Kampanye Internasional demi Mempertahankan Kedaulatan Nasional Iran

Babak Zahraie


Sekali lagi Iran mencuri perhatian dunia. Kejadian-kejadian dalam  pemilihan presiden ke-10 menggambaran adanya unsur-unsur baru dalam politik Iran, yang sedang mempraktekan latihan kebebasan pemilu: mobilisasi besar-besaran rakyatnya. Dalam seluruh penyelenggaraannya, terbukti adanya pengumpulan massa yang lebih besar dari biasanya, baik dalam arak-arakan pemilu, baik saat mendukung presiden yang masih menjabat, Mahmoud Ahmadinejad, maupun saat mendukung penantangnya, Mir Hussein Mousavi. Seluruh lapisan sosial terseret ke dalam proses tersebut dalam kadar yang berbeda-beda.

Proses pemilu di Iran mendorong rakyatnya bergerak ke arah yang lain. Debat politik antara para pesaing, yang ditayangkan secara langsung di TV, berubah menjadi panas. Tapi, yang tak muncul dalam debat adalah substansi bagaimana memperkuat rakyat dengan mengatasi masalah-masalah sosial, ekomnomi dan politik. Debat pemilu di TV tak memiliki poin-poin nasional dan internasional yang menonjol. Setiap pesaing menantang lawannya dengan mempertontonkan angka-angka statistik dan gambaran-gambaran yang berkaitan dengan inflasi atau indikator ekonomi lainnya. Capaian atau kwalifikasi berbagai pribadi terkenal dan kesahihan lulusan universitas lainnya dipertanyakan atau diperdebatkan. Ada juga serangan pribadi dan tudingan-tudingan di hadapan penonton sekitar 50 juta penonton TV, di  negeri yang berpenduduk hampir 70 juta.

Debat tersebut tejadi dalam atmosfir politik yang sebelumnya telah diguncang oleh keresahan yang meluas di kalangan penduduk, keresahan yang disebabkan oleh kegagalan ekonomi, sosial, politik dan budaya; kegagalan  ekonomi yang diperparah oleh dampak kejatuhan finansial akhir-akhir ini dan resesi ekonomi negeri-negeri maju—terparah sejak Depresi Akbar tahun 1930-an—sebagaimana juga kegagalan budaya yang telah dirasakan oleh banyak orang, yakni berupa pemaksaan nilai-nilai budaya oleh satu bagian penduduk terhadap bagian peenduduk lainnya, yang telah berlangsung paling tidak selama 30 tahun.

Saat rakyat memperoleh kesempatan untuk bergerak, pada momentum kampanye pemilu, maka kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh seluruh kubu yang saling bertentangan dan tak berhenti sampai penghitungan suara tanggal 12 Juni. Pesaing utama, Mousavi, lebih dahulu mengumumkan sendiri kemenangannya bahkan selama dan sesudah penghitungan suara. Tuduhan kecurangan pemilu, dan bahkan ‘kudeta’ di layangkan ke hadapan Ahmadinejad, bahkan sebelum pengumuman kemenangan besar Ahmadinejad.

Selama pertentangan faksional di antara kelas penguasa tersebut, semua pusat keagamaan dan pimpinan-pimpinan non-keagamaan di republik Islam ini saling berkubu di antara faksi-faksi yang bertentangan. Perjuangan memperebutkan kekuasaan telah terbuka ke publik. Jalan masuk ke dalam pertentangan faksional tersebut, yang paling popular, adalah dengan menekankan kebutuhan untuk mempertahankan capaian revolusi tahun 1979, baik dalam hal kebebasan press dan berkumpul, maupun kebebasan bagi kaum nasionalis revolusioner dan bagi kecenderungan kelas-pekerja untuk mengorganisasikan diri dalam kadar yang sama dengan faksi-faksi kelas-penguasa (yang terkait erat dengan kapitalisme). Tanpa kebebasan mobilisasi dan kebebasan bagi organisasi rakyat pekerja di kota dan pedesaaan, bersama sekutunya dari pemuda, mahasiswa, perempuan, dan minoritas etnik-nasional, maka perjuangan untuk mempertahankan dan memperluas perjuangan historis bagi kedaulatan nasional akan berada dalam bahaya yang serius. Apalagi, didasarkan pada logikanya, pertentangan faksional tersebut tak menjanjikan akhir yang lebih baik ketimbang sebelumnya.

Revolusi rakyat Iran tahun 1979 lahir dari gerakan jutaan rakyat yang menentang Shah dan tentaranya (yang diberi izin membunuh) serta didukung oleh Amerika Serikat (AS). Rakyat Iran melawannya dengan taburan bunga, yang menyebabkan jajaran angkatan darat dan angkatan udara bergabung dengan para demonstran dan pemogok. Revolusi tersebut melapangkan jalan bagi kemenangan insureksi pada tanggal 20 dan 21 Februari, 1979. Harapan penduduk Iran untuk bersatu dalam tujuan politik yang sama, yakni memperkuat kedaulatan nasional, kebebasan politik dan kekeadilan sosial, lebih berharga signifikansinya ketimbang perpecahan di kalangan kelas penguasa sekarang ini.

Paduan suara para buangan Iran pro-monarki, sayap-kanan, kaum liberal dan aliran-aliran kiri sektarian dengan segera memproklamirkan bahwa “revolusi” baru di Iran telah dimulai.  Kaum pro-monarki, para pembela “hak-hak azasi manusia” (yang banyak memenangkan penghargaan), dan spektrum aliran Marxis-gadungan sekarang sedang menganjurkan pendirian reaksioner untuk memaksakan atau memperketat sanksi Imperialisme terhadap Iran.

 

Kampanye Washington menentang Iran

Adalah pengetahuan yang sudah tersebar luas bahwa Iran sedang dimusuhi oleh Washington, oleh kolonial Zionis negara Israel (yang terus menerus memperluas penddukannya), dan oleh pusat-pusat imperialis lainnya. Kebencian tersebut berakar dari revolusi tahun 1979, peristiwa salah satu mobilisasi popular yang paling massif dalam sejarah modern. Kebencian Washington terhadap Iran mencerminkan oposisi dunia imperialisme terhadap revolusi tersebut. Dibenci karena telah bertahan selama 3 dekade. Namun, tak demikian dampaknya terhadap Timur Tengah dan Asia barat daya , yang menghormatinya. Penyelidikan “kontroversial” terhadap teknologi nuklir Iran, yang akan mendiversivikasi dan memperkaya produksi listriknya didukung oleh sebagian besar orang, sebagaimanan dicerminkan oleh gerakan Non-Blok dan selebihnya.

Sejak revolusi tahun 1979, untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, penguasa politik Iran merubah arah pemerintahannya dari Mashrooteh (pemerintahan parlementer model Barat) menjadi Mashrooa (pemerintah yang berlandaskan Undang-Undang atau peraturan-peraturan Agama). Tak heran bila imperialis, yang marah kepada Iran, menggembar-gemborkan histeria rasis menentang Islam, dan menggambarkan kemajuan historis Iran (yang disebabkan oleh revolusi) sebagai suatu kemunduran ke kegelapan Zaman pertengahan. Kebencian tersebut lebih bertumpuk-tumpuk dengan adanya fakta bahwa kebangkitan gerakan Islam di Iran telah ditiru di Lebanon selama dua dekade belakangan ini. Kepemimpinan politik tradisional diabaikan oleh kekuatan Islam saat menentang pendudukan Israel di negeri tersebut. Hezbollah adalah satu kekuatan yang sangat penting dan perlu dipertimbangkan dalam perhitungan regional.

Demikian juga yang terjadi di Palestina. Disintegrasi kepempimpinan revolusioner tradisional dalam gerakan Palestina memberikan kesempatan pada kekuatan Islam untuk melanjutkan perjuangan melawan Israel dan mengambil alih kepemimpinannya. Hasilnya: membuat Hamas kuat, memenangkan kepemimpinan di jalur Gaza, dan dukungan luas bagi agenda-agendanya di kalangan penduduk Palestina dan Arab.

Kemampuan dan pengaruh Iran di wilayah tersebut merupakan fakta yang sangat penting. Sebelum revolusi, Iran merupakan merupakan sekutu srategis dan penting bagi Washington di wilayah tersebut. Pergerakan selama tiga dekade sejak revolusi telah menempatkan Iran, yang sekarang dimusuhi AS, memperoleh kembali posisi strategisnya. Ini terjadi saat Washington gagal meyakinkan penduduk AS dan dunia umumnya mengenai manfaat perang pendudukan di Irak, Afghanistan, dan sekarang meluas ke Pakistan. Perang Israel di Lebanon dan Gaza memiliki dampak yang sama dan tak diharapkan bagi regional dan internasional.

Kampanye menentang Iran, yang dilancarkan penguasa-penguasa AS, selama 30 tahun —termasuk memutuskan hubungan diplomatik, pembekuan asset-aset Iran di AS, memaksakan pertemuan-pertemuan untuk menjatuhkan sanksi PBB dan yang, sejak tahun 2007, mengalokasikan 400 juta dollar untuk operasi-operasi tertutup mengguncang Iran—tak menghentikan Iran untuk bergerak maju.

 

Perkembangan kapitalis

Revolusi Iran tahun 1979, dikarenakan lingkungan dan perkembangannya yang khusus, menjadi papan lumpatan bagi sesuatu yang paling tak diharapkan: perkembangan terbesar kapitalisme sepanjang sejarah negeri, dan itu artinya banyak orang yang bertambah kaya—bahkan super kaya—dari sebelumnya dalam sejarah Iran. Tapi keuntungan yang ditumpuk-tumpuk orang-orang kaya Iran menciptakan juran yang bertambah dalam antara si kaya dan si miskin.

Di negeri yang membutuhkan pembangunan dalam setiap bidang (yang sudah bisa diperkirakan), yakni bidang kesehatan, pendidikan, pembangunan perkotaan dan pedesaan,  industri, pertanian serta pertahanan, negara Iran, setelah revolusi, malah mendukung kebijakan-kebijakan yang menghidupkan kembali aparatus negara kapitalis lama. Pendapatan dari minyak dianggarkan bagi berbagai proyek dari kalangan kelompok penguasa selama perang Iran-Irak dan, setelah perang, pengelolaan pembangunan ekonomi diperluas ke sektor swasta. Kebijakan-kebijakan tersebut, yang gagal memberikan hasil yang diharapkan oleh rakyat, memaksa para penguasa memprakarsai pinjaman langsung (dari uang minyak) kepada yang membutuhkan dalam bentuk-bentuk (yang sebenarnya) gratis namun diberi label sebagai “pinjaman”.

Selama periode tersebut, anatomi kapitalis pra-revolusi telah mengalami mutasi yang signifikan. Sekarang, usaha-usaha ekonomi terkait erat kepada 125.000 Pasukan Pengawal Revolusioner Iran (atau Pasdaran) dan kepada bonyads (yayasan-yayasan derma), yang telah tumbuh melebihi bisnis kapitalis lainnya dan mereka akui merupakan model yang lebih ampuh dalam manajemen kapitalis. Usaha-usaha tersebut memiliki pelabuhan ekspor-impor sendiri, dan menciptakan kebijakan-kebijakan ekonomi terpisah di kalangan faksi-faksi kelas penguasa.

Sebenarnya, Iran telah berhasil terlepas dari kepedihan kungkungan dunia gelap Shah dan saat-saat kehilangan identitas, sehingga bisa masuk ke dalam masa pencerahan kesadaran, kewaspadaan dan kebanggaan nasional. Petani kecil diransformasikan menjadi petani menengah dan besar. Desa dialiri listrik, dibangunkan kamar mandi, perpustakaan dan diberikan pelayanan kesehatan. Jalan-jalan diperpanjang, perjalanan dengan mobil dijauhkan dan diperluas jangkauannya. Perjalanan udara dalam negeri telah menjadi pilihan umum. Majalah dan buku-buku terbit dalam bahsa minoritas nasional. Sekolah-sekolah dan universitas bertambah. 62% dari mahasiswa yang belajar di universitas adalah perempuan. Farsi merupakan bahasa keempat yang paling banyak digunakan oleh para bloger internet. Semua ini bermakna: ada lompatan besar dalam kebudayaannya.

Dampak terhadap kaum perempuan adalah yang paling menonjol. Pengumuman kewajiban mengenakan jilbab bisa dianggap sebagai sesuatu yang penting karena merupakan hasil dari pertentangan faksional di dalam pemerintahan. Tapi hal tersebut tidak begitu saja berlangsung tanpa konskwensi yang tak diharapkan. Walupun kepemimpinan negara pada awal revolusi melihat potensi kaum perempuan hanya sebagai ibu yang baik, guru atau perawat, namun peremuan berjilbab, secara teknis, bebas pergi ke manapun dalam masyarakat—dan itulah setepatnya apa yang mereka lakukan. Mereka menjadi dokter, ilmuwan, insinyur, guru, artis, penulis, pramuniaga dan, ya, bahkan, menjadi supir taksi. Semakin banyak perempuan menjadi tenaga kerja bayaran.

Perempuan berjilbab membongkar pintu (penahan banjir) akses kepada masyarakat yang, secara tradisional, tertutup bagi mereka. Sekarang, mereka sanggup bergerak melebih batas-batas kungkungan rumah belaka. Namun, sementara itu, mereka sekarang merupakan bagian dari yang paling menganggur dalam masyarakat negeri yang memiliki pengangguran kronik dua digit, walaupun mereka adalah bagian dari negerinya yang terlibat dalam pertarungan histories menuntut hak menentukan nasib sendiri. Pertarungan histories tersebut adalah pertarungan yang bermakna sebagai batu loncatan  bagi mereka dalam mencapai kesatuan, persamaan dan kebebasan sepenuhnya dalam masayarakat.

 

Mashrooteh versus Mashrooa

Perpecahan kelas penguasa Iran dan perebutan kekauasaan yang terus berlanjut sampai saat ini tidaklah jatuh begitu saja dari langit. Tidak juga sesederhana sebagaimana racikan peristiwa-peristiwa menarik. Asal-muasalnya berakar dari dan dipintal dalam bahan dasar politik kapitalis negeri ini—politik yang layaknya luka bakar politik permanen yang tak pernah sembuh, dan sekarang atau nanti akan menghasilkan luka-luka bakar yang lebih parah. Perpecahan antara Mashrooteh dan Mashrooa merupakan stempel politik kapitalis Iran: perpecahan tajam yang berakar, pada analisa terakhirnya, pada ketidakmampuan historis kapitalisme Iran dalam membatasi imperialis, sehingga mereka tak bisa konsisten mendukung, mencapai, dan mengamankan kedaulatan serta kebebasan nasional.

Revolusi 1979 menjadi peristiwa bagi perpindahan arah politik negeri; untuk pertama kalinya, dalam sejarah Iran, arah politik negeri berpindah dari Mashrooteh menjadi Mashrooa. Perpindahan tersebut, juga untuk pertama kalinya dalam sejarah negeri, merupakan hasil upaya kerjasama antara pimpinan politik dengan massa popular dalam menjatuhkan monarki yang didukung AS. Kedalaman dan keluasan gerakan massa tersebut, sebenarnya, dipicu oleh pemogokan revolusioner buruh minyak (yang terlepas dari penjagaan imperialisme AS).  Begitu arah politik negeri berpindah dari Mashrooteh kepada Mashrooa, selebihnya adalah sejarah: lahirlah republik Islam sebagai pemerintahan baru Iran.

Politik Mashrooteh  tak pernah bisa bangkit lagi dari kekalahan tersebut, nasibnya ditentukan oleh bagaimana mereka bisa bersisian dengan massa popular. Tak juga mereka bisa merubah inti politiknya, yang telah dipraktekan selama tujuh dekade yang lalu hingga saat kekalahannya di tangan pesaing sejarahnya. Tapi, setelah perang Iran-Irak, saat pemerintahan berada bawah kepresidenan Ayatollah Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, bonus pendapatan minyak, yang sebelumnya menjadi pendapatan anggota-anggota kelompok penguasa (di bawah perlindungan berbagai aktivitas bisnis dan kegiatan kebudayaan), sekarang diserahkan kepada sektor swasta, yang tiba-tiba menjadi yang utama dalam ekonomi Iran. Bank, asuransi dan industri-industri lainnya, yang pada tahun pertama revolusi telah dinasionalisasikan, mulai dijuali kembali pada sektor swasta. Jembatan dibangun bekerjasama dengan bagian dari kelas kapitalis yang, sebelumnya, telah melarikan diri ke luar negeri negeri saat negeri ini dilanda revolusi.

Setelah melarang literatur gerakan kelas pekerja, selama penghancuran yang dilakukan oleh pemerintahan Mousavi pada awal 1980-an, pemerintah Rafsanjani sekarang mempromosikan pembacaan jurnal independen yang mendukung kembalinya pandangan-pandangan dan kebijakan-kebijakan Mashrooteh.  Kepemimpinan Mashrooa belingsatan, tak terhindarkan lagi menjadi oposisi politik Mashrooteh. Pertentangan tersebut berujung pada kemenangan Mohammad khatami dalam pemilihan presiden bulan Agustus, 1997.

Para pendukung politik Mashrooteh dari kalangan intelegensia memandang periode Khatami sebagai pertanda puncak “revolusi” 1979. Pemerintah Khatami menerusakan proses yang menguntungkan majikan kapitalis dengan mengorbankan kelas pekerja. Dan, yakin akan sukses mereka, politisi Mashrooteh kemudian terlibat dengan diplomasi terbuka untuk mendapatkan kepercayaan dari kekuatan imperialis.

Tapi, dalam pemilihan presiden tahun 2005, politik Iran mengalami kemuduran besar: kembali ke arah Mahrooa. Dengan kosongnya orientasi yang dapat memperkuat kelas pekerja dan organisasi massa sekutunya (di kalangan rakyat), kemenangan politik Mashrooa  kemudian berada pada posisi yang tidak terawasi—semisal, kebijakan pemerintah mengangkat bendera anti-semit dan penolakan terhadap adanya pembantaian massal terhadap Yahudi. Kebijakan tersebut sebenarnya tak memiliki akar dalam sejarah Iran, hanya diimpor dari gerakan sayap kanan di luar negeri.

Tigapuluh tahun perkembangan kapitalis di Iran dan berbagai pertentangan faksional di antara penguasanya (baik yang terbuka maupun yang tertutup), antara Mashrooteh dan Mashrooa, berujung pada ledakan pertarungan sekarang ini. Satu hal yang pasti: naik-turunnya pertetangan faksional yang melelahkan, sudah dapat diperkirakan, tak akan mampu menghasilkan aktor-aktornya yang dapat mendorong Iran menjadi maju. Krisis sekarang ini membuat musuh imperialis Iran berkepentingan mendorongnya menjadi bola salju yang, akhirnya, akan menghancurkan pertahanan bangsa yang damai dan tertindas ini. Sekutu-sekutu Iran, yang telah belajar menghargai rakyat Iran—karena dengan tangan kosong berhasil mengatasi kebrutalan kediktatoran drakula yang didukung Washington—sekali lagi harus melihat bagaimana rakyat Iran mengatasi krisisnya.

Politik Mashrooteh tak memiliki kecintaan terhadap gerakan massa popular. Politiknya terus menerus dibatasi oleh tujuan sekadar menjadi negarawan yang lebih baik dan menjadi negosiator internasional yang lebih baik. Dan, pada saat yang sama, mereka mengabdikan dirinya pada berbagai kampanye “hak-hak azasi manusia” dan kampanye-kampanye lainnya yang, dalam setiap contohnya, bertentangan dengan tuntutan hak rakyat Iran dalam menentukan nasibnya sendiri.  Dalam kampanye pemilihan sekarang ini, perwakilan-perwakilannya dengan segera menghimbau datanganya peninjau “internasional” untuk memberikan penilaian terhadap proses pemilihan Iran!

 

Perjuangan pembebasan nasional

Pada masa imperialis, benih perkembangan dan kemajuan gerakan pembebasan nasional negeri tertindas tergantung pada bagaimana hak kebebasan kaum nasionalis (revolusioner) dan kecenderungan (revolusioner) kelas-pekerja diorganisasikan. Untuk merawat benih ini, tak ada pilihan lain, selain memberikan kepada kelas-pekerja hak-hak yang sama dengan kapitalis dalam segala urusan masyrakat. Itulah jaminan akhir agar detak jantung nasional dapat berfungsi secara regular. Itulah jaminan saru-satunya agar arteri sosial tidak tersumbat dan kebebasan politik serta organisasi massa dapat dilindungi. Untuk mencapai tujuan tersebut, harus ada konsistensi dalam memperjuangkan hak kedaulatan nasionalnya.

Iran membutuhkan kampanye internasional yang memadai, yang slogannya di sekitar tuntutan “Jangan Campuri Urusan Iran!” dan “Biarkan rakyat Iran memutuskan sendiri nasibnya; hak untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Iran”. Itulah jalan satu-satunya untuk melawan kecenderungan mudur yang melekat dalam politik (yang terpencar-pencar) di luar negeri, dan untuk menghancurkan imperialisme secara nasional maupun internasional.

Pertentangan di antara kelas penguasa di Iran memberikan peringatan perlunya organisasi buruh yang independen, apakah itu serikat buruh atau shoras (komite aksi basis). Butuh perjuangan nasional rakyat pekerja untuk mengorganisasikan diri di tingkat lokal atau di tingkat nasional, agar memperkuat keteguhan kesatuan rakyat (dengan segala daya tariknya) dan menyingkirkan monopoli politisi kapitalis dalam politik.

Sekarang, masyarakat Iran sedang dicengkram oleh pertarungan (pokok) siapa yang akan jadi presiden. Mayarakat telah hidup cukup lama di bawah sistim ini, walaupun secara naluriah mayoritas mayarakat tahu bahwa memiliki manajer ini atau manajer itu di jabatan ini atau di jabatan itu tidaklah merubah apapun secara mendasar. Satu sentimeter pun kemajuan dalam organisasi independen rakyat pekerja lebih berharga ketimbang ratusan meter capaian dalam memilih manajer dan presiden yang tak mewakili atau mendukung mobilisasi serta organisasi independen sebagian besar rakyat.

Krisis sekarang ini bisa diatasi dengan memperluas gagasan untuk melimpahruahkan shoras (komite aksi basis); dari satu lingkungan warga ke lingkungan warga lainnya; dari satu universitas ke universitas lainnya; dari satu pabrik ke pabrik lainnya; dan memperkuat kesatuan rakyat agar jalan keluar yang dicita-citakan bisa berkembang baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional. Menyingkirkan batasan-batasan terhadap kaum nasionalis (revolusioner) independen dan kecenderungan (revolusioner) politik kelas pekerja di Iran merupakan langkah besar untuk mencapai kesatuan massa polular yang berjuang demi hak menetukan nasib sendiri rakyat Iran.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *