Pengantar Pokok-pokok Materialisme Historis

Oleh: Doug Lorimer (1)

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pengantar tentang gambaran umum ide-ide dasar Materialisme historis—teori Marxis tentang sejarah manusia dan sejarah masyarakat.

Bagi Marxis, mempelajari sejarah manusia, tak bisa dipisahkan, juga mempelajari sejarah masyarakat. Menurut Karl Marx dan Frederick Engels, keberadaan manusia “dibedakan dengan binatang karena kesadarannya, karena agamanya atau karena hal-hal lainnya. Mereka mulai membedakan dirinya dengan binatang begitu mereka mulai bisa memproduksi bahan-bahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.” (2) Jadi, apa yang membedakan manusia dengan binatang lainnya adalah karena, secara sadar, manusia memproduksi bahan-bahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menggunakan atau membuat alat produksi yang terbuat dari berbagai macam bahan. Tapi, agar bisa melakukannya, mereka harus secara sadar saling bekerjasama dengan sesamanya. Masyarakat, yang melibatkan kehidupan dan kerja bersama sebagai kelompok yang integratif, merupakan cerminan hasil pengerahan tenaga kerja dalam memproduksi makanan, pakaian dan tempat tinggal. Keharusan manusia untuk saling bekerjasama dalam memenuhi kebutuhannya merupakan landasan berdirinya masyarakat dan landasan sejarah manusia. Dalam konsepsi Marxis, hukum-hukum pokok kehidupan sosial adalah identik dengan hukum-hukum pokok yang mengatur sejarah manusia.

Pendekatan tersebut bertentangan secara tajam dengan pendekatan dominan “ilmu-pengetahuan” sosial borjuis, sebagaimana yang dipelajari dan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan borjuis. Hal tersebut menyebabkan “ilmu-pengetahuan” sosial borjuis memilah-milah ilmu sosial menjadi berbagai disiplin ilmu yang terpisah, tak ada kaitannya, misalnya dipilah-pilah menjadi arkeologi, antropologi sosial, ekonomi, ilmu politik, sejarah dan sosiologi. Bahkan, dalam disiplin-disiplin ilmu tersebut juga ada pemilahan-pemilahan lagi. Sehingga, misalnya, “sejarah” dibagi berdasarkan masanya—sejarah masa kuno, sejarah masa pertengahan dan sejarah modern—dan juga dibagi menjadi berbagai macam sejarah—sejarah politik, sejarah ekonomi, sejarah kebudayaan, sejarah masyarakat perkotaan, sejarah masyarakat pertanian, dan sebagainya. Sosiologi, sebagaimana yang didefinisikan oleh akademisi borjuis, dipahami sebagai “studi tentang asal-usul, perkembangan, organisasi, dan fungsi masyarakat manusia,” dan dipahami sebagai “ilmu tentang hukum-hukum pokok hubungan sosial” (3) yang dibagi menjadi lusinan cabang ilmu tersendiri, dan yang tak satu pun bisa mengungkapkan hukum-hukum pokok apa yang sebenarrnya mengatur asal-usul, perkembangan dan pengorganisasisan masyarakat manusia.

1. Ilmu-pengetahuan Borjuis dan Reduksionisme

“Ilmu-pengetahuan” sosial borjuis tak mampu memenuhi tugas ilmu-pengetahuan kemasyarakatan yang sejati, yakni memberikan teori tentang masyarakat yang integral, yang bisa mengungkapkan hukum-hukum umum yang mengatur asal-usul, organisasi dan perkembangannya. Sungguh, ajaran-ajaran teori sosial borjuis yang dominan, sejak awal abad ke-20, telah berdalih bahwa upaya untuk menciptakan teori umum tentang perkembangan sosial adalah sia-sia saja karena, menurut mereka, masyarakat hanya lah kumpulan dari berbagai individu atomik yang tergabung secara kebetulan, dan sejarah sekadar rekaman berbagai peristiwa unik yang terjadi secara kebetulan. Jika segala sesuatu dalam kehidupan sosial dan sejarah bersifat individual dan unik maka, memang, mubazir saja menyusun ilmu pengatahuan tentang masyarakat dan sejarah. Sudah bisa dipastikan, bahwa cara pandang borjuis (yang atomistik) dalam memahami masyarakat tak akan mengarahkan kita hingga memperoleh penjelasan ilmiah tentang masyarakat, tapi sekadar memperoleh deskripsi, penyusunan dan klasifikasi fakta empiris yang didasarkan pada perasaan subyektif suka atau tidak suka seorang sejarawan atau komentator sosial.

Pemikiran borjuis kontemporer, sejak awal, telah kehilangan keyakinannya terhadap kemampuan akal manusia yang, sebenarnya, bisa menjelaskan sebab-sebab material (yang obyektif) dalam segala gejala sosial. Agnotisisme dalam teori sosial semacam itu memiliki hubungan yang intim dengan irrasionalisme dalam pemikiran borjuis yang tumbuh bersamaan dengan membusuknya sistem sosial kapitalisme, yang tumbuh bersamaan dengan lingkaran spiral kekacauan ekonomi kapitalis, perang dan krisis sosial yang semakin mendalam.

Cara memahami masyarakat yang atomistik tersebut merupakan cerminan dari hakikat kontradiktif sistem sosial kapitalisme. Kapitalisme mencerai-beraikan manusia dan mempertentangkan satu dengan yang lainnya setelah merubah tenaga kerja dan alat-alat produksinya menjadi barang dagangan (komoditi) semata. Ketika melihat kerumunan manusia di jalan-jalan London, Frederick Engels menuliskan hal tersebut dalam karya utamanya, The Condition of the Working Class in England:

Individu-individu yang terisolir ini, yang hanya mementingkan dirinya sendiri, merupakan prinsip dasar masyarakat kita, dimana pun … manusia cerai berai menjadi atom-atom, masing-masing memiliki prinsip dan tujuannya sendiri, dunia atom-atom, yang sudah mencapai taraf yang paling ekstrim. (4)

Atomisasi kehidupan sosial di bawah kapitalisme menyebabkan elit-elit intelektualnya berpikir reduksionis saat mencoba menghasilkan konsepsi tentang segala fenomena, apakah itu fenomena alam ataupun fenomena sosial. Ada 4 asumsi dasar untuk melihat ciri pendekatan reduksionis:

1. Terdapat seperangkat unit-unit atau bagian-bagian prinsipil yang membagi obyek studi yang akan dipelajari.

2. Unit-unit tersebut homogen hanya dalam dirinya, setidaknya saat mempengaruhi obyek yang mereka bagi-bagi.

3. Bagian-bagian tersebut secara ontologis dianggap telah ada sebelumnya, mendahului semuanya. Jadi, bagian-bagian tersebut ada secara tersendiri, yang kemudian bergabung bersama membentuk keseluruhannya. Bagian-bagian tersebut memiliki sifat hakekatnya sendiri, yang berproses sendiri-sendiri, terisolir, walaupun merupakan hasil dari interaksi secara keseluruhan. Dalam kasus yang sederhana, keseluruhan tersebut samasekali tak bermakna, yang ada hanya lah sekumpulan bagian-bagian; kasus yang lebih kompleks bisa saja terjadi selama interaksi bagian-bagaian tersebut menghasilkan sifat-sifat baru pada keseluruhannya.

4. Sebab dipisahkan dari akibat, karena sebab dianggap sebagai sifat subyek-subyek, dan akibat dianggap sebagai sifat obyek-obyek. Ketika sebab memberikan respon terhadap informasi yang datang dari akibat (apa yang mereka sebut “hubungan timbal-balik”), tak ada ambigitas antara sebab (yang merupakan) subyek dengan sebab (yang merupakan) obyek.

Itu lah konsepsi tentang dunia alam dan dunia kehidupan sosial yang menelikung ilmu-pengetahuan borjuis. Ilmu-pengetahuan tersebut memandang bagian-bagian terpisah dari keseluruhan, dan menganggap bagian-bagian sebagai sesuatu yang terisolir dalam dirinya sendiri, demikian juga dalam memandang sebab-akibat dan subyek-obyek, sebab terpisah dari akibat, subyek terpisah dari obyek. Itu lah konsepsi intelektual yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan sosial borjuis.

Dimulai saat bermunculannya para pengusaha perdagangan Eropa pada abad ke-13, dan memuncak saat revolusi borjuis pada abad ke-17 dan abad ke-18, hubungan-hubungan sosial borjuis semakin menguatkan pendapat bahwa aktor sosial utama adalah individu-individu (terisolir) yang memiliki komoditi. Saat terjadi tindakan-tindakan penggusuran, populasi massa dipisahkan dari alat-alat produksi (yang diperlukan) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka direduksi menjadi “atom-atom sosial”, yang diadudomba di pasar, sesuai dengan kepentingan-kepentingan khususnya masing-masing dan sifat intrinsiknya dalam mengambil peran di masyarakat.

Bagaimanapun, dalam masyarakat borjuis, tak ada seorang individu pun yang berperan tunggal. Orang yang sama bisa sebagai sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen, sebagai pemilik sekaligus sebagai penyewa. Teori sosial borjuis masih memandang bahwa masyarakat dibangun dari bagian-bagian individual yang homogen, namun dengan kepentingan khususnya masing-masing. Massa “konsumen” punya kepentingannya sendiri, “buruh” punya kepentingannya sendiri, “kapital” punya kepentingannya sendiri, sehingga bentuk masyarakat kapitalis ditentukan oleh saling-hubungan-tindakan individu-individu tersebut, yang memiliki kategori-kategorinya sendiri.

Alasan bahwa tatanan sosial kapitalis adalah hasil “alamiah” atas keseimbangan antara permintaan dan kepentingan kelompok-kelompok kepentingan yang saling berkompetisi merupakan formulasi ideologis agar struktur tersebut dianggap sebagai hal yang tak terhindarkan dan, juga, selain itu, mencerminkan realita sosial yang dibangunnya. Sebagai individu-individu, memang benar buruh harus saling bersaing sesamanya dalam menjual satu-satunya komoditi yang mereka miliki—tenaga kerja mereka—di pasar, yang nilainya ditentukan oleh perjuangan antara buruh melawan majikan-majikan kapitalis. Kepentingan konsumen terhadap komoditi yang ditawarkan sangat bertentangan dengan kepentingan produsen. Tapi, kelompok-kelompok kepentingan tersebut benar-benar diciptakan oleh sistim hubungan-hubungan sosial, atau apa yang disebut sebagai sebagai basis.

Kaum reduksionis memandang bahwa sifat suatu objek studi dapat disederhanakan menjadi sekadar sifat-sifat individu elemen-elemen strukturalnya, yang dianggap memiliki basis yang homogen. Dengan demikian, metode tersebut merupakan suatu usaha untuk mengisolir bagian-bagian tersebut sesempurna mungkin dan kemudian baru mempelajarinya. Metode tersebut juga mengenyampingkan pentingnya interaksi, bukan saja antara bagian-bagian obyek studi tersebut, tapi juga antara obyek studi dengan obyek-obyek lainnya.

Keyakinan terhadap hakikat atomistik dunia, yang menjadi basis dalam pendekatan reduksionis ilmu-pengetahuan borjuis, menempatkan tolak-ukur (relatif) terpisah dari tujuan ilmu-pengetahuan sehingga, juga, memperumit hakikat interkoneksi. Karena perilaku sederhana dianggap merupakan hasil yang tanpa ada interaksi kompleks, maka reduksionisme lebih mendewakan penyederhanaan dan menolak kompleksitas; karena perilaku itu sebenarnya rumit, maka reduksionisme menjadi bingung sendiri dan menolak hukum regularitas.

Kesalahan mendasar reduksionisme sebagai cara pandang umum adalah karena menganggap obyek yang kompleks “tersusun” dari bagian-bagian “alamiah” yang sederhana dan homogen, yang sudah ada sebelumnya dan terisoilir dari obyek. Dengan konsepsi dunia semacam itu, tujuan ilmu-pengetahuan jadinya hanya lah sekadar meneliti unit-unit terkecil yang secara internal homogen, unit-unit “alamiah” yang membentuk dunia.

Sejarah ilmu kimia dan fisika klasik merupakan simbol dari cara borjuis memandang dunia secara atomistik. Dalam ilmu kimia klasik yang mikroskopik, obyek tersusun dari molekul-molekul, masing-masing homogen dengan dirinya sendiri. Dengan perkembangan teori atomik tentang materi, molekul-molekul tersebut dianggap tersusun dari berbagai jenis atom, sehingga kemudian molekul-molekul dianggap secara internal heterogen. Kemudian nampaknya atom-atom tersebut benar-benar tidak dapat diberi nama-namanya lagi (atomos, tidak dapat diuraikan) karena atom-atom tersebut secara internal terlalu heterogen, tersusun dari partikel-partikel dasar—neutron, proton dan elektron. Tapi, bahkan homogenitas pun kemudian melenyap lagi, sejumlah partikel “dasar” melipatgandakan dirinya karena dipengaruhi oleh akselerasi/tor yang lebih kuat.

2. Dialektika dan Reduksionisme

Bertentangan dengan konsepsi reduksionis ilmu-pengetahuan borjuis, Marxisme menggunakan pendekatan dialektis dalam memahami hakikat dunia dan kehidupan sosial. Sudah diasumsikan sejak awal bahwa semua benda itu, pada semua tingkatan, secara internal heterogen. Asumsi heterogenitas tersebut bukan berarti bahwa suatu obyek atau sistem terdiri dari unit-unit alamiah yang tetap dan tidak bergerak. Akan tetapi, pembagian (yang benar) keseluruhan menjadi bagian-bagian akan bermacam-macam, tergantung kepada aspek khusus keseluruhan tersebut yang akan dipahami.

Sudah menjadi sebuah logika yang sederhana bahwa suatu bagian dapat dipilah-pilah lagi menjadi bagian-bagian selama ada keseluruhan yang akan dipilah-pilah. Bagian-bagian akan mempengaruhi keseluruhan, dan keseluruhan akan mempengaruhi bagian-bagian. Tapi reduksionisme mengabaikan hubungan-hubungan tersebut, mengisolir bagian-bagian sebagai unit-unit awal dari susunan keseluruhan. Dalam dunia nyata, bagaimanapun juga, kedua aspek tersebut tak dapat dipisah-pisahkan. Sungguh, semua bagian-bagian dunia fisik, yang saling berhubungan dalam derajat yang berbeda, menentukan keseluruhan—kesemestaan material.

Prinsip pertama pandangan dialektis adalah bahwa suatu keseluruhan terdiri dari bagian-bagian yang heterogen, dan bagian-bagian tersebut tidak dianggap sudah ada sebelumnya, seolah-olah bebas tak tergantung. Prinsip kedua, dengan merujuk pada prinsip pertama, adalah bahwa, secara umum, sifat-sifat bagian-bagian tersebut keberadaan awalnya tidak bisa dipisah-pisahkan dari keberadaannya sebagai bagian dari keseluruhan. Dalam konsepsi dunia yang atomistik, sifat-sifat intrinsik bagian-bagian yang terisolir beralih menjadi sifat-sifat keseluruhan, yang bisa menambah sifat-sifat baru tapi bukan karakter dari bagian-bagian tersebut, sehingga, jumlah keseluruhan bisa lebih dari jumlah bagian-bagian. Dalam cara pandang dialektis, bagian-bagaian akan memiliki sifat-sifat sepanjang menjadi bagian dari keseleruhan: sifat-sifat tersebut bisa ada karena ada interaksi yang membentuk keseluruhan. Seseorang tidak akan bisa terbang hanya dengan mengepak-ngepakan lengannya, berapa kalipun ia mencobanya. Demikian pula bila ia melakukan hal serupa dengan sekelompok orang lainnya. Bisa terbangnya manusia merupakan konsekwensi atau hasil suatu formasi sosial ekonomi tertentu yang dapat menciptakan pesawat, pilot, dan bahan bakarnya. Tentu saja, bukan masyarakatnya yang terbang, tapi individu-individu anggota masyarakat tersebut, yang berhasil menciptakan pesawat, yang tak akan bisa mereka hasilkan dalam formasi sosial ekonomi sebelumnya, atau di luar formasi sosial ekonomi tertentu tersebut. Keterbatasan individu manusia bisa diselesaikan/dinegasi oleh interaksi-interaksi sosial. Keseluruhan, karenanya, tidak sesederhana sebagai obyek interaksi bagian-bagian, tapi merupakan subyek tindakan bagian-bagian tersebut.

Prinsip ketiga dialektia adalah bahwa keseluruhan tidak lah secara inheren seimbang atau harmonis. Ciri-cirinya tidak lah tetap. Melainkan merupakan kumpulan proses internal yang saling bertentangan, yang menghasilkan keseimbangan untuk sementara waktu saja. Saling-penetrasi antara bagian-bagian dengan keseluruhan (bagian-bagian membentuk keseluruhan, dan keseluruhan membentuk bagian-bagian) merupakan konsekwensi dari saling berubahnya subyek dan obyek, saling berubahnya sebab dan akibat.

Dalam dunia atomistiknya kaum reduksionis, obyek dianggap pasif, disebabkan karena elemen-elemen aktif lainnya, yakni subyek penyebab. Dalam teori (borjuis) evolusi organisme hidup—dalam teori Darwinian dan Neo-Darwinian, spesies/makhluk dianggap sebagai hasil seleksi alam—selalu dianggap sebagai obyek lingkungan: melalui alam, perubahan otonom dalam lingkungan menyebabkan organisme secara pasif beradaptasi tanpa mengalami perubahan dirinya. Dalam realitas, organisme merupakan subyek evolusi sekaligus obyek evolusi. Keduanya menciptakan dan diciptakan oleh lingkungan (apakah itu interaksi dunia fisik atau interaksi dengan makhluk lainnya) dan, karenanya, merupakan pelaku-pelaku sejarah evolusionernya sendiri. Contohnya, sekarang hampir setiap harinya seluruh makhluk di bumi ini, untuk bisa hidup, berada di bawah tekanan penyingkiran/penggusuran yang sangat kuat bila tidak berada dalam atmosfir yang kaya oksigen—agar tak menghirup banyak karbon dioksida. Masalah metabolisme ini sudah dialami dalam aktivitas organisme hidup sepanjang 3 milyar tahun masa evolusinya. Tanpa aktivitas hidup makluk hidup—memproduksi oksigen dengan fotosintesis dan mengurangi karbon dioksida dengan mengaturnya ke bentuk karbon dalam batu sedimen—maka atmosfir makhluk sekarang ini akan hampir sama sekali dipenuhi karbon dioksida, sebagaimana yang terjadi di Mars atau Venus.

Karena elemen-elemen itu saling mem/dibentuk oleh interaksi, dan saling mem/dibentuk oleh keseluruhan—dimana elemen-elemen tersebut menjadi bagian-bagiannya—maka perubahan merupakan karakter segala obyek dan segala aspek obyek. Itu lah prinsip keempat dialektika.

Dalam ajaran borjuis, perubahan ditempatkan dalam posisi yang nampaknya kontradiktif, sejalan dengan sejarah revolusi borjuis “klasik” pada abad ke-16, ke-17 dan ke-18. Kemenangan hubungan-hubungan sosial kapitalis atas feodalisme disertai dengan kegembiraan yang berlebihan, kesombongan, dan pembebasan atas keyakinan-keyakinan lama: yang sudah usang, usang lah, tak kami butuhkan lagi; ide-ide jangan diabadikan; orang bisa merubah posisi sosialnya; keberhasilan lahir dari inovasi. Tapi, dengan semakin dikonsolidasikannya dominasi lembaga-lembaga sosial borjuasi, masyarakat kapitalis itu sendiri dianggap sebagai puncak perkembangan sosial, hasil penyelesaian akhir terhadap “sifat intrinsik” kemanusiaan—memanen keuntungan pribadi melalui “perdagangan bebas”—yang, sebelumnya dibelenggu “kepalsuan” rantai feodal. Berangkat dari cara pandang tersebut, perubahan dibatasi dalam lingkaran yang sempit, yaitu: menciptakan inovasi-inovasi teknologi, perubahan hukum-hukum secara bertahap, keseimbangan, penyesuaian, mengkompromikan persaingan kepentingan.

Legitimasi masyarakat kapitalis atas pendapat tentang “akhir sejarah” tersebut bermakna: menolak kebutuhan sekaligus kemungkinan perubahan sosial yang mendasar. Stabilitas, kesimbangan, ekuilibrium dan kontinuitas menjadi nilai-nilai positif (yang didewak-dewakan) dalam masyarakat dan, karenanya juga, menjadi obyek kepentingan intelektual. Perubahan semakin dilihat sebagai hal yang dibuat-buat, superfisial, hanya penampakan belaka, untuk menyembunyikan statisme sedalam-dalamnya. Bahkan, saat suatu perubahan besar sudah tak bisa lagi dihindarkan, mereka masih juga berkilah dan menolak dengan formulasi prinsip-prinsip yang membosankan dan dibesar-besarkan: “Semakin berubah sesuatu, semakin sama lah mereka”.

Dalam dunia cara pandang kaum reduksionis, terdapat hal-hal yang konstan dan hal-hal yang variabel—sesuatu yang tetap dan sesuatu yang berubah sebagai konsekuensi dari hukum-hukum yang yang beroperasi dengan nilai-nilai parameter yang tetap. Dalam dunia cara pandang dialektis, karena semua elemen itu (baik subyek ataupun obyek) berubah, maka yang konstan dan yang variabel juga tidak lah tetap, berkategori berbeda, namun merupakan kategori yang relatif. Skala waktu perubahan elemen-elemen bisa saja berbeda, sehingga suatu elemen nampaknya saja seperti parameter yang tetap bagi elemen lainnya. Lagipula, hukum-hukum dan parameter-parameter perubahan itu sendiri berubah saat terjadi perubahan pada obyek, tempat hukum-hukum dan parameter-parameter tersebut berdinamika.

Dalam dunia cara pandang kaum reduksionis, entitas bisa berubah sebagai konsekwensi dari perkembangan kekuatan-kekuatan, tapi kekuatan-kekuatan itu sendiri tetap konstan atau berubah secara otonom akibat dari sifat-sifat intrinsik perkembangan. Dalam kenyataannya, bagaimanapun juga, sistem-sistem, yang merupakan obyek-obyek hukum-hukum transformasi, bisa berubah menjadi subyek yang merubah hukum-hukum tersebut. Sistem-sistem tersebut menghancurkan kondisi-kondisi, syarat-syarat, yang pada awalnya mempengaruhi atau mendorongnya, dan menciptakan peluang perubahan-perubahan baru yang sebelumnya tidak ada. Hukum yang ditumbuhkan oleh semua makluk hidup, akibat koneksinya dengan makhluk lainnya, telah ada dalam lingkungan kehidupannya sepanjang satu milyar tahun yang lalu. Sistem-sistim biotik awalnya lahir dari benda mati, tapi asal muasal tersebut tak mungkin dipertahankan terus, karena organisme hidup memerlukan molekul-molekul organik yang kompleks di luar sistim-sistim biotik yang tumbuh dari benda mati. Lagipula, atmosfer kehidupan, yang sudah ada sebelum organisme hidup muncul, telah “dinodai” oksigen reaktif pada derajat sedemikian rupa sehingga molekul-molekul organik yang kompleks tersebut serta merta tercerai berai keluar dari organisme hidup.

Perubahan, yang merupakan karakteristik segala sistem material, tumbuh akibat hubungan-hubungan internal dan eksternal. Heterogenitas internal suatu sistem bisa menghasilkan ketidakseimbangan dinamik, sebagai hasil dari perkembangan internal. Pada saat sama, sistem tersebut, sebagai suatu keseluruhan, berkembang saat berhubungan dengan dunia luar/eksternal, yang akan merubah dan dirubah oleh perkembangan tersebut. Jadi, proses-proses perubahan internal dan eksternal, keduanya, saling mempengaruhi, dan juga mempengaruhi sistim itu sendiri, karena merupakan rangkaian proses-proses tersebut.

Persetejuan metode dialektika terhadap prinsip bahwa semua obyek adalah, secara internal, heterogen, menggiring kita pada dua arah. Yang pertama, pengakuan bahwa tak ada satu unit pun yang merupakan unit yang telah selesai hingga tak bisa lagi membentuk dunia—tak ada “benteng/hambatan” utama yang tetap, homogen. Yang demikian itu bukan lah konsepsi awal yang dipaksakan kaum Marxis pada alam tapi merupakan jeneralisasi dari pengalaman: seluruh “unit-unit dasar” yang sebelumnya homogen sejauh ini telah berubah menjadi heterogen, dan pengakuan terhadap fakta tersebut telah membuka lapangan studi baru serta penggunaan praktis baru. Karena itu, pernyataan bahwa tidak ada “unit-unit dasar” yang homogen bisa meletakkan ilmu-pengetahuan pada prinsip yang mewajibkannya menyelidiki setiap level pengorganisasian materi tanpa harus meneliti unit-unit primer yang dibuat-buat semacam itu.

Konsekwensi kedua atas pengakuan terhadap heterogenitas semua sistim, apakah itu sistim sosial, atau pun sistim alam, adalah yang menggiring kita pada suatu penjelasan tentang perubahan dalam makna bahwa proses-proses yang saling bertentangan menyatu dalam sistim tersebut. Heterogenitas bukan lah sekadar keragaman belaka; bagian-bagian atau proses-proses tersebut saling berhadapan sebagai sesuatu yang saling bertentangan, bersyarat terhadap keseluruhan di mana keduanya menjadi bagian.

3. Gerak dan Kontradiksi

Apa yang menjadi karakter Marxisme dalam memahami dunia adalah pengakuan bahwa dunia, dalam segala aspeknya, terus menerus bergerak. Yang konstan berubah jadi variabel, sebab berubah jadi akibat, dan sistem berkembang, menghancurkan syarat-syarat yang menciptakannya. Bahkan unsur-unsur yang kelihatannya stabil pun sebenarnya berada dalam posisi ekuilibrium dinamik sesuatu yang saling bertentangan, yang bisa saja, secara tiba-tiba, menjadi tidak stabil, seperti sinar baja yang redup, yang sedang berada pada posisi kritis kepanasannya (mass), sehingga tiba-tiba berubah menjadi pijar-pijar atau bola-bola api. Walaupun, gerak itu memang ada batasnya dan tidak seragam. Organisme berkembang dan jadi berjenis-jenis, kemudian mati dan tercerai berai. Makhluk terlahir/muncul namun juga, tak terelakan, akan punah (keragaman jenis makhluk yang ada sekarang jumlahnya hanya kurang dari 1 % dari keseluruhan makhluk yang pernah ada di bumi). Bahkan dalam dunia yang semakin tidak kompleks ini, terbukti tak ada keseragaman gerak.

Gerak, perubahan dan perkembangan merupakan konsekwensi dari interaksi berbagai kekuatan dan proses yang saling bertentangan, itu lah memang karakter segala hal. Konsep sentral pemikiran dialektis tersebut, yakni prinsip kontradiksi, adalah prinsip yang paling sulit dan paling sering dipertengkarkan. Bagi kaum reduksionis, kontradiksi-kontradiksi hanya ada ketika memahami sesuatu atau antar sesuatu, tapi bukan sebagai karakter dari benda itu sendiri. Dalam pandangan dialektis, segala sesuatu itu bergerak, berubah dan berkembang karena tindakan berbagai kekuatan yang saling bertentangan di dalam dirinya sendiri atau terhadap dirinya, dan segala sesuatu itu akan tetap sebagaimana adanya selama ada keseimbangan temporer dari kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan tesebut.

Prinsip bahwa segala sesuatu itu secara internal heterogen mengarahkan perhatian kita pada proses-proses yang saling bertentangan yang bekerja dalam suatu obyek. Kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan tersebut kelihatannya seperti kontradiktif dalam arti: bahwa bila masing-masing bekerja sendiri maka akan memiliki efek-efek yang saling bertentangan, dan tindakan bersamanya mungkin akan menghasilkan sesuatu yang berbeda ketimbang bila bertindak sendiri-sendiri. Akan tetapi, obyek itu tidak lah sesederhana layaknya korban yang pasif dari kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan tersebut.

Cara pandang dialektis menekankan bahwa sifat bertahan dan sifat ekuilibrium bukan merupakan status normal segala sesuatu, tapi membutuhkan penjelasan lagi, yang harus dilihat dari tindakan-tindakan yang saling bertentangan tersebut. Syarat-syarat hingga kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan tersebut seimbang, dan sistimnya secara keseluruhan dalam keadaan ekuilibrium yang stabil, merupakan sebuah hal yang khusus dan tergantung pada variabel-variabel yang ada pada sistem tersebut, bukan dil uar parameter-parameter sistem tersebut. Dalam kasus tersebut, kejadian-kejadian eksternal, yang menghasilkan pergeseran-pergeseran kecil antara variabel-variabel tersebut, akan dihilangkan oleh proses-proses sistim yang mengatur dirinya sendiri.

Proses-proses yang saling bertentangan tersebut sekarang bisa dianggap sebagai bagian dari obyek yang sedang berkembang dan mengatur dirinya sendiri. Hubungan antara proses stabilisasi dengan proses destabilisasi menjadikan keduanya sebagai obyek kepentingan, dan obyek aslinya/awalnya nampak sebagai suatu sistim, suatu jaringan umpan-balik positif dan umpan-balik negatif.

Umpan-balik negatif lebih gampang dimengerti. Bila tekanan darah binatang meningkat, sensor pada ginjalnya akan mendeteksinya dan akan menggerakan proses-proses yang akan mengurangi tekanan darah. Bila komoditi diproduksi lebih banyak ketimbang yang bisa dijual, harga komoditi tersebut akan jatuh, dan kelebihannya akan dijual murah sehingga produksinya diturunkan lagi; jika barang kurang, harga akan naik, dan akan merangsang peningkatan produksi. Dalam setiap kasus, status tertentu sesuatu akan menegasikan dirinya dalam konteks sistem tersebut, dan akan menambahkan sesuatu ke dalam dirinya, yang kemudian akan mendorong proses untuk mengurangi sesuatu dalam dirinya dan memelihara integritas sistim. Tetapi sistem juga berisi umpan balik positif (destabilisasi): tekanan darah tinggi mungkin akan merusak struktur pengukur-tekanan, sehingga tekanan darah disepelekan (tak bisa diukur) dan mekanisme penstabilisasi (homeostatic) itu sendiri akan meningkatkan tekanan darah; over produksi bisa menyebabkan pengurangan tenaga kerja, yang akan mengurangi daya beli dan karenanya akan meningkatkan kembali surplus relatif.

Sistem yang nyata mengandung jalan pemandu bagi umpan-balik positif maupun umpan-balik negatif. Umpan-balik negatif merupakan prasyarat bagi stabilitas; kelangsungan suatu sistem mensyaratkan jalan pemandu yang dapat menegasikan dirinya. Tapi umpan balik negatif bukan lah jaminan bagi stabilitas dan, di bawah situasi/lingkungan tertentu—umpan-balik positifnya lebih kuat atau jika umpan-balik negatif (tidak langsung) tak cukup kuat untuk mempengaruhi variabel-variabel—sistem tersebut akan menjadi tidak stabil. Karena itu lah, syaratnya sendiri merupakan penyebab negasi yang memenuhi syarat. Jadi, sistem-sistim bisa mengasikan dirinya (status A mengarahkan kita pada pernyataan bukan-A) atau, demi kelangsungannya, tergantung pada apakah sistim tersebut bisa atau tidak menghasilkan proses-proses yang dapat menegasikan dirinya

Stabilitas atau kelangsungan suatu sistem tergantung pada kesimbangan umpan-balik negatif atau umpan-balik positif tertentu, tergantung pada parameter-parameter yang mengatur tingkat proses-proses yang ditelikung oleh batas-batas tertentu (yang pasti). Tapi parameter-parameter tersebut, walaupun bila dilihat dalam model matematika dianggap konstan, merupakan obyek-obyek nyata duniawi yang, pada dirinya sendiri, mengandung subyek perubahan. Akhirnya, beberapa parameter tersebut akan bergerak melewati ambang-batas yang menyebabkan sistim awalnya/aslinya tak mampu lagi bertahan sebagaimana seharusnya/sebelumnya. Keseimbangannya kemudian porak poranda. Sistim tersebut mungkin akan memiliki fluktuasi yang lebih luas dan lebih luas lagi hingga menghancurkannya, atau bagian-bagiannya, yang hanya bisa bermakna dalam suatu keseluruhan tertentu, kehilangan identitasnya sebagai bagian-bagian dan melahirkan suatu kwalitas sistem yang baru. Selanjutnya, perubahan-perubahan pada parameter tersebut bisa saja merupakan konsekwensi dari sistim yang berperilaku stabil, yang merupakan syarat pertamanya.

Dunia cara pandang dialektis menyimpulkan bahwa tak ada satu sistem pun yang samasekali statis, walaupun beberapa aspeknya bisa saja sedang berada pada ekuilibrium dinamik. Perubahan kwantitatif yang terjadi dalam (kelihatannya) kestabilan (stabilitas) tetap akan melampaui batas-batas yang dapat mentransformasikan perilaku kwalitatifnya. Semua sistem menegasikan dirinya dalam jangka waktu yang panjang, sementara, kelangsungan jangka pendeknya tergantung pada status penegasian dirinya secara internal.

Penegasian-diri bukanlah sekadar suatu kemungkinan abstrak yang diberi alasan: universalitas perubahan. Kita harus menelitinya secara reguler pada alam dan masyarakat. Kelahiran monopoli bukan lah merupakan hasil dari pembatasan “perusahaan bebas” tapi sebagai konsekwensi keberhasilan pasar bebas; itu lah sebabnya peraturan yang menolak penggabungan perusahaan (anti-trust) dan peraturan pro-persaingan gagal. Pembebasan hamba dari belenggu tanah feodal juga bermakna adanya kemungkinan mereka digusur dari tanahnya; kebebasan pers dari pengawasan politik oligarki feodal selanjutnya bermakna kebebasan pers oligarki baron-baron kapitalis untuk mengawasi debat-debat dan informasi politik. Proses-proses penegasian-diri sistim kapitalisme seringkali menunjukkan kenyataan yang ironis, karena realisasi tujuan-tujuan idealnya membongkar maksud-maksud mereka sebenarnya yang menghasilkan kenyataan yang sebaliknya.

Aspek kedua kontradiksi adalah saling-penetrasi dari (yang penampakannya seperti) kategori-kategori eksklusif yang saling berbalasan. Satu tahap yang diperlukan dalam pekerjaan teoritis adalah membuat garis yang tegas. Tapi kapanpun kita memilah sesuatu menjadi yang eksklusif saling berbalasan dan menggabungkan semua kategori, maka hasilnya: ia akan keluar dari statusnya semula dan mendapatkan pengujian selanjutnya untuk melihat hasil interpenetrasi dari unsur-unsur yang saling bertentangan tersebut (yang dipilah-pilah tadi). Jadi, sekilas, nampaknya proses-proses yang “deterministik” (dibutuhkan) dan “random” (kesempatan) memperbanyak kategori-kategori eksklusif yang saling berbalasan. Yang pertama menyiratkan keteraturan dan regularitas, sedangkan yang kedua menyiratkan ketiadaannya. Tapi proses-proses yang sepenuhnya deterministik bisa menghasilkan proses-proses yang nampaknya acak. Sebenarnya, nomor-nomor acak yang digunakan dalam simulasi komputer mengenai proses acak dihasilkan oleh proses deterministik (operasi-operasi aljabar). Dalam dekade terakhir ini, para ahli matematika menjadi begitu tertarik pada apa yang disebut dengan gerak kaostik, yang mengarah bukan pada ekuilibrium ataupun gerak periodik regular tapi pada pola yang kelihatannya acak. Dalam sistim-sistim dengan kompleksitas tinggi, kemungkinan atau probabilitas ekuilibrium stabil mungkin sangat tipis/kecil jika sistimnya tidak dirancang untuk stabilitas. Hasil yang lebih umum adalah gerak kaostik (goncangan) atau gerak periodik dengan periode-periode yang (sepanjang itu) tidak berulang bahkan selama interval panjang pencaharian/observasi, jadi kelihatannya acak.

Kedua, proses-proses acak bisa membuahkan hasil deterministik. itu lah yang menjadi basis bagi prediksi-prediksi mengenai jumlah kecelakaan lalu-lintas atau tabulasi kalkulasi statistik. Proses-proses acak menghasilkan, dalam beberapa frekwensi, ditribusi kosekwensi. Frekuensi distribusi itu sendiri tergantung pada beberapa parameter, dan perubahan-perubahan pada parameter tersebut benar-benar menentukan efek pada distribusi. Jadi, distribusi, sebagai obyek studi, bersifat deterministik meskipun ia merupakan hasil dari berbagai peristiwa acak.

Ketiga, sedikit saja ambang-batas yang memisahkan berbagai bidang fenomena kwalitatif dilewati, bisa menyebabkan efek yang besar. Jika perubahan kecil tersebut berasal dari bawah, yakni dari level pengorganisasian materi yang kurang kompleks, maka sulit untuk untuk memperkirakannya; dan bila dilihat dari perspektif pengorganisasian yang lebih tinggi, maka akan lebih kompleks. Secara umum, pengaruh berbagai peristiwa dari satu level ke level yang lainnya nampak seperti acak.

Kontradiksi juga bermakna koeksistensi atau keberadaan bersama berbagai prinsip yang saling bertentangan (lebih benar ketimbang proses-proses yang saling bertentangan) yang, secara bersamaan, memiliki implikasi atau konsekwensi yang berbeda dibandingkan jika sendiri-sendiri. Komoditi, contohnya, mengandung kontradiksi antara nilai-pakai dengan nilai-tukar (yang secara tidak langsung terlihat pada harga, atau dalam “nilai-nilai moneter” nya). Jika obyek-obyek diproduksi sekadar untuk memenuhi kebutuhan manusia, kita bisa berharap bahwa barang-barang yang berguna saja yang lebih banyak diproduksi ketimbang barang-barang yang tak berguna, dan kita bisa berharap obyek-obyek dan metode-metode produksi dirancang sedemikian rupa sehingga meminimalkan kerusakan dan bahaya, serta memaksimalkan daya-tahan/keawetan (dan bisa diperbaiki kembali). Jumlah produksi akan disesuaikan dengan yang dibutuhkan; merendahnya tingkat kebutuhan memberikan waktu luang yang lebih banyak (untuk bersenang-senang) bagi orang yang terlibat secara langsung dalam memproduksinya atau memproduksi obyek-obyek lain. Jika suatu obyek sudah samasekali tak memiliki nilai-pakai, tentu saja, benda tersebut tidak akan bisa dijual; karena nilai pakai lah yang memungkinkan nilai-tukar ada. Tapi prospek nilai-tukar seringkali menyebabkan komoditi diproduksi bertentangan dengan kebutuhan manusia, yang sebenarnya harus lebih didahulukan. Komoditi akan diproduksi, misalnya, untuk orang yang mampu membelinya, dan prioritas produksi akan lebih mendahulukan komoditi yang akan memberikan batas keuntungan lebih besar. Inovasi-inovasi produksi, yang akan memungkinkan produksi komoditi menjadi lebih mudah dan lebih murah malah melahirkan pengangguran atau kesehatan yang buruk pada buruh dan konsumen. Jadinya, malahan, proses untuk memenuhi kebutuhan manusia menghasilkan barang-barang yang nilai-tukarnya menyebabkan kurang dipenuhinya pemuasan kebutuhan tersebut.

4. Sejarah Manusia dan Sejarah Alam

Perbedaan antara dunia cara pandang dialektika materialis dengan reduksionis sangat jelas terlihat ketika—secara radikal berbeda pendekatan—dalam menjawab masalah hubungan antara sejarah manusia dan sejarah alam. Cara pandang reduksionis menganggap absolut kontinuitas antara evolusi pra-manusia dan manusia. Reduksionis, sebagaimana juga determinis biologis, memandang masalah-masalah manusia sebagai hasil langsung dari pola biologis yang terbentuk pada masa lalu, yang telah menciptakan hakikat manusia yang baku, tetap (dikiranya hakikat tersebut memang ada dalam jen kita), yang menentukan tingkah laku dan organisasi sosial kita—hingga, tega-teganya, pola tingkah laku dan organisasi sosial yang menjadi ciri masyarakat borjuis dipamerkan sebagai sesuai dengan hakikat manusia yang baku, yang tetap, tersebut.

Bagi Marxis, evolusi dari pra-manusia hingga menjadi manusia mensyaratkan dua hal: kontinuitas dan diskontinuitas. Marx menekankan bahwa sejarah manusia merupakan bagian dari sejarah alam. Maksudnya, bahwa makhluk manusia adalah bagian dari alam dan, seperti binatang lainnya, agar bisa hidup, ia harus berinteraksi dengan alam. Tapi manusia berbeda dengan binatang lainnya dalam cara manusia berinteraksi dengan alam untuk mempertahankan dirinya. Manusia menggunakan tenaga kerjanya, yakni, ketika bekerja besama memproduksi bahan-bahan kebutuhan hidupnya. Dalam hal itu, manusia memberi contoh tentang diskontinuitas dalam sejarah alam—maksudnya, muncul lah level baru pengorganisasian materi yang secara kwalitatif berbeda dibandingkan dengan bentuk-bentuk kehidupan binatang, yakni, kehidupan sosial. Tenaga kerja menyebabkan diskontinuitas kemanusiaan dengan alam dan juga menyebabkan kontinuitasnya dengan alam. Menurut Marx:

Tenaga kerja, di atas segalanya, merupakan suatu proses antara manusia dengan alam, suatu proses yang membuat manusia, melalui tindakan-tindakannya, memediasikan, mengatur dan mengontrol metabolisme antara dirinya dengan alam. Manusia berhadapan dengan materi-materi alam sebagai kekuatan alam. Manusia mempengaruhi/mengolah/mengatur kekuatan-kekuatan alam yang menjadi milik tubuhnya, lengannya, kakinya, kepalanya dan tangannya, dalam rangka menyesuaikan materi-materi alam dalam bentuk yang adaptatif terhadap kebutuhannya. Melalui gerak tersebut, manusia bertindak menghadapi alam di luar dirinya dan merubahnya, dan dengan cara tersebut manusia sekaligus merubah hakikat atau alam dirinya. (5)

Itu lah jawaban bagi masalah mendasar saat Marx dan Engels memulai studi mereka tentang masyarakat manusia: bagaimana kah perubahan jeneral yang memungkinkan dalam masyarakat manusia? Mereka menemukan pemecahannya dalam interelasi produktif (yang aktual dan praktis) antara manusia dengan alam yan,g tak bisa disangkal lagi, merupakan proses-hidup kemanusiaan, baik secara individual maupun secara kolektif, yang melibatkan interaksi konstan antara manusia dengan alam guna memproduksi bahan-bahan kebutuhan hidupnya.

Dalam tindakan maupun fakta produksi, Marx dan Engels memandang, seperti juga mungkin orang-orang, bahwa humanitas tidak saja mampu, akan tetapi juga melakukan, terlibat dalam proses universal redistribusi materi dan gerak. Dengan demikian manusia menunjukkan hubungan materialnya dan ketergantungannya pada alam—tapi juga, karenanya, manusia juga merubah alam, yang sedikit banyak sesuai dengan keinginan dan hasratnya. Hal itu bukan saja menunjukkan “kesatuan” antara manusia dengan alam, tapi juga perbedaan dialektisnya dari alam, dalam tindakan ataupun fakta pertentangan produktifnya terhadap alam sebagai bagian dari kekuatan alam itu sendiri. Juga: hal tersebut menunjukkan hakikat produksi perubahan, pergeseran, dan formasi-formasi materi baru, yang tidak lagi bersifat majis dan misterius dibandingkan bila dilihat dari aktivitas produksi manusia; dan, juga, kekuasaan produksi manusia tidak lagi “menakjubkan” dibandingkan dengan kekuasaan produksi yang dimilik alam.

Pendekatan tersebut, yang diterapkan pada “teka-teki dunia” yang sudah begitu lama tak bisa dipecahkan—yaitu asal-usul manusia, asal usul pemikiran—memberikan suatu konsepsi yang begitu revolusioner dan sangat jauh-jangkauan kedalamannya. Namun penemuan tersebut begitu mudahnya dilupakan—-dan semua yang mengkritik Marx dan Engels, serta 99 % yang “menyederhanakan” Marxisme, benar-benar melupakannya.

Ilmu-pengetahuan alam telah menetapkan bahwa keseluruhan materi dan gerak di alam semesta ini merupakan suatu kuantitas konstan. Tapi fakta yang begitu kokoh tentang keseluruhan materi dan gerak di alam semesta ini hanya lah terdiri dari sisi konservatif dalam memandang kebenaran dan (namun) memiliki sisi revolusioner—yang berpendapat bahwa fakta bentuk-bentuk materi, dan gerak (termasuk kemanusiaan itu sendiri) bisa berubah, mampu bertransformasi secara radikal, dan itu setelah memenuhi prakondisi yang dibutuhkan, yang dilakukan oleh manusia. “Kesatuan” alam semesta dibuktikan bukan oleh eksistensi abstraknya, tapi oleh kemampuan berubahnya yang kongkrit dan spesifik.

Pengakuan terhadap kesatuan material alam semesta tidak diraih dengan mengabaikan berbagai perbedaan bentuk materi dan gerak: hal itu ditunjukkan oleh praktek alam maupun kemanusiaan—yang menunjukkan perbedaan-perbedaan tersebut tidak bersifat “akhir” tapi bisa berubah, yang merupakan produk bersyarat dari interaksi material spesifik. Itu juga tidak diraih dari evolusionisme abstrak reduksionisme borjuis yang menganggap semua perubahan merupakan pergeseran yang tak terbatas sehingga bisa diabaikan dan disangkal keberadaannya. Hal tersebut diraih melalui pengakuan bahwa segala hal di alam semesta ini merupakan produk suatu proses tak terbatas dari interaksi yang dialektis. Hanya melalui konsep seperti itu lah kemanusiaan, termasuk proses pemikiran dan kemajuan sejarahnya, bisa dibawa ke dalam suatu kesatuan konsepsi tentang alam semesta.

Adalah benar, bila dirinya (kesadaran setiap orang akan eksistensinya) dan yang bukan dirinya (pengakuan terhadap eksistensi suatu dunia yang berada di luar kesadaran individu sesorang) dikatakan sebagai sesuatu yang telah “akhir”—sepanjang bermakna bahwa mereka dan hubungan mereka yang saling bertentangan merupakan prasyarat dari seluruh pengalaman manusia. Tapi adalah benar juga, dan bahkan secara signifikan jauh lebih revolusioner, fakta bahwa setiap tindakan praksis manusia menghasilkan bukan hanya perubahan obyektif, tapi juga pergeseran subyektif “pengalamannya.” Di situ lah pula letak fakta yang bisa menghancurkan agnotisisme (6) yang merasuk pada filsafat borjuis saat harus menjawab pertanyaan apakah pikiran kita sudah tepat merefleksikan realitas obyektif, yang mencurigai bahwa pikiran manusia paling banter/benar juga hanya bisa “menggambarkan” dan “mensimbolisasi” realitas obyektif. Praktek, dan khususnya kerjasama sosial dalam praktek-memproduksi, merupakan sumber yang menggerakan/menghasilkan kesadaran diri, dan juga merupakan sumber yang menggerakan interelasi yang tak bisa dipisah-pisahkan antara dirinya dan bukan dirinya. Manusia tak perlu “membuktikan” logika eksistensi dirinya dan bukan dirinya; keduanya dibuktikan secara simultan, sekaligus, dan dalam persinggungan antara tindakan dengan fakta praktis—terutama sekali praktek produksi.

Alam semesta bukan lah satu keseluruhan yang “terakhir”, tapi penggandaannya yang serta merta dan kongkrit menunjukkan suatu kemampuan untuk berubah dan bertransformasi; bukan kemanusiaan itu yang, karena keberadaan materialnya, menjadi satu dengan alam semesta, tapi kemanusiaan lah yang, karena merupakan materi dalam materi alam semesta, yang bisa berpartiispasi dalam proses universal perubahan dan trasformasi dan, dengan melakukannya, ia, dalam kombinasi/penggabungan sosial, bisa menggunakan alam semesta sedikit banyak sesuai dengan keinginannya—itu lah fakta revolusioner yang mendasari konsepsi Marx dan Engels dalam memahami sejarah manusia.

Marx dan Engels tidak jatuh pada kesalahan kaum “obyektifis” (yang sesungguhnya adalah kaum kontemplasionis) yang bertitik-tolak pada anggapan bahwa manusia adalah makhluk biologis dan menelusuri evolusinya sejak titik-berangkat hingga sekarang dengan asumsi yang menduga-duga. Sebagaimana analisanya terhadap ekonomi kapitalis, Marx memulainya dengan relasi esensial yang ada sekarang—yakni komoditi—dan mendapatkan di dalamnya, setelah menganalisanya, semua relasi-relasi mendasar masyarakat borjuis; Marx dan Engels juga mendapatkan titik berangkat yang logis bagi analisa ilmiah tentang masyarakat manusia dan perkembangannya tidak dengan cara menduga-duga jalur masa lalunya, tapi dengan menguji relasi esensial masyarakat yang ada sekarang.

Keberadaan manusia (sebagai satu makhluk biologis) dapat “dijelaskan”—kurang lebih—dengan bantuan fakta bahwa manusia ternyata dikembangkan oleh alam sebagai satu makhluk yang berbeda. Tapi hal itu saja tidak menjelaskan mengapa manusia bisa maju melebihi tahapan seperti itu. Untuk menemukan suatu fakta yang tidak dapat disangkal lagi, yang bisa mendasarinya, tidak lah sekadar menyandarkan diri pada teori yang mengatakan bahwa masyarakat itu bisa be/dirubah, tapi teknik praktis lah yang bisa membawa perubahan tersebut, sehingga menjadi tidak relevan untuk memalingkan perhatian pada fakta bahwa apa yang sekarang disebut manusia pernah dulunya (bila dilihat di diri pada nenek moyang zaman purba) belum menjadi manusia. Suatu fakta yang tersedia untuk merubah masa sekarang harus ditemukan secara nyata dari yang tersedia sekarang ini. Fakta yang memadai untuk memahami eksistensi masyarakat sepanjang tahap-tahap perkembangannya harus ditemukan pada semua tahap sejarah manusia. Lebih dari itu, harus lah suatu fakta yang sedemikian rupa yang didapatkan dari hakikat dirinya yang mengalami perubahan secukupnya sehingga bisa dikenali, sebagaimana juga eksistensi masyarakat manusia, harus lah diketahui tahap-tahap perubahannya—dalam semua penggandaan historisnya—yang dialami dialami masyarakat.

Fakta apa yang secara aktif beroperasi di seluruh periode sejarah manusia? Fakta yang begitu kuat sehingga bisa menahan orang dalam interelasi permanen bahkan saat perbedaan-perbedaan hasrat masing-masing sudah melayang ke tenggorokan orang lain? Hanya ada satu fakta seperti itu—fakta ketergantungan bersama terhadap produksi material.

Tapi Marx dan Engels tidak menganggap masyarakat sebagai kontinuitas sederhana. Mereka juga memperhatikan, baik secara khusus maupun secara praktis, diskontinuitasnya, lompatan tiba-tibanya—dari suatu tahap eksistensi ke tahap eksistensi lainnya. Lompatan-lompatan tersebut—yang membuat gusar kaum “evolusionis” dan kaum “gradualis”, yang berusaha menyangkal bahwa lompatan-lompatan tersebut berada di luar eksistensinnya—bukan saja merupakan hal-hal yang harus dijelaskan; lompatan-lompatan tersebut merupakan bentuk realitas (yang keluar dari pusatnya) dan tanda-tanda yang bisa dilihat yang bisa menunjukkan bahwa kemajuan sejati sudah, faktanya, bisa dicapai, bahwa bentuk-bentuk baru masyarakat bisa, dan sudah, nyata-nyata ada. Dan, bahwa keinginan untuk merubah dunia memiliki pembenaran obyektifnya.

Konsepsi sejarah yang diajukan Marx dan Engels guna menjelaskan sebab-sebab mendasar evolusi sosial hingga berbentuk produksi manusia/sosial, sudah sangat dikenali. Apa yang belum dikenal atau dihargai dengan baik adalah bahwa konsepsi sejarah materialis-dialektis bukanlah sekadar teori evolusi sosial tapi teori revolusi sosial, yang bisa menjelaskan bagaimana manusia bisa merubah kehidpan sosialnya secara progresif demi memuaskan kebutuhan material dan kebudayaannya.

***

Segala hal yang membedakan manusia, apakah sebagai pembuat-perkakas kerja, atau dari bicara dan pemikirannya, hingga kemenangannya yang paling akhir, yakni, bisa berkesenian, memiliki ilmu-pengetahuan dan teknologi, merupakan produk aktivitas kolektif kita sepanjang jutaan tahun yang lalu. Manusia itu adalah produk sejarahnya, yakni apa yang sudah dibuat manusia dan bagaimana membuatnya. Itu lah yang dimaksud Marx ketika ia menulis bahwa “esensi manusia bukan lah abstraksi inheren yang ada di diri individu orang-seorang” tapi “orkesta relasi-relasi manusia”, yakni, totalitas praktek sosial. (7)

Tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah, keberadaan manusia begitu saling tergantung pada yang lainnya, pada aktivitas tenaga kerja kolektif. Kapitalisme telah mensosialisasikan proses tenaga kerja dan menyatukan seluruh dunia ke dalam suatu sistem produksi yang saling tergantung. Itu lah sisi progresif kapitalisme. Kapitalisme telah meletakkan fondasi-fondasi material dalam kehidupan sosial untuk menyatukan manusia dengan bebas namun, pada saat yang sama, menghasilkan persaingan “anjing-makan-anjing”, setiap orang saling bertentangan, dengan merubah setiap kebutuhan manusia menjadi komoditi di pasar dunia yang didominasi oleh rangsangan memperkaya diri segelintir minoritas keluarga-keluarga super-kaya.

Lingkungan sosial merupakan produk dari tindakan kolektif manusia. Karenanya, dapat dirubah oleh tindakan kolektif kelas pekerja dalam rangka membangun lingkungan yang sesuai dengan hakekat fundamental kehidupan sosial manusia—saling bekerjasama—yakni lingkungan sosial yang tidak menghambat pemenuhan (sepenuh-penuhnya) kebutuhan materi dan tidak menghambat upaya penggalian kemampuan fisik dan mental setiap orang. Tapi untuk memenuhinya, kelas pekerja membutuhkan pemahaman ilmiah mengenai hukum-hukum yang mengatur dan membentuk kehidupan sosial—yang hanya bisa dijelaskan oleh materialisme-(dialektis)-historis.

***

(1) Lorimer, Doug, Fundamentals of Historical Materialism, the Marxist View of History and Politics (Resistance Books: Sydney, 1999), hal. 5-19.

(2) Marx, Karl dan Engels, Frederick, Selected Works, Vol. 1 (Progress Publishers: Moscow, 1975), hal.20.

(3) The Macquarie Dictionary (Macquarie Library, Sidney, 989), hal. 283.

(4) F. Engels, The Condition of The Working Class in England (Progress Publishers: Moscow, 1973), hal.64.

(5) Marx, Karl, Capital, Vol. 1 (Penguin Books: Harmondsworth, 1976), hal. 283.

(6) Paham (yang dipegang seseorang) yang memandang bahwa realitas akhir apapun (misalnya Tuhan) tidak lah diketahui, dan kemungkinan tidak dimengerti; secara luas: seseorang yang tidak mau percaya terhadap keberadaan Tuhan atau ketiadaan tuhan (huruf kecil—ed.); Merriam Webster’s Collegiate Dictionary, Tenth Edition (Merriam-Webster, Incorporated: Springfield, Massachusetts, USA,1996) hal.23. (—ed.)

(7) Marx, Karl dan Engels, Frederick, Selected Works, Vol. 1 (Progress Publishers: Moscow, 1975), hal.14.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *