Setidaknya terdapat lima kepentingan yang muncul dalam konsolidasi gerakan menjelang Hari Tani Nasional 2011 di Jakarta, 12 September 2011 lalu. Pertama, pencabutan Rancangan UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan[1] (RUUPTP) versi pemerintah dan DPR dan menggantinya dengan jaminan pengadaan tanah untuk rakyat; kedua,momentum konsolidasi gerakan tani dan perluasan kampanye reforma agraria sebagai kepentingan seluruh rakyat; ketiga,melakukan protes terhadap peningkatan kekerasan dan kriminialitas terhadap kaum tani dan serangan teradap hak demokrasi rakyat secara umum, keempat, momentum untuk mengonsolidasikan semua kekuatan pergerakan yang berlawan; kelima, menyatukan isu dan respon bersama terhadap penyebab kesengsaraan kaum tani dan rakyat secara keseluruhan, yakni: kegagalan pemerintah pro imperialisme.
Konsolidasi yang difasilitasi oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) ini dihadiri tak kurang dari 40 orang yang berasal sedikitnya dari 30 organisasi, baik organisasi tani, serikat buruh, LSM, mahasiswa, pemuda, organisasi politik, lingkungan, dan perempuan. Organisasi-organisasi tani berskala nasional dan berperan penting dalam banyak advokasi hak-hak kaum tani turut hadir dan menyatukan agenda perjuangannya, antara lain seperti Serikat Petani Indonesia (SPI), Serikat Petani Pasundan (SPP), dan Aliansi Petani Indonesia (API).
Konsolidasi ini melanjutkan dan meluaskan upaya konsolidasi sekitar 25 organisasi gerakan tani tingkat lokal dan wilayah yang telah dilakukan di Bandung sebulan sebelumnya (16/8). Kegiatan ini, paling tidak, telah mampu menyatukan mayoritas organisasi tani yang berpengaruh dalam politik pergerakan tani Indonesia ke dalam satu rangkaian gerbong respon politik bersama, serta mendorong organisasi-organisasi kiri serta gerakan sosial lainnya untuk mendukung perjuangan tani di hari tani mendatang.
Sebuah panitia respon hari tani nasional dibentuk, untuk menyatukan serangkaian agenda perjuangan menuju Hari Tani yang telah disiapkan oleh organisasi-organisasi tani yang terlibat, dan disepakati menjadi agenda juang dan kampanye bersama. Agenda tersebut antara lain: (14/9) seminar kemiskinan dan masalah-masalah agraria; pameran karya seni “Caping Emas untuk Petani” Andreas Iswinarto di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung (16/9) dan Jakarta (24/9); Diskusi Publik tentang RUU Pengadaan Tanah (21/9), serta beberapa agenda yang lebih dulu disiapkan berbagai organisasi tani. Sedangan aksi protes memperingati Hari Tani Nasional akan dilakukan dua kali, yaitu pada tanggal 24 September yang dipimpin oleh Serikat Petani Indonesia dengan massa mobilisasi terbesar, dan 26 September 2011 dengan massa mobilisasi dari Jawa Barat dipimpin oleh SPP menuju ibukota Jakarta. Direncanakan, tak kurang dari 10 ribu massa aksi akan terlibat pada 26 September, dan sedikit kurang dari itu pada tanggal 24 September.
Problematika penyatuan isu dan konsolidasi
Semua organisasi perlawanan menyadari kondisi kehidupan kaum tani Indonesia yang sudah semakin sulit dari hari ke hari. Perjuangan untuk Reforma Agraria sejati[2] pun tak semakin mudah dan jauh dari berhasil. Sekretaris Jenderal KPA, Idham Arsyad, mengatakan bahwa perjuangan kaum tani selama ini adalah menuntut dijalankannya reforma agraria, apalagi mayoritas kaum tani Indonesia adalah kaum tani gurem/miskin, yang tak punya tanah maupun pemilik tanah sangat kecil. Padahal seharusnya, sebagian besar hak tersebut telah dijamin oleh UUPA No.5 Tahun 1960, namun kenyataannya, belum pun dilaksanakan dengan signifikan UUPA telah dipreteli oleh berbagai produk UU pro liberalisasi dan komersialisasi sumber-sumber kehidupan rakyat[3], yang pada akhirnya semakin mangabaikan serta menghancurkan kaum tani.
Menurut Danang, dari Bina Desa, reforma agraria pun bukan saja masalah pokok kaum tani Indonesia, melainkan juga kaum buruh dan kaum miskin lainnya.Bahkan reforma agrarian bila diperjuangkan dan dijalankan dapat menjadi anti-tesis dari neoliberalisme.
Di dalam wacana politik nasional selama ini, pemerintah SBY-Boediono paling gencar menyatakan sedang menjalankan reforma agraria. Padahal semua produk perundangan yang diusulkan pemerintah dan disahkan DPR bertolak belakang dengan agenda reforma agraria yang sebenarnya. Oleh karena itu, menurut Syafei, aktivis LSM Pergerakan, fakta ini harus terus dikonfrontir dengan tuntutan-tuntutan reforma agraria sejati tersebut. Dan momentum 24 September, sebagai tonggak kelahiran UUPA 1960, adalah momen yang tepat untuk menyatakan bahwa rezim ini telah gagal menyejahterakan kaum tani. Bukti-buktinya sudah terpampang di depan mata, hanya butuh dijelaskan.
Hal serupa disampaikan Agustiana, dari Serikat Petani Pasundan (SPP), yang menilai bahwa harus segera ada sikap dari gerakan rakyat, khususnya dalam momentum ini adalah kaum tani. Berbagai isu politik yang menjadi wacana nasional saat ini semakin jauh dari kepentingan riil rakyat, apalagi menjelang pemilu 2014 dan para elit politik mulai sibuk saling menyerang dan mencari muka. Oleh karenanya penyatuan isu dalam merespon hari tani ini adalah kebutuhan mendesak. RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan adalah isu yang paling bisa merekatkan banyak kepentingan kaum miskin: nelayan, masyarakat adat, kaum tani, apalagi kaum miskin di perkotaan.
John Octavianus, dari Federasi Serikat Buruh Jabotabek (FPBJ), menyetujui bahwa RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan adalah instrumen hukum mendesak yang hendak disahkan pemerintah saat ini khususnya terkait road map pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI). RUU PTP ini adalah alat rezim pro imperialisme untuk percepatan pembangunan infrastruktur, khususnya pengadaan tanah, demi mulusnya investasi modal dan percepatan akumulasinya di Indonesia. Perjuangan kaum buruh yang berupaya menolak pembangunan KEKI ini sangat beririsan dengan penolakan RUU PTP, paling tidak, dapat menghambat percepatan pelaksaan KEKI yang akan semakin merugikan posisi tawar dan kesejahteraan kaum buruh.
Dari jabaran persoalan dan kaitan-kaitannya, Sastro, dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), mengatakan bahwa persoalan kaum tani mesti dikaitkan dengan penjajahan gaya baru. Dalam hal itulah kepentingan kaum tani akan bertemu dengan kepentingan sektor-sektor rakyat lainnya. Apalagi jika berangkat dari evaluasi gerakan tani selama beberapa tahun belakangan, agar tak kembali sekadar seremonial peringatan hari tani belaka, maka semestinya sudah disadari bahwa reforma agraria tidak bisa dipenuhi dengan gerakan dan tuntutan ekonomi semata, demikian Surya Anta dari Partai Pembebasan Rakyat (PPR) menambahkan. Tuntutan politik adalah penyatu sekaligus solusi, apalagi untuk meningkatkan kapasitas perjuangan kaum tani sudah pasti tidak bisa dilakukan oleh kaum tani itu sendiri. Perjuangan melawan penjajahan gaya baru, melawan imperialisme dan neoliberalisme, melawan kapitalisme, adalah sisi politik perjuangan rakyat dengan pintu masuk isu yang bisa bermacam-macam sesuai kepentingannya masing-masing.
Budi Wardoyo, dari PPR, menambahkan bahwa perjuangan hak-hak ekonomi rakyat tersebut juga sedang dihambat dengan berbagai tindakan represi saat ini, dan akan semakin dipersulit melalui Rancangan UU Intelejen dan Rancangan UU Keamanan Nasional. Konsolidasi untuk respon hari tani tahun ini diharapkan dapat turut mengangkat perlawanan terhadap ancaman demokrasi tersebut. Mutiara Ika, dari Pusat Pergerakan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN), membenarkan peningkatan kekerasan khususnya terhadap kaum tani dalam berbagai konflik agraria, dan menawarkan agar respon terhadap hari tani juga seharusnya memberikan solidaritas terhadap perlawanan kaum tani dan memprotes tindakan kekerasan tersebut. Dalam kepentingan melawan represi inilah kaum tani dapat memahami kebutuhan untuk turut melawan ancaman demokrasi di negara ini melalui RUU Intelejen dan Keamanan Nasional yang kabarnya juga akan segera disahkan bulan ini.
Di penghujung diskusi, semua peserta pada prinsipnya menyetujui menggunakan momentum hari tani nasional untuk mengangkat isu dan tuntutan kaum tani yang mendesak serta mengaitkannya dengan penyebab-penyebab politiknya. Terasa ada aura ingin melanjutkan konsolidasi dan diskusi menyangkut persoalan-persoalan kerakyatan dan masa depan perlawanan gerakan di antara para aktivis yang hadir.
Lahirnya generasi-generasi pergerakan yang baru, semakin mencairnya eksistensi organisasi, ujicoba bangun-jatuh-bangun pendirian beberapa partai politik alternatif, adalah modal bagi konsolidasi pergerakan yang lebih serius. Paling tidak itulah latar belakang gagasan akan pentingnya sebuah konsolidasi dan diskusi pergerakan rakyat yang akan digelar pada 17 dan 18 September 2011 di Garut yang difasilitasi oleh SPP dan Pergerakan. Sulitnya melawan hegemoni di dalam arena politik nasional yang dikuasai elit politik tanpa persatuan pergerakan yang signifikan sepertinya disadari oleh banyak kelompok pergerakan. Apalagi mengingat bahwa kemampuan serangan pergerakan masih lebih kecil dibandingkan dengan konsolidasi kekuatan musuh.
Di tengah kesulitan konsolidasi gerakan multisektoral yang cukup penting saat ini, maka setiap upaya konsolidasi penyatuan gerakan perlawanan adalah tindakan-tindakan yang penting untuk memperpanjang umur pergerakan, sekaligus menemukan peluang-peluang untuk mempercepat kemajuan politiknya.
Semoga semangat tersebut tidak berhenti sekadar momentum, seperti yang sudah-sudah. (zy)
________________
[1] RUU PTUP berpotensi menjadi alat legitimasi bagi negara maupun swasta untuk mengambil alih tanah rakyat baik yang beralaskan hak sebagai tanah adat maupun kepemilikan pribadi dengan sertifikat, letter c dll. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 RUU PTUP bahwa setidaknya terdapat 17 legitimasi atau alasan yang dapat digunakan oleh negara untuk mengambil alih tanah rakyat atas nama kepentingan umum dan pembangunan (http://primary-ip.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1239)
[2] Paling tidak yang dimaksud dengan Reforma Agraria Sejati tercermin dalam pernyataan Ketua Dewan Pakar KPA, Gunawan Wiradi, yakni tak sekedar membagi-bagikan tanah, melainkan merombak sistem ekonomi politik dan hak atas penguasaan tanah.(https://www.facebook.com/notes/konsorsium-pembaruan-agraria/reforma-agraria-harus-menjebol-dan-membangun-sistem/10150113188356514)
[3] Antara lain seperti UU Minerba, UU Sumber Daya Air, UU Investasi, UU Perkebunan, dan UU Kehutanan,