Globalisasi dan Dampaknya Terhadap Politik Militer dan Strategi Militer

Oleh A. F. Klimenko

Globalisasi sebagai kekuatan yang berpengaruh dan Pola Utama Pembangunan Dunia di abad 21.

Ekspansi ekonomi (umum) dan peradaban terjadi ketika mayoritas negara bagian yang telah bergabung dalam ekonomi pasar bebas dan perdagangan dunia menjadi liberal diakhir Perang Dingin. Itulah yang dimaksud dengan globalisasi–walaupun komunitas akademik dan para ahli sampai saat ini belum dapat mendefiniskan apa sebenarnya globalisasi itu. Itu menjelaskan kenapa konsep globalisasi belum mempunyai definisi pasti: kebanyakan orang menganggap globalisasi adalah langkah baru internasionalisasi yang dimulai pada abad 20 dan dipersingkat oleh dua perang dunia serta terbelahnya dunia menjadi dua bagian sistem sosio-ekonomi yang saling bertentangan.

Bagian terbesar model globalisasi adalah produk teknologi Politik Amerika yang dirancang untuk membenarkan kepemimpinan Amerika dan sekutunya di dunia. Seperti yang dikatakan V. Mendez, ini mejelaskan “globalisasi tidak lebih dari upaya menjadikan fitur budaya barat menjadi kebudayaan dunia.” (2) Revolusi informasi dan tekhnologi yang dikuasai Amerika merupakan jalan untuk meperlancar globalisasi. Ahli IMF menggambarkan globalisasi sebagai “peningkatan ketergantungan ekonomi negeri-negeri lain berdasarkan oleh peningkatan volume dan keanekaragaman pertukaran jasa dan barang di perbatasan negaranya, kapital internasional yang mengalir, dan dipengaruhi oleh penyebaran tekhnologi yang terus menyebar keseluruh dunia.” (3) Berdasarkan penjelasan tersebut, istilah umum globalisasi dapat disebut sebagai gerakan kontemporer dunia terhadap integritas universal dimana perkembanagn yang efisien ekonomi nasional bergantung pada perekembangan di bidang lain.

Elemen-elemen Globalisasi ekonomi didefinisikan oleh para ekonom sebagai berikut. (4)

Pertama. Aktifitas ekonomi menjadi trans-nasional. Korporasi trans-nasional dan bank semakin berpengaruh di dunia, dan terkadang menjadi lebih kuat ketimbang pengaruh negara-berbangsa tunggal. Kenyataannya, secara ekonomi, mereka lebih kuat dari beberapa negara. Sebagai contoh, pasar keseluruhan kapital lima perusahaan ternama (Microsoft, General Electric, Exxon, Royal Dutc/Shell) melampaui angka 1 triliun dolar Amerika. Saat perusahaan-perusahaan tersebut mulai mendunia, mereka mengkonsentrasasikan sumber dayanya, dan menghilangkan rintangan terhadap pergerakan teknologi, properti, dan tenaga kerja.

Kedua. Membentuk ruang ekonomi (umum). Batas negara jadi lemah: kapital, informasi, jasa dan tenaga kerja bisa membelinya. Teknologi elektronik menggerakkan sumber daya keuntungan hingga 1 triliun dolar Amerika setiap harinya; beberapa negeri memiliki satu mata uang, Euro contohnya. Organisasi-organisasi internasional yang setipe dengan IMF semakin dibutuhkan dan penting.

Ketiga. Ruang Komunikasi umum muali terbentuk. internet memungkinkan semua orang mendapat berita di lautan informasi dunia, sementara itu, jaringan transportasi dan angkutan kargo semakin cepat dan mampu mengantar barang hingga ke pelosok dunia.

Keempat. Regulasi ekstra-negara dan supra-negara terhadap dunia ekonomi dan hubungan internasional menjadi semakin penting. Struktur finansial dan ekonomi internasional seperti IMF, WB, WTO memperluas lingkup mereka dan mendulang kekuasaan. Mereka bahkan dapat memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam ekonomi nasional. Organisasi-organisasi regional (APEC, ASEAN, NAFTA, EU, dan lain-lainnya) juga semakin berkuasa. Ada usaha untuk membentuk ekonomi antar benua berdasarkan APEC dan struktur politik di Timur Jauh yang akan menghubungkan pasar Rusia, Asia Timur-Laut dan Asia Tengah, Amerika Utara dan Selatan. Organisai-organisasi antar-negara dan antar pemerintahan tidak berdiri sendiri: ada organisasi-organisasi non-pemerintahan–seperti Greenpeace–yang sibuk membangun landasan hukum dan perintah sebagai syarat ekonomi yang stabil dan aman dalam perkembangan sosial.

Menteri kuar negeri Rusia, Igor Ivanov, menggambarkan proses globalisai, yang menghasilkan efek samping pada setiap segi kehidupan, sebagai “faktor penting perkembangan dunia pada abad 21.” (5) Bagaimana caranya negara dan negara bagian mendapat pengaruh dari globalisasi? Spesialis menunjukkan beberapa efek positif globalisasi. Pertama, globalisasi menstimulasi produksi melalui persaingan, memperluas pasar, memperdalam spesialisasi dan divisi internasional buruh di tingkat dunia. Kedua, meningkatnya bidang produksii memungkinkan pemotongan pengeluaran dan harga yang menciptakan kondisi yang kondusif untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Ketiga, produktifitas buruh meningkat sebab produksi dirasionalisasikan di tingat global, teknologi tinggi menyebar luas dan semangat kompetisi untuk lebih menerima dan inovatif. Dengan meningkatkan produksi, semua rekan kerja mendapat kesempatan yang sama atas kenaikan upah dan meningkatkan taraf kehidupan. Keempat, ada orang yang percaya bahwa negara menjalin hubungan hingga ke taraf bahwa “konflik militer antara kekuasaan besar tidak lagi masuk hitungan.” (6) Hal-hal tersebut menyebabkan globalisasi–secara obyektif–berguna karena menerimanya secara positif dan aktif menstimulasi.

Globalisasi semakin mempengaruhi segi kehidupan sosial dan aktifitas manusia. Dalam bidang ekonomi, dampaknya merupakan manifestasi dari ketergantungan konstan sektor ekonomi. Sebagai hasilnya, pembangunan dan kestabilan di satu negeri tidak akan tercapai tanpa mempertahankan pertumbuhan di sektor lain dan negeri lain.

Di bidang politik, negara harus mengikuti globalisai ekonomi. Kebijakan mereka ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi, situasi yang memberikan ekonomi nasional peran dalan proses-proses dunia dan mengizinkan mereka menciptakan serta menggunakan pendapatan dunia. (7) Pada saat yang sama, negara yang ekonominya paling kuat dapat mengeksploitasi globalisasi demi kepentingan nasionalnya. Diplomasi dan strategi adalah dua instrumen yang digunakan untuk mengeksploitasi. Dunia tampaknya sedang beralih dari rancangan geo-politik menuju ke hukum geo-ekonomi.

Prioritas di bidang ekonomi juga berubah. Perubahan tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa globalisasi ekonomi mendevaluasi wilayah seperti halnya ekspansi geo-politik. Sumber daya, infrastruktur dan komunikasi menjadi sangat penting, ibarat harta karun yang mengikat negeri-negeri bedasarkan kepentingan umum atasnya, sehingga mereka berusaha melestarikannya. Hal tersebut merumuskan konsep kerja strategi baru–bersamaan dengan tugas menjaga kedaulatan negara–dalam menjaga kepentingan ekonomi negeri termasuk mereka yang melanggar batas negara. Di masa lalu, perjuangan mempertahankan wilayah negara diserahkan kepada elemen militer di bawah kepentingan negara. Di bawah globalisasi pengaruh–yang ditentukan oleh sumber daya apa yang dibutuhkan suatu negeri–diperluas oleh metode non-militer. Intervensi dan pneyerobotan militer tidak lagi penting.

Negeri-negeri yang kepentinganya didasarkan atas beberapa faktor–seperti perkembangan ekonomi, pengaruh politik dan diplomasi, serta lingkup informasi yang efisien–sangant diuntungkan. Bersamaan dengan itu, perkembangan ekonomi, pertukaran barang dan smber daya yang konsisten, serta alur komunikasi hanya dapat terjadi jika kondisi tetap stabil. Sehingga, peran angkatan bersenjata sebagai alat mempertahankan stabilitas (dalam masa kritis) tetap dibutuhkan. Hal tersebut menawarkan beberapa kesimpulan-kesimpulan penting metodologi.

Pertama. Strateginya bertujuan untuk menciptakan kontrol atas wilayah yang kaya sumber daya alam, yang menguasai komunikasi, sehingga demonstrasi kekuatan militer menjadi metode utamanya. Pada kondisi-kondisi tertentu, strateginya mengabdi pada globalisasi dengan menggunakan kekuatan militer bukan untuk memperluas wilayah tetapi untuk mejaga keamanan dan stabilitas wilayah, yang juga sangat penting untuk perkembangan ekonomi. Operasi menjaga perdamaian kian hari kian penting.

Kedua. Dalam konflik militer, tujuan utama politik dan strategi tidak hanya memukul mundur musuh dan menempati lahan mereka, tetapi melucuti mereka dan memaksa mereka untuk beraliansi dan bekerja untuk mereka.

Ketiga. Ketika memilah tujuan, metode, dan bentuk perlawanan bersenjata, mereka harus membatasi kemungkinan pengrusakan dan kerugian, sebab pertumbuhan ekonomi bergantung pada negeri-negeri yang sedang berperang dan kerapuhan infrastruktur mereka. Senjata nuklir dianggap mencegah terjadinya konfrontasi langsung, walau, di berbagai tempat, mendapat tekanan dunia internasional–karena kemungkinan kehancuran yang dihasilkannya. Beberapa negara tidak dapat secara efisien melawan penguasa nuklir tersebut sebab potensi militer mereka lebih lemah. Sebagai hasil perang skala besar, maka permusuhan ditransformasikan menjadi konflik daerah yang terkendali dan diupayakan operasi perdamaian untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas, serta untuk menciptakan perdamaian. Penjaga perdamaian adalah pemimpin dunia yang bekerja atas persetujuan PBB, ataupun tanpa persetujuan PBB jika tindakan mereka mewakili keinginan banyak pihak. Faktor-faktor tersebut menurunkan kebutuhan akan angkatan bersenjata tetapi meningkatkan perminataan akan pelatihan militer.

Keempat. Strategi negara yang membutuhkan sumber daya dari luar negeri dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip “memproyeksikan” kekutanan militer mereka yang dikombinasikan dengan prinsip-prinsip kemajuan yang membutuhkan mobilitas tinggi. negara-negara yang negerinya kaya sumber daya alam lebih berkonsentrasi menjaga batas wilayah mereka, integritas wilayah dan hak mereka untuk menggunakan sumber daya tersebut untuk memenuhi kebutuhan negerinya. Mereka juga harus menjaga kepentingan geo-ekonomi mereka. Pada kasus Rusia, masalahnya adalah perairan internasional dan komunikasi daratan, prioritas wilayah ekonomi serta zona laut, wilayah, dan lain-lainnya.

Keterangan di atas menunjukkan bahwa globalisasi bukanlah fenomena novel yang baru saja muncul. Globalisasi adalah proses panjang, stabil, obyektif, pertumbuhan dinamis dan mengakselerasi.Pijakannya adalah manifestasi pola perkembangan komunitas internasional. Tidak ada analisis jangka menegah dan jangka panjang tentang kondisi dunia yang dapat mengabaikan globalisasi. Politik, termasuk politik militer, dan strategi militer bahkan di negeri besar pun harus memperhitungkan globalisasi.

Ilmu pengetahuan harus menganggap globalisasi sebagai metodologi analisa dan elaborasi perkembangan strategi negara di segala bidang: ekonomi, politik, militer, dan lain-lain.

Kontradiksi tantangan utamam globalisasi ekonomi

Kontradiksi dan tantangan seperti disebut di atas dapat menciptakan ilusi bahwa globalisasi menuju ke arah yang lebih baik, perdamaian, dan stabilitas. Padahal, kenyataannya, dampak globalisasi bertolak belakang dengan ideal-ideal tersebut. Di lain pihak, globalisasi membuat negeri-negeri dan wilayah-wilayah semakin dekat, globalisasi menstimulasi secara luas korporasi internasional, pra-perjanjian dunia baru, berdasarkan persamaan keamanan, tanggungjawab dan kerjasama antar negara. Walaupun demikian, dampak positif hanya berlaku untuk beberapa negeri maju; sisanya, tidak dapat apa-apa selain dampak buruknya. Dampak buruk apa saja?

Dibidang sosial dan ekonomi lah bahaya kontradiksi dan konfromtasi antagonis terkonsentrasi.

Hanya seperlima populasi dunia yang mengkonsumsi 86 persen total produksi nyata dalam pasar umum, lingkungan informasi, dan menikmati akses atas sumber informasi. Sejauh ini, globalisasi merangkul bagian utara bumi: Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Afrika (sebagai pengecualian), Timur Tengah, dan sebagina besar Asia (terutama yang dunia muslim) disingkirkan. 20 persen populasi termiskin dunia hanya mengkonsumsi 1.5 persen produk dunia. Globalisasi memperlebar jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, baik di dalam negeri maupun secara keseluruhan (mendunia), itulah efek samping yang membahayakan. Menurut laporan PBB, Globalisasi bertopeng manusia, diterbitkan tahun 1999, jurang antara pendapatan 5 negeri terkaya dengan 5 negeri termiskin, pada tahun 1960, 30:1; dan pada tahun 1997, mencapai 74:1. Perhatian berlebihan atas ekonomi dalam hubungan internasional dan pasar menekan motif sosial dalam pengambilan keputusan.

Kemiskinan dan kemerosotan sosial melahirkan ketidakpuasan pada kelompaok tertentu teruatama di negeri-negeri yang meliki banyak etnis dan kolot. Ketidakpuasan tersebut diubah menjadi perlawanan yang kita hadapi sekarang ini: ketidaktoleranan etnik dan agama, separatisme, konflik dalam negri, serta perang sipil.

Revolusi komunikasi yang, di atas kertas, dapat menyatukan negeri-negeri dan bangsa-bangsa juga menciptakan jurang, sebab negeri-negeri yang paling maju sajalah yang menikmati akses akan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru.

Negeri-negeri dan bangsa-bangsa menjadi semakin bergantung pada supra-nasional dan mekanisme pasar yang lepas kendali dan struktur. gelombang krisis keuangan yang melanda dunia tahun 1998 dan menghantam Rusia adalah contoh grafis kerapuhan ekonomi regional dan nasional dalam globalisasi.

Kontradiksi kebudayaan menciptakan bahaya kelompok kedua. Timur dengan nilai-nilai philosofi, spiritual, dan agamais merupakan oposisi barat dan menghambat penyebaran pencapaian teknologi dan nilai kemanusiaan dunia Barat ke seluruh dunia. Kontradiksi kebudayaan tersebut, bersama-sama dengan ketimpangan distribusi globalisasi menghasilkan berkah, yang bertabrakan dengan konflik antara si kaya di Utara dengan si miskin diSelatan.

Kontradiksi lain yang membuat jengah keseimbangan internasional–terjadi antara negeri kaya dengan negeri berkembang yang miskin. Dunia Barat merasa terpojok dengan migrasi besar-besaran dan tidak terkontrol. Migrasi yang menyedot dan mebngahancurkan ekonomi negeri berkembang yang lemah. Situasi semakin memanas dengan kenyataan bahwa globalisasi tidak dapat melepaskan Utara dari Selatan yang terus menguntitnya dan menciptakan zona isolasi kekayaan ekonomi. Negeri maju di Eropa dan Amerika dengan struktur sosialnya terkena dampak migrasi besar-besaran. Para imigran, sebagai gantinya juga mengalami masa sulit menyesuaikan diri dengan budaya Barat dan berusaha sekuat tenaga agar dipandang sebagi rekan sejajar. Di Ingris, Prancis dan Jerman dan negeri-negeri lain, kaum miskin muslim membentuk kantong-kantong daerah, dan sebagai gantinya menyuplai komunitas kriminal internasional dengan anggota baru yang beranjak kaya dengan menjual obat-obat terlarang, senjata dan penipuan finansial. Kehadiran warga negara asing menciptakan ketidaksenangan penduduk lokal dan menghasilkan sentimen semacam neo-nazi. Terkadang kelompok kriminal dari Timur dan Selatan bergabung menjadi fundamentalis internasional yang bertujuan mengejar kepentingan politik. Mereka bertanggung jawab mengkoordinasi dan mendanai perjuangan melawan “kafir-kafir” di Eropa, Timur Tengah dan Timur Jauh dan berbagai daerah yang ketidakstabilannya menonjol, dan menjauhkan si kaya dari Utara dengan simiskian dari Selatan.

Dan kontradiksi yang sama pentingnya tercipta saat ada kebutuhan akan regulasi proses transisi dan hakikat kekuasaan negara. Globalisasi menuntut tidak hanya kerja sama antar negara tetapi juga membatasi kekuasaan meraka. Kontradiksi antara kebutuhan ekonomi dunia dan bentuk ekonomi negara lah yang dianggap sebagai “kontradiksi utama masa kontemporer–masa globalisasi.” (8)

Mereka yang mendukung globalisai yakin bahwa lembaga negara telah menjadi anakronisme dan ditakdirkan punah. Mereka bersikeras bahwa prioritas harus diubah dari keamanan negara menjadi keamanan indivudual. Tidak ada konsepsi “halangan manusiawi” dan “pembatasan kekuasaan” seperti yang menurut HAM lebih penting dibandingkan prinsi non-gangguaan (pada masalah dalam negeri) dan kesetaraan kekuasaan (pada wilayah internasional). Jelas sudah, prinsip baru ini tidak dirancang melawam para penguasa yang sangat kuat dan kaya. Mereka mengisyaratkan kesenjangan dan standar ganda pada hubungan internasional. (9)

Konsepsi “pembatasan kekuasaan” dan “halangan manusiawi” bukanlah istilah belaka: NATO menggunakanya sebagai landasan saat melawan kekuasaan Yogoslavia. Tanpa keraguan sedikit pun ketertarikan negara Barat akan hal tersebut menyebabkan Barat memainkan kelicikan berperan bersamaan dengan kepentingan mereka. Pada kesempatan pertama, kepentingan tersebut menciptakan lokasi geografis Balkan: di Barat mereka berdekatan dengan laut hitam dan Kaspia, yang telah diumumkan sebagai zona khusus Amerika, dan merestorasi jalur sutra. Di selatan, Balkan berbatasan dengan Asia Kecil (minor), dan di Timur Tengah terkena imbas masalah Israel dan Palestina. Terlebih lagi dengan adanya teluk Persia, sumber utama bahan bakar hidrokarbon. Rute terpendek dari Jerman dan Inggris Raya menuju laut Mediteranian Timur dan Terusan Suez melintasi Yugoslavia.

Blunder politik di Barat, yang disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan geo-ekonomi menggeser bencana kemanusiaan dari Albania ke Serbia. Lebih dari 400 ribu orang Serbia harus meninggalkan rumahnya di Kosovo; monumen peradaban Kristen kuno dihancurkan. Kedudukan ekstremisme Islam memunculkan instabilitas dan teror yang diciptakan di jantung Balkan di bawah perlindungan NATO. Ini dengan jelas dibuktikan dengan upaya orang Albania untuk menguasai lebih banyak wilayah, saat ini di Makedonia. Satu yang terbaca di belakang ini adalah rencana jangka panjang untuk menciptakan Albania yang lebih agung.

Konsepsi di atas berdasarkan anggapan yang salah bahwa lembaga negara turut campur dalam perlindungan terhadap hak asasi. Sementara itu, dekade terakhir abad ke-20 menunjukkan bahwa negara bagian yang lebih lemah menghasilkan situasi khaos dan anarki serta menghilangkan masyarakat dunia dengan instrumen-dalam yang stabil dalam penyelesaian konflik. Diskusi tentang lembaga negara bagian melahirkan bahaya baru. Kaum nasionalis dan separatis mengangkat panji-panji hak bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri sehingga menghancurkan negeri multi-bangsa dari dalam. Mereka menelurkan perselisihan etnis, memberi ruang bagi konflik etnis yang sangat sulit diselesaikan. Kebijakan “kedaulatan terbatas” dan “intervensi kemanusiaan” mendorong kelompok-kelompok etnis dan religius radikal untuk mengangkat senjata melawan penguasa federal, dan berharap menang dengan bantuan penjaga perdamaian.

Patut dicatat bahwa separatisme bukanlah monopoli egeri-negeri yang politiknya tidak stabil atau perekonomiannya lemah: ini juga muncul di negeri-negeri maju (seperti Kanada, Inggris, Spanyol, dan sebagainya.).

Hari ini, sekitar 2.500 kelompok etnis hidup dalam 150 negeri multi-bangsa. Penerapan hak menentukan nasib sendiri untuk beberapa negeri akan menciptakan kekacauan dalam hubungan internasional. Ini telah nyata tergambarkan di Balkan, Kaukasus, Timur Tengah, Asia Tengah dan wilayah lain tempat konflik bersenjata telah berlangsung selama dua puluh tahun hingga sekarang. Mereka membuat situasi dunia menjadi tidak stabil. Sebagai tambahan, keberadaan instabilitas mempengaruhi komunikasi stabil yang dengannya sumber daya dan barang-barang mengalami pergerakan (atau akan bergerak). Keberadaan beberapa ketegangan juga mempengaruhi globalisasi.

Apakah konsekuensi globalisasi pada lingkup politik-militer dan bagaimana mereka mempengaruhinya?

Separatisme yang berlandaskan kontradiksi agama dan etnis–yang berakar pada pengangguran, kemiskinan dan minimnya hak-hak mayoritas mutlak–diarahkan pada pemerintah federal negara multi-bangsa, sehingga dengan jelas mendekatkan fundamentalisme Islam. Aliansi tersebut tumbuh dari apa yang mereka yakini sebagai musuh bersama—subyek globalisasi yang utama. Aliansi tersebut berbahaya karena mewarnai perjuangan sosial-ekonomi dengan warna agama dan ideologi. Kaum separatis, yang bergerak di bawah perlindungan dan bersama dengan pusat-pusat dan organisasi-organisasi fundamentalis internasional, lebih suka mengabaikan cara-cara non-militer untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Saat ini, mereka tidak cukup kuat untuk mewujudkan tujuan politik mereka dengan pertempuran bersenjata dengan lembaga negara. Ini dipastikan dengan kejadian-kejadian di Balkan, Kaukasus, Xinjiang, dan di manapun. Ini menjelaskan mengapa mereka menetapkan teror massal sebagai instrumen utama penekan pemerintah yang paling membuat kaum sipil menderita. Teror internasional yang diorganisasikan oleh kesatuan usaha kaum separatis dan fundamentalis Islam yang mengambil bentuk militer berskala besar dan operasi-operasi teroris adalah suatu kesinambungan politik mereka dengan kekerasan. Ini membawa makin dekat pada perang (menurut Karl Clausewitz). Faktanya, separatis dan fundamentalis adalah ancaman serius bagi negara-negara yang membentuk tulang punggung globalisasi dan bagi negara-negara multi-bangsa dengan jumlah kaum Muslim yang besar di antara warga negaranya. Ancaman ini telah menetap.

Kini, berbagai jenis organisasi ekstremis dan fundamentalis yang terlibat dalam teror tersebar di seluruh dunia. Mereka bersandar pada negara tertentu yang mendanai mereka dan mensuplai mereka dengan persenjataan dan alat-alat komunikasi terbaru. Ini membuat mereka menjadi kekuatan militer yang harus diperhitungkan.

Dampak serius dari serangan teroris memaksa pemerintah untuk memusatkan usaha mereka pada terorisme internasional dan mencabutnya sebagai fenomena. Di satu sisi, ini penuh dengan konflik militer lintas bangsa dalam wilayah-wilayah dan dalam skala global. Di sisi lain, terorisme internasional telah memisahkan ancaman militer tradisional dan perang yang sudah dipersiapkan negara untuk dihadapi di abad ke-20 dari ancaman baru yang akan mereka hadapi di abad ke-21. Bayangan kita tentang sifat-sifat konflik militer masa depan dan keseimbangan kekuatan telah berubah.

Saat ini, keberadaan ancaman militer membentuk rantai yang membentang dari Balkan, melintasi Kaukasus dan lebih jauh hingga Asia Timur. Ia bercabang ke banyak negeri di semua benua. Satu yang seharusnya tidak diabaikan adalah fakta bahwa ancaman separatisme dan fundamentalisme Islam berkembang menjadi fenomena global yang suram dan berjangka panjang. Ini menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, ada kebutuhan mutlak untuk menerapkan pendekatan dengan argumentasi yang kuat untuk globalisasi dan interpretasi atas kedaulatan, integritas teritorial, hak bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, hak-hak etnis minoritas, dan lain-lain. Masyarakat dunia harus memformulasikan pendekatan yang tidak menganut standard ganda dan preseden (contoh buru) yang berbahaya. Kedua, seluruh negara yang berkepentingan harus menyatukan kerja mereka (termasuk kekuatan militer) di bawah payung PBB untuk melawan kaum separatis dan fundamentalis berpikiran radikal yang terlibat dalam perang teror melawan masyarakat dunia. Mereka harus mempolakan strategi militer dan doktrin mereka menurut tujuan, tugas, dan metode setiap perjuangan.

Di Rusia, sifat-sifat obyektif globalisasi diakui di level negara meski tetap belum ada pendapat pasti tentang itu. Argumentasi lawannya, bahwa globalisasi menjauhkan negara dari kedaulatan negaranya, yang berarti pengaruh Amerika yang lebih besar terhadap dunia. Sekaligus, ada kesadaran bahwa kompetisi yang setara dimungkinkan hanya jika negara tersebut aktif berpartisipasi dalam proses globalisasi. Itulah sebab keterlibatan Rusia yang lebih besar dalam G7–yang sesungguhnya telah menjadi G8; negara itu telah menyiapkan dirinya untuk keanggotaan WTO, dan lain-lainnya. Cukup wajar jika Rusia bekerjasama dengan negara lain dan aliansi negara-negara di ranah militer (terutama untuk memelihara perdamaian dan stabilitas). Kerjasama ini seharusnya didapatkan dari prinsip-prinsip hukum internasional dan memperhitungkan kepentingan nasional kita.

Subyek Utama Hubungan Internasional sebagai Pusat Kekuasaan (Kutub) Penguasa Dunia Kontemporer

Aku telah menuliskan di atas bahwa Amerika Serikat dikenal sebagai pemimpin globalisasi. Ia adalah kekuatan terbesar dunia dari sudut pandang ekonomi, politik dan militer. Bersama dengan negara-negara Barat lainnya, Amerika Serikat–yang tercatatberpenduduk 15 persen dari populasi dunia–mengendalikan lebih dari 70 persen produksi, perdagangan, dan konsumsi dunia. (10) Globalisasi telah mempersenjatai AS dengan alat kendali dan penekan yang kuat–mulai dari hutang hingga intervensi militer. Itulah mengapa dunia ditantang oleh model satukutub yang tidak dapat diselaraskan dengan kedaulatan nasional.

Amerika Serikat berkepentingan atas kepemimpinan dunia dan menggunakan tujuan proses globalisasi yang, dengannya, menghubungkan kecendrungan menuju dunia satu-kutub dan menyelaraskan strategi militernya. Di masa lalu, kehadirannya di Eropa Barat dalam bentuk NATO adalah langkah penting sejarah dalam jalan ini. Aliansi ini membantu menahan komunisme dan memastikan keamanan Barat. Dengan cara yang sama Eropa ditempatkan di bawah kendali Amerika.

Ketika Uni Soviet terpecah-pecah dan penguasa dunia dua-kutub hancur, Amerika Serikat memasuki tahap baru kepemimpinannya dengan maksud menguasai seluruh dunia. Proses tersebut dilandaskan pada penyebaran nilai-nilai Amerika: demokrasi dan pasar. Elemen terbesarnya dirumuskan oleh Anthony Lake, penasihat keamanan nasional Presiden Bill Clinton: memperkuat masyarakat di negeri-negeri demokratis besar yang berekonomi pasar–sebagai tulang punggung masyarakat dunia–dengan memperbaiki organisasi ekonomi supra-nasional dan aliansi kebijakan militer; mendukung negeri demokratis besar dan pasar, yakni negeri-negeri yang akan mempengaruhi kepentingan global Amerika (Rusia, negara-negara Eropa Timur, Jepang dan Korea); menolak agresor dan membantu pembebasan di negeri-negeri yang menolak demokrasi dan pasar. Beberapa negeri dianggap layak untuk diisolasi dalam lingkup diplomatik, ekonomi, dan teknologi; perhatian yang lebih harus diberikan untuk intelejen dan kontrol atas ekspor teknologi tinggi. (11)

Untuk menjalankan itu, Amerika Serikat harus memodernkan Aliansi Utara. Pada bulan Desember ,199,5 sebuah program baru trans-Atlantik diadopsi–yang menambah pentingnya gerakan bersama di luar lingkup tanggung jawab aliansi, yang sebelumnya terbatas pada wilayah para anggotanya.

Sistem baru keamanan bersama Eropa Barat, tidaklah lebih daripada perangkat bantu AS. Itulah yang dimaksud oleh Brzezinski, konsultan di Pusat Penelitian Strategis dan Internasional, ketika ia menulis: “Eropa yang lebih besar akan memperluas jangkauan pengaruh Amerika—dan, dengan pengakuan anggota-anggota baru dari Eropa Tengah, yang menambah keanggotaan Dewan Eropa dengan sejumlah negara dengan kecenderungan pro-Amerika–tanpa secara simultan menciptakan Eropa yang begitu terintegrasi secara politik sehingga dapat segera menantang Amerika dalam hal geopolitik.” (12)

Amerika Serikat tidak membutuhkan Rusia yang mengejar kebijakan luar negeri yang independen. Kenyataannya, Eropa Barat juga sering tidak puas dengan ini. Sebelum tragedi September, 2001, di New York, Barat mengkritik Rusia atas “tindakan berlebihan” melawan separatisme dan terorisme internasional di Kaukasus Utara. Ini menjelaskan mengapa semua macam kegiatan yang direncanakan dalam program Kerjasama untuk Perdamaian bersifat sporadis. Setelah krisis Kosovo, semua itu dihentikan bersamaan. Pada waktu yang sama, gerakan NATO ke Timur tak terhentikan: itu memberi aliansi peluang strategis untuk memberikan tekanan pada Rusia.

Dapat dikatakan bahwa, dengan tidak adanya Uni Soviet dan dalam sebuah keseimbangan kekuatan baru yang mendunia, banyak negara tidak merasa perlu berdampingan dengan Amerika Serikat. Belakangan didapati semakin sulit untuk mengabaikan perlindungan kepentingan nasionalnya karena adanya perlindungan atas nilai demokrasi. Karena itu, integrasi regional berkembang berdampingan dengan globalisasi. Beberapa orang percaya bahwa integrasi regional berlawanan dengan globalisasi, yang lainnya melihat itu sebagai bagian dari keseluruhan proses globalisasi. Menurut Academicus Primakov, keduanya salah. Integrasi regional bukanlah lawan ataupun komponen bagian dari globalisasi. “Proses integrasi regional, secara mendasar, independen, memiliki kekuatan pendorongnya sendiri, tetapi berkembang dalam interaksi yang erat dengan globalisasi.” (13)

Itu sangat penting. Dengan demikian, maka salah jika mengabaikan kontradiksi yang dilahirkan oleh globalisasi dan regionalisasi, khususnya dari mereka yang dihubungkan dengan penguasa dunia yang sedang muncul. Integrasi di tingkat regional memainkan peranan penting dalam politik dan ekonomi, ia memiliki pengaruh yang terus bertambah atas bidang militer dan dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam perimbangan kekuatan di tingkat regional dan global. Itu terjadi karena baik regionalisasi maupun globalisasi didukung oleh subyek tertentu hubungan internasional dengan kepentingannya masing-masing, yang hampir tidak pernah sebangun. Integrasi regional memberi kemungkinan bagi dunia yang multi-polar.

Saat ini, di bagian barat Eropa lah tempat dengan integrasi paling tuntas: ia bergerak dari Komunitas Batubara dan Baja menuju Pasar Bersama Uni Eropa. Pada tahun 1998, integrasi ekonomi Eropa Barat dilengkapi dengan integrasi militer.

Posisi Uni Eropa yang menguat dan kerjasamanya dengan Rusia menimbulkan perhatian tertentu di Amerika Serikat. Beberapa pusat kekuasaan ekonomi dan politik menghadapkan masyarakat dunia pada kontradiksi antara dunia uni-polar dan multi-polar. Kini, kita melihat kemunculan dua kutub: Amerika dan Eropa yang saling bertarung untuk mempengaruhi Rusia. Ada kecenderungan pro-Amerika dan anti-Amerika di setiap negeri Eropa Barat dan NATO. Di satu sisi, karena fakta adanya eksistensi mereka, tiap blok membicarakan kepentingan yang sama dari anggota-anggotanya dan menyimbolkan kesatuan Barat. Di sisi lain, hingga tingkat tertentu Uni Eropa dan AS terbagi oleh vektor geopolitik yang berbeda. Amerika Serikat paling berkepentingan dengan politik global, sementara Eropa Barat berkonsentrasi pada benuanya dan teritori yang berdekatan. Ini menjelaskan mengapa Uni Eropa kadangkala kurang antusias dengan dominasi AS di NATO dan beberapa keputusan yang mengenai Eropa (seperti operasi penjagaan perdamaian di Kosovo).

Satu yang harus diingat, bahwa tidak semua anggota Uni Eropa adalah anggota NATO, demikian pula sebaliknya. Hal tersebut, dan keinginan untuk menjalankan kebijakan yang independen, mendorong Uni Eropa untuk membangun struktur pertahanannya sendiri yang berbasis di Uni Eropa Barat. Keputusan-keputusan berkaitan dengan itu dibuat pada sidang tahun 1999 di Cologne (4 Juni) dan Helsinki (10-11 Desember).

Di Helsinki anggota-anggota Uni Eropa merumuskan tujuan menciptakan kekuatan bersenjata (50-60 ribu) dengan komando mereka sendiri yang independen dan struktur kendali, intelijen serta infrastruktur yang dapat bekerjasama dengan angkatan darat, angkatan udara dan angkatan laut lainnya jika dibutuhkan. Markas Besar Eropa akan dibangun untuk menjalankan perencanaan operasional dan penyelesaian krisis.

Bersamaan dengan itu, industri senjata dan industri pertahanan akan direstrukturisasi. Menurut Daniel Culmi, delegasi umum dari Institut Masalah Pertahanan dan Keamanan Eropa (Perancis), “keputusan yang dibuat pemerintah pada tahun 1999 memuat kerangka kerja bagi apa yang disebut kerjasama pembentengan, suatu jaringan penting dalam pembangunan pertahanan Eropa.” (14)

Kesadaran bahwa stabilitas Eropa mustahil tanpa Rusia membawa pada kerjasama yang lebih dekat di di antara mereka dan semua struktur Eropa Barat (dari ekonomi hingga militer). IItulah kecenderungan yang stabil yang memberi Rusia kesempatan baik untuk mempromosikan kepentingannya sehingga tidak tertinggal di belakang kemajuan dunia.

Menjadi logis untuk menganggap bahwa tindakan-tindakan Uni Eropa adalah hasil dari kontradiksi antara globalisasi dan regionalisasi, penguasa dunia uni-polar dan multi-polar yang berkembang di Barat. Baik AS maupun Uni Eropa tidak ada yang saling mengganggu. Karena berbeda dengan kontradiksi yang diciptakan oleh pembagian produk dunia, seperti yang digambarkan di atas, maka kontradiksi tersebut tidak bersifat antagonistik. Tampaknya, begitu “egotisme politik” Amerika semakin dalam dan berlanjut dengan mengabaikan kepentingan Eropa, maka kontradiksi di antara mereka akan memuncak. Saat ini, Amerika Serikat seharusnya tidak menyiapkan usaha untuk menjaga kontrolnya atas Uni Eropa.

Menurut Brzezinski, tujuan strategi utama Amerika di Eropa adalah untuk memperketat kendalinya di sana “sehingga sebuah Eropa yang diperbesar dapat menjadi batu loncatan yang dapat terus berjalan untuk diproyeksikan menjadi kekuasaan demokratis dan kerjasama internasional Eurasia.” (15)

Agar berhasil (dan memantapkan kontrolnya atas Balkan) Amerika Serikat sudah seharusnya, pertama, mencegah kemunculan pusat kekuasaan lain yang akan menjadi pusat Eurasian dipimpin oleh Rusia; kedua, membangun kontrol Amerika dan Turki atas sumber energi di Kaukasus dan Asia Tengah, serta dominasi geopolitik Amerika di batas selatan Rusia; ketiga, memastikan kehadiran strategis di barisan belakang Cina, karena Cina dapat berkembang menjadi lawan utama secara geo-politik. Jika operasi anti-teroris di Afghanistan berhasil, dan jika pangkalan militer di beberapa negara Asia Tengah berdiri (300 km dari perbatasan Cina), tugas tersebut akan berhasil diselesaikan.

Satu yang dapat diharapkan Amerika Serikat melanjutkan memanipulasi ekstremis Islam (seperti dilakukan di Balkan) untuk merealisasikan kepentingannya. Ke depan, akan dapat juga menggunakan mereka sebagai alat politik untuk menciptakan khaos di sepanjang “garis instabilitas” (disebut juga “sabuk hijau”) untuk membenarkan keberadaannya di sana. Salah satu dari tugas yang paling mungkin adalah menjaga Rusia dan khususnya Cina tetap di tumit mereka.

Singkatnya, dapat disimpulkan bahwa saat ini globalisasi belumlah berkembang menjadi pengatur baru proses-proses dunia. Di abad terakhir kontradiksi antara kapitalisme dan sosialisme dunia mengambil bentuk antagonisme ideologis dan membawa pada konfrontasi global, Perang Dingin, perang lokal dan konflik bersenjata yang besar.

Bagaimana masyarakat dunia akan terpengaruh oleh kontradiksi dari zaman globalisasi yang sedang muncul? Analisi di atas memberi kesimpulan bahwa mereka berubah menjadi sumber dari ancaman militer; karenanya, globalisasi itu sendiri membutuhkan pengaturan yang serius dan kontrol dalam kepentingan masyarakat dunia. Tidak ada negara, bahkan yang terkuat, tidak juga perusahaan transnasional dan struktur ekonomi-finansial yang mengejar kepentingan egotistis mereka, yang dapat menjalankan pengaturan dan peran pengendalian.

Di saat yang sama, ketika berbicara tentang sisi negatif globalisasi seseorang tidak dapat menjadi ekstrim. Globalisasi adalah sebuah proses obyektif dan tak dapat diulang kembali sehingga masyarakat dunia dapat mengontrolnya sehingga mendasarkannya pada sisi sosial dan kemanusiaan serta menambahkan aspek kemanusiaan padanya. Untuk memecahkan kontradiksi yang melekat dalam proses globalisasi dengan tepat waktu dan dengan cara damai, masyarakat dunia membutuhkan penguasa dunia yang memadai yang akan bertanggung jawab atas kepentingan semua bangsa dan negara, yang akan menggunakan mekanisme politik kontrol kolektif efisien atas proses global dan penyelesaian krisis. Hampir tidak ada alternatif bagi sistem hubungan internasional yang multi-polar demokratik seperti diusulkan oleh Rusia dan Cina. Ini tidak berkontradiksi baik dengan proses globalisasi maupun integrasi regional di bawah kondisi-kondisi tertentu: setiap orang sepakat bahwa kepentingan nasional tiap negeri berbeda, sehingga mereka tidak seharusnya egotistis dan melanggar norma hukum internasional yang dipahami bersama.

Jelas sekali, struktur yang dikepalai oleh PBB adalah yang paling sesuai untuk menyelesaikan krisis dalam sistem multi-polar. PBB seharusnya bekerjasama dengan organisasi regional seperti OSCE, CIS, ACEAN yang didesain untuk memastikan keamanan di wilayah tersebut. Sistem ini harus dimatangkan menjadi sistem hubungan bilateral negara. Norma hukum internasional yang dipahami bersama dapat memberikan ikatan dan mekanisme pengatur.

Peran penjagaan perdamaian yang lebih penting dari PBB mensyaratkan peran dan tanggung jawab yang lebih penting dari Dewan Keamanan, suatu struktur kendali militer di dalam PBB (markas besar atau komite staf militer). Peran ini dapat dipercayakan dengan mentransformasi struktur NATO yang telah menunjukkan kompetensinya. Kenyataannya, tugas transformasi ini begitu mendesak. Ini menjadi jelas ketika dunia telah memahami sendiri sedang menghadapi tipe baru peperangan—perang melawan terorisme anti-negara internasional yang dilahirkan oleh kontradiksi globalisasi. Sudah tiba waktunya untuk menyingkirkan penghalang yang membagi dunia pada abad terakhir. Saat ini, kita harus memusatkan usaha dari semua negara yang berkepentingan untuk menciptakan sistem keamanan dunia.

Terlihat bahwa Rusia adalah yang pertama merealisasikan ini ketika sekelompok teroris internasional menyerang Daghestan di teritori “Ichkeria bebas” untuk menciptakan kondisi yang di dalamnya Kaukasus Utara dapat dipisahkan dari Rusia dan menjadi bagian dari negara Islam di antara Laut Hitam dan Kaspia. Tidak ada yang mendengarkan Rusia waktu itu karena tragedi itu terjadi di negeri yang biasanya dilihat sebagai sisi yang salah dari penghalang (tipikal abad ke-20) antara Barat dan Timur. Hanya setelah tragedi September di AS dunia menjadi sadar akan jangkauan dari ancaman baru dan kebutuhan untuk melawan terorisme bersama.

Menjadi bertambah jelas bahwa tipe organisasi militer tertutup seperti NATO, aliansi Amerika-Jepang dan Amerika-Korea Selatan, yang dalam masa damai terus memilah-milah negara menurut prinsip “yang tidak bersama kita adalah musuh kita”, tidak dapat memecahkan tugas memberikan kemanan bagi semua negeri dan setiap negeri yang menghadapi ancaman baru dan tantangan baru.

Dari sini, maka PBB, bersama dengan seluruh organisasi regional yang terkaitlah, satu-satunya “kutub dunia” dalam sistem hubungan internasional yang memiliki legitimasi dan dikenal umum. Globalisasi politik macam ini yang melengkapi globalisasi ekonomi tidak akan menimbulkan kecurigaan bahwa “hak untuk memandu masyarakat internasional” telah dirampas. Elemen militer akan melengkapi proses globalisasi ekonomi dan politik jika Aliansi Atlantik Utara yang sudah ditransformasi dengan memadai ke dalam PBB. Proses ini akan memakan banyak waktu. Dalam hal bahwa komunitas internasional harus dengan sukarela mengabaikan kediriannya dan kepentingan nasional egotistis, serta menunjukkan kesadaran bahwa ancaman bersama yang makin dan semakin mendesak membutuhkan upaya bersama.

***

Keterangan:

1. Military Thought, May-June, 2002.

2. V. Mezhuev, Problema sovremennosti v kontekste modernizatsii i globalizatsii, Politia, No. 3, 2000, halaman 102-115.

3. Tinjauan Ekonomi Dunia, Mei 1997, halaman 45.

4. E. Sapir, Ekonomicheskaja globalizatsia i strategia, Bezopasnost Evrazii, No. 2, 2001, halaman 738.

5. I.S. Ivanov, Novaia rossiiskaia diplomatia, Moscow, 2001, halaman 382.

6. A. Utkin, Rakursy globalizatsii, Politia, No. 4, 2000, halaman 163-183.

7. E. Kochetov, Rossia na puti v globalny mir: geoeconomicheskaia paradigma razvitia, Bezopasnost Evrazii, No. 2, 2001, halaman 407-428.

8. V. Mikheev, Logika globalizatsii i interesy Rossii, Pro et Contra, Vol. 4, No. 4, 1999, halaman 52.

9. I.S. Ivanov, op. cit., halaman 382.

10. V. Zlatev, Balkanskiy geopoliticheskiy uzel: energeticheskie aspekty, Politia, No. 3, 2000, halaman 122-141.

11. Bezopasnost Evrazii, No. 2, 2001, halaman 762-767..

12. A. Lake, Novaia stategia SShA: ot ‘sderzhivania’ k rasshireniu’, SShA: EPI, No. 3, 1994.

13. Z. Brzenzinski, The Grand Chessboard: American Primacy and Its Geostrategic Imperatives, Basic Books, New York, 1997, p. 199.

14. D. Culmi, Stroitelstvo Evropy v sfere oborony, Sovremennaia Evropa, No. 3, 2000, halaman 49.

15. Z. Brzezinski, op. cit., halaman 86.

 

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *