politik dan penghancuran negara; yang reformis menata (manajemen) kekuasaan politik atau praktek pemerintahannya. Sedangkan sektor-sektor rakyat dan perjuangannya benar-benar (telah) diabaikan.[12]

451. Sebenarnya, bagi Kaum Kiri, politik harus lebih dari sekadar kontrol terhadap institusi; ia harus bermakna membuka peluang merubah institusi-institusi tersebut sehingga bisa menstransformasi realitas. Ia harus bermakna membuka peluang untuk menciptakan hubungan kekuasaan yang baru demi perubahan yang dibutuhkan. Harus dimengerti bahwa: tak mungkin membangun kekuatan politik tanpa membangun sebuah kekuatan sosial terlebih dahulu.

452. Kiri-Partai cenderung mau mem’partaikan’ semua inisiatif dan gerakan yang berjuang untuk emansipasi, atau bukannya malah mengupayakan sebuah penyatuan praktek mereka menjadi sebuah proyek politik tunggal.[13]

495. Aku percaya, bahwa suatu ruang yang sangat menarik bisa diciptakan melalui konsultasi kerakyatan, referendum atau plebisit. Bila berhasil, selain berkontribusi untuk mengakhiri pelaksanaan kebijakan neoliberal, menciptakan ruang bagi sebuah kontra-propaganda ideologis namun, lebih spesifik lagi, juga bisa memobilisasi begitu banyak orang dan kaum muda—dalam kerja kongkrit dari rumah ke rumah (untuk mendekati dan menyadarkan rakyat)—yang saat ini baru saja sadar/bangkit terhadap politik, ingin berkontribusi bagi terciptanya sebuah dunia baru, yang kerap kali tak tahu bagaimana melakukannya, dan yang juga tak mau melawan dengan cara tradisional.

496. Partai Causa-R di Venezuela, contohnya, mengorganisir sebuah referendum rakyat beberapa bulan setelah kudeta militer yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Hugo Chavez dan gerakan Bolivariannya (di bulan Februari, 1992).  Selama konsultasi kerakyatan (referendum) tersebut, kotak-kotak suara ditempatkan di tengah-tengah jalan-jalan raya kota, dan para pemilih diminta memilih ‘apakah mereka setuju Carlos Andres Perez, presiden pada waktu itu, tetap memerintah negeri mereka. Lima ratus ribu orang memilih, khususnya di areal-areal metropolitan, dan 90%-nya memilih menentang presidennya sendiri. Referendum tersebut berkontribusi dalam menciptakan situasi (atmosfer) politik yang menguntungkan untuk menjatuhkan presiden: merupakan suatu peristiwa politik yang benar-benar baru di negeri tersebut, itulah pertama kalinya seorang presiden kehilangan mandatnya karena hasil dari sebuah petisi parlementer, dan dipecat sebelum masa jabatannya berakhir. Tak ada hukum yang menjamin/menjaga/mengamankan konsultasi semacam itu, namun tak ada juga yang melarangnya. Partisipasi rakyat yang massif adalah sebuah pernyataan politik, meskipun hasilnya masih kurang (banyak).

497. Ada juga contoh lain, di Uruguay, apa yang disebut dengan Frente Amplio, yakni: menunjukan kertas suara kosong untuk mengekspresikan penolakan/pembatalan terhadap pemilu yang diorganisir (selama masa kediktatoran) oleh partai-partai yang dilarang, di antaranya termasuk Frente sendiri (1982); plebisit/referendum melawan “UU Impunitas”—yang menggugurkan peluang untuk menghukum orang-orang yang telah melanggar HAM atau yang dicurigai menjadi pembunuh di masa kediktatoran (1989)[14]; dan referendum terhadap privatisasi perusahaan-perusahaan publik (1992). Di Mexico, tentara Zapatista mengorganisir konsultasi dengan rakyat di tahun 1995 mengenai berbagai hal. Di antaranya apakah tentara pembebasan nasional Zapatista harus tetap sebagai gerakan atau menjadi partai politik dan, di tahun 1999, tentang pengakuan terhadap masyarakat pribumi.[15] Di Brazil, konsultasi mengenai utang luar negeri (2000).

498. Untuk menghindari pelemahan terhadap alat perjuangan tersebut, konsultasi tersebut harus terjadi pada waktu yang menguntungkan, harus diorganisir dengan sangat baik, dan memilih serta kemudian memformulasikan isiannya dengan tepat.

499. Mayoritas konsultasi tersebut tidak memiliki hasil hukum (formal), namun ia telah mencapai hasil yang politis. Metode tersebut mengajarkan pada kita bahwa kaum kiri haruslah sekreatif mungkin untuk menghindari ketertutupan atau terjebak di dalam dikotomi apa yang legal dan apa yang ilegal. Harus dipertimbangkan sejumlah ruang-ruang lain—yang akan kusebut “alegal“ karena ia tidak berada pada dua dikotomi tersebut—dan dapat dimanfaatkan untuk meyadarkan, memobilisasi, dan membangkitkan partisipasi, agar mulai membangun blok sosial alternatif yang sebelumnya aku sebutkan.

500. Konsultasi kerakyatan AFTA—diorganisir secara simultan di semua negeri Amerika Latin sebelum pertemuan para presiden berikutnya—dapat menstimulus kampanye ideologis pencerahan yang besar, termasuk mobilisasi akbar untuk melawan Pakta neo-kolonial di seluruh benua itu.***

 


[1] Carlos Ruiz, Un proyecto político para los nuevos tiempos, majalah Rebelión Internet. Karya tersebut dipresentasikan pada seminar yang diorganisir oleh Paulo Freire Institute, Santiago de Chile, January 13, 2001.

[2] Op.cit., hal.8.

[3] Franz Hinkelammert, Nuestro proyecto de nueva sociedad en América Latina: el papel regulador del estado y los problemas de autorregulación del mercado, dalam Cultura de la esperanza y sociedad sin exclusión, Ed. DEI, Costa Rica, 1995, hal.114.

[4] Mario Unda, El arco iris muestra el país que los poderosos no quieren ver, dalam Por el camino del arco iris…, op.cit., hal. 71-72.

[5] Marta Harnecker, La izquierda en el umbral del Siglo XXI. Op.cit.hal.304-305. paragraf 1072.

[6] M. Harnecker, La izquierda en el umbral del Siglo XXI…, op. cit., hal. 308-309, paragraf 1087-1089.

[7]Marta Harnecker, La izquierda en el umbral del Siglo XXI…, op.cit., hal. 379‑380, paragraf 1367-1370.

[8] David Hernández Castro, La revolución democrática (Otro mundo es posible), Preparatory Document for the VI Asamblea Federal de Izquierda Unida, Molina de Segura (Murcia), 6 sep., 2000.

[9] Ibid.

[10] Situasi tersebut digambarkan oleh David Hernández saat ia mengacu pada Izquierda Unida of Spain (Persatuan kiri di Spayol) dalam teks yang dikutipnya, seperti juga saat menjabarkan apa yang umum terjadi pada Kiri Amerika Latin yang institusional (Ibid).

[11] Carlos Ruiz, La centralidad de la política en la acción revolucionaria, Santiago, Chile, 1998, hal.13 (I dokumen).

[12] Marta Harnecker, La izquierda en el umbral del Siglo XXI…, op,cit. paragraf 1059.

[13] Enrique Rubio and Marcelo Pereira, Utopía y estrategia, democracia y socialismo, Ed. Trilce, Montevideo, Uruguay, 1994, p.151.

[14] Meskipun secara nasional plebisit tersebut kalah dengan 46% melawan 54%, ia menang di Montevideo dan secara psikologis memperkuat para pejuang militan yang berada di pihak Kiri. Gerakan tersebut dikenal sebagai “suara hijau (green vote)” karena itulah warna dari kertas suara yang menolak UU tersebut.

[15] Lihat analisis sebelumnya.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *