Sejarah Orde Baru dan Indonesia

Max Lane

Pertama sekali saya belajar sejarah Indonesia ialah pada tahun 1967 dan 1968 di Sekolah Menengah Atas di Sydney, Australia, kemudian di Department of Indonesian and Malayan Studies, University of Sydney tahun 1969-72. Pada saat itu sejarah Indonesia Merdeka baru berlangsung 22 tahun. Daripada 22 tahun itu, 5 tahun adalah sejarah revolusi (fisik), kemudian ada periode selama 16 tahun yang berakhir pada tahun 1965, dan kemudian 2 tahun Orde Baru. Pada saat itu, sejarah Indonesia Merdeka masih pendek. Sejarah pra-Indonesia – dari sejak Kartini sampai 1945 – sebenarnya juga bukan periode yang berjangka panjang.

Buat dosen-dosen saya zaman itu, menyusun kurikulum sejarah tak terlalu pusing dengan hanya adanya 22 tahun tsb. Di Indonesia sendiri, tentu saja, Indonesia Merdeka belum ada “sejarah” sama sekali. Periode 1945-67 masih sangat kini buat kaum intelektual, aktivis maupun rakyat.

Sekarang kalau mengajar atau mempelajari sejarah Indonesia Merdeka sudah bukan lagi 22 tahun tetapi 66 tahun. Periode ini sudah lebih lama daripada periode pra-Indonesia 1890-1945, 55 tahun. Dan sudah banyak sekali hal  yang terjadi. Buat intelektual, aktivis dan rakyat Indonesia, Indonesia Merdeka juga sudah hilang kekiniannya sebagai suasana yang dominan. Sejarah sudah riil sebagai masa lalu yang meninggalkan warisan yang harus dihadapi dan diolah kembali sekarang sebagai bahan mentah memproduksi masa depan.

Meskipun 22 tahun sudah menjadi 66 tahun, sering terasa dalam mendiskusikan atau menganilsa sejarah Indonesia seolah-olah masih hanya 22 tahun saja. Ini karena periodisasi sejarah Indonesia yang ada di buku teks dan di diskursus publik – periodisasi yang terciptakan oleh hegemoni politik – menciutkan sejarah Indonesia Merdeka hanya menjadi 4 atau 5 momen saja. Periodiasi yang hegemon ialah (1) revolusi fisik, (2) demokrasi parlementer, (3) Demokrasi Terpimpin atau Orde Lama dan (4) Orde Baru. Sekarang sudah masuk momen Reformasi/Pasca-Reformasi tetapi suasana titik ini masih didominasikan oleh kekinian. Saya sebutkannya disini sebagai “momen” bukan sebagai “periode” karena di dalam diskusi-diskusi tentang semua ini seolah-olah pula masing-masing momen ini tidak memiliki sejarah. Masing-masing titik ini hanya bermakna di dalam sejarah hegemonik dalam rangka mendefinisikan momen lainnya.

Ketidak-memadaian dari pendekatan ini kelihatan, misalnya, kalau kita perhatikan bahwa Orde Baru berlangsung selama 33 tahun. Pada momen jatuhnya Orde Baru periode tersebut sudah memakan hampir 60% dari sejarah Indonesia Merdeka dan 65% dari sejarah Indonesia sejak berakhirnya revolusi fisik dan diselenggarakan sebuah negara Indonesia (Indonesian state) yang stabil memerintah hampir seluruh wilayah Indonesia. Dan selama Orde Baru kekuasaan negara (state power) sangat kuat dan berhasil membalikkan arus sejarah Indonesia yang berkembang sebelumnya dalam segala hal. Indonesia peiode 1998-2011 merupakan periode menghadapi warisan 33 tahun kekuasaan hampir totaliter dari Orde Baru. Periode pasca-orde baru belum melahirkan arus baru. Ini berarti bahwa Orde Baru menentukan dinamika perkembangan 46 tahun sejarah Indonesia Merdeka atau 70% daripada sejarah Indonesia Merdeka.

Kita tidak bisa mengerti Indonesia dewasa ini kecuali kita juga sudah mempelajari, bukan hanya yang 30% sejarah Indonesia 1945-65 tetapi juga yang 65% – 1965-1998. Sebenarnya dari sudut pandang ini Orde Baru berkuasa sangat lama sekali – sulit untuk menemukan kasus di mana sebuah rejim bisa menguasai dan menentukan dinamika negerinya selama 65-70% dari eksistensinya.

Oleh karena itu penting sekali untuk disadari bahwa Orde Baru memiliki sejarahnya sendiri juga. Indonesia selama Orde Baru mengalami banyak sekali perubahan – meski ada juga yang tidak berubah. Bahkan, menurut pendapat saya, kontra-revolusi Orde Baru 1965-79 sedemikian total membalikkan arus sejarah Indonesia yang sebelumnya bahwa yang terjadi ialah terciptakan sebuah Indonesia II yang berlawanan dengan ciri-ciri khasnya daripada Indonesia yang dilahirkan oleh periode 1890-1965. Sejarahwan, dan semua yang berminat akan sejarah, harus mulai membangun pengertian dan analisa-analisa tentang sejarah Orde Baru dalam segala aspeknya.

Pada bulan Oktober, misalnya, setiap tahun ada diskusi-diskusi tentang Sumpah Pemuda tetapi Petisi 24 Oktober 1973 hampir tak pernah didiskusikan padahal dokumen ini sangat penting dalam sejarah Indonesia. Dokumen ini dicetuskan di kuburan Kalibata tahun 1973. Petisinya berbunyi:

 

Kami pemuda-pemudi Indonesia, milik dan pemilik nusa dan bangsa tercinta, dari tempat terbaringnya kusuma-kusuma bangsa yang telah memberikan milik mereka yang paling berharga bagi kemerdekaan dan kekayaan bangsa Indonesia, menyatakan kecemasan kami atas kecenderungan keadaan ini yang menjurus kepada keadaan yang makin jauh dari apa yang menjadi harapan dan cita-cita seluruh bangsa.

 

Bahwa dengan kesadaran penuh akan tanggung jawab di hari depan, yang keadaannya akan sangat ditentukan oleh masa kini, dimana kami , sebahagian daripadanya, merasa berkewajiban mengingatkan pemerintah, militer, intelektuil/teknokrat, politisi untuk hal-hal sebagai berikut:

 

  1. Meninjau kembali strategi pembangunan dan menyusun suatu strategi yang di dalamnya terdapat kesimbangan di bidang-bidang sosial, politik dan ekonomi yang anti-kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan;
  2. Segera membebaskan rakyat dari cekaman ketidakpastian danpemerkosaan hokum, merajalelanya korupsi danpenyelewangan kekuasaan, kenaikan harga dan pengangguran;
  3. Lembaga-lembaga penyalur pendapat rakyat harus kuat dan berfungsi serta pendapat masyarakat luas pendapat kesempatan dan tempay yang seluas-luasnya;
  4. Yang paling berkepentingan akan masa depan adalah kami, oleh kaena itu penentuan masa depan – yang tidak terlepas dari keadaan kini – adalah juga hak dan kewajiban kami.

 

Sekiranya Tuhan Yang Maha Esa menyertai perjalanan Bangsa Indonesia.

Kalibata, Peringatan Sumpah pemuda tahun 1973

DEWAN MAHASISWA UNIVERTAS INDONESIA.

 

Dokumen bersejarah ini menandai pengawalan dari proses jatuhnya Suharto yang berkepanjangan itu – 1973-1998. Tetapi selama ini memang terasa kurang ada kepekaan bahwa Orde Baru memiliki sejarah  berdiri, berkonsolidasi, dan jatuh dan bahwa oposisi dan perlawanan terhadapnya juga ada sejarahnya. Dan jelas bahwa gerakan yang melahirkan Petisi 24 Oktober 1973 adalah permulaan daripada perlawanan yang juga berkembang terus, meskipun lewat pasang surut – dan pasang surut ini juga merupakan bahan sejarah.

Mempelajari dokumen yang bersejarah seperti ini juga bisa membuka mata kita tentang perubahan-perubahaan yang sudah atau sedang terjadi. Pada tahun 1973, kritik yang diutamakan ialah terhadap “strategi pembangunan”. Memang Orde Baru dianggap “era pembangunan” – ini pula hasil kejayaan propaganda Orde Baru pada waktu itu. Sekarang konsep pembangunan (“development”) dan “strategi pembangunan” sudah hilang dari peredaran. Zaman sekarang merupakan zaman kejayaan “growth” (pertumbuhan) pada umumnya, dan pertumbuhan kelas menengah pada khususnya. Asal kelas menengah tumbuh jumlahnya, berarti ekonomi sukses, tak peduli nasib 80% masyarakat lain dan tak peduli masalah keadilan sosial. Keadilan sosial juga adalah sebuah konsep yang diangkat oleh Petisi 24 Oktober, 1973 ini.

Mengerti situasi ekonomi Indonesia sekarang tidak cukup dengan gampangnya sebut semua kemiskinan dan ketidakadilan adalah akibat daripada “neo-liberalisme”. 1973 masalah kemiskinan dan ketidakadilan sudah diprotes, padahal neo-liberalisme belum merajalela. Adalah mendesak juga dianalisa sejarah ekonomi Indonesia Merdeka, sehingga semua asal-usul keterbelakangan ekonomi Indonesia terbongkar. Jangan-jangan kritik Petisi 24 Oktober 1973 bahwa Indonesia butuhkan sebuah strategi pembangunan baru masih berlaku.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *