Indonesia, 1965: Merehabilitasi Korban, Merehabilitasi Revolusi

Indonesia, 1965: Merehabilitasi Korban, Merehabilitasi Revolusi

Artikel ini akan diterbitkan tahun depan dalam sebuah buku kumpulan tulisan saya tentang topik-topik yang berkaitan dengan ulangtahun ke50 persitiwa-persitiwa 1965 – yaitu: digulingkannya Sukarno, pembantaian massa pendukung Sukarno dan didirikannya Orde Baru.

Diterbitkan sekarang untuk menyambut film SENYAP, film sequel buat film JAGAL, yang baru-baru ini mulai ditayangkan.

Artikel ini bisa juga dibaca dalam bahasa Inggris disini: (Versi bahasa Indonesia ini diterjehmahkan oleh Danial Indrakusuma.)

Artikel ini ditulis Agustus, 2013, sehingga referensi-referensi kontemporer masih zaman Presiden Yudhoyono.

********

Setelah film JAGAL: Indonesia, 1965: Merehabilitasi Korban, Merehabilitasi Revolusi

Sangatlah menggembirakan mengetahui ada diskusi, baik secara internasional maupun di dalam negeri Indonesia, yang semakin meningkat dan lebih terbuka yang membahas pembunuhan massal para pendukung Sukarno dan kaum Kiri Indonesia pada 1965-68, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Kekejian brutal berdarah dingin dalam pembunuhan massal 1965 terungkap dalam pengakuan di film (dokumenter) “The Act of Killing (versi Indonesianya diberi judul “Jagal”), yang telah memainkan peranan yang sangat penting untuk memancing diskusi ini. Pengungkapan pada publik tentang temuan-temuan penting dalam laporan KOMNASHAM menegaskan mengenai peran sistimatis negara dan militernya dalam pembunuhan-pembunuhan tersebut, dan laporan tersebut telah diserahkan kepada pemerintah Indonesia saat ini. Juga sangatlah penting, bahwa pekerjaan pengungkapan tersebut dilakukan oleh mantan-mantan anggota organisasi-organisasi politik Kiri sebelum 1965, yang sekarang kebanyakan telah berusia lanjut, dalam mengangkat masalah tersebut dan penderitaan mereka, menggali kuburan massal, dan melalui bentuk-bentuk kampanye lain yang sangat penting. Mantan pemimpin Gerwani, Sulami, memainkan peran heroik dan mempelopori proses tersebut di kalangan kawan-kawannya. Ada juga hasil-hasil kasus pengadilan dalam menuntut konpensasi bagi milik yang hilang dan kekerasan yang dideritanya, yang kadang berhasil, kadang gagal.

Peran aktivis-aktivis yang lebih muda juga sangat penting di saat-saat tertentu. Penggalian kuburan massal yang pertama dilakukan pada masa Suharto oleh pendiri PRD, Danial Indrakusuma, yang bekerjasama dengan pembuat film dari Inggris, Max Stahl. Indrakusuma juga melakukan kembali dua upaya penggalian kuburan massal selama periode pendek masa peralihan Habibie.

Peningkatan aktivitas tersebut benar-benar telah memenangkan lebih banyak penampangan (profile) dan ruang yang lebih luas untuk mengkapanyekan dan me-lobi masalah rehabilitasi serta keadilan bagi para korban teror 1965-68. Dalam hal tersebut, bagaimana pun juga, kita haruslah mencatat bahwa keuntungan utamanya yang dimenangkannya adalah adanya peningkatan diskusi publik pada kadar yang masih rendah, bukan pergeseran menjadi opini publik, atau bukan perubahan pada level kebijakan negara. Negara, melalui pemerintahan Yudhoyono sekarang ini, telah mengabaikan laporan KOMNASHAM. Sebenarnya, Menteri Politik dan Keamanan telah memberikan pernyataan tentang pembunuhan massal 1965, yang dia pikir bisa dibenarkan karena pembunuhan massal itulah yang menjamin bisa terbentuknya Indonesia seperti sekarang ini. Ada rumor bahwa presiden akan meminta maaf, namun tak pernah dilaksanakan. Memang, rumor tersebut memicu serangkaian organisasi, termasuk Nahdlatul Ulama, untuk membuat pernyataan menolak sikap seperti itu.

Kemampuan melancarkan kampanye dan mendorong kasus-kasusnya ke pengadilan seperti itu menggambarkan perubahan atmosfir yang bisa sangat membantu sehingga, begitu Suharto turun takhta dan Orde Baru dapat diakhiri, maka berhenti pula propaganda nasional anti-PKI dari Orde Baru yang sebelumnya bertubi-tubi dan sistimatis. Perlambangan yang paling jelas adalah dihentikannya kewajiban yang sistimatis untuk memutar film yang mengerikan (namun brutalitasnya hidup), yakni film “Penghianatan G30S-PKI”. Anak-anak sekolah yang telah mengalami sistim sekolah selama 15 tahun terakhir ini tak mengalami pengkhinaan semacam itu. Sekarang telah terjadi perubahan. Sungguh, di sekolah-sekolah, kebijakan lama dalam mengacu pada soal G30S sebagai G30S-PKI baru-baru ini diperkenalkan kembali dengan pesan yang sangat menakut-nakuti, yang dimasukkan ke dalam sistim pelatihan guru.
Negara Kontra-Revolusiener

Kenyataannya, saat kekuasaan represif negara mengalami pukulan berat pada tahun 1998, saat angkatan darat tak bisa lagi melindungi kediktatoran Suharto, dan di tahun 1999, saat tak bisa lagi memaksakan kemenangan dalam referendum Timor Timur, karakter dasar negara dan penguasa yang menggunakannya, tetaplah sama. Tetap saja secara mendasar masih negara kontra-revolusioner.
Dalam kurang-lebih 100 tahun ini, hanya sedikit negara yang berkarakter kontra-revolusioner. Tentu saja, semua negara secara laten kontra-revolusioner, yakni mereka mungkin akan mencoba untuk menindas upaya yang akan menggulingkan dan menghancurkan mereka. Terdapatr banyak contoh negara penindas—di Asia Tenggara, contohnya, Filipina pada masa Marcos. Tapi negara yang benar-benar kontra-revolusioner, yakni negara yang berkuasa dengan landasan penindasan aktif terhadap revolusi sangatlah jarang. Mungkin Hitler, di Jerman, dan Stalin, di Rusia, merupakan dua contoh besar lainnya, walupun dengan dua tipe yang berbeda. Sangatlah penting untuk menidentifikasi perbedaan anatara negara yang represif, bahkan negara yang sangat represif, dengan negara kontra-revolusioner. Dalam abstraksiku, aku mengritik formulasi Douglas Kammen, yang mengacu pada persoalan tersebut dengan kesimpulan bahwa “kontra-revolusi” bertujuan “menghancurkan basis sosial Demokrasi Terpimpin presiden Sukarno yang cenderung ke Kiri”. Walaupun menggunakan istilah “kontra-revolusi”, Kammen gagal mengenali dengan cukup tersurat (explicitly) revolusi yang sedang bejalan, atau sedang berlangsung. Kekerasan kontra-revolusioner 1965-1968 bukanlah ditujukan untuk mengakhiri rejim Sukarno yang cenderung ke Kiri tapi, utamanya, ditujukan untuk menghancurkan basis sosial “pemerintahan mendatang”.

Keduanya, apakah itu ilmuwan liberal dengan penjelasannya sejak 1965, sebagaimana juga sejumput analisa sayap-Kiri, gagal memeberikan bobot yang cukup terhadap kenyataan yang sangat penting: kaum Kiri Indonesia, yang terdiri dari Sukarno, PKI, sayap-Kiri PNI, PARTINDO, kelompok kecil ACOMA (Angkatan Communis Muda) dan organisasi-organisasi massa mereka, sedang di ambang kemenangan politik.

Ironisnya, tapi tak mengagetkan, terdapat komentar dari akedemisi yang paling kanan, seperti Justus van der Kroef dan Arnold Brackman yang mengerikan itu, yang memproklamirkan kenyataan ini: Indonesia sedang di tepi “kejatuhan” (mereka memang akan melihatnya seperti itu). Ilmuwan liberal tidak mau menekankan kenyataan tersebut, aku pikir, karena dalam atmosfir Perang Dingin saat itu, sentimen anti-komunis begitu kuatnya. Pemerintah Inggris, Amerika, dan Australia, semuanya mengungkapkan secara terbuka dan tegas pujian pada kontra-revolusi dan kekerasannya, membela kontra-revolusi secara politik dan diplomatik, sebagaimana juga secara keuangan dan, dalam beberapa kasus, secara militer. Ilmuwan liberal dan Kiri, kupikir, ingin memiliki kemampuan untuk mengatakan bahwa kekerasan secara politik tidaklah dibutuhkan. Mereka juga menekankan bahwa Sukarno sendiri bukanlah seorang komunis.

Sangatlah penting untuk memahami kedekatan Indonesia pada revolusi. Tidak saja Sukarno, PKI, PNI, PARTINDO, dan kelompok-kelompok Kiri lainnya yang memenangkan pertarungan politik, mendapatkan dukungan di kalangan penduduk. Di dalam PNI, sayap-Kirinya dikeluarkan pada bulan Agustus, 1965. Sebagian kalangan penting di dalam kepemimpinan NU juga bersekutu dengan Sukarno. Oposisi sipil utama terhadap Kiri, yang diperlemah oleh kurangnya dukungan relatif, disingkirkan dari sistim, meskipun dengan cara-cara administratif yang tidak demokratis. Masyumi dan PSI dilarang pada tahun 1960, kemudian MURBA pun dilarang setelah dikampanyekan oleh PKI. Pengaruh Kiri, tak diragukan lagi, juga sedang tumbuh di kalangan jajaran perwira angkatan darat. Tapi, ternyata, skala dukungan bagi Kiri merupakan hal yang penting. Ilmuwan seperti Donald Hindley, yang melakukan penelitian tentang PKI di tahun 1960-an, dan juga yang lainnya, memperkirakan bahwa organisasi-organisasi Kiri di Indonesia memiliki keanggotaan aktif sekitar 20 juta. Aku memperkirakan bahwa bila saja ada pemilihan umum pada tahun 1963 atau 1964, mereka kan memperoleh sekita 35 juta suara. Kiri juga secara de fakto “mengendalikan” posisi presiden, walaupun secara signifikan dikeluarkan dari posisi di kabinet dan dalam kepemimpinan tinggi angkatan darat. Prospek pemerintahan Sukarno-PKI-Kiri adalah nyata. Organisasi-organisasi politik tersebut, apapun kritik Kiri terhadap program-program yang mungkin disodorkannya, dilandaskan pada pengerahan kaum miskin dalam menentang kelas sosial tuan tanah dan kapitalis-kapitalis militer. Dari situlah asal-datangnya 20 juta keanggotaan; dan target kelas mereka jelas.

Kedekatan pada revolusi tersebut, yang dilandaskan pada dukungan massa, apapun bentuk Indonesia yang akan atau tidak kan didirikan, menelikung segala sesuatu yang dilakukan Kanan. Revolusi politik dengan landasan perjuangan kelas semacam itu, bila berhasil, jarang membuka kemungkinan untuk kembali pada tatanan sebelumnya. Hal tersebut dipancang sebagai pertempuran hidup-mati. Semakin dekat pada revolusi, yakni bila semakin banyak dukungan pada revolusi, maka semakin bergairah pula kontra-revolusi.

Terdapat semacam keadaan yang jelek, dialektika yang mengerikan terhadap situasi seperti itu, yang sangat gamblang dalam kasus Indonesia. Kiri tumbuh dari puluhan ribu anggota pada pertengahan tahun 1950-an menjadi 20 juta dalam 10 tahun kemudian. Hal itu bisa terwujud karena dukungan ideologis dari presiden, namun harus berhadapan dengan gangguan fisik dari angkatan darat dan kelompok-kelompok konservatif. Suatu pertumbuhan yang benar-benar luar biasa, aku menduga tak pernah terjadi sebelumnya di dunia. Salah satu faktor yang sangat penting, yang membuat hal tersebut bisa terwujud adalah bahwa lawan politik Kiri memiliki basis kelas yang lemah.Tak ada kelas kapitalis yang perlu diwaspadai, yang ada sekadar lautan massa borjuis kecil yang miskin, penjaja, sebagaimana Geertz menyebutnya, dan itu merupakan sebagian besar penduduknya. Ada memang kapitalis-kapitalis militer, yang baru muncul sekitar tahun 1958-60 saat perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasikan, dan menguasai sektor modern yang sudah bangkrut karena kehilangan penanam modal Belandanya. Juga ada kelas tuan tanah, tapi hanya di daerah-daerah tertentu, berserakan, dan tergantung hampir samasekali pada ideologi agama untuk mendapatkan dukungannya. Pada awal 1960-an, sangatlah jelas bahwa partai-partai politik Kanan benar-benar kalah dalam pertarungan tersebut, tak mampu memenangkan hati dan pikiran. Kemudian, mereka tak ada pilihan, selain mengandalkan angkatan darat sebagai pimpinan politik mereka. Pada tahun 1965, saat kekuatan tersebut melakukan pembunuhan massal, mereka juga harus mengandalkan pada pengerahan unsur-unsur lumpen-proletariat, begitu lemah dan tak memiliki apapun kelas elit tersebut secara budaya, politik dan ideologis. Kita bisa menyaksikannya dalam film “The Act of Killing (Jagal)”.

Sekilas perbandingannya dengan Chile cukup menarik. Militer merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden Allende pada tahun 1973, dan dengan kekerasan menghancurkan Kiri Chile. Di Indonesia, Marxisme-Leninisme dilarang. Di Chile, konstitusi baru disyahkan, yang melarang partai yang memiliki ideologi perjuangan kelas sebagai azasnya. Namun dampaknya masih bersifat “de jure”. Bagaimanapun juga, keseimbangan kekuatan aatara Kiri dan Kanan lebih ketat. Saat ada sayap-Kiri yang terorganisir dengan baik dan signifikan, terdapat juga borjuis yang signifikan dan, paling tidak, terdapat dua partai, sayap-kanan dan Kristen Demokrat. Dalam pemilihan parlemen, suaranya ketat, 50-50 melawan Kiri. Allende dari Partai Sosialis dan Unidad Popular, dengan Kristen Demokrat bahkan bisa melakukan pembicaraan untuk membahas kemungkinan koalisi. Parlemen pada tahun 1973 berisi mayoritas yang anti-Allende dan terus menerus merongrong Allende. Di Indonesia, parlemen tahun 1965, yang telah ditunjuk oleh Sukarno, jelas-jelas merupakan mayoritas yang mendukung Sukarno, paling tidak selalu mendukung kebijakan-kebijakannya yang paling radikalnya.

Itu berarti bahwa di Chile tak ada keputusasaan total di kalangan partai-partai politik yang anti-kiri sehingga mereka mengandalkan perlindungan militer dalam melawan Kiri, yakni untuk melakukan penghancuran fisik secara total. Mereka memang bersyukur dengan adanya kudeta militer, tapi kelas-kelas yang menentang Kiri mampu mengimbanginya dengan kekuatan politik dan ideologi, terpisah dari angatan darat, untuk mengkonsolidasikan rejim baru di bawah Pinochet. Kekerasan di Chile memang mengerikan, dan slogan sebelum kudeta adalah “Jakarta akan Hadir”[1], namun skala kekerasan penindasan seperti di Indonesia tidak dibutuhkan. Tidak juga perlu menggunakan unsur-unsur lumpern-proletariat dengan skala yang sama. Chile kemudian melakukan reformasinya pada tahun 1988, 10 tahun sebelum Indonesia melakukannya. Negara kontra-revolusioner di Chile lebih lemah dan lebih berumur pendek. Yang paling penting, tradisi ideologi kirinya di kalangan kelas pekerja perkotaan yang besar tak bisa dibasmi. Dalam beberapa hal, kerevolusionerannya tetap bisa beranjak maju sejak tahun 1973, ketimbang di Indonesia sejak tahun 1965.

Di Indonesia, Orde Baru didirikan sebagai bagian dari keberhasilan, kenekadan habis-habisan kontra-revolusi yang sedang mengalami keputusasaan, dalam mencegah keberhasilan revolusi yang sedang di ambang pintu. Ideologi revolusi kelas dan keberadaannya yang panjang serta sangat penting dari ideologi tersebut memang harus dibasmi, dan itu dilakukan secara sistimatis dan bergairah. Marxisme-Leninisme, Sukarnoisme-Kiri, dan semua penulis revolusioner dilarang. Bahkan sekarang, penerbit “Di Bawah Bendera Revolusi” tak berani menerbitkan Jilid II nya yang berisi kumpulan pidato-pidato Sukarno setelah kemerdekaan, walau sering dipampang di rumah-rumah kelas penguasa. Namun Bonnie Triyana dan kawan-kawannya berani menerbitkan pidato Sukarno pasca 30 September, 1965, yang merupakan landasan-terobosan yang sangat penting, dalam buku “Revolusi Belum Selesai”.

Ideologi 20 juta orang yang aktif di kubu Kiri sebelum tahun 1965 dilarang, tabu, dan di-iblis-kan[2]. Dan mempertahankan hal tersebut merupakan hal pokok bagi negara, agar tetap menjadi negara kontra-revolusioner, yang secara organik berkaitan dengan bagaimana negara tersebut terbentuk. Beberapa mekanisme penindasan negara tersebut sudah melemah, namun watak dasarnya belum berubah.

Merehabilitasi korban, merehabilitasi revolusi

Tentu saja, segala upaya dilakukan untuk mengungkapkan penderitaan manusia pada tahun-tahun tersebut; setiap upaya untuk menunjukkan kekerasan, ketidakadilan dan ilegalitas penderitaan tersebut agar menjadi perhatian generasi baru Indonesia serta dalam rangka mencari keadilan, haruslah didukung. Ungkapan “maaf” dari negara, bila saja itu dilakukan, akan membantu. Namun rehabilitasi, keadilan yang sebenarnya tak akan terwujud tanpa juga merehabilitasi ideologi korban—dan, dalam konteks ini, kita harus ingat bahwa 20 juta korban kehilangan hak-haknya untuk mengungkapkan dan mengkampenyekan ideologi mereka.

Di sini, aku tidak akan mempertentangkan bahwa memang diperlukan memenangkan kembali dukungan bagi ideologi tersebut—itu adalah suatu pertanyaan yang terpisah. Yang aku pertentangkan adalah bahwa rehabilitasi penuh bagi korban, seluruh 20 juta korban, apakah mereka masih hidup atau sudah anumerta, tak akan bisa kecuali sebagai bagian dari pengembalian secara penuh dalam hak-hak demokrtaik (liberal) yang normal. Karena itu, perlu memenangkan kembali hak ideologinya, yang sekarang di-iblis-kan, setara dengan hak ideologi lainnya: hak untuk secara terbuka bisa diakui dan aktif. Jutaan korban tak akan bisa direhabilitasi dan keadilan yang mereka derita tak akan diakui bila mereka ditentukan sebagai unsur yang terkait dengan ideologi yang di-iblis-kan. Nasib korban terkait erat dengan bagaimana memenangkan kembali legitimasi, persamaan dan hak tersebut.

Sudah ada upaya-upaya presiden Wahid saat menyatakan keinginannya untuk mencabut larangan terhadap ideologi komunis yang masih tercantum dalam Ketetapan MPR, dan memperbolehkan pasar-bebas gagasan, sebagaiman yang pernah ia katakan. Hal tersebut tak diragukan lagi merupakan salah satu alasan mengapa sebagian elit, baik di dalam maupun di luar parlemen, berbalik menentangnya. Baru-baru ini, hakim di Mahkamah Konstitusi dan calon presiden, Makhfud, menyatakan bahwa komunis dan ateis adalah legal, yang merupakan satu langkah maju, namun masih sangat terbatas karena, menurutnya lagi, dengan jelas ia mengatkan bahwa mereka punya hak hidup untuk “menjadi” komunis tapi tak boleh menyebarluaskan gagasan-gagasannya. Menurut dugaanku, parlemen 100% akan menolak liberalisasi semacam itu.

Film “The Act of Killing (Jagal)” memberikan beberapa hal penting. Salah satu yang terpenting adalah bahwa kontra-revolusi telah menang dan masih berkuasa. Sementara beberapa mekanisme penindasannya telah melemah, negara ini masih sepenuhnya negara kontra-revolusioner—negara ini masih belum dikembalikan menjadi sekadar negara kontra-revolusioner yang laten., sebagaiaman yang berlaku di Chile. Hal tersebutlah yang kadang tidak ada dalam diskusi di Indonesia, hal tersebut sangat jelas terlihat dalam wacana tentang “rekonsiliasi”. Rekonsiliasi dipopulerkan di AfrikaSelatan setelah negeri tersebut terlepas dari apartheid, yakni dalam situasi di mana penindas sebelumnya telah digulingkan dan para korban mulai menyatakan keinginannya untuk berekonsiliasi dengan penindas seblumnya yang barusaja mereka kalahkan. Di Indonesia, dalih rekonsiliasi semacam itu merupakan de facto dalih bahwa para korban, yang masih di-iblis-kan dan masih ditindas, harus berekonsiliasi dengan mereka yang masih terus menerus menganiayanya.

Aku menghadiri suatu acara yang dipersembahkan bagi ulang tahun Joesoef Isak di Taman Ismail Marzuki. Pada malamnya, satu paduan suara ibu-ibu, semuanya mantan tahanan politik dan anggota organisaswi massa Kiri, bernyanyi di atas pentas. Salah satu lagunya adalah terjemahan lagu Internationale. Juga, pada malam itu, Isak, wartawan senior sebelum tahun 1965 dan penerbit buku-buku Pramoedya Ananta Toer sesudah tahun 1980, mengundang wartawan senior terhormat yang anti-PKI, Rosihan Anwar, yang ada di antara penonton, duduk di dekat panggung. Sepertinya itu isyarat “perdamaian. Tapi, besoknya, Anwar mengeluh bahwa bagaimana mungkin ada rekonsiliasi bila masih menyanyikan Internationale. Rekonsiliasi maknanya adalah menerima syarat kemenangan kontra-revolusi. Dalam satu hal, itulah juga masalah di balik polemik tajam anatara Goenawan Muhammad dengan Pramoedya Ananta Toer, saat Muhammad menyerang Pramoedya karena mengatakan “rekonsiliasi” sampah.

***

Memenangkan kembali hak-hak yang sama terhadap ideologi Kiri sebelum tahun 1965, tentu saja, tak terhindarkan lagi, akan merupakan proses yang rumit. Pada satu tingkatan, akan berkaitan dengan prinsip dasar demokrasi: kekebasan berpendapat dan berorganisasi, hak yang juga belum dimenangkan kembali oleh berbagai aliran agama sebagaimana juga oleh gagasan-gagasan separatis. Tentu saja, harus dibahas pada tingkatan tersebut sebagai prinsip mendasar. Pada saat yang sama, hal itu juga tidak bisa dibahas berdasarkan konteks kesejarahan tertentu.

Kebenaran situasi politik yang berkembang selama tahun 1950-an dan 1960-an sangat mendesak untuk dipelajari kembali, ditulis dan diperdebatkan. Apa yang sedang diperjuangkannya; program-program dan landasan perjuangan (platform) partai; kepentingan yang mereka wakili; kelemahan-kelemahan, batasan-batasan dan kontradiksi-kontradiksi taktik serta metode-metode semua kekuatan harus menjadi persoalan utama politik. Apa yang sesungguhnya terjadi pada malam 30 September dan pagi hari 1 Oktober juga penting dan semakin bisa dijelaskan dengan baik, menurutku, dalam buku John Roosa, “Pretex for Mass Murder (Dalih Pembunuhan Massal)”. Mengungkapkan kenyataan watak teror kekerasan, sebagaimana digambarkan dalam film “The Act of Killing (Jagal)”, merupakan bagian penting dari proses tersebut, agar generasi sekarang bisa dihadapkan pada asal-muasal negara yang tidak manusiawi yang sekarang memerintah mereka. Keseksamaan yang semakin menurun selama 15 tahun terakhir dalam propaganda lama kontra-revolusioner yang sistimatis di sekolah-sekolah merupakan cermin melemahnya mekanisme penindasan, sehingga kaum muda lebih terbuka mendengarkan dan kemudian menyelidikinya sendiri untuk kebutuhan mereka sendiri. Dalam semua wilayah penelitian dan penulisan, para peneliti dan analis dari luar negeri dapat memberikan sumbangannya, walaupun sekarang 1.000-an akedemisi ilmu sosial, juga para aktivis di Indonesia, akan memikul sebagian besar beban tersebut. Kampanye untuk memaksa “pernyataan maaf”; pengadilan kasus-kasusnya; lebih banyak penggalian kuburan massal—semuanya akan memainkan peran yang sangat penting. Namun, dugaanku, semuanya tak akan menghasilkan apapun bila landasan peng-iblis-an terhadap 20 juta korban, melalui peng-iblis-an secara resmi terhadap ideologi yang mereka anut pada saat itu, juga tidak ditantang setidaknya pada tataran hak-hak. Salah satu perwujudan bagaimana masalah tersebut dihindari adalah terciptanya kemenduaan (ambiguities) yang parah, yang tercermin dalam pertentangan baru-baru ini perihal novel dan film yang berlatar-belakang 1965 atau periode malapetaka tersebut, seperti yang diceritakan dalam novel Leila Chudori, “Pulang”. Sementara novel tersebut berisi unsur-unsur yang mengakui bahwa kekerasan 1965 memang merupakan tragedi kemanusiaan, dan terdapat beberapa masalah yang menyebabkan keputusasaan, tak ada satu pun tokoh kiri, yang tanpa rasa malu mengaku sebagai anggota PKI atau organisasi lainnya, dan merasa nyaman atas pilihan ideologinya. Mereka, biasanya, adalah penggambaran orang-orang yang ditangkap sebagai jaminan atas kerusakan, kawan-kawan, kerabat, orang-orang yang dituduh terlibat atau, paling tidak, orang-orang lugu yang tidak tahu-menahu, yang tak sadar apa sebenarnya ideologi yang mereka dukung. Novel-novel dan film-film tersebut, di satu sisi, memperkuat keprihatinan bahwa memang benar terjadi peristiwa yang mengerikan, tapi novel-novel dan film-film tersebut sebenarnya juga mendesakkan peng-iblis-an kepada 20 juta anggota organisasi sayap-Kiri. Mereka dianggap tabu, najis, sehingga tak layak dimunculkan dalam cerita tersebut. Tentu saja, mengingat budaya politik di Indonesia saat ini, seseorang tak bisa berharap rentetan novel yang mengangkat pahlawan Kiri—bukan itu masalahnya. Bahkan tak ada penggambaran orang-orang yang tulus, aktif, dan nyaman dengan pilihan ideologinya, tak peduli apakah dia tokoh penting atau sekadar figuran. Mereka juga di-iblis-kan. Memenangkan rehabilitasi bermakna menaklukkan hegemoni tanpa syarat dalam perspektif tersebut.

Tentu saja, ada aspek lain dalam proses memenangkan hak kesetaraan demokratik ideologi tersebut. Aspek yang didiskusikan di sini, sejauh ini, relevansinya sebagai bagian dari proses rehabilitasi korban kekerasan 1965-68. Aspek lainnya adalah signifikansinya bagi generasi baru Indonesia yang berharap memiliki kebebasan untuk menggunakan hak tersebut di Indonesia masa kini. Sudah sangat jelas bahwa terdapat peningkatan dalam jumlah orang yang sedang menggunakan hak tersebut, sekarang, dalam praktek, walaupun terdapat ilegalitas formal. Hal tersebut akan menjadi bagian dari keseluruhan proses untuk memukul-balik negara kontra-revolusioner, memenangkan paling tidak demokrasi liberal dan kepenuhan hak-haknya. Sementara ideologinya masih di-iblis-kan secara resmi, kaum miskin tak memiliki kosa-kata historis untuk dimanfaatkan dalam merumuskan harapan-harapan mereka. Dan mereka masih harus menghadapi luapan emosi seperti yang mereka terima dari wakil gubernur Jakarta, Ahok, yang mengecam kaum miskin di Pluit sebagai PKI karena menolak digusur dari pemukimannya.

Aku sudah berdalih bahwa pembunuhan dan kekerasan sitimatis pada tahun 1965-68, di mana lembaga pelaku utamanya adalah angkatan darat, yang juga mengerahkan unsur-unsur lumpen-proletariat perkotaan dan pedesaan, sebagai bagian kontra-revolusi yang bertujuan untuk menghambat revolusi sosial dan politik yang sedang berlangsung. Hal tersebut telah membentuk watak kelas penguasa [yang wataknya juga telah diungkapkan secara gamblang dalam film “The Act of Killing (Jagal)”] dan negaranya sekarang ini. Peng-iblis-an ideologi, peng-iblis-an ideologi orang-orang yang dibunuhi oleh kontra-revolusi sangatlah penting dalam membentuk wataknya. Memenangkan kembali kesetaraan hak bagi ideologi tersebut, pertama-tama mungkin harus secara de fakto dan de jure, sangatlah penting dalam proses apapun saat memenangkan rehabilitasi, keadilan dan bahkan konpensasi bagi korban, jutaan mereka dan keturunannya. Korban yang paling menderita adalah mereka yang disiksa kemudian dibunuh dan mereka yang dipenjara serta disiksa. Namun, mereka semua yang kehilangan hak-hak mereka, yang seringkali kehilangan mata-pencariannya, adalah juga korban.Tapi ada juga aspek yang sangat eksistensial dalam analisa ini. Ya, harapan utamanya adalah mengangkat kembali politik apa yang telah terjadi, kemudian apa implikasinya bagi saat ini. Namun terdapat juga aspek eksistensial yang mendalam. Beberapa mantan aktivis tersebut mungkin tak lagi yakin akan ideologi lamanya. Tapi beberapa masih yakin. Beberapa aktivisnya telah berusia sekita 80-an, masih bersemangat menyanyikan “NASAKOM Bersatu” dan “Internationale” serta lagu-lagu ideologis mereka. Itulah memang mereka; dalam beberapa hal, kepribadian mereka ditentukan oleh kesetiaan ideologisnya. Beberapanya mengalami pemenjaraan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Sebagian lainnya kehilangan mata-pencarian dan harta benda miliknya, bila memang masih ada. Sebagian besar kehilangan masa mudanya karena dipenjara atau bersembunyi. Namun, semuanya, jutaan dan jutaan dari mereka, karena pelarangan total dan peng-iblis-an ideologi mereka, disingkirkan dari keseluruhan sejarah, juga telah, selama 50 tahun, ditolak kepribadiannya. Mereka hanya bisa menjadi diri mereka sendiri secara pribadi, atau saat bersama kawan-kawannya. Menyedihkan dan membangkitkan amarah menyaksikan akhir dari semuanya. Pramodeya menyebut dirinya seorang bisu yang hanya bisa bernyanyi bagi dirinya: “Nyanyi Sunyi Seroang Bisu”—dan ia adalah seorang korban yang langka yang bisa memenangkan ruang publik. Nyanyian sunyi seorang bisu yang dipaksakan itulah yang harus diakhiri.

***

Artikel ini dipersembahkan pada Konferensi:

“After The Act of Killing: Historical Justice and the 1965-1966 Mass Killing in Indonesia”, University of Melboune and Sekolah Tinggi Filsafat, Jakarta, August 30, 2013.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *