Oleh James Petras
James Petras adalah seorang Profesor Sosiologi di Universitas Binghampton, New York, Amerika Serikat. Tulisan-tulisannya banyak mengupas soal politik dan pengalaman praktek gerakan revolusioner di Amerika Latin. Ia juga seorang kontributor editor di Jurnal LINKS.
Post-Marxisme memang sedang menjadi trend di kalangan kaum intelektual setelah kemenangan neo-liberalisme dan kemunduran kaum kelas pekerja. Ruang politik yang dikosongkan oleh kaum kiri reformis (di Amerika Latin) kini telah diambil alih oleh politisi dan ideolog kapitalis, teknokrat serta kelompok-kelompok gereja fundamentalis dan tradisional (Pantekosta dan Vatikan). Sebelumnya ruang ini diisi oleh kaum sosialis, nasionalis dan politikus populis serta aktivis-aktivis gereja yang berafiliasi pada teologi pembebasan. Kaum kiri-tengah sangat berpengaruh dalam politik rejim penguasa (di atas) atau di kalangan massa rakyat yang kurang politis (di bawah). Ruang kosong yang tadinya dikuasai kiri radikal kini digantikan oleh intelektual politik, dan sektor- sektor yang telah menjadi politis seperti serikat buruh, kaum miskin kota dan gerakan sosial di perkotaan. Di kalangan grup-grup inilah perdebatan dan konflik antara marxime dan post-marxisme menjadi sangat intens pada saat-saat itu.
Diasuh, dan dalam banyak kasus disubsidi oleh lembaga-lembaga dana penting dan lembaga-lembaga pemerintah yag mempromosikan neo-liberalisme, sejumlah besar organisasi-organisasi “sosial” telah tumbuh dan berkembang membawa ideologi, jaringan-jaringan dan praktek-prekatek yang secara langsung berkompetisi dan berkonflik berha-dapan dengan teori dan praktek marxis. Organisasi-organsiasi ini – dalam banyak kasus memunculkan diri mereka sebagai Non-Govermental Organization (NGO/LSM) atau lembaga-lembaga serta pusat penelitian independen – menjadi aktif memajukan ideologi dan praktek-praktek politik yang dapat sesuai dengan agenda neo-liberal dari patron-patron pendananya. Tulisan di bawah ini akan menggambarkan dan sekaligus mengkritik setiap komponen dari ideologi mereka dan kembali memblejeti aktivitas-aktivitas kaum neo-liberal, sekaligus membandingkan dengan gerakan dan pendekatan yang berbasiskan kelas. Setelah itu akan diikuti dengan diskusi tentang asal-usul blok post-marxisme, evolusinya dan masa depannya sehubungan dengan kemunduran dan kemungkinan kembalinya marxisme.
KOMPONEN-KOMPONEN POST-MARXISME
Kaum post marxisme sebenarnya berasal dari kaum eks-marxis yang berangkat dari kritik terhadap marxisme dan mengelaborasikan beberapa poin di dalam kritik-kritiknya untuk menjadi sebuah landasan penemuan teori-teori alternatif atau paling tidak sebagai garis analisa yang masuk akal. Mari kita melihat sepuluh argumentasi dasar yang biasa ditemukan dalam diskursus-diskursus post marxime:
- Sosialisme adalah sebuah kegagalan dan semua teori kemasyarakatan secara umum menyalahkan jika ada yang hendak mengulanginya lagi. Ideologi-ideologi adalah sesuatu yang salah! (kecuali Post-marxisme!), karena ideologi merefleksikan sebuah dunia pemikiran yang didominasi oleh satu sistim gender/ras.
- Penekanan Marxis pada kelas-kelas sosial adalah “reduksionis” karena kelas-kelas membaur; Hal yang terpenting adalah pendekatan kebudayaan dan berakar pada perbedaan identitas (ras, gender, etnik, seksuil).
- Negara adalah musuh demokrasi dan kebebasan. Negara adalah lambang bentuk-bentuk yang korup dan tidak efisien yang menggerogoti kesejahteraan sosial. Masyarakat sipil adalah pelaku utama demokrasi dan perubahan sosial.
- Perencanaan terpusat mendatangkan dan menghasilkan birokasi yang menghalangi pertukaran barang antara para produsen. Pasar dan pertukaran pasar adalah mungkin dengan aturan-aturan yang terbatas, dapat membuat konsumsi yang lebih besar dan distribusi yang lebih efisien.
- Perjuangan kiri tradisional adalah korup dan menghasilkan rejim-rejim yang otori-ter yang kemudian mengsubordinasikan masyarakat sipil. Perjuangan lokal dengan mem-bawa isu lokal oleh organisasi lokal merupakan satu-satunya jalan bagi perjuangan demo-kratik untuk perubahan, dengan menggunakan petisi atau tekanan pada penguasa-pe-nguasa nasional dan internasional.
- Revolusi selalu berakhir dengan buruk atau tidak mungkin bisa berhasil, perubahan sosial akan memperkuat reaksi provokatif dari penguasa. Alternatifnya adalah dengan berjuang mengkonsolidasikan transisi demokratis untuk menyelamatkan proses pemilihan umum (jalan parlementarian).
- Solidaritas kelas adalah bagian dari ideologi-ideologi masa lalu, yang mencermin-kan politik dan realitas masa lalu. Kelas-kelas sudah tidak ada lagi. Bentuk yang ada ialah fragmen-fragmen penduduk daerah dimana grup-grup (identitas) tertentu dan daerah mengusahakan self-help (kemandirian) dan saling hubungan untuk survive berbasiskan pada kerja sama dengan pendukung dari luar. Solidaritas adalah sebuah fenomena persilangan kelas, adalah gerak/gestur kemanusianan semata.
- Perjuangan kelas dan konfrontasi tidak menghasilkan sesuatu yang nyata. Hanya akan menyebabkan kekalahan dan kegagalan. Lembaga-lembaga kerjasama internasi-onal dan lembaga milik pemerintah dengan proyek-proyeknya yang khusus akan menghasilkan kemajuan produksi.
- Anti-imperialisme juga merupakan milik masa lalu yang sudah waktunya mati. Dalam ekonomi global yang terjadi saat ini, tidaklah mungkin untuk menyerang pusat-pusat ekonomi dunia. Dunia sudah berkembang secara saling tergantung dan dalam dunia ini dibutuhkan kerja sama internasional yang lebih besar lagi dalam mentransfer kapital dan teknologi serta saling memahami antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin.
- Pimpinan-pimpinan dari organisasi-organisasi kerakyatan tidak boleh tertutup da-lam mengorganisir orang-orang miskin dan melakukan saling belajar serta tukar pengalaman. Mobilisasi internal harus berbasiskan pendanaan eksternal. Kaum profesional harus memproduksi desain-desain program dan mengamankan keuangan eksternal untuk dapat mengorganisir grup-grup lokal. Tanpa bantuan dari luar grup-grup lokal dan kaum profesional akan gagal dan hancur.
KRITIK TERHADAP IDEOLOGI POST-MARXIS
Jadi, demikianlah analisa, kritik, dan strategi pembangunan ideologi post-marxis, sebagai sebuah ideologi untuk menyerang diskusi-diskusi marxisme. Lebih dari itu, menurut mereka, marxisme adalah ideologi yang gagal mengidentifikasi krisis-krisis yang terjadi dalam kapitalisme. Stagnasi berkepanjangan (prolonged stagnation) dan kepanikan moneter yang terjadi secara periodik (periodic financial panic) serta kontradiksi sosial (in-equalities/ketidaksederajatan dan social polarisation/polarisasi sosial) pada tingkat nasional dan internasional yang bersentuhan dengan problem sosial daerah (lokal) menjadi fokus mereka. Contohnya, asal-usul neo-liberalisme merupakan produk dari konflik kelas. Sektor-sektor modal tertentu beraliansi dengan negara dan imperialisme -memukul kelas-kelas dalam massa rakyat dan memaksakan penerapan model-model mereka. Tentu saja perspektif yang non-kelas tidak akan mampu memblejeti asal usul dari ideologi post marxisme ini. Lebih dari itu, – seperti halnya dengan persoalan asal-usulnya, post marxisme, secara kasar membatasi dan merampas sumberdaya dan usaha kaum marxis dalam perjuangannya, – dengan meningkatkan tawaran-tawaran menarik yang memancing opurtunisme. Ini dapat berupa pendanaan, karir, dan semua hal yang bisa memecah kekuatan marxis, dengan pendekatan kebudayaan, sosial dan tentu saja ekonomi politik, baik di tingkat nasional maupun internasional. Asal usul sosiologis dari post-Marxisme tertanam pada saat-saat pergantian kekuasaan politik dari kelas pekerja ke ekspor kapital.
Mari kita berpindah dari pembicaraan mengenai sebuah pengetahuan sosiologis tentang kritik seputar ideologi post marxisme dan pandangan umum mereka yang tidak konsisten ke diskusi soal dalil-dalilnya yang lebih khusus. Diawali, pertama, dari dalil tentang “kegagalan sosialisme” dan “akhir dari masa ideologi-ideologi”. Apa yang dimaksud dengan “kegagalan sosialisme”? Keruntuhan rezim komunis Uni Soviet dan Eropa Timur? Jawabnya adalah bahwa semua pengalaman di atas hanya merupakan bagian dari salah satu konsep sosialisme. Kemudian, walaupun tidak jelas, apa yang salah, apakah sistem politiknya atau sistem ekonominya? Pada pemilihan umum yang terakhir di Rusia, Polandia, Hungaria, dan banyak negara bekas Republik Soviet, menunjukkan bahwa mayoritas suara lebih memilih untuk kembali menggunakan kebijakan lama dalam bidang kesejahteraan sosial dan praktek ekonominya. Jika demikian yang menjadi kenyataan maka perkembangan di bekas negara-negara eks-Soviet tersebut berarti belum merupakan hasil akhir, seperti yang sering di gembar-gemborkan kaum kapitalis dan antek-anteknya di blok post-marxisme.
Kedua, jika kegagalan sosialisme yang dimaksudkan oleh post-marxisme tersebut merupakan kemunduran dari kekuatan-kekuatan kiri, maka kita musti benar-benar jernih melihat perbedaan antara “kegagalan” dengan “ketidak-cakapan internal” dalam praktek sosialis dan kekalahan politik serta militer oleh serangan agresor dari luar. Tidak ada yang mengatakan bahwa penghancuran oleh sistem demokrasi di Eropa oleh Hitler sebagai “kegagalan demokrasi “. Tindakan rejim teroris kapitalis dan atau dalam hal ini Amerika Serikat di Chile, Argentina, Bolivia, Uruguay, Republik Dominika, Guatemala, Nikaragua, El Salvador, Angola, Mozambik, Afganistan, Indonesia, Vietnam dan Filipina memainkan peran yang besar pada “kemunduran kiri revolusioner”. Kekalahan militer tidak berarti kegagalan dalam sistem ekonomi dan tidak mencerminkan persoalan efektifitas serta pengalaman-pengalaman sosialis. Lebih dari itu, ketika kita menganalisa internal performance (kinerja internal) selama periode pemerintahan sosialis yang stabil atau pemerintahan yang berwatak kerakyatan, dengan berbagai indikator sosial, menunjukkan hasil yang lebih baik daripada bentuk-bentuk yang muncul dalam sistem yang kemudian. Contohnya di Chile, partisipasi sosial, kesehatan, pendidikan, dan pemerataan pertumbuhan jauh lebih baik di bawah pemerintahan Allende, dibandingkan dengan sistem yang datang kemudian di bawah Pinochet. Indikator yang sama terlihat dalam pengalaman di Nicaragua – menunjukkan bahwa di bawah Sandinista keadaan lebih baik ketimbang periode yang dipimpin oleh rejim Chamoro kemudian. Reformasi agraria dan kebijakan HAM yang dilakukan oleh pemerintahan Arbenz jauh lebih baik ketimbang kebijakan konsentrasi tanah yang membunuh 150.000 orang oleh pemerintahan yang di-install oleh CIA.
Saat ini, memang benar bahwa pemerintahan Neo-liberalis dan pemerintahan marxis, tidak sedang berkuasa. Sangat sulit melihat kepemimpinan kaum kiri revolusioner di belahan bumi barat (Eropa dan Amerika) – seperti memimpin dalam aksi massa besar dan menantang rejim serta kebijakan neo-liberal. Di Paraguay, Bolivia dan Uruguay, berhasil di lancarkan pemogokan umum besar-besaran; pengaruh gerakan kaum tani yang luas dan besar serta perjuangan bersenjata oleh kaum Indian di Mexiko; gerakan kaum buruh tani tidak bertanah di Brazil – semua itu mencerminkan pengaruh yang kuat dari kekuatan-kekuatan marxis.
Sosialisme di luar blok komunis secara esensial menggambarkan demokasi yang nyata. Kekuatan populis mendapatkan dukungan luas karena ia mewakili kepentingan rakyat yang bebas memilih. Inilah yang menyebabkan kebingungan kaum post-marxis, antara praktek pengalaman komunisme di Soviet dengan praktek pengalaman gerakan revolusioner demokratik-sosialis di grassroot Amerika Latin. Mereka dibingungkan oleh kekalahan antara kekalahan militer dengan kegagalan politik kiri. Mereka menerima dan memamah Biak penggabungan neo-liberalisme terhadap dua konsep yang saling bertentangan tersebut. Akhirnya, dalam kasus Eropa Timur, mereka gagal melihat perubahan dan dinamika sifat dari komunisme itu sendiri. Pertumbuhan popularitas dari sebuah sintesa sosialisme yang terbaru terhadap kepemilikan sosial, program-program kesejahteraan, reformasi agraria dan dewan-dewan demokratik, yang kesemuanya itu berlandaskan pada sebuah perkembangan gerakan sosial-politik yang baru.
Dalam hal ini pandangan post marxis tentang “akhir dari masa ideologi-ieologi”, bukan hanya tidak konsisten dengan pernyataan ideologis mereka, tapi juga terhadap kelanjutan perdebatan ideologis antara yang bentukan marxime lama dan yang terbaru berhadapan dengan neo-liberalisme dan keturunan anak cucunya: Post-marxisme!
PEMBUBARAN KELAS-KELAS DAN MUNCULNYA IDENTITAS
Post-Marxis juga menyerang penggunaan pendekatan analisa kelas dari berbagai perspektif. Di satu pihak mereka mengklaim bahwa pendekatan tersebut mengaburkan kesejajaran atau yang lebih penting adalah identitas budaya (gender dan etnik). Mereka menyatakan bahwa pendekatan dengan analisa kelas adalah sebuah reduksi ekonomistik dan gagal menjelaskan perbedaan-perbedaan gender maupun etnik di dalam kelas-kelas. Mereka kemudian lebih jauh berargumen bahwa justru perbedaan-perbedaan inilah yang menentukan keaslian politik kontemporer.
Serangan mereka yang kedua terhadap pandangan analisa kelas, adalah bahwa analisa kelas hanya merupakan desain dari konstruksi intelektual – hanya merupakan sebuah gejala/fenomena subyektif yang kuat menentukan secara kultural saja. Sebenarnya tidak ada “kepentingan kelas yang objektif” yang membagi masyarakat – karena “kepentingan” tersebut adalah semata-mata subyektif dan setiap budaya menentukan pilihan-pilihan individual.
Serangan mereka yang ketiga adalah argumentasi bahwa telah terjadi transformasi yang cepat dalam ekonomi dan masyarakat yang telah melenyapkan perbedaan kelas yang lama. Argumentasi mereka bahwa, – Era masyarakat Post Industrial, – menunjukkan bahwa sumber kekuasaan ada pada sistem informasi yang terbaru, teknologi terbaru dan pada mereka yang mengontrol dan mengatur semua itu. Masyarakat, menurut pandangan mereka, sedang berubah menuju masyarakat baru dimana buruh industri akan menghilang menuju dua arah yaitu: naik menjadi “new middle class/kelas menengah baru” yang berteknologi tinggi, – atau merosot ke bawah menjadi “under class/kelas bawah”.
Marxisme tidak pernah menolak tentang pentingnya pemilahan ras, gender dan etnik di dalam pendekatan analisa kelas-kelas. Apa yang diinginkan oleh post marxisme adalah penekanan pada sistem sosial yang lebih luas yang menghasilkan perbedaan-perbedaan dan keharusan melakukan penggabungan kekuatan antar kelas-kelas untuk menghapuskan ketidak seimbangan dalam kerja, lingkungan dan keluarga. Namun apa yang lebih mendapatkan penekanan oleh post-marxisme adalah bahwa persoalan ketidak adilan terhadap gender, ras, dan etnik bisa dianalisa dan dihapus di luar pendekatan analisa kelas. Seorang perempuan tuan tanah dan pembantu-pembantunya memiliki “identitas esensial”, seperti halnya seorang perempuan tani yang bekerja dengan upah rendah; seorang birokrat Indian dari pemerintahan neo-liberal memiliki sebuah “identitas “yang sama dengan petani perempuan Indian yang kehilangan tanah karena politik ekonomi pasar bebas. Contohnya seperti Bolivia yang memiliki seorang Wakil Presiden berasal dari etnik Indian yang juga melakukan pemenjaraan massal terhadapa petani coklat Indian.
Politik identitas bagi sementara kelompok mungkin memang bisa menjadi sebuah penyadaran bagi salah satu bentuk penindasan dan dapat menggerakkan mereka. Namun dengan demikian pemahaman ini akan menjadi pemenjaraan kesadaran (ras etnik dan gender) yang mengisolasinya dari setiap bentuk penindasan yang lain di masya-rakat, jika tidak segera berubah, mencapai kesadaran penindasan secara lebih luas dan menghadapi sistem yang menindas masyarakat secara luas. Apa lagi jika tidak segera masuk pada pendekatan analisa kelas dari struktur kekuasaan yang lebih luas dan me-nyebabkan ketidak adilan secara umum dan khusus.
Politik identitas mengisolasi kelompok-kelompok untuk saling bersaing dan tidak dapat berubah secara lebih luas dalam arti ekonomi dan politik yang mencakup kepentingan orang miskin, buruh dan tani. Sedangkan politik kelas adalah benteng untuk memerangi politik identitas dan mentransformasikan semua lembaga yang mempertahankan ketidak adilan kelas dan lainnya (gender, etnik, dan ras).
Kelas-kelas tidak datang secara subyektif, namun merupakan hasil pengorganisiran kelas kapitalis dalam rangka membangun nilai-nilai mereka. Dalil bahwa kelas merupakan dalil-dalil subyektif adalah tergantung atas waktu, tempat, dan persepsi serta kesadaran akan kelas itu sendiri. Hal ini juga tergantung pada faktor sosial dan budaya. Kesadaran kelas adalah bangunan sosial yang ada sepanjang sejarah. Semen-tara bentuk-bentuk sosial dan ekspresi kesadaran kelas adalah fenomena yang muncul berulang-ulang sepanjang sejarah di hampir semua bagian dunia, walaupun ia tertutup oleh bentuk-bentuk lain dari kesadaran dalam momentum-momentum yang berbeda (ras, gender, nasionalisme) atau berupa kombinasi (nasionalisme dan kesadaran kelas)
Jelas ada beberapa perubahan besar dalam struktur kelas, tapi tidak seperti yang dikemukakan oleh post-marxisme. Perubahan-perubahan besar justru telah semakin memperkuat dan memperjelas perbedaan kelas dan penindasan kelas, walaupun bentuk dan syarat-syarat dari yang ditindas dan yang menindas telah berubah. Sekarang lebih banyak buruh kontrak dari sebelumnya. Lebih banyak lagi buruh yang bekerja di sektor informal (disebut unregulated labor/buruh sektor informal karena tidak di bawah perlindungan dan aturan yang berlaku) dari pada sebelumnya. Persoalan sektor informal ini bukan berarti sistem itu merupakan transendensi dari bentukan lama kapitalisme, namun justru kembali ke bentuk penindasan buruh di abad 19. Analisa baru ini berangkat dari pola kapitalisme setelah negara kesejahteraan rakyat (welfare populist state) ter-gusur. Ini artinya bahwa peran negara dan partai yang menjadi perantara antara modal dan tenaga kerja telah digantikan oleh institusi negara secara lebih jelas dan langsung berhubungan dengan kelas kapitalis yang dominan berkuasa. Neo-liberalisme tidak menjadi perantara kelas yang menguasai negara. Saat ini model akumulasi Neo-liberalisme lebih banyak tergantung secara langsung pada kontrol negara secara terpu-sat berhubungan sejajar dengan bank-bank internasional untuk mengimplementasikan pembayaran utang dan untuk mengekspor hasil sektor-sektor ekonomi dengan pinjaman mata uang asing. Garis vertikalnya berhubungan dengan masyarakat sebagai subyek dan hubungan yang terutama melalui aparatus negara yang represif dan para kaki tangan LSM yang takut pada ledakan sosial.
Tergusurnya welfare state (negara kesejahteraan) bermakna polarisasi dalam struktur sosial: antara pekerja-pekerja sektor publik yang dibayar rendah di bidang kesehatan, pendidikan, keamanan sosial di satu pihak, dan dipihak lain adalah kaum profesional yang mendapatkan upah lebih baik dan berhubungan dengan perusahaan multi nasional (MNC), LSM dan Lembaga-lembaga Dana dari luar, yang juga berhubungan dengan pasar dunia dan pusat-pusat kekuasaan.
Perjuangan sekarang tidak hanya antara kelas-kelas di pabrik-pabrik tapi antara negara berhadapan dengan kelas-kelas yang mengakar di jalanan dan pasar yang telah digantikan oleh buruh-buruh yang terdesak untuk menghasilkan produksi dan menjualnya untuk menutupi biaya hidup. Masuknya kedalam pasar dunia oleh eksportir-eksportir elit besar dan komprador menengah serta kecil (barang elektronik, parawisata dari hotel dan penginapan) memiliki pasangannya dalam disintegrasi ekonomi dalam negeri: industri lokal pertanian kecil bersamaan dengan pindahnya tenaga produktif ke kota dan luar negeri.
Impor barang-barang luks untuk kelas menengah atas adalah berdasarkan ekspor tenaga kerja kaum miskin yang dikirim ke luar negeri. Eksploitasinya berbentuk pemiskinan dalam negeri, terutama pada kaum tani yang akhirnya dipaksa migrasi ke kota dan ke luar negeri. Pendapatan yang dibayar dari menjual buruh ke luar negeri menghasilkan mata uang keras untuk mendanai impor dan seluruh proyek infrastruktur neo-liberal serta untuk mempromosikan ekspor domestik dan bisnis pariwisata secara merajalela. Rantai penghisapan dan penindasan semakin melingkar namun tetap terbatas seputar hubungan buruh-modal.
Dalam era neo-liberalisme, perjuangan untuk membangun kembali bangsa, pasar nasional, produk nasional, dan pertukaran mata uang, sekali lagi terulang dalam sejarah sebagai hukum permintaan, yaitu pertumbuhan deregulasi tenaga kerja (secara informal) mensyaratkan sebuah investasi publik yang besar, kuat dan berpusat untuk meningkatkan ketenagakerjaan yang formal dengan suatu syarat hidup sosial. Dengan kata lain, akan ada kesamaan identitas kelas yang membentuk benteng untuk pengorganisiran perjuangan kaum miskin.
Kesimpulannya, berlawanan dengan argumentasi post-marxisme, transformasi kapital membuat analisa kelas semakin relevan dan nyata. Pertumbuhan teknologi telah membangkitkan perbedan kelas, bukannya menghapuskannya. Buruh-buruh indrustri micro-chip dan sejenisnya yang menghasilkan elemen-elemen micro-chip yang ada sekarang, belum menggeser posisi kaum buruh apa lagi mengurangi barisan mereka. Hal tersebut belum menggantikan aktivitas dan model produksi di dalam proses penindasan yang berkelanjutan. Struktur kelas baru sejauh ini dapat dilihat sebagai kombinasi teknologi-teknologi baru untuk lebih mengontrol bentuk-bentuk eksploitasi. Otomatisasi dalam beberapa sektor meningkatkan jam kerja; kamera televisi meningkatkan pengawasan buruh, sementara dilakukan pengurangan staf administrasi; suatu lingkaran kerja berkualitas, dimana buruh menekan buruh, meningkatkan self-exploitation (eksploitasi diri sendiri) tanpa meningkatkan upah dan hak-haknya. Revolusi teknologi, dipertajam oleh struktur kelas neo liberalisme yang sangat anti revolusi. Komputer akan mengontrol harga pertanian dan volume pestisida, Tapi buruh yang menyemprotkan pupuk dan anti hama tetap mendapatkan bayaran rendah. Jaringan informasi akan memperkuat ekonomi informal yang dilakukan dari rumah dengan menggunakan jaringan TV, periklanan dan telepon.
Kunci untuk memahami proses dan perkembangan teknologi berhadapan dengan tenaga kerja yang dikeluarkan oleh buruh adalah dengan menggunakan analisa kelas yang di dalamnya ada persoalan berbagai macam: gender, ras, nasionalisme, etnik dan lainnya.
NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL
Post Marxime menggambarkan satu sisi saja dari negara. Negara digambarkan sebagai satu kubangan birokrasi yang tidak efisien yang merampok harta publik. Juga membiarkan rakyat tetap miskin dan ekonomi menjadi bangkrut. Dalam pengertian politik, negara adalah sumber hukum otoritarian yang menghambat masyarakat melatih demokrasi dan kebebasan pasar. Di sisi lain post-marxisme berargumentasi bahwa masyarakat sipil adalah sumber dari kebebasan, gerakan sosial dan kewarganegaraan.
KEKUASAAN NEGARA YANG KORUP
Salah satu kritik post-marxime adalah bahwa kekuasaan negara pastilah korup dan perjuangan menentang kekuasan tersebut adalah dosa. Mereka berpendapat bahwa ini terjadi karena negara berjarak dengan warga negara. Penguasa menjadi otonom dan sewenang-wenang, melupakan tujuan yang sesungguhnya dan memaksakan kehendak mereka sendiri. Dalam sejarah, banyak terjadi rakyat yang merebut kekuasaan menjadi tiran, tapi ada juga kasus tertentu yang memimpin gerakan sosial memiliki efek eman-sipasi. Penghancuran perbudakan dan penumbangan monarki absolut adalah dua contoh. Jadi kekuasaan dalam negara memiliki dua arti yang tergantung pada konteks sejarahnya. Dalam beberapa kasus, gerakan lokal berhasil memobilisir masyarakat dan memperoleh perubahan kondisi dengan segera. Namun ada juga kasus dimana keutuhan ekonomi politik makro telah menekan usaha-usaha lokal tersebut. Saat ini kebijakan penyesuaian struktural di lingkup nasional maupun di internasional telah meningkatkan jumlah kemiskinan dan pengangguran. Menghancurkan sumber daya lokal dan mendesak rakyat lokal untuk memasuki dunia kriminal. Dialektika antara negara dan kekuasan lokal yang berjalan mendorong inisiatif lokal dan merubah ketergantungan kelas penguasa termanifestasikan dalam dua level. Ada beberapa kasus dari beberapa pemerintahan daerah yang progresif menjadi rusak karena rejim reaksioner di pemerintahan nasional memotong pendanaan bagi mereka. Di satu sisi pemerintahan lokal yang progresif tersebut sangat membantu organisasi lingkungan lokal seperti yang dilakukan oleh seorang sosialis yang menjadi kepala pemerintahan di Montevideo-Uruguai atau seorang kepala pemerintahan yang beroreintasi kiri di Porte Alegre-Brazil.
Post marxis yang mengecam pemerintahan lokal atau negara sesungguhnya tidak berbasiskan pada pengalaman sejarah. Hanya ingin memberi legitimasi terhadap peran NGO sebagai mediator antara organisasi-organisasi lokal dengan pendana asing neo-liberal (IMF/Bank Dunia, Eropa atau AS) dan pada rejim-rejim yang pro terhadap pasar bebas. Dalam rangka melegitimasi peran mereka, NGO-NGO profesional yang berpandangan post marxis, sebagai “agen demokrasi di grass root“, selalu meremehkan dan menghina kaum kiri yang berada di puncak kekusaan negara. Dalam proses berikutnya mereka menambahkan aktivitas neo-liberal dengan menekan dan memukul jaringan antara perjuangan lokal dan organisasi-organisasi serta gerakan politik internasional dan nasional. Penekanan pada “aktivitas lokal” mengamankan hak keadilan rejim-rejim neo-liberal, seperti dengan mengijinkan dukungan asing dan nasional untuk mendominasi kebijakan sosio-ekonomi mikro, dan memakai semua sumber daya negara atas nama ekspor kapitalis dan kepentingan finansial.
Kaum post-marxis, selayaknya seorang manager NGO, menjadi sangat cakap dalam mendesain proyek dan menghubungkan “identitas” baru dan jargon globalisasi ke dalam gerakan popular. Mereka berbicara dan menulis tentang kerja sama internasional dan usaha mandiri mikro yang menciptakan benang ideologis neo-liberal dan sementara itu juga mendesak masyarakat agar bergantung pada kucuran donor asing dan agenda sosio-ekonomi neo liberal mereka. Tidak mengejutkan, setelah dekade aktivitas NGO, yang menyebabkan depolitisasi akibat dari ulah kaum post marxis, sekaligus menye-babkan de-radikalisasi di seluruh kehidupan sisoal: perempuan, lingkungan, dan organsisi pemuda. Kasus-kasus di Peru dan Chile adalah klasik: dimana NGO kuat berdiri maka merupakan kemunduran gerakan sosial radikal.
Perjuangan lokal untuk memenangkan isu mendesak adalah benih yang baik bagi bangkitnya sebuah gerakan yang potensial untuk menjadi lebih radikal. Pertanyaannya adalah tentang arah yang diambil: apakah mereka menjadi sebuah gerakan yang berusaha untuk memenangkan tuntutan yang lebih besar pada sistim sosial yang berhubungan dengan kekuatan lokal dalam rangka memukul negara dan pendukungnya ataukah gerakan itu hanya menjadi sebuah aktivitas untuk mencari donor dana dari luar negeri. Ideologi post-marxisme mempromosikan arah yang terakhir, sedangkan marxis-me konsisten dengan arah yang pertama.
REVOLUSI SELALU BERAKHIR DENGAN BURUK
Bagi kaum post marxisme, revolusi tidak jauh berbeda dengan persoalan kegagalan sosialisme. Mereka menggembar-gemborkan kemunduran kaum kiri progresif-revolusioner, kemenangan kapitalisme di timur, krisis dalam marxisme, kekuatan Amerika, kudeta dan bantuan dari militer reaksioner. Semua usaha dilakukan untuk memukul kaum kiri progresif-revolusioner. Tidak bosan-bosannya mereka mempropagandakan kebutuhan untuk bekerja di dalam pasar bebas yang dibuat oleh IMF dan Bank Dunia. Semua ini yang disebut pragmatisme. Post-marxisme berperan penting secara ideologis dalam mempromosikan dan mempertahankan apa yang disebut dengan transisi elektoral yaitu lewat Pemilu dan peran militer, di mana perubahan sosial diawali dari sistem Pemilu
Kebanyakan dari argumentasi post-marxisme didasari pada statistik dan penelitian selektif yang menghasilkan sebuah kesimpulan untuk menang dalam pemilu yang menuju ke perubahan sosial ala neo liberal. Keputusan untuk menjalankan revolusi adalah ketinggalan jaman, mereka memfokuskan semua usaha untuk menang dalam proses Pemilu dan bukan pada pemogokan umum, protes massa atau pemberontakan. Yang akan memobilisir sejumlah massa yang besar-besaran. Mereka mensyukuri kematian komunisme di akhir 1980 dan memaki kebangkitannya kembali di pertengahan 1990. Mereka menggambarkan desakan militer dalam Pemilu tanpa mau menghitung tantangan pada militer dari gerilyawan Zapatista di Caracas, Mexico dan pemogokan umum di Bolivia.
Dengan kata lain, ada keyakinan yang berlebihan akan keberhasilan perjuangan diawali di tingkat lokal maupun sektoral dalam kerangka Pemilu di tengah eksistensi militer dan selanjutnya diharapkan mampu mendorong perubahan, sebuah harapan yang dibangun atas dasar kegagalan dan ketidak mampuan skenario Pemilu untuk memenuhi tuntutan pokok dan kebutuhan rakyat. Pada kenyataanya kaum oportunis ini gagal menghentikan kekejaman militer, membayar kembali gaji para pegawai negeri di Argentina atau mengakhiri bencana yang dialami oleh para petani coklat di Bolivia.
Kaum oportunis post-marxis justru menimbulkan banyak masalah (part of the problem) daripada menciptakan jalan keluar yang baru (part of solution). Sudah kurang lebih 15 tahun sejak negosiasi ke arah transisi dimulai dan semakin lama proses itu berjalan, maka kaum Post-Marxis selalu mengambil kebijakan neo liberal dan mempertahankan kebijakan pasar bebas mereka. Kaum oportunis itu tidak mampu secara efektif untuk menghalangi dampak sosial akibat pasar bebas yang menyengsarakan rakyat, justru mereka yang semakin didesakkan oleh neo liberalisme untuk menerapkan kebijakan baru dan jumlahnya semakin bertambah setiap tahun, kebijakan baru yang semakin mencekik rakyat dalam rangka mempertahanakn kelangsungan hidup kelas penguasa. Kaum post Marxis telah bergerak dari sikap mereka yang pragmatik dalam mengkritik kebijakan neo liberal ke sikap menonjolkan diri sebagai manajer proyek neo- liberal yang efisien dan jujur, dan mereka mampu menjamin kepercayaan para investor dan memadamkan kerusuhan sosial.
Pada waktu yang sama, pragmatisme dari kaum Post Marxis seakan berjalan seiring dengan kencangnya gerak laju neo-liberalisme; dekade 90 an telah menjadi saksi “radikalisme” kebijakan neo liberal, di mana mereka mendesain krisis berkepanjangan terhadap penduduk pribumi dengan cara menawarkan investasi yang mengutungkan dan kesempatan spekulasi kepada bank-bank yang beroperasi secara internasional dan perusahan perusahaan multinasional lainnya. Neo liberalisme telah menciptakan polarisasi struktur kelas yang justru semakin dekat ke paradigma Marxis dibanding pandangan Post-Marxis sendiri. Struktur kelas di Amerika Latin komtemporer jauh lebih jelas, jauh lebih berhubungan dengan kelas politik dan negara, jauh lebih positif dibanding masa-masa sebelumnya. Dalam kondisi seperti ini politik ke arah gerakan revolusioner jauh lebih relevan dibandingkan tawaran pragmatis dari kaum post Marxis.
SOLIDARITAS KELAS DAN SOLIDARITAS NEGARA PENDONOR
Kata solidaritas telah disalahgunakan ke berbagai macam konteks yang tidak mempunyai arti sama sekali. Solidaritas bagi kaum Post Marxis, solidaritas adalah termasuk bantuan luar negri yang disalurkan kepada setiap kelompok yang dianggap berpotensi untuk berkembang. Atau disisi lain, pola pendidikan yang dikemas secara populer ataupun penelitian- penelitian ilmiah yang dilakukan oleh para kaum intelektual professional dengan menjadikan kaum miskin sebagai obyek, itupun dianggap sebagai solidaritas. Dalam beberapa hal, apa yang dilakukan oleh kaum oportunis dewasa ini melalui program bantuan (aid) dan pelatihan (training) yang mereka berikan merupakan ungkapan belas kasihan yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para misionaris Kristen ratusan tahun yang lalu.
Kaum post marxis mencoba menekankan pentingnya “kemandirian” (self-help) dalam rangka menyerang kelompok yang mereka anggap tergantung pada negara dan terperangkap dalam hegemoni negara. Jadi mereka justru berlomba-lomba menggarap kelompok-kelompok yang menjadi korban dari proyek neo-liberalisme, dan mereka bisa menjadi “santa klaus” seperti itu karena mereka menerima subsidi yang cukup besar dari rekan-rekan mereka di Eropa dan Amerika Serikat. Konsep “kemandirian” mengede-pankan ide untuk mengganti pegawai yang digaji dengan tenaga sukarelawan (volunteer) ataupun profesional bebas yang dikontrak untuk jangka pendek dalam proyek tertentu. Dasar pikiran dalam pandangan kaum Post-Marxis adalah mengubah “solidaritas” menjadi kolaborasi dan subordinasi ke arah ekonomi makro neo liberalisme dengan fokus pandang yang dialihkan dari kelas berada ke arah kaum miskin yang tertindas.
Sebaliknya konsep kaum Marxis tentang Solidaritas kelas adalah solidaritas di antara kaum sekelas dan solidaritas dari kaum tertindas (baik wanita, maupun kaum kulit berwarna) melawan penindas dari dalam maupun luar negeri. Fokus utamanya bukanlah pada donasi yang justru memecah belah kelas dan menjinakkan sekelompok orang untuk waktu tertentu. Fokus dari kaum Marxis terhadap solidaritas adalah pada aksi bersama dari anggota dari kelas yang sama untuk membagi kesulitan ekonomi mereka secara bersama-sama dan berjuang untuk perbaikan hidup semuanya.
Solidaritas kaum Marxis ini melibatkan kaum intelektual yang menulis dan berbicara atas nama gerakan sosial dalam konteks perjuangan, suka duka bersama dan menghadapi konsekuensi politik yang sama. Bandingkan dengan kaum post marxis yang membenamkan diri mereka dalam institusi internasional, seminar-seminar akademik, ya-yasan-yayasan internasional, konferensi internasional dan laporan-laporan yang biro-kratis. Mereka menulis karya mereka dalam bahasa post-modernis yang cuma bisa dimengerti oleh pengarangnya sendiri.
Bagi kaum Marxis, solidaritas adalah pembagian resiko kepada seluruh orang yang terlibat dalam gerakan, dan tidak hanya dengan menjadi komentator yang duduk di belakang panggung yang hanya bisa menanyakan macam macam tapi tidak pernah membela sesuatu apapun. Bagi kaum post Marxis, proyek utama mereka adalah mencari dana bantuan internasional. Sedangkan proyek utama kaum Marxis adalah perjuangan politik dan pendidikan propaganda untuk memperbaiki kesadaran sosial. “Solidaritas” bagi kaum post Marxis adalah terpisah dari kerangka utama semangat pembebasan kaum tertindas, tujuan mereka hanyalah membawa orang-orang hadir di acara training dan seminar mereka. Bagi kaum Marxis, perjuangan bersama harus mempunyai tujuan ke arah masyarakat yang demokratis dan kolektif.
PERJUANGAN KELAS DAN KERJA SAMA
Berulang kali kaum Post Marxis menulis tentang konsep “kerja sama” bagi semua orang, tidak peduli di mana pun mereka berada tanpa memperhitungkan besarnya biaya sosial yang akan dihabiskan dalam kerja sama di tengah rejim neo-liberal dan dominasi lemba-ga donor internasional. Mereka melihat perjuangan kelas hanyalah sebagai nostalgia masa lalu yang sudah tidak relevan lagi. Mereka mengatakan sudah muak dengan politik kuno, ideologi dan para politikus.
Dilihat dari kulit luarnya mereka punya pendapat yang benar, mereka bisa dianggap benar karena mereka kaum post Marxis berhasil menyembunyikan peran mereka sebagai mediator ataupun calo dari lembaga donor internasional dan berlomba-lomba untuk memajukan proposal yang bisa diterima oleh pendana mereka di luar negeri. Para pebisnis “yayasan kemanusiaan” di luar negeri yang menjadi mitra mereka, sebenarnya justru berhubungan dengan para calo neo-liberal; mereka memang memberikan training kepada sejumlah wanita miskin tapi untuk dipekerjakan pada perusahaan skala kecil yang mereka dirikan sendiri, yang mana perusahaan kecil itu merupakan sub-kontraktor dari perusahaan eksportir yang lebih besar.
Politik dari para kaum post Marxis adalah politik “komprador”, mereka tidak menghasilkan produk apapun yang bisa dimasukkan dalam produksi nasional, justru mereka mencoba menghubungankan lembaga donor mereka dengan buruh-buruh secara langsung, untuk melicinkan lajunya neo-liberalisme. Dalam hal ini, kaum post marxis yang menjadi manajer sejumlah LSM adalah aktor politik paling utama atas training, workshop yang tidak memberikan kontribusi ekonomi apapun, baik menyumbang untuk Produk Nasional Bruto (GNP) maupun mengurangi angka kemiskinan. Kegiatan mereka hanya bisa memecah belah rakyat dari perjuangan kelas ke arah gerakan yang moderat dan tidak efektif, sebuah bentuk gerakan yang berkolaborasi dengan para penindas.
Dalam perspektif Marxis, perjuangan kelas dan konfrontasi terhadap borjuasi harus dibangun atas dasar kesadaran adanya pembagian kelas dalam masyarakat: antara orang-orang yang sibuk bermain tingkat keuntungan saham, nilai suku bunga, nilai sewa ataupun jumlah pajak dan orang-orang yang harus berjuang untuk meningkatkan gaji mereka, investasi produksi dan jaminan sosial. Pandangan post Marxis telah membuah-kan hasil dan bisa kita lihat di mana-mana seperti konsentrasi pendapatan di tangan segelintir orang dan meningkatnya jurang perbedaan kaya-miskin semakin besar dibanding sepuluh tahun yang lalu, semua itu terjadi setelah mereka sibuk dengan konsep ” kerjasama” dan “kemandirian” ataupun “usaha kecil”. Saat ini bank seperti Inter Ameri-can Development Bank (IDB) memberi dana kepada perusahaan ekspor agrobisnis yang menindas dan meracuni jutaan petani dan buruh di perkebunan besar, di sisi lain bank ini justru memberikan pendanaan kepada proyek-proyek LSM yang memposisikan dirinya membela para petani dan buruh yang tertindas tersebut. Justru peran kaum Post Marxis dengan LSM telah menetralisir perjuangan politik di tingkatan massa dalam melawan kebijakan neo liberal yang dilancarkan oleh para petinggi dan politikus.
Ideologi “cooperation” (kerja sama/gotong royong) justru dipakai untuk menghubungkan kaum miskin dengan kaum Post Marxis sebagai fasilitator menuju para pejabat di tingkat atas yang merupakan arstitek neo-liberalisme. Secara intelektual, kita bisa mengkategorikan kaum post Marxis sebagai polisi intelektual yang bisa menentukan proyek penelitian mana yang bisa diterima, membagikan dana untuk proyek penelitian tertentu, menyaring topik penelitian dari diskusi tentang perjuangan kelas dan perspektif perjuangan politik, dengan alasan yang dibuat-buat. Kaum Marxis selalu disingkirkan oleh mereka dalam konferensi ataupun seminar-seminar akademik dengan alasan forum akademik yang obyektif tidak bisa menerima para ideolog, sementara kaum post marxis sendiri ditempatkan sebagai akademisi ataupun peneliti sosial yang independen.
Kontrol mereka atas fasilitas intelektual, publikasi dan penerbitan, seminar-seminar dan konferensi serta pendanaan penelitian-penelitian telah memberikan kaum post-marxis kekuatan yang berarti, akan tetapi di sisi lain mereka justru jadi tergantung pada pendana mereka, dan berusaha sekeras mungkin menghindari konflik dengan funding agencies mereka.
Kritik-kritik yang dilancarkan oleh intelektual Marxis memiliki keunggulan tersendiri dalam menjelaskan dinamika dan perkembangan sosial. Secara taktis kaum marxis memang lemah, tapi secara strategis mereka jauh lebih kuat dibandingkan kaum post marxis.
APAKAH GERAKAN ANTI IMPERIALISME SUDAH TAMAT?
Dalam beberapa tahun terakhir gerakan anti imperialisme sudah menghilang dari panggung politik kaum marxis. Para bekas gerilyawan di Amerika Tengah telah berubah menjadi politikus yang hanya sibuk memikirkan Pemilu, dan para manajer LSM masih terus sibuk bicara di forum internasional tentang konsep mereka. Orang-orang miskin di Amerika Latin semakin dibebani hutang yang disalurkan oleh bank-bank Amerika, Jepang dan Uni-Eropa. Perusahaan-perusahaan milik negara, fasilitas umum, bank-bank dan kekayaan alam sudah terjual dengan harga murah ke tangan perusahaan Amerika, Eropa dan multinasional lainnya. Pada saat yang sama muncul pula generasi jutawan baru di Amerika Latin yang mempunyai simpanan di bank-bank Amerika dan Eropa. Amerika-Serikat memiliki lebih banyak penasehat militer untuk daerah Amerika Latin, petugas anti-narkotik, ataupun polisi federal yang ditujukan langsung untuk mengawasi Amerika Latin. Menurut cerita dari beberapa orang bekas Sandinista dan bekas Farabundistas bahwa semangat anti imperialisme telah luntur sejak perang dingin berakhir. Masalahnya bukan karena investasi asing maupun bantuan asing tidak mengalir lagi, tapi karena mereka gagal memahami bahwa investasi asing tersebut justru mengurangi upah buruh, menghancurkan sistem jaminan sosial dan merubah Amerika Latin menjadi ladang pertanian raksasa, lahan pertambangan raksasa dan daerah pasar bebas yang tidak memperdulikan kedaulatan bangsa, hak azasi manusia dan nasib jutaan orang.
Kaum Marxis menekankan bahwa eksploitasi oleh kaum imperialis berakar dari hubungan produksi yang berkaitan dengan hubungan multilateral antara negara imperialis dengan negara kapitalis yang tergantung pada mereka. Ambruknya Uni Soviet telah melempangkan jalan bagi kaum imperialis untuk melanjutkan eksploitasi mereka. Kaum Post Marxis dan bekas Marxis yang percaya bahwa dunia yang damai akan tercipta dengan “cooperation” tidak mampu mengerti akan intervensi Amerika Serikat di Panama, Irak, Somalia dan beberapa negara lainnya. Dinamika imperialisme justru lebih berhubungan dengan dinamika internal modal sendiri dibanding dengan dinamika persaingan mereka dengan Uni Soviet. Delapan tahun sejak runtuhnya Uni Soviet, perekonomian Amerika Latin telah kembali seperti saat mereka masih dijajah ratusan tahun yang lalu.
Perjuangan anti imperialisme dewasa ini perlu melibatkan rekonstruksi tentang konsep bangsa, pasar domestik, dan produksi ekonomis dan hubungan kelas buruh dengan produksi sosial dan konsumsi.
DUA PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL: ORGANISASI KELAS DAN LSM
Untuk meningkatkan mutu perjuangan anti imperialisme dan perjuangan melawan komprador baru dari dalam negeri, kita harus melampaui perdebatan ideologis dan kultural dalam tubuh kaum post Marxis sendiri dan juga gerakan rakyat.
Dewasa ini neo-liberalisme beroperasi di dua lini yaitu ekonomi dan budaya politik, dan neo-liberalisme juga beroperasi di dua level yaitu tingkatan rejim dan tingkatan rakyat kelas bawah. Pada tingkatan atas neo-liberalisme, kebijakan neo-liberal dikemas dan diterapkan melalui agen-agen yang sudah mapan seperti Bank Dunia, IMF dengan bekerja sama dengan pemerintahan di Washington, Bonn dan Tokyo dan mengikut- sertakan rejim-rejim neo-liberal dan para eksportir besar, konglomerat besar dan bankir bankir ternama.
Pada awal tahun 80-an, beberapa pihak rejim neo-liberal mulai menyadari bahwa kebijakan mereka telah menciptakan polarisasi di kalangan massa dan menciptakan keresahan sosial yang berkepanjangan. Rejim neo-liberal pun mulai membiayai dan mempromosikan strategi paralel yang berasal dari arus bawah, promosi organisasi grass root, dan organisasi dengan ideologi anti State (negara) serta organisasi ini dipakai untuk masuk ke daerah-daerah potensial konflik, dengan tujuan menciptakan sosok “malaikat penyelamat”. Jelas bahwa organisasi tersebut sangat tergantung pada sumber dana dari rejim neo-liberal dan akan terlibat secara langsung dalam persaingan dengan gerakan sosio politik lainnya untuk merebut kepemimpinan di tingkatan massa dan aktivis lokal. Pada akhir tahun 1990-an organisasi seperti ini digambarkan sebagai “ornop” (organisasi non pemerintah), berjumlah ribuan dan menerima uang sekitar 4 milyar dollar AS dari berbagai penjuru dunia.
Banyak orang yang bingung untuk memahami karakter NGO/LSM. Untuk memahami ini kita harus melihat ke belakang dari sejarah mereka di tahun 70-an ketika pemerintahan otoriter masih bercokol dengan kuat. Pada masa kediktatoran mereka sibuk memberikan bantuan kemanusiaan untuk menolong korban penindasan rejim militer dan mengecam pelanggaran hak asasi manusia. Pada masa ini LSM masih dipandang sebagai mitra bagi kekuatan kiri revolusioner, bahkan LSM pun dikategorikan sebagai kelompok progresif. Dalam tahap berikutnya mulai kelihatan batasan-batasan yang dimiliki oleh LSM, ketika mereka mengecam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rejim otoriter waktu itu, mereka seakan- akan melupakan pelanggaran hak asasi patron mereka yaitu Amerika dan Uni Eropa yang telah berjasa memberikan uang kepada mereka. Jadi dengan kata lain, kekuatan asing yang mendanai mereka telah membatasi ruang gerak kritik dan aksi mereka untuk membela hak asasi manusia.
Ketika semakin banyak orang yang menentang kebijakan neo liberal di awal tahun 80-an, Amerika Serikat dan Eropa serta Bank Dunia justru meningkatkan bantuan dana yang diberikan kepada LSM. Jadi ada hubungan antara bangkitnya gerakan anti neo-liberalisme dan usaha untuk menghacurkan itu dengan cara menciptakan bentuk aksi sosial yang baru melalui LSM -LSM yang menjamur seperti di musim hujan. Dasar utama kerjasama di antara LSM dan Bank Dunia adalah mereka mempunyai musuh yang sama yakni “konsep peran negara” (statism). Kalau kaum Post Marxis mengkritik peran negara dari perspektif bahwa yang penting adalah membangun masyarakat sipil (civil society), sementara itu dari sayap kanan serangan dilancarkan atas nama kepentingan pasar (market). Pada kenyataannya, Bank Dunia, rejim neo-liberal dan lembaga donor internasional justru mengkooptasi dan mendorong LSM untuk melupakan konsep negara kesejahteraan (welfare state) dengan menyalurkan jasa pelayanan sosial bagi kompen-sasi korban dari perusahaan multinasional. Dengan kata lain, rejim neo-liberal pada tingkatan atas (pusat) bekerja untuk menghancurkan masyarakat dengan membanjiri negara dunia ketiga dengan impor mereka, hutang luar negeri ataupun kredit lunak dan menghapuskan kebijakan perburuhan yang demokratis, menciptakan jumlah tenaga kerja murah dan pengangguran. Di sisi lain LSM didorong untuk memberikan pendidikan dan training, proyek berdikari dan kemandirian, mengkooptasi pemimpin lokal dan meng-hancurkan perjuangan kelas.
LSM telah menjadi bagian dari masyarakat neo liberal, dan jelas berhubungan dengan para petinggi neo-liberal dan mempersenjatai dirinya dengan kerja mereka yang destruktif di tingkatan bawah. Jelasnya, neo liberal mempunyai senjata berupa pisau bermata dua. Sayangnya, kebanyakan kaum kiri revolusioner hanya memfokuskan pada kaum neo liberal yang muncul dari atas dan luar negeri yaitu IMF dan Bank Dunia dan banyak kaum revolusioner yang melupakan neo liberalisme dari dalam dan dari bawah seperti LSM dan koperasi pengusaha kecil. Kegagalan mereka melihat ini adalah karena banyaknya bekas Marxis yang masuk ke LSM dan terjun di LSM. Post Marxis adalah ideologi, sementara community development sebagai tiket dari politik kelas menuju “pengembangan komunitas”, dari Marxis ke LSM.
Ketika neo liberalisme berusaha memindahkan atau mengalihkan badan usaha milik negara dan asset negara ke tangan swasta asing, LSM tidak pernah terlibat dalam perjuangan buruh melawan kebijakan ini, ataupun mencoba mengkritik. Sebaliknya mereka aktif di proyek proyek swasta kecil, mempromosikan usaha wiraswasta di tingkatan daerah dengan memfokuskan pada usaha koperasi kecil. LSM berusaha membangun jembatan penghubung antara kapitalis kecil dengan pengusaha besar yang memonopoli proses swastanisasi asset nasional dan asset publik, semuanya diatas namakan kepentingan masyarakat sipil dan mengurangi peran negara. Ketika kaum kapitalis menumpuk modalnya serta membangun kerajaan bisnis mereka melalui proses swastanisasi, kelompok LSM pun kebagian keuntungan dengan mendapatkan sedikit bagian dari keuntungan itu untuk membiayai kantor mereka, uang transport, kompu-terisasi, seminar-seminar dan usaha kecil-kecilan. Hal yang paling penting untuk dicatat adalah peran LSM dalam mendepolitisasi sektor rakyat, menghancurkan peran pegawai negeri yang melayani kepentingan umum, dan mengkooptasi para pemimpin yang ber-potensi dari proyek-proyek mereka. LSM tidak pernah turun membela para guru yang melawan kebijakan neo liberal yang memangkas anggaran pendidikan. Bisa dihitung dengan jari berapa kali LSM mendukung pemogokan buruh dan protes menentang upah rendah dan pemotongan anggaran untuk sektor publik. Karena anggaran pendidikan mereka didanai oleh pemerintahan neo liberal, mereka menolak memberikan solidaritas kepada para tenaga pendidik yang berjuang melawan pemerintah.
Pada prakteknya, LSM atau ornop adalah organisasi yang pro pemerintah. Mereka menerima anggaran dari pemerintah asing, dan bekerja sebagai sub-kontraktor bagi pemerintahan mereka sendiri. Sering sekali mereka bekerja sama dengan lembaga pemerintahan di dalam negeri maupun luar negeri . Sub-kontrak yang mereka lakukan te-lah mengubah mereka menjadi sekelompok profesional yang pro bisnis. LSM tidak mampu memberikan program komprehensif untuk jangka waktu panjang seperti yang disediakan oleh negara kesejahteraan, hasil nyata yang dapat mereka berikan hanyalah pelayanan kepada sekolompok kecil orang di daerah tertentu saja. Yang terpenting program mereka dianggap layak jual bagi lembaga donor internasional, tidak penting nilainya di mata masyarakat yang mereka jadikan obyek. Dalam kasus ini LSM telah menghancurkan nilai-nilai demokrasi dengan mengambil alih semua program sosial ke tangan mereka dari rakyat dan mereka memilih pegawai dan pengurus yayasan tanpa melibatkan massa rakyat yang mereka jadikan obyek, jadi mereka mengangkat sekelompok orang yang tergantung pada kebijakan lembaga donor internasional.
LSM mengalihkan perhatian rakyat dari perjuangan melawan anggaran pendapat-an dan belanja nasional demi melanggengkan anggaran yang disediakan untuk mereka. Sikap ini telah memberikan ruang gerak bagi kaum neo liberal untuk memotong anggaran subsidi sektor publik dan mengalihkannya untuk membayar hutang bank-bank besar maupun hutang para eksportir. Para kaum miskin membayar pajak kepada negara dan tidak memperoleh apa-apa, kelas buruh harus bekerja lembur tanpa dibayar, mereka menjadi obyek penelitian bagi LSM dan tidak pernah dibela oleh LSM. Ideologi kaum LSM adalah “aktifitas sukarela untuk kepentingan sendiri” (private voluntary acitivity)”, ideologi ini seakan-akan mengingkari peran pemerintah yang mempunyai kewajiban untuk memelihara warga negara dan memberikan jaminan hidup yang layak, kebebasan dan jaminan atas kebahagian mereka. Yang dikampanyekan oleh kaum LSM adalah ide kaum neo liberal bahwa tanggung jawab pribadi untuk memecahkan masalah sosial dan pentingnya kemampuan masing masing pribadi untuk memecahkan masalah sosial. Jadi mereka melipat gandakan penindasan pada kaum miskin, sudah dipaksa membayar pajak untuk membiayai proyek rejim neo liberal yang mana pajak itu hanya dipakai melayani kepentingan si kaya, disuruh pula memenuhi sendiri kebutuhan dasarnya sebagai warga negara.
LSM DAN GERAKAN SOSIAL POLITIK
LSM menekankan pada proyek-proyek yang tidak berorientasi aksi dan masuk dalam konteks gerakan masssa. Mereka hanya memobilisasi orang-orang pada tingkatan paling rendah dan bukan untuk perjuangan yang memberi mereka kesempatan mengontrol basis produksi dan kekayaan. Mereka hanya memfokuskan pada bantuan finansial secara teknis kepada orang miskin dan tidak melihat permasalahannya secara struktural dan mereka tidak mampu memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupan rakyat miskin yang menjadi obyek mereka. LSM mencuri terminologi kaum kiri revolusioner yaitu “people power”, pemberdayaan, persamaan hak (gender equality), dan arus bawah (bottom up leadership). Mereka telah mencuri istilah-istilah dan memakainya dalam kerangka kolaborasi dengan negara donor dan lembaga pemerintah yang telah mensubordinasi mereka. Mereka selalu mengatakan bahwa semangat kegiatan dan aktifitas mereka adalah “pemberdayaan” yang tidak pernah mampu memberdayakan sekelompok kecil masyarakat di lingkungan tertentu dengan sejumlah dana dan tenaga yang terbatas.
LSM dan para manajer post Marxis mereka tenggelam dalam persaingan antar mereka sendiri untuk melakukan aktifitas sosial politik yang bertujuan untuk memberikan pengaruh di antara kaum miskin, wanita dan kaum kulit berwarna. Ideologi mereka jauh dari sumber masalah dan jalan keluar dari kemiskinan yang menjadi obyek penelitian mereka. Mereka selalu mendengung-dengungkan usaha-usaha kecil (micro enterprises) sebagai jalan keluar, tanpa memperhitungkan eksploitasi oleh Bank Dunia. Di sisi lain, bantuan mereka juga menciptakan masalah di tengah masyrakat yang terbuai dengan bantuan-bantuan dan janji -janji muluk LSM, muncul persaingan di antara masyarakat juga untuk mencari simpati dari LSM dan melupakan solidaritas kelas di antara mereka sendiri. Hal yang sama juga terjadi dikalangan LSM dimana masing-masing kelompok berlomba-lomba untuk mendirikan LSM untuk mendapatkan dana dari luar negri. Ketika pada suatu saat proyek-proyek LSM ini menyurut karena mereka kehabisan ide atau masalah internal lainnya, para lembaga donor justru mengalihkan pendanaan mereka kepada LSM yang jelas-jelas bekerja sama dengan pemerintah, dan mendesakkan kebijakan neo liberal dijalankan melalui LSM tersebut.
Strategi Pemilu yang menjadi senjata utama kaum post marxis justru memberikan peluang kepada partai politik yang disponsori oleh kaum neo-liberal dan media massa borjuis. Pendidikan politik tentang imperialisme dan hubungan kelas antara pemilik modal dan buruh sama sekali tidak menjadi agenda mereka. Mereka mengkooptasikan kaum miskin kepada agenda neo liberal dengan menekankan konsep kemandirian, mereka menciptakan dunia politik yang mana solidaritas dan aksi sosial perlu dibicarakan terlebih dahulu dengan lembaga donor internasional dan struktur aparatus negara.
Bukan kebetulan kalau LSM menjadi dominan dan tumbuh subur di beberapa negara di mana aksi perjuangan kelasnya sedang menurun dan rejim neo liberal sedang melaju dengan kencangnya. Jelasnya laju pertumbuhan sejumlah LSM ditentukan oleh meningkatnya pendanaan dari luar negeri yaitu rejim neo-liberal dan meningkatnya angka kemiskinan di sebuah negara. Di sisi lain gerakan kiri revolusioner sedang mengalami kemunduran di mana banyak para gerilyawan dan aktifis kiri revolusioner, aktifis buruh, organisasi wanita rakyat telah dikooptasi oleh LSM. Mereka telah ditawari gaji yang tinggi, kedudukan dan jaminan dari lembaga donor internasional dan undangan di konferensi interansional dan jaminan tidak akan ditangkap dan disiksa oleh militer. Hal itu berbanding terbalik dengan gerakan sosial politik yang hanya mendapatkan sejumlah kecil keutungan material tapi mendapatkan respek yang besar dan idenpendensi serta yang lebih penting adalah kemerdekaan, kebebasan untuk menentang sistem ekonomi dan politik neo liberal. LSM dan bank-bank multinasional pendukung mereka sering mempublikasikan newsleter yang menceritakan tentang kesuksesan dari koperasi usaha kecil dan konsep kemandirian mereka, tanpa mereka menyebutkan tingginya suku bunga, rendahnya daya konsumsi masyarakat serta impor yang membanjiri pasar dalam negeri, seperti kasus Mexico saat ini.
Mungkin kesuksesan mereka benar-benar nyata, tapi itu hanya berlaku bagi sebagian kecil kelompok orang miskin. Meningkatnya angka kejahatan dan kekerasan di daerah-daerah kerja mereka merupakan indikasi bahwa LSM belum berhasil meng-gantikan gerakan sosial politik yang independen.
Akhir kata, LSM merupakan bentuk baru dari penjajahan di bidang ekonomi dan kultural serta ketergantungan gaya baru. Proyek-proyek mereka didesain atau paling tidak ditentukan secara garis besar oleh lembaga donor internasional mereka. Mereka diurus dan dijaga oleh lembaga donor mereka dan dijual kepada rakyat. Evaluasi kerja mereka juga dilakukan oleh lembaga donor tersebut.
Ketika sudah jelas bahwa LSM adalah instrumen dari rejim neo-liberal, masih ada sekelompok kecil orang yang mencoba memberikan alternatif yaitu perjuangan kelas dan politik anti imperialisme. Tidak ada satupun dari mereka yang menerima dana bantuan dari funding agency, dari pemerintah Amerika, Eropa maupun Bank Dunia. Mereka beru-saha menghubungkan kekuatan lokal ke arah perjuangan kelas melawan kekuasaan ne-gara. Mereka memberikan solidaritas politik kepada gerakan sosial yang terlibat dalam perjuangan kelas di berbagai sektor. Mereka mendukung perjuangan kaum wanita me-menangkan prespektif kelas. Mereka percaya bahwa organisasi lokal harus dibawa ke arah perjuangan nasional dan kepemimpinan nasional harus dibisa diterima oleh aktivis di tingkat bawah. ***
Diterjemahkan dari http://links.org.au/node/189