Menyingkirkan Perempuan

Menyingkirkan Perempuan (1)

I. Pendahuluan

Sejak Frederick Engels menulis The Origin of the Family, Private Property and the State (asal-usul keluarga, pemilikan pribadi dan negara) pada tahun 1884, telah banyak data yang dikumpulkan oleh para arkeolog dan para antropolog yang membenarkan ide bahwa komunitas manusia pada awalnya tak terbagi-bagi ke dalam kelas-kelas sosial dan, secara jender, egalitarian.

Engels memberikan suatu analisa tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa berubah, diputarbalikan, akibat adanya perubahan radikal dalam tenaga produktif manusia–saat muncul kegiatan peternakan. Menurut Engels, pada zaman pra-sejarah, ditemukannya cara-cara beternak hewan oleh komunitas kesukuan bisa meningkatkan kemakmuran mereka, yang sebelumnya tak pernah mereka nikmati. Namun, kemakmuran tersebut justru, malahan, sekadar meningkatkan status sosial kaum lelaki, dan kaum perempuan menjadi korbannya–itu karena kaum lelaki lah yang menjalankan dan menguasai kegiatan peternakan tersebut. Sumbangan kaum lelaki terhadap kesejahteraan komunitas kesukuan tersebut malahan menyebabkan kaum perempuan tersingkir dari produksi sosial, digantikan dengan tugas-tugas perempuan tradisional–menyiapkan makanan dan mengerjakan kerajinan tangan yang, sebenarnya, merupakan jasa-jasa perumahan individual.

Namun demikian, Engels sendiri mengakui bahwa ia, yang hanya memberikan bukti-bukti yang tersedia pada saat itu saja, tak sanggup menjelaskan mengapa kegiatan peternakan, yang sebelumnya dimiliki bersama oleh komunitas kesukuan, berubah menjadi milik kaum lelaki secara individual.

Tulisan ini mencoba memberikan suatu sumbangan untuk menjawab pertanyaan tersebut; tulisan ini berusaha menyelidiki bukti-bukti ilmiah baru yang akan mengisi beberapa kesenjangan (dalam pemahaman kita) tentang bagaimana proses produksi dan hubungan-hubungan produksi berubah sejalan dengan perkembangan dalam kegiatan pertanian (yang menggunakan bajak); dan tulisan ini akan memberikan garis besar tentang: bahwa peningkatan produkstivitas pertanian (yang menggunakan bajak) lebih besar ketimbang peningkatan produkstivitas holtikultura; bahwa kaum lelaki menurun minatnya terhadap kegiatan berburu; fakta yang mengungkapkan bahwa, memang, proses membajak merupakan kerja yang lebih individual dan lebih berat ketimbang holtikultura; bahwa terdapat kesulitan untuk mengkombinasikan kerja individual tersebut dengan kegiatan memelihara bayi; dan, bahwa perdagangan makanan dan produk-produk ternak peliharaan (dengan basis kuantitas yang lebih besar dan beragam) sekarang bisa dilaksanakan dan semakin berkembang; semuanya itu memberikan sumbangan yang menyebabkan kaum perempuan diisolasi hanya dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehingga, kemudian, tak memiliki kekuasaaan terhadap produksi makanan-utama–yang, sebenarnya, merupakan landasan bagi terciptanya status dan kekuasaan yang sama antara kaum lelaki dan kaum perempuan di dalam masayarakat sebelumnya.

Dalam tahap perkembangan sosial yang penting seperti sekarang ini, bukti-bukti paling akhir yang, sebenarnya, ditujukan untuk mengisi beberapa kesenjangan dalam penjelasan Engels dan kaum Marxis lainnya, justru membenarkan penjelasan kaum Marxis: bahwa, dalam masyarakat yang berkelas, terdapat hubungan antara perkembangan pemilikikan pribadi dengan penindasan terhadap kaum perempuan. Karena itu, tulisan ini sangat lah penting bagi mereka yang sedang berjuang untuk memblejeti kesalahkaprahan pemahaman kaum determinis-biologis tentang ketidaksetaraan jender; ketidaksetaraan jender dianggap sebagai “alamiah” dan tak bisa diubah lagi. Yang demikian itu tentu saja merupakan penjelasan ilmiah-palsu, dan merupakan ideologi reaksioner. Celakanya, penjelasan tersebut, sekarang ini, telah begitu meluas.

Biologi sebagai ideologi.

Mengapa kaum perempuan masih dianggap sebagai warga negara kelas dua? Mengapa mereka terpaksa harus memilih antara menjadi ibu yang “baik” atau menjadi wanita (pemburu) karir yang “hanya mementingkan diri sendiri”? Mengapa kapasitas untuk melahirkan anak membatasi rentang pilihan yang tersedia bagi kaum perempuan, sementara kapasitas untuk menghasilkan anak tak membatasi kaum lelaki? Mengapa keluarga merupakan isu yang begitu penting dalam politik neo-liberal? Mengapa distribusi ekonomi dan kekuasaan sosial sebegitu tak setaranya di antara kaum lelaki dengan kaum perempuan?

Selama berabad-abad, telah terjadi debat tentang apa yang mementukan tingkah laku manusia: apakah sesuatu yang memang telah ada secara alamiah, atau memang timbul dari lingkungan sosial dan fisik tempat manusia itu hidup dan berinteraksi? Sekarang ini, beberapa teori mengaku bisa menjelaskan tingkah laku manusia didasarkan pada karakter “alamiahnya”–yang, sebenarnya, maknanya lebih ke landasan biologis. Kaum determinis-biologis berargumen bahwa biologis kita tak sekadar membentuk tingkah laku (keberadaan) manusia, namun juga menentukan ketidaksetaraan sosial dan ekonomi (dalam masyarakat berkelas, tentunya).

Penjelasan (varian paling akhir) sosio-biologi, yakni psikologi evolusioner adalah: bahwa ketidaksetaraan ras, etnik, kelas dan, khususnya, jender, itu dikarenakan penyesuaian genetik individual. Para penganutnya berargumen, misalnya, bahwa gen kita menentukan tingkah laku dan hubungan-hubungan lelaki-perempuan–yang tujuannya sekadar untuk memaksimalkan kesempatan-kesempatan menyukseskan reproduksi generasi mendatang. Itu artinya, bahwa peranan jender, perkawinan, praktek-praktek hukum dan lembaga keluarga merupakan turunan dari upaya untuk mereproduksi genetika.

Teori-teori tersebut seolah-olah memiliki keabsyahan ilmiah padahal, kenyataannya, merupakan pandangan yang parsial dan distorsif/menyimpang–merupakan pembenaran bagi ideologi status quo. Mereka berusaha membenarkan: bahwa sistim-sistim yang tak adil dan menghisap itu tak bisa ditolak, tak terhindarkan, dan tak bisa diubah, karena alamiah dan moralis.

Kaum determinis-biologis bukan lah pihak yang pertama kali berusaha untuk mendesakkan kebenaran moral pandangan: bahwa tatanan sosial sekarang ini alamiah, tak bisa diubah lagi. Bukan, mereka bukan yang mengawalinya namun, sayangnya, merupakan yang terakhir–ketenarannya dalam ilmu-ilmu alam semakin meningkat.

Keluarga Inti―Ayah, Ibu dan Anak―Dianggap “Alamiah”

Sementara teori-teori ilmiah pada abad ke-19 (yang vulgar) sudah tak laku lagi; dan beberapa ideologi keagamaan, yang mengabsyahkan “absolutisme”, telah kehilangan daya penjelas lagi; namun pemahaman “alamiah”–yang berusaha menjelaskan segala gejala sosial–semakin meluas saja dan memiliki signifikansi budaya dalam meracuni varian-variannya yang baru. Coba saja pikir, bagaimana mungkin keluarga inti (yang terdiri dari ayah, ibu dan anak) diproyeksikan sebagai unit sosial yang alamiah, padahal terdapat berbagai hubungan-hubungan sosial antara berbagai individu dengan anak-anak, sekarang ini.

Itu tercermin dalam cerita-cerita yang kita dongengkan pada anak-anak. Ambil lah contoh dongeng tentang 3 beruang; bapak, ibu dan anak beruang hidup bahagia bersama dalam rumah mungilnya, sampai akhirnya diganggu oleh maling-licik bernama Goldlocks. Keluarga semacam itu begitu “alamiahnya”, sehingga gambarannya harus ditiru dalam kerajaan hewan. Itu lah yang disebut antropomorpisme–peniruan atribut-atribut tingkah laku manusia dalam kehidupan makhluk lain.

Realitasnya, berbeda sama sekali. Beruang betina dan jantan hanya beberapa saat saja berpasangan. Yang betina menyendiri bila hendak melahirkan, dan membesarkan bayinya sendirian. Seandainya pun yang jantan (“sang bapak”) mendatanginya, ia akan memandang sang bayi sebagai makanan lezat, bukan sebagai keturunannya (atau turunan genetikanya). Huh, begitu luasnya turunan penjelasan genetika!

Demikian pula dalam kebudayaan Barat, begitu penuh proyeksi kekeluargaan dalam kehidupan dunia hewannya, yang sebenarnya merupakan cerminan historis keluarga dan saling-silang kebudayaan tipe-tipe masyarakat–sehingga dijadikan landasan “alamiah” unit masyarakat manusia. Tipe-tipe cerminan demikian disebut etnosentrisme, atau mengatributkan bentuk organisasi sosial tertentu terhadap masayarakat di segala zaman dan tempat.

Bentuk keluarga semacam itu sudah menjadi lazim: terdiri dari bapak, sebagai kepala keluarga, pencari nafkah; Ibu, sebagai pengasuh, yang tugas utamanya adalah menjaga agar keluarga berada dalam keseimbangan sosial dan emosional; dan anak-anak, yang memiliki hubungan biologis terhadap kedua orang tuanya (dengan pengecualian, anak pungut) dan berada di bawah otoritas dan penjagaan kedua orang tuanya–dengan berbagai cara, tentunya.

Pengaturan tata cara hidup tersebut dikatakan telah ada sejak manusia turun dari pohon dan berubah menjadi makhluk yang baru. “Ke-alamiah-an” pandangan tersebut dipertahankan dari segala sudut posisi: ilmiah, keagamaan, hukum, ekonomi dan sebagainya. Lelaki, sang bapak, begitu dominannya, pelindung dan kepala kelompok keluarga tersebut–patriarki. Perempuan lebih lemah dan, dalam hubungan tersebut, tersubordinasi di bawah kekuasaan dan perlindungan lelaki; sebagaimana juga anak-anak, pun demikian, sampai mereka dewasa dan sudah sanggup membina unit-unit keluarganya sendiri.

Peran kaum perempuan yang tersubordinasi tersebut telah diabsyahkan dalam makna fungsi-fungsinya yang, katanya, memang sudah melekat dari sananya, seperti melahirkan dan membesarkan anak; subordinasi tersebut nampaknya dilandasi ciri biologis mereka, dan merupakan nasibnya–sekali lagi, huh, itu lah yang disebut sebagai “alamiah”.

***

II. Penjelasan Teori Evolusioner

Kaum Marxis menentang penjelasan tersebut; kaum Marxis percaya bahwa kaum perempuan, dalam sejarahnya, tidak selalu mengalami penindasan. Penindasan terhadap kaum perempuan terbentuk pada tahap (tertentu) perkembangan sosial dan dilembagakan melalui keluarga. Dengan kata lain, penindasan perempuan adalah permasalahan sosial, bukan ditentukan secara biologis, dan hal itu terus berlanjut, berkali-kali mengalami perkembangan.

Tulisan ini akan menguji pembuktian terhadap cara pandang yang (sangat) berbeda dalam melihat formasi sosial, yakni memahami bagaimana formasi sosial tersebut menempatkan kaum perempuan pada posisi kelas-kedua, dan yang memberikan kesempatan bagi ketidaksetaraan (yang dilembagakan) dalam skala yang lebih luas, bila masyarakatnya terbagi ke dalam kelas-kelas.

Apa yang dianggap sebagai sebuah “penjelasan yang valid” sangat lah berbeda-beda dalam berbagai ilmu pengetahuan berikut ini. Teori-teori evolusioner cukup diterima dalam ilmu biologi, paleontologi, dan arkeologi, tapi dalam ilmu-ilmu sosial (sosiologi, dan, khususnya, antropologi), penjelasan teori evolusioner telah dihina, ditolak, dilabeli tidak ilmiah, diejek, atau diperlakukan sebagai hal yang tabu karena, tentu saja, mereka melandasi argumen penolakannya pada beberapa teori reduksionisme biologis.

Usaha untuk menjejaki perkembangan spesies manusia dan upaya untuk menjelaskan berbagai bentuk organisasi sosial telah mereka tolak karena dianggap mekanistik dan tidak ilmiah. Contohnya, banyak orang menuduh bahwa penjelasan teori evolusioner pasti “unilineal” (yakni, bahwa masyarakat akan berkembang menurut arah tertentu, yang sudah bisa dipastikan). Yang lain berpendapat, bahwa kita hanya bisa menangkap sekadar kilasan-kilasan perbedaan bentuk-bentuk masyarakat dalam berbagai kurun (sebagaimana dijelaskan oleh teori-teori strukturalis/fungsionalis), tapi kita tak bisa, secara dinamis, memahami bagaimana masyarakat tersebut berubah, sekalipun di tahap yang berbeda. Jika kita hendak membandingkan dua tahap yang berbeda, menurut mereka, kita seharusnya tak boleh berupaya menarik gambaran jeneralisasi atau kesimpulan sejarah yang panjang/menyeluruh, tapi harus dibatasi pada observasi yang sempit/khusus dan pararel waktunya.

Banyak orang yang meneliti/menguji perubahan sosial, misalnya saja para teoritikus diffusionis, dengan mengkaji dan menjejerkan peta-peta yang menunjukkan, misalnya, bahwa hubungan antara masyarakat A dengan masyarakat B bisa menjelaskan mengapa masyarakat tersebut memiki persamaan praktek-praktek sosial. Memang, hubungan semacam itu bisa menjadi sebabnya, tapi teori-teori tersebut bersikeras bahwa itu lah satu-satunya cara untuk menjelaskan kesamaan sosial, padahal hubungan tersebut hanyalah sekadar salah satu cara untuk menjelaskan penyebab perubahan sosial.

Namun, tak ada penjelasan yang begitu salah kaprah selain penjelasan teori evolusioner saat harus menjelaskan masalah perbedaaan jender dan asal muasal penindasan terhadap kaum perempuan. Seorang Antropolog Marxis, Evelyn Reed, dalam bukunya Sexism and Science (seksime dan ilmu pengetahuan) berpendapat bahwa salah kaprah penjelasan teori evolusioner bukan karena landasan kajian bukti-buktinya tapi karena landasan politiknya–penolakan ilmuwan-ilmuwan sosial atas bukti-bukti yang dikumpulkan dari masyarakat ditata sedemikian rupa, menjadi beragam, sesuai dengan kehendak politiknya. Namun, perbedaan tersebut justru memberikan tantangan yang mengusik ideologi borjuis karena, menurutnya, kapitalisme merupakan puncak pencapaian manusia dan tak akan ada lagi perkembangan tipe atau bentuk masyarakat lebih jauh lagi¾posisinya “meng-akhiri perkembangan sejarah”.

Doktrin Perbedaan Alamiah

Segala hal yang berkaitan dengan (keharusan) biologis merupakan kunci untuk menjelaskan tentang kelanjutan dan kemandegan perkembangan masyarakat, munculnya dominasi, serta ketidaksetaraan dalam masyarakat manusia.

Ada dua versi utama dalam “doktrin perbedaan alamiah” tersebut, yang teori-teorinya didasarkan pada penjelasan biologis. Dalam versi yang pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu lapisan atas tak bermakna (suatu supra-struktur gejala sekunder yang dibentuk oleh gejala primer) yang dibangun di atas landasan penjelasan biologis. Sedangkan dalam versi yang kedua, masyarakat dianggap sebagai pelengkap atau “embel-embel” bagi penjelasan biologis.

Dalam versi yang pertama, jender ditentukan oleh faktor biologis, makna istilah “jender” menurut pendekatan biologis adalah bahwa perilaku sosial dipahami sesuai dengan perbedaan jenis kelaminnya, walaupun pendekatan tersebut mengakui adanya beberapa wilayah problem yang tak sanggup membedakan antara jenis kelamin dengan jender. Perbedaan teori-teori tersebut merentang mulai dari yang melandaskan teorinya pada faktor hormonal–dapat dilihat pada teori laterisasi (yang berpendapat bahwa perbedaan kemampuan disebabkan oleh perbedaan kualitas di belahan otak)–hingga teori biogramer manusia Tiger dan Robin Fox (yang berpendapat bahwa program yang berlandaskan pada genetika bisa mempengaruhi manusia dalam cara tertentu, dan itu bukan dipengaruhi oleh instink, karena instink bisa direkayasa melalui kebudayaan hingga menjadi landasan utama yang mempengaruhi perilaku manusia). Tiger dan Fox berpendapat bahwa, karena 99% kehidupan manusia digunakan untuk berburu dan mengumpulkan bahan makanan, sedangkan berburu (dianggap) merupakan sumber kehidupan yang paling penting, maka kaum lelaki lebih agresif serta dominan (karena kaum lelaki lah yang hidupnya “terikat untuk berburu”)¾landasannya: perbedaan hormonal antara kaum lelaki dan kaum perempuan. Itu lah sebabnya mengapa kaum lelaki tak terhindarkan akan menjadi pemimpin politik dalam masyarakat modern. Perempuan, tentu saja, sekadar akan menjadi penghasil dan perawat anak.

Yang bisa dimasukkan dalam kategori teori tersebut adalah teori sosio-biologi Edward Wilson dan David Barash, yang berlandas pada teori seleksi alam Charles Darwin. Teori tersebut menempatkan teori Darwin pada posisi yang ekstrim–dengan mendesakkan tujuan eksplisit dan arahan moral ke dalam proses evolusi.

Teori sosio-biologi berpendapat bahwa perilaku binatang dan manusia secara genetik diarahkan untuk memaksimalkan pengalihan gen-nya ke generasi penerusnya agar keturunannya bisa tetap hidup. Masing-masing jenis kelamin menggunakan strategi berbeda dalam memaksimalkan kesempatan tersebut. Teori-teori tersebut memberikan landasan bagi teori psikologi evolusioner. Barash, contohnya, mengatakan bahwa kaum lelaki menghasilkan jutaan sperma, sementara kaum perempuan hanya menghasilkan satu indung telur pada satu saat atau sekitar 400 indung telur sepanjang hidupnya. Karenanya, kaum lelaki berkepentingan membuahi sebanyak mungkin perempuan untuk memaksimalkan pengalihan gen-nya ke generasi berikutnya, sementara kaum perempuan, karena mengandung janin dalam tubuhnya, lebih mementingkan kualitas, maka ia berusaha mencari pasangan yang secara genetik paling sesuai.

Makna penjelasan tersebut bertujuan untuk mempertegas perbedaaan peran-peran jender. Kaum lelaki tidak terlalu selektif dalam melakukan hubungan. Ketimbang kaum lelaki, kaum perempuan lebih maklum, lebih siap, pada ketidaksetiaan pasangannya karena baginya hal itu bukan kerugian besar. Lain halnya jika kaum perempuan yang tak setia, kaum lelaki bisa saja mencurahkan enerjinya untuk membesarkan anak dari perempuan lain. Karena kaum perempuan sadar betul bahwa anak itu, secara genetik, adalah miliknya maka ia berkeinginan mencurahkan perhatian untuk merawatnya. Dengan demikian, dalam masyarakat modern, ia lebih berhasrat menjadi ibu rumah tangga.

Menurut pandangan tersebut, kaum perempuan, karena berkecenderungan mencari lelaki terbaik, berusaha menikahi lelaki dengan status sosial yang lebih tinggi. Kaum lelaki harus bersaing untuk memiliki perempuan karena kaum perempuan tak begitu banyak menghasilkan anak. Karenanya, lelaki yang lebih kuat dan lebih agresif akan lebih sukses¾itu lah yang memperkuat dominasi kaum lelaki atas kaum perempuan. Dalam masyarakat pemburu dan pengumpul makanan, pemburu terbaik merupakan pemasok makanan terbaik. Perang dan penguasaan wilayah akarnya adalah hasrat, usaha, lelaki untuk memiliki perempuan, dan mencegah lelaki lain memilikinya. Teori tersebut bukan saja meletakan faktor keturunan langsung (berdasarkan genetik), tapi juga meletakan faktor keturunan langsung (berdasarkan sel telur), sebagai landasan perbedaan jender. Teori tersebut mengabaikan kenyataan bahwa, dalam masyarakat berburu, kaum lelaki berburu secara berkelompok, bukan secara individual.

Dalam rangkaian-kedua teori-teori yang dilandaskan pada faktor biologis, masyarakat tak dibatasi oleh faktor biologis tapi merupakan embel-embel bagi faktor biologis: masyarakat, secara budaya, akan memberikan penjelasan rinci tentang perbedaan antar jenis kelamin.

Sosiologi fungsionalis merupakan contoh bagi cara pandang tersebut. George P. Murdock berpendapat bahwa pembagian kerja secara seksual terkait dengan perbedaan biologis: kaum lelaki lebih kuat, kaum perempuan mengandung/merawat anak, dan perbedaan peran sosial tersebut merupakan cerminan yang paling sesuai dengan takdir biologisnya.

Talcot Parson mengedepankan suatu teori yang mengatakan bahwa kaum perempuan lebih “ekspresif” sedangkan kaum lelaki lebih “instrumental”. Kaum perempuan, dalam keluarga inti, bertanggung jawab terhadap pergaulan anak remajanya dan kematangan/kestabilan kepribadian (lelaki) dewasa. Lelaki adalah pencari nafkah, yang bersaing dalam suatu masyarakat yang berorientasi-pada-prestasi, yang bisa menyebabkan stress dan keterasingan; karenanya, mereka membutuhkan kaum perempuan untuk menjaga keseimbangan.

Femisnisme Radikal

Karakter ideologis teori-teori perbedaan alamiah diungkapkan dalam gelombang kedua gerakan pembebasan kaum perempuan, gerakan yang bertujuan untuk merubah posisi ekonomi dan sosial kaum perempuan. Namun, kekuatan dan isian budaya yang dilandaskan pada teori-teori biologis–yang digunakan untuk mengabsyahkan ketidaksetaraan kaum perempuan dan masyarakat berkelas (terutama dalam masyarakat kapitalisme)–menggiring mereka memasuki wilayah teori feminis.

Jadi, kaum feminis radikal menganggap bahwa perbedaan jender sebagai hal yang mendasar. Kelebihan kaum perempuan menghasilkan dan memelihara anak dipertentangkan dengan hakikat kaum lelaki yang jahat, suka menyiksa, suka kekerasan, dan suka berperang. Dalam teori patriarki, ditekankan bahwa dominasi kaum lelaki akarnya adalah hakikat kaum lelaki yang suka kekerasan dan suka melakukan pemaksaan seksualitas. Karena kaum feminis radikal tak sanggup menyediakan satu pun penjelasan sosial tentang seksualitas tersebut, maka teori mereka berhenti pada penegasan bahwa perbedaan esensial tersebut hanya bisa dijelaskan oleh teori-teori yang landasannya biologis.

Beberapa pendahulu teoritikus feminis radikal terang-terangan menegaskan sebab-musabab biologis. Susan Brownmiller menganjurkan teori biologi struktural untuk menjelaskan perbedaan seksual. Shulamith Firestone menyuguhkan teori biologis reproduksi fungsional. Kate Millet mengedepankan teori kekuasaan kaum lelaki tanpa bisa dengan jernih menjelaskan landasan sosialnya.

Beberapa feminis radikal mengaku bahwa mereka menolak determinisme biologis, tapi mereka gagal memberikan penjelasan alternatif tentang penindasan terhadap kaum perempuan. Dalam prakteknya, mereka lebih suka memprioritaskan aktivitas-aktivitas yang mengacu pada seksualitas, teknologi reproduksi, perkosaan dan kekerasan seksual. Saat kaum feminis radikal mengunggulkan teori mereka yang, katanya, dilandaskan pada kepentingan kaum perempuan, yang tak ternoda oleh pikiran-pikiran kaum lelaki (teori-teori dan budaya kaum lelaki), mereka sebenarnya sedang mempertontonkan ketidakpedulian mereka terhadap bahaya-bahaya dari kesimpulan “bahwa perbedaan jender adalah alamiah adanya” yang, bila tak ada penjelasan lainnya, maka mereka akan kembali berkutat pada teori-teori yang landasannya biologis.

Kesimpulan teori eko-feminis ditarik dari landasan yang sama. Mereka berpendapat bahwa terdapat paralelisasi antara eksploitasi terhadap alam dengan eksploitasi terhadap kaum perempuan yang dilakukan oleh masyarakat yang didominasi kaum lelaki, dan kaum perempuan lebih terikat pada alam saat mereka merawat anak dan bersosialisasi. Karenanya, bila alam “diperkosa” dan dieksploatasi kaum lelaki maka hal demikian juga menimpa kaum perempuan.

Kiasan “Ibu pertiwi/bumi”, secara harfiah, dimaknai oleh teori eko-feminis untuk menggambarkan kemampuan kaum perempuan dalam hal melahirkan anak, sama halnya denga bumi, rahim kehidupan. Kedekatan kaum perempuan dengan alam, atau hakikat alamiah kaum perempuan, katanya, memberikan nilai moral yang lebih tinggi bagi kaum perempuan, yang memiliki intuisi dan hubungan mistis dengan alam karena mengalami “pengalaman” eksploitasi yang sama. Dengan demikian, kaum perempuan akan memiliki “suara” yang lebih lantang dalam memelihara bumi, melawan eksploitasi dan ilmu pengetahuan kaum lelaki.

Pentingnya Teori Darwin

Seluruh teori perbedaan alamiah bermuara pada tipe-tipe penjelasan yang mengacu pada ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial abad ke-19.

Pada abad ke-19, karakter ideologis penjelasannya berbeda dengan saat ini. Penjelasan tentang perkembangan sosial lebih mengacu pada kerangka agama, ketimbang pada kerangka ilmu pengetahuan. Penjelasan Sang Pencipta lah yang mendominasi: berdasarkan penjelasan sejarah tertulis (4.000 tahun S.M), Tuhan lah yang menciptakan masyarakat manusia. Dengan demikian, masyarakat manusia dimulai pada masa-masa awal masyarakat Mesir, atau lima kitab nabi Musa dijadikan sebagai landasan acuannya.

Eropasentrisme, yang mengunggulkan masyarakat kapitalis Eropa sebagai puncak peradaban, menyebabkan cara pandang yang berkesimpulan bahwa masyarakat apa pun yang berbeda dengannya, apakah itu masyarakat pemburu-pengumpul makanan atau masyarakat feodal, merupakan suatu kemunduran, suatu indikasi kemerosotan menuju status masyarakat binatang. Salah satu varian dari posisi tersebut berpendapat bahwa masyarakat yang mengambil jarak terhadap pusat kebudayaan (Eropa) bisa disimpulkan derajat kemundurannya. Pandangan semacam itu memberikan pengabsyahan ideologis bagi perbudakan rasial dan kolonialisme.

Dengan adanya kemajuan dalam ilmu pengetahuan maka penjelasan lama–penjelasan yang percaya pada keharusan takdir, yang memang cocok dengan dunia aristokrat agraris (sebelum terbentuknya masyarakat kapitalisme industrial)–digantikan oleh tipe penjelasan yang lebih sesuai dengan lingkungan industri perkotaan, yang lebih kompetitif. Penjelasan baru tersebut berkisar di sekitar perdebatan tentang tempat manusia dalam alam.

Pengaruh teori Charles Darwin–evolusi spesies melalui seleksi alam dan variasi–begitu besarnya dan sangat kontroversial. Teorinya, secara relatif, sangat sederhana: organisme itu akan berubah-ubah, menjadi beragam, dan variasinya diwariskan (paling tidak sebagian) melalui keturunan. Organisme menghasilkan lebih banyak keturunannya ketimbang yang berhasil hidup dan, biasanya, keturunan yang lebih kuat lah (karena didukung oleh lingkungannya) yang akan berhasil hidup dan menyebar.

Teori Darwin didasarkan pada observasinya atas perkawinan domestik (ternak/tanaman sejenis) dan atas pengalaman perjalanannya ke Kepulauan Galapagos. Ia tak bisa menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi selain memaparkannya secara material, tanpa mengacu pada intervensi takdir apa pun. Namun demikian, ungkapannya (tentang seleksi alam dan siapa kuat dia menang) bisa dan memang diterjemahkan seperti ini: sepertinya ada suatu entitas yang bisa menentukan siapa yang kuat dan siapa yang terpilih.

Penerjemahan tersebut menjadi lebih kuat karena Darwin percaya pada teori populasi seorang pastor Inggris, Thomas Malthus yang, pada tahun 1798, berpendapat bahwa kemiskinan dan ketimpangan sosial pasti bergerak menurut derajat/tingkat hitungan geometris, padahal produksi/persediaan makanan bergerak menurut derajat/hitungan aritmatika. Menurut Malthus, reformasi sosial untuk mengatasi ketimpangan sosial akan gagal dan ia, secara khusus, menentang tindakan untuk meringankan penderitaan orang-orang miskin, manula, atau orang-orang sakit karena hal tersebut akan memberikan semangat hidup dan akan meningkatkan tingkat kelahiran. Walaupun perkembangan/perbaikan dalam produksi makanan membuktikan bahwa teori Malthus itu salah, namun idenya tentang “siapa yang kuat” (dalam populasi), pada abad ke-19 dan ke-20, telah menjadi landasan bagi program-program untuk memperbaiki keturunan.

Darwin menerjemahkan dan menggambarkan teorinya tentang seleksi alam sejalan dengan gambaran suram yang diberikan oleh Malthus–perjuangan berdarah di antara spesies untuk memperebutkan sumberdaya yang langka. Tapi, sebenarnya, sukses reproduksi melalui seleksi alam bisa berjalan/berhasil melalui berbagai cara, bukan sekadar melalui kompetisi. Kerjasama, hidup berdampingan dan saling bantu juga merupakan kemungkinan yang lain, sebagaimana layaknya perubahan iklim dan migrasi bisa mengubah konteks saat seleksi alam terjadi.

Jadi, pertanyaan tentang tempat manusia dalam alam jelas dijawab dalam konteks yang benar-benar ideologis. Karena tak mau mempercayai keharusan takdir–yang dilandasi pemikiran adanya harmoni dalam alam dengan masyarakat, sehingga segala sesuatu dan semua orang akan mendapatkan tempatnya yang layak–maka pandangan tentang Tuhan pun berubah sehingga memandang bahwa: Kemahakuasaan diidentifikasi dengan hukum alam yang bisa mengatur dirinya sendiri dan, karenanya, ketimpangan/ketidaksamaan dijelaskan menurut hirarki biologis. Jadi, sebenarnya, Ilmu pengetahuan tidak menggantikan Tuhan, tapi Tuhan diidentifikasi berdasarkan hukum alam.

Kiasan tersebut lebih diperluas lagi sehingga masyarakat dipahami sebagai organisme biologi: struktur kelompok-kelompok manusia mencerminkan bentuk-bentuk alam, dan hukum-hukum alam inheren/melekat dalam bentuk-bentuk tersebut. Pandangan seperti itu mengabsyahkan dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya atas dasar perbedaan-perbedaan yang dianggap alamiah, tak terelakan dan, karenanya, moralis. Jadi, Eropasentris–yakni, asumsi-asumsi borjuis tentang kemajuan moral peradaban–diterjemahkan ke dalam hirarki evolusioner orang-orang yang berharga secara sosial.

Mekanisme yang mendasari evolusi spesies telah diklarifikasi pada abad ke-20 dengan ditemukannya gen, kromosom dan DNA, variasi genetik dalam reproduksi seksual, serta dengan adanya efek kebetulan/kecelakaan dalam mutasi genetik. Tapi, karena genetika, kromosom atau DNA juga memberikan hambatan pada kehidupan, maka ada alasan untuk menempatkan orang pada posisi sosial dan ekonominya dengan menggunakan landasan biologi sebagai senjata sosial. Teori-teori semacam itu tak lain merupakan ideologi yang bersembunyi di balik jubah ilmu pengetahuan.

Pada kenyataannya, individu-individu merupakan produk dari interaksi kompleks antara warisan genetik, lingkungan dan peristiwa-peristiwa kebetulan yang akarnya bukan genetik atau pun lingkungan. Mengabsyahkan perbedaan status, kekayaan dan kekuasaan, dengan membebankan kesalahan pada perbedaan warna kulit atau organ seksual (perbedaan yang, walaupun mencolok, namun dibuat-buat, cupet), bisa menutupi ketimpangan sosial yang, sebenarnya, sistimatik.

III. Engels dan Evolusi Manusia

Meskipun terbatas, teori Darwin telah mengangkat pertanyaan tentang asal-muasal spesies manusia ke dalam suatu kerangka ilmiah. Para antropolog seperti Lewis Morgan, Edward Tylor, Jacob Bachofen dan James Fraser mulai mengembangkan teori-teori evolusi masyarakat, mempelajari masyarakat pra-sejarah sejak awal kemunculannya, bukan saja sejak fase peradaban (saat munculnya budaya tulis).

Morgan, contohnya, bisa membedakan tiga zaman (besar) perkembangan masyarakat: zaman kebuasan, zaman barbarisme dan zaman peradaban. Setiap zamannya ditandai oleh kemajuan nyata dalam taraf aktivitas ekonomi–cara manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan setiap tahap terdiri dari sub-tahap yang, secara garis besar, dijelaskan sebagai berikut: aktivitas ekonomi pada zaman kebuasan didasarkan pada kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan; aktivitas ekonomi pada zaman barbarisme didasarkan pada kegiatan memproduksi makanan melalui holtikultura dan peternakan; sedangkan zaman peradaban didasarkan pada kegiatan tulis-menulis serta pertanian.

Dalam tekanannya, teori evolusioner Marxisme berbeda dengan teori-teori evolusioner lainnya–misalnya, Darwinisme. Darwin lebih mengamati kontinuitas perkembangan perbedaan spesies, lebih melihat pada perubahan kuantitatif dan lebih menitikberatkan pengamatannya pada lambatnya laju perubahan. Di sisi lain, Frederick Engels, juga mempertimbangkan perubahan kualitatif–bisa saja berupa pengamatan terhadap diskontinuitas spesies, yang bisa menjawab pertanyaan: sebagai spesies, apa sebenarnya kekhususan dalam perkembangan kemanusiaan.

Itu lah perbedaan antara pendekatan gradualisme dan pendekatan dialektik. Teori Darwin, walaupun bisa menjelaskan beberapa aspek evolusi, namun hanya menceritakan sebagian saja kisah sejarah. Darwin gagal menjelaskan perubahan-perubahan cepat yang nampak terekam pada bukti-bukti fosil, misalnya saja ledakan Cambrian–adanya penampakan spesies baru yang (walaupun, secara historis, sezaman) namun lebih besar dan cepat pertumbuhannya ketimbang pertumbuhan nenek moyang pada umumnya, yang lebih lambat.

Darwin memang bisa membuktikan bahwa saat manusia berhasil keluar dari dunia binatang–sehingga nampak layaknya (nenek moyang) manusia-kera dengan taraf yang lebih tinggi–terdapat gambaran penting dalam perubahannya, yakni memiliki otak yang lebih besar dan sudah mahir berbicara. Namun Darwin tak mampu menjelaskan bagaimana bisa terjadi perubahan seperti itu. Engels lah yang bisa melanjutkan tugas tersebut, yang ia jelaskan dalam esaynya yang belum selesai, The Part Played by Labour in the Transition from Ape to Man (sumbangan tenaga kerja dalam transisi dari manusia-kera menjadi manusia).

Manusia Sebagai Hasil Tenaga Kerja

Engels dan Darwin, keduanya, percaya bahwa manusia-kera, yang tarafnya lebih tinggi, harus melewati pra-kondisi biologis (penting) agar bisa bertransisi: berpostur tegak, berpenglihatan tiga dimensi, memiliki masa pertumbuhan dan perawatan-induk lebih lama, organ suara, serta tangan (yang bebas) dengan ibu jari yang bisa berputar. Tapi Engels mengembangkan sebuah teori yang menjelaskan hubungan interaktif antara perkembangan (transisi) tersebut dengan landasan atau basis penggeraknya–yakni: tenaga kerja; dan perluasan penggunaan perkakas kerja–yang, dalam proses yang panjang/lama, bisa membentuk perubahan fisik sehingga manusia-kera yang tarafnya lebih tinggi bisa berutransformasi menjadi spesies yang lain.

Ketimbang menyetujui pandangan yang telah tersebar luas–bahwa perkembangan otak merupakan tahap yang paling penting dan paling utama dalam evolusi manusia–Engels justru berpendapat bahwa tahap pertamanya pasti lah saat ia mulai turun dari pohon, sehingga tubuhnya bisa berevolusi menjadi tegak. Penyesuaian terhadap postur tubuh (yang sekarang sudah tegak) dan terhadap gerak dua telapak kaki berhasil lebih membebaskan/meluweskan (gerak/penggunaan) tangan¾sehingga meningkatkan kemampuannya membuat dan menggunakan perkakas kerja. Seiring dengan berjalannya waktu, evolusi tersebut menyebabkan perubahan lebih lanjut pada struktur tangan¾maka tangan, kemudian, bukan semata-mata “organ kerja” tapi juga merupakan “produk kerja”.

Bila pada binatang, peralatannya (seperti cakar, taring, paruh, dan lain sebagainya) terutama merupakan bagian dari kelengkapan tubuh spesies (yang juga bisa semakin membaik), serta merupakan bagian dari interaksi binatang dengan alam, dalam bentuk respon langsung terhadap rangsangan lingkungan–ada beberapa contoh spesifik pembuatan alat yang sangat sederhana: misalnya saja simpanse, yang menggunakan ranting untuk menangkap anai-anai, tapi hal itu bersifat sporadis dan tidak berpusat pada pemenuhan kebutuhan makanan binatang; pada manusia pembuatan dan penggunaan perkakas kerja merupakan aktivitas spesies-khusus yang bisa mentransformasikan hubungan manusia dengan alam. Tanpa praktek tenaga kerja dan perkakasnya, manusia tak akan memiliki asal-usul, tak’kan mampu bertahan hidup atau berkembang sebagai satu spesies yang berbeda. Sebagaimana dikatakan oleh Engels:

Penguasaan alam diawali oleh perkembangan tangan, oleh tenaga kerja, yang memperluas cakrawala manusia dalam setiap perkembangan barunya. Manusia terus-menerus berusaha menemukan segala hal baru, segala hal yang sekarang belum diketahuinya, segala hal untuk mengetahui sifat obyek alam. Pada sisi lain, perkembangan tenaga kerja dibutuhkan agar bisa membantu mendorong anggota masyarakat saling mempererat hubungannya–dengan memperbanyak hubungan yang saling mengutungkan, aktivitas bersama, dan dengan mempertegas keuntungan dari aktivitas bersama tersebut bagi masing-masing individu. (Engels, 1934, hal.173)

Kemampuan berbicara memberikan kelengkapan simbolik sehingga manusia bisa mulai mengorganisir, memelihara dan menyebarluaskan pengalaman tenaga kerja kolektifnya. Engels menjelaskan garis besar tentang sebuah hubungan timbal-balik (positif) antara perkembangan (jeneral) kecakapan mental dengan peningkatan (terus menerus) dalam efisiensi serta kualitas tenaga kerja manusia. Kemampuan berbicara dan kemampuan tenaga kerja mendorong pertumbuhan otak manusia.

Saat hendak merencanakan kegiatan di masa mendatang, identifikasi terhadap sifat-sifat obyek, dan pembagian tugas dalam proses tenaga kerja hadir secara lambat, demikian juga dalam perkembangan konteks sosial dan kerjasamanya. Spesies menjadi lebih manusiawi karena tenaga kerjanya. Umpan-balik tak melulu positif tapi kumulatif; aktivitas tenaga kerja melapangkan jalan agar kemajuan (jeneral) manusia bisa mulai beranjak.

Penjelasan dialektik dan materialis tersebut mencerminkan tesis (jeneral) Marx dan Engels, yakni: bahwa produksi dan reproduksi kehidupan, yang segera harus ditangani, merupakan elemen yang menentukan dalam kehidupan sosial, termasuk juga produksi biologis dan ekonomi–produksi kebutuhan hidup (makanan, pakaian, tempat bernaung atau rumah, perkakas kerja, yang juga dibutuhkan untuk produksi tersebut), bahkan produksi bagi keberadaan manusia itu sendiri. Karenanya, bentuk masyarakat, dalam setiap tahap perkembangan historisnya …ditentukan oleh dua bentuk/jenis produksi: di satu sisi, oleh tahap perkembangan tenaga kerjanya; dan, di sisi lain, oleh keluarga. (Engels, 1970, hal.191)

Dari pemahaman tersebut, Engels menganalisa perkembangan masyarakat dan (pada suatu tahap tertentu) penaklukan perempuan.

Perkembangan Keluarga dan Sejarah Kekalahan Kaum Perempuan

Dalam The Origin of the Family, Private Property and the State (asal muasal keluarga, pemilikan pribadi, dan negara) Engels mengembangkan karya-karya Morgan dan karya-karya para anthropolog evoluioner abad ke-19 lainnya. Ia sepakat dengan gambaran (jeneral) yang diberikan Morgan–yakni tentang tiga tahap pokok evolusi sosial–tapi Engels memberikan penjelasan yang lebih jernih tentang perbedaan antara masyarakat primitif dengan masyarakat beradab: masyarakat yang tahap perkembangan sosialnya telah sampai atau bisa mengembangkan pembagian kerja dan pertukaran komoditas (baca: barang dagangan) di antara para individunya. Hanya pada tahap perkembangan sosial seperti itu lah penaklukan terhadap kaum perempuan bisa terwujud sepenuhnya.

Sebelum sampai pada teori Engels, sangat berharga untuk dicatat bahwa terdapat dua corak pengumpul makanan: yang satu, corak pengumpul makanan sebelum nenek moyang bertubuh tegak dan berdiri/berjalan di atas kedua telapak kakinya–atau pengumpul makanan individual–yang segera memakan habis semua bahan makanan yang telah diperoleh/terkumpul; yang lainnya, corak pengumpul makanan setelah nenek moyang bertubuh tegak dan berdiri/berjalan di atas kedua telapak kakinya–atau pengumpul makanan secara kolektif (yang, secara sistimatik, mengunakan perkakas kerja)–dan makanan yang telah dikumpulkannya dibawa pulang, kemudian dibagi-bagi dalam kelompok sosial.

Zaman tak-beradab mencakup tiga periode. Periode pertama, masa nenek moyang manusia mengambil/mengumpulkan bahan makanan produk alamiah–buah-buahan, kacang-kacangan, umbi-umbian, dan lain sebagainya, baik dalam iklim tropis atau subtropis–tapi belum mengembangkan bahasa; periode kedua, mulai mengumpulkan makanan laut, dan pengembangan penggunaan api membebaskan nenek moyang manusia pada ketergantungan cuaca. Dengan demikian memungkinkan migrasi, dan perkembangan awal penggunaan perkakas yang terbuat dari batu memperluas produksi makanan hingga menjangkau kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan; pada periode ketiga, kegiatan berburu telah sepenuhnya berkembang, mereka mulai mebangun dan menetap di desa-desa, peralatan rumah tangga yang terbuat dari kayu mulai dikembangkan, tenun tangan, keranjang anyaman dan perkakakas kerja yang terbuat dari batu yang diasah mulai bemunculan.

Zaman barbarisme dimulai saat mengenal peralatan tembikar dan pengembangan peternakan, dilanjutkan dengan bercocok tanam, yang bisa meningkatkan produktivitas alam. Pada masa ini, terdapat perbedaan antara Dunia Lama (Afrika/Eropa/Asia) dan Dunia Baru (Amerika) karena perbedaan alam dan dukungan benuanya, termasuk perbedaaan jenis-jenis tanaman pertaniannya, binatang-binatang ternaknya dan logam yang dileburnya. Periode Dunia Lama berakhir dengan adanya peleburan logam, penemuan mata bajak yang terbuat dari besi yang, awalnya, ditemukan oleh para peternak untuk mengembangkan pertanian berskala luas, sehingga memungkinkan perkembangan populasi yang tinggi, konsentrasi masyarakat di perkotaan, perkembangan kerajinan dan perdagangan.

Sejarah peradaban ditandai oleh adanya spesialisasi kerajinan, pemisahan kota dengan desa, produksi barang dagangan, munculnya kelas-kelas sosial, pemilikan pribadi, keluarga monogami (dengan ayah sebagai kepala keluarganya), dan negara.

Ketidaksetaraan jender mulai muncul pada zaman kedua, dan berkembang sepenuhnya pada zaman peradaban.

Data antropologi yang diperoleh Engels dari Morgan dan para antropolog lainnya menunjukkan bahwa masyarakat primitif telah mempraktekan hubungan sosial dan seksual yang setara dan, selain itu, ditandai oleh adanya produksi secara kolektif dan pemilikan komunal. Engels juga memperoleh data tentang sejarah keluarga hasil rekonstruksi yang dilakukan Morgan, yakni: perkembangan historis hubungan sosial dan seksual masyarakat tertentu.

Unit dasar masyarakat tak-beradab adalah marga (clan) menurut garis ibu, yang terdiri dari komunitas ibu-ibu, saudara lelakinya, dan anak-anak (ibu-ibu tersebut). Morgan menggunakan terminologi primitif untuk menggambarkan tahap perkembangannya. Ia memberikan gambaran tentang perkembangan hubungan jender berdasarkan kebebasan seksual dan organisasi sosialnya, yang didasarkan pada jejak kekerabatan menurut garis ibu–apa yang ia sebut: berbagai bentuk keluarga yang didasarkan, pertama, pada siapa seseorang bisa melakukan hubungan seksual dan, kedua, kerabat mana kah yang boleh membentuk kelompok sosial inti seseorang.

Larangan hubungan seksual yang paling awal diterapkan adalah hubungan seksual antara orang tua dengan anak, kemudian dengan saudara kandung, setelah itu dengan kategori (tertentu) saudara kandung lainnya (menurut garis ibu atau matrilineal). Aturan tersebut, pada tahap akhir zaman tak-beradab dan tahap awal zaman barbarisme, mengarah pada hubungan-berpasangan yang didasarkan pada kesepakatan bersama, dan setiap anggota (pasangan tersebut) memiliki kemampuan untuk menyudahi ikatan hubungan tersebut. Menurut Engels, “keluarga berpasangan” tersebut memiliki ciri yang alami; dan ia melihatnya sebagai tahap akhir evolusi hubungan keluarga yang terseleksi secara alamiah.

Domestikasi binatang (peternakan) dan perkembangan penyimpanan/pengawetan persediaan makanan memungkinkan akumulasi kesejahteraan/kekayaan yang lebih besar, sehingga terbentuk lah hubungan-hubungan sosial baru yang merubah hubungan-hubungan jender. Pemilikan kekayaan/kesejahteraan mulai beralih: dari pemilikan marga (turun-temurun) menjadi pemilikan pribadi dalam keluarga. Jenis-jenis barang (lain) yang dimiliki pun berakumulasi (peralatan logam, barang-barang mewah), sehingga dibutuhkan tenga kerja manusia yang lebih banyak.

Perempuan, sebagai sumber daya manusia (dengan hakikat yang baru), mulai dirubah menjadi hak milik berharga, dan manusia lainnya mulai digunakan sebagai budak. Tenaga kerja tambahan tersebut menyebabkan perdagangan dan kerajinan seperti penenunan, tembikar serta pertanian (ladang) berkembang. Proses tersebut berbarengan perubahan dalam garis kekerabatan–lebih menekankan garis kebapakan (paternity) dan bapak–serta perubahan dalam hubungan seksual¾menjadi monogami.

Peningkatan dalam kesejahteraan/kekayaan justru memberikan status yang lebih tinggi kepada kaum lelaki (dalam keluarga), sehingga memberikan dorongan untuk merubah hak waris (yang sebelumnya berdasarkan garis ibu) dan mengkukuhkan institusi berdasarkan garis bapak (patriliny). Engels bersikukuh bahwa revolusi hubungan jender tersebut terjadi pada zaman pra-sejarah, sebelum ditemukannya tulis-menulis, karenanya tak bisa dipastikan bagaimana dan kapan hal tersebut terjadi, walaupun bisa dibuktikan secara etnografi.

Menurut Engels, …penggulingan kekuasaan/hak ibu merupakan kekalahan historis kaum perempuan di dunia (Engels, 1970, hal. 233). Kaum lelaki mengambil alih kendali rumah tangga, kaum perempuan direndahkan dan dijadikan budak nafsu kaum lelaki, serta sekadar perangkat untuk melahirkan lebih banyak anak. Karenanya, kata keluarga (family) berasal dari istilah latin famulus–yang berarti budak rumah tangga–dan familia–yang berarti seluruh budak milik seorang lelaki–atau patriarki, yang mewarisi semua kekayaan serta mendapatkan kekuasaan absolut untuk menguasai seluruh anggota rumah tangga.

Singkatnya, kemudian, tak seperti pendapat teori-teori determinisme biologis, apa pun variasi dan keragamannya, analisa kaum Marxis menolak suatu pandangan evolusi yang didominasi-kaum lelaki–atau: bisa membuktikan bahwa primata dan spesies (bertubuh tegak dan berjalan di atas kedua telapaknya) yang berjenis kelamin memiliki peranan yang penting dalam perkembangan kemanusiaan.

IV. Pengujian Bukti-Bukti Baru

Beberapa istilah yang membingungkan dalam analisa Engels yang, secara khusus, relevan dengan arah perdebatan seputar asal muasal penindasan perempuan, telah berkembang di abad ini. Oleh sebab itu, harus dijernihkan terlebih dulu untuk menguji seberapa tepat teori Marxis tentang perkembangan manusia sesuai dengan bukti-bukti yang ada sekarang ini.

Pertama, Engels menggunakan istilah “keluarga” untuk menunjukkan kelompok sosial produksi dan reproduksi kehidupan sehari-hari pada semua tahap manusia. Reed (Evelyn Reed–pentj.) secara tegas berpendapat bahwa hal ini merancukan tipe institusi keluarga masyarakat berkelas dengan tipe keluarga yang sangat berbeda dari kelompok sosial pada tahap sebelum terjadinya masyarakat berkelas, yang lebih tepat diistilahkan dalam ungkapan kekerabatan seperti nenek moyang, klan/marga, kelompok, dan garis keturunan.

Kedua, pemakaian istilah “alamiah” nya Engels, yang berkaitan dengan ikatan awal (bebas) pasangan lelaki-perempuan, berbeda penggunaannya dibandingkan dengan doktrin tentang perbedaan alam yang memaknai “alamiah” sebagai perubahan-perubahan yang ditentukan oleh biologis. Marx dan Engels memandang soal “alamiah” sebagai bagian dari sebuah interkoneksi dialektis antara umat manusia dan alam. Engels menegaskan:

Walau bagaimanapun, jangan lah memuji diri kita sendiri melebihi gambaran kemenangan manusia terhadap alam. Untuk tiap-tiap kemenangan tersebut, alam memberi pembalasannya kepada kita. Sesungguhnya setiap kemenangan, di sisi pertama membawa hasil yang kita harapkan, tetapi di sisi kedua dan ketiga hal ini sangat berbeda, memiliki efek yang tidak terduga, yang seringkali membatalkan yang pertama. Masyarakat di Mesopotamia, Yunani, Asia Minor, atau dimana pun berada, yang merusak hutan untuk mendapatkan lahan tanah yang dapat diolah, tidak pernah membayangkan bahwa dengan memindahkan hutan–hutan berikut sumber alam dan penampungan air/waduknya, mereka sedang menabur sumber bagi bencana yang pedih dari negeri-negeri itu.…

Lantas, pada setiap langkah, kita diingatkan kembali bahwa kita bukannya menguasai alam seperti halnya seorang penguasa menundukkan orang asing, layaknya seseorang yang berdiri di luar alam¾tetapi kami, dengan daging, darah dan otak, memiliki alam dan ada di tengah-tengahnya. Bahwa seluruh penguasaan kita terhadap alam tersebut terdiri dari fakta bahwa kita mempunyai kemampuan melampaui semua ciptaan lain, mampu mempelajari hukum-hukum tersebut dan menerapkannya secara benar. (Engels, 1934, hal. 180)

Marx dan Engels menekankan keunikan manusia dalam hubungannya dengan dunia alam, tidak seperti pandangan Cartevian tentang pemisahan dan superioritas manusia terhadap alam. Isi dari “alam” tidak bisa begitu saja dianggap dari penjelasannya sendiri: apa yang dianggap sebagai alam adalah bermacam-macam dan dihasilkan secara kultural. Maka, sebuah taman yang terbuka dan luas mungkin termasuk bagian dari alam jika dibandingkan dengan sebuah pabrik, akan tetapi itu hanya produk dari intervensi dan manipulasi manusia. Saat ini, dampak dari produksi sosial kapitalis (sebagai contoh, pemanasan global dan perubahan iklim) membuat kategorisasi manusia/alam menjadi lebih berat.

Marx dan Engels mendasarkan penjelasan mereka tentang perkembangan sosial pada bukti-bukti arkeologi dan antropologi yang tersedia dalam zamannya. Menjadi sangat terbatas, karena ilmu-ilmu tersebut saat itu relatif baru. Walau garis waktu sejarah telah berpindah dari ukuran waktu yang dikaitkan dengan kitab Injil, tetapi teknologi yang ada masih sangat lemahnya akurasinya.

Marx dan Engels bersandar sepenuhnya pada bahan-bahan etnografis yang menggambarkan masyarakat yang terorganisir yang sangat berbeda dari masyarakat yang ada di Eropa pada zaman mereka, sekaligus rekaman sejarah tertulis yang dapat diterjemahkan. Engels dan para ahli evolusi sosial lain menggunakan “peninggalan” (survival) secara sungguh-sungguh¾praktik sosial yang tampak dalam rekaman sejarah dan etnografi sepertinya tidak mempunyai sangkut paut yang nyata bagi masyarakat yang tengah dipelajari. Diduga bahwa peninggalan-peninggalan tersebut adalah sisa-sisa bentuk organisasi sosial terdahulu yang telah terlewati dan berubah oleh waktu.

Bagaimana teori Engels tentang munculnya spesies dan perkembangan sosial sub-ordinasi perempuan menemukan buktinya sekarang ini? (Engels sendiri menekankan bahwa teori harus lah dihadapkan pada ujian bukti-bukti material dan pengalaman). Meskipun ada beberapa kekurangan, yang umumnya bersumber dari kemandekan ilmu pengetahuan di abad ke-19, penjelasan Marxis tetap bertahan.

Apa yang saat ini dapat dianggap sebagai bukti? Kemajuan teknologi dan penemuan bukti-bukti yang lebih banyak, menawarkan satu pandangan yang lebih detail (meski fragmentatif) tentang masa lalu. Ada sisa-sisa kerangka, biasanya terfragmentasi, yang memberi tempat bagi beberapa perkiraan dalam hal gerakan sosial yang melibatkan individu. Ada bukti arkeologis tentang perkampungan penduduk, perkakas kerja dan situs kuburan. Ada analisis biologis seputar tulang, seperti juga ada bukti molekular dan analisa genetik. Ada rekaman fosil yang menampakkan beberapa hal tentang makanan dan efek dari perpindahan lingkungan. Ada penelitian tentang bahasa untuk merekonstruksi langkah dari perubahan, seringkali berkaitan dengan faktor lingkungan yang mengarah pada perpindahan/migrasi.

Ada juga penelitian tentang tingkah laku primata dalam kebuasan (primatologi) sekaligus perbandingannya dengan manusia modern yang terorganisir dalam relasi produksi yang berbeda, yang memiliki pola serupa dengan yang di masa lampau, antara lain dalam hal berburu dan mengumpulkan (etnografi). Namun kita membutuhkan ketelitian ekstra dalam menarik kesimpulan evolusioner primatologi dan etnografi. Primata modern dan manusia modern yang hidup dalam masyarakat berteknologi lebih sederhana telah berkembang, maka perbandingan dengan masa lampau harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

Manusia Pertama

Jangka waktu apa yang sedang kita bicarakan? Semua fosil primata, yang sejauh ini telah ditemukan, memiliki bentuk seperti yang hidup pada 70 juta tahun terakhir (era Cenozoic), seperti juga seluruh fosil mamalia (terkecuali bagi sangat sedikit mamalia primitif) yang pertama kali muncul dalam era sebelumnya, era dinosaurus.

Sampai sekarang, fosil itu masih dianggap fosil non-antropoid tertua (Ramapithecus), berusia kira-kira 14 juta tahun, namun telah terjadi banyak perdebatan tentang apakah peninggalan tersebut cocok dengan garis hominid (2). Saat ini Ramapithecus diyakini sebagai nenek moyang dari satu bagian kera besar modern.

Tahap paling awal dalam perkembangan menuju evolusi manusia tampaknya mengambil tempat di Lembah Besar Rift di Afrika Timur, tempat dimana makhluk pertama yang dikenal dengan postur tubuh tegak, terpisah dari primata Afrika lainnya, hidup sekitar 5-7 juta tahun yang lalu. Bukti kerangka yang pertama berusia antara 4 dan 5 juta tahun yang lalu (Australopithecus). Peralatan tertua ditemukan sekitar 2,5 sampai 2 juta tahun yang lalu, dan penambahan ukuran otak tampaknya berlangsung pada saat yang sama.

Peninggalan paling awal dari makhluk berpostur tegak, yang disebut Homo Erectus, berusia sekitar 2 juta tahun. Homo erectus bermigrasi keluar Afrika, masuk ke Asia, sekitar 1 3/4 juta tahun lalu. Kemajuan utama perkakas kerja terjadi 1½ juta tahun lalu, dan bukti kuat adanya pemakan daging (secara regular) ada sejak zaman ini.

Sekitar 1 juta tahun yang lalu, beberapa species Australopithecus menghilang. Penggunaan api pertama sekitar 700.000 tahun yang lalu, dan sebuah kemajuan utama dalam pembuatan perkakas terjadi sekitar 200.000 tahun yang lalu. Manusia modern (Homo sapiens) tampaknya berasal dari Afrika, sekitar 100.000 tahun yang lalu.

Periode yang paling awal dari pra-sejarah, Paleolithicum (atau Jaman batu tua), terbentang kira-kira 2-2 1/2 juta tahun yang lalu, merentang sekitar 250 kali sisa periode pra-sejarah.

Selama masa Paleolithicum di atas, yang berakhir sekitar 35.000 tahun yang lalu, bentangan es besar yang menutupi benua utara mulai mencair. Periode ini dicirikan oleh satu perkembangan utama dalam jarak dan pengembangan peralatan batu, penggunaan gading dan tanduk, hiasan bunga-bungaan dengan pahatan, lukisan di gua dan, mungkin, penemuan teknologi yang berdasar pada tali/benang untuk jaring-jaring, alat perangkap, dan sebagainya.

Homo Sapiens kuno terlihat sekitar setegah juta tahun yang lalu, hidup bersama dengan Neanderthal, yang tampak sekitar 135.000 tahun yang lalu dan meninggal sekitar 35.000 tahun yang lalu.

Manusia pertama yang terlihat serupa dalam segala hal dengan kita, Homo Sapiens, terlihat sekitar 100.000 tahun yang lalu.

Jaman Neolitikum (Jaman Batu Baru) adalah sebuah periode dimana tumbuh-tumbuhan mulai dikembangkan di Eropa, sejak 8500 tahun pra-sejarah (di Timur Dekat) sampai (menyebar ke Eropa) pada 7000-6000 tahun pra-sejarah.

Perkembangan Fisik

Bukti perkembangan bahasa lebih sukit dilacak jejaknya. Petunjuk sarana berbahasa adalah (sebagian besar) kertas lunak yang rusak dengan cepat. Beberapa bukti tulang tengkorak tampak menunjukkan bahwa sebuah jangkauan lebih luas dari produksi suara dimulai saat Homo Erectus pada dua juta tahun yang lalu, tetapi pembentukan paling awal dari potongan dasar tengkorak (basicranium) belum menjadi lentur/tegak sepenuhnya hingga sekitar 300.000-400.000 tahun yang lalu, sebagaimana dalam Homo Sapiens yang kuno. Namun, perkembangan tersebut tidak terjadi pada Neanderthals. Maka, ketika bukti-bukti rangka mengindikasikan bahwa penggunaan bahasa secara sederhana bisa jadi telah berkembang secara bertahap; maka jangkauan dan kerumitan perkembangan perkakas mungkin merupakan satu indikator yang lebih baik dalam penggunaan bahasa secara penuh.

Hal itu tak muncul sampai lompatan besar budaya Palaeolithic Atas di Eropa (35.000 tahun lalu), ditandai dengan adanya produk artefak yang yang lebih besar, penemuan teknologi, imaginasi artistik, kesadaran dan peraturan, dimana kemunculan bahasa reguler komunikasi termasuk di dalamnya.

Adalah mungkin (bagi kita) untuk melacak jejak evolusioner dengan menggunakan sisa kerangka, molekul, analisa genetic, dan bukti dampak iklim terhadap perubahan tumbuh-tumbuhan–sekitar 15 juta tahun yang lalu, Afrika ditutupi hutan lebat, dan mulai berubah dengan adanya pergeseran permukaan bumi saat lempengan tektonik mulai menembus garis pegunungan dari Laut Merah (melalui Etiopia) menuju Mozambique, menciptakan areal dataran tinggi raya.

Yang berubah bukan hanya topografi tapi juga iklim, khususnya curah hujan. Tanah di daerah timur curah hujannya rendah, dan mulai kehilangan lapisan hutan lebatnya, menyisakan campuran hutan tambalan, hutan tanaman keras, semak belukar, namun sedikit sekali padang rumput.

Sekitar 12 juta tahun yang lalu, aktivitas tektonik selanjutnya mengubah lingkungan menjadi berbentuk Lembah Great Rift, bercampur dengan dataran tinggi dingin berhutan dan dataran rendah kering yang panas, serta membentuk penghalang bagi gerak binatang. Konsekuensinya, berbagai spesies baru muncul, sementara lainnya menghilang.

Perkembangan bipedalisme (1) dalam salah satu varietas kera pada benua saat itu merupakan satu kemajuan yang membuka jalan bagi perpindahan selanjutnya dalam pola-pola evolusi primata. Di samping membebaskan penggunaan tangan untuk fungsi baru, postur tegak menimbulkan dampak penting dalam perilaku kelompok dan perkembangan baru pola-pola kerja sama yang, pada gilirannya, menyediakan basis bagi kewajiban sosial yang timbal balik, kebanyakan berfokus seputar perubahan tingkah laku betina dan anak-anak.

Perubahan kerangka (seperlunya) yang menggerakkan binatang berkaki dua mengarahkan perubahan pada bentuk kaki, perubahan alat-alat perawatan bayi. Kera muda mempunyai jari kaki yang besar untuk berpegangan/mengait pada ibunya; ini mulai hilang saat kaki beradaptasi untuk berjalan.

Binatang berkaki dua berjalan menyempitkan tulang pangggul, mengakibatkan modifikasi pada bentuk saluran kelahiran. Makhluk muda manusia lahir pada sebuah tahap perkembangan paling awal dari makluk kera, dan oleh karenanya periode ketergantungannya lebih lama.

Ukuran otak yang lebih besar juga akan meningkatkan tekanan untuk melahirkan lebih cepat. Otak Australophitecus mempunyai ukuran sekitar 400 centimeter kubik. Sedangkan otak Homo Erectus berkisar antara 650 sampai 800 sentimeter kubik. Otak manusia modern rata-rata 1.350 centimeter kubik. Peningkatan ukuran otak sejalan dengan bukti pertama adanya peralatan baru dan menandakan pergeseran penuh makhluk berkaki dua.

Perkembangan Australopithecus ke Homo yang paling awal sejalan dengan perubahan tipe gigi geraham pengunyah ke gigi yang juga digunakan untuk memakan daging. Ini juga dicirikan dengan perubahan dalam dimorphism seksual. Pada Australopithecus, laki-laki lebih tinggi (berkisar antara 1.52 meter sampai 1.22 meter), dan dua kali lipat lebih berat dibanding perempuan, tetapi ukuran ini hilang dalam gen Homo.

Perpanjangan masa kecil dan perluasan hubungan ibu dan anak menunjukkan sebuah pertumbuhan kultur. Berkelompok bersama demi melindungi yang muda, mungkin dengan saudara kandung keturunan perempuan, akan berujung pada pembagian dan pengumpulan makanan ketimbang penyingkiran.

Jari kaki yang mengungkit bermakna bahwa ibunya harus merawat bayi tersebut. Perawatan ini bisa mendorong pemakaian kulit, serabut/tali dari tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya, untuk menggendong, membebaskan tangan dan memudahkan mencari makanan. Ketika bukti arkeologi yang ada hanyalah perkakas batu, tak ada alasan untuk menduga bahwa peralatan yang terbuat dari fiber dan kayu (seperti halnya tongkat untuk menggali) tidak dipergunakan; ini adalah jenis peralatan para pemburu modern.

Sekarang menjadi jelas bahwa umat manusia pada awalnya bukanlah berburu dengan cara seperti yang telah digambarkan di masa lampau. Tidak ada bukti mengenai pembagian seksual/gender dalam pembagian kerja: laki laki dan perempuan, keduanya bekerja bersama, makan bersama dan saling melindungi dari pembunuhan makluk lainnya. Ini tidak terjadi hingga sekitar 100.000 tahun yang lalu dimana peralatan dan teknik-teknik berburu hewan yang lebih besar mulai tampak. Untuk perburuan sistematik ini, beberapa ahli menetapkan waktu yang bahkan lebih dekat, sekitar 45.000 sampai 35.000 tahun yang lalu.

Ketika masyarakat pemburu-pengumpul yang sezaman membagi kerja berdasarkan jenis kelamin dan umur, 60-80% dari makanan masyarakat itu dihasilkan lebih banyak oleh aktifitas perempuan dibandingkan dengan perburuan yang dilakukan secara sporadis oleh kaum laki-laki. Dengan begitu, asumsi tentang peranan historis dari ‘pemburu laki-laki’ tidaklah tepat.

V

Bukti-bukti genetis yang ada sekarang memberikan informasi yang lebih jelas mengenai pentahapan perkembangan gen Homo. Hingga saat ini, terdapat pemikiran bahwa kita berasal dari manusia primitif yang bermigrasi keluar dari Afrika sekitar 2 juta tahun yang lampau. Akan tetapi, bukti-bukti DNA menunjukkan bahwa spesies manusia berasal dari nenek moyang yang baru sekitar 200.000 tahun yang lalu bermigrasi dari Afrika dan akhirnya menetap sekitar 100.000 tahun lampau. Gelombang migrasi sebelumnya dan jenis-jenis gen Homo lebih dahulu punah pada migrasi berikutnya, kemudian Neanderthals yang punah 35.000 tahun yang lalu, meninggalkan hanya Homo sapiens.

Lebih 20.000 ribu tahun berikutnya terjadi sedikit perubahan, termasuk adanya migrasi yang tersebar ke Amerika dan sekitarnya. Kehidupan manusia menjadi sangat seragam. Orang-orang hidup dalam jumlah kecil, mengelompok kira-kira 25-30 orang. Kelompok ini saling berinteraksi, mendirikan sebuah jaringan sosial sesuai dengan adat istiadat dan bahasanya. Mereka berusaha mencari tempat-tempat sementara dimana mereka bisa mencari bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bentuk kerjasama (gotong royong) tampak lebih menonjol dibandingkan dengan saling serang dan persaingan, jika perbandingan tersebut dibuat terhadap kehidupan sosial primata yang lain.

Lantas bagaimana bukti-bukti teori Engels? Sungguh menarik, khususnya jika dibandingkan dengan bukti-bukti yang dikemukakan selanjutnya oleh Darwin. Berpostur tegak, tangan yang menggantung, perkembangan perkakas, perluasan otak dan evolusi bahasa dari teori dialektik Engels didukung oleh bukti-bukti yang ada sekarang. Jangka waktunya memang berbeda, tetapi hal itu diharapkan memberi sedikit data-data teknik dan informasi arkeologi serta geografis pada masa Engels.

Darwin, pada sisi lain, berpendapat bahwa gambaran yang paling istimewa dari makluk manusia–tubuh tegak, teknologi dan perluasan otak–berkembang bersama-sama, sehingga manusia berbeda dari makluk kera sejak awal, dan perbedaan spesies manusia tersebut kasar dan asing. Bukti-bukti yang ada tidak lah mendukung hal tersebut. Ada perbedaan yang pokok antara Australopithecus dengan Homo erectus serta dengan yang lainnya yang muncul pesat 40.000 tahun yang lalu ketika es mulai menyusut dan pada periode perubahan iklim. Periode tersebut menyebabkan perpindahan ke wilayah yang lebih luas, yang secara geografis, ekologis, berbeda, dan dengan binatang serta tumbuh-tumbuhan yang berbeda pula. Secara keseluruhan, garis evolusioner jauh lebih kompleks (dan juga diperjelas dengan akhir perkembangan) ketimbang teori yang diajukan Darwin.

Peranan awal Perempuan

Teori Engels menekankan peranan perempuan dalam evolusi sosial kelompok manusia. Teori ini memperkenalkan perempuan sebagai sentral kerjasama sosial dan organisasi kelompok sosial, dan kesetaraan jender yang mendominasi sebagian besar periode pra sejarah¾zaman kebuasan. Subordinasi perempuan terjadi belakangan, dimulai pada zaman barbarisme dan berkembang secara utuh pada permulaan zaman peradaban.

Zaman kebuasan bertepatan dengan periode purbakala Palaeolitic sampai sekitar 12.000 tahun lalu, saat produksi, teknologi dan pemukiman berubah secara cepat. Menurut Engels, permulaan tahapan massa barbarian dititik-beratkan pada masa Neolithic (zaman batu baru, bercirikan alat dari batu serta meliputi permulaan pekerjaan logam), termasuk zaman perunggu sampai perkembangan peralatan besi mulai sekitar tahun 1.000 SM.

Spekulasi tentang permulaan kelompok sosial Hominid didasarkan pada bukti yang sangat sedikit, tapi sepertinya desakan yang lama pada ikatan monogami laki-laki dan perempuan. Saat lelaki pergi berburu dan perempuan tinggal di rumah menjaga bayi, bisa diperdebatkan secara sustansial.

Diperkirakan lebih dari 90% orang yang hidupya telah berkumpul dalam kelompok tersebar pada daerah luas yang populasinya sedikit, dan dapat memilih lingkungan yang paling menguntungkan. Kini, kurang dari 0,003% populasi dunia hidup sebagai pemburu-pengumpul dan mereka hidup dalam lingkungan ekstrim, terisolasi, serta berada di bawah tekanan masyarakat yang berteknologi kompleks, karena itu data dari masyarakat harus disuguhkan secara hati–hati. Tapi sangatlah jelas bahwa hubungan jender dalam masyarakat pengumpul-pemburu lebih egaliter dibandingkan dari masyarakat lain. Pada masyarakat pengumpul–pemburu ada pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dan umur, tapi kontribusi perempuan terhadap kelompok secara keseluruhan, dan status mereka pada umumnya, adalah tinggi.

Pengertian kerangka bipedalisme, perkembagan kapasitas otak untuk melahirkan, dan ketergantungan bayi yang lama menambah pertimbangan Engels bahwa kelompok sosial hominid pada masa awalnya mengelompok sekitar perempuan serta bayi mereka. Kerjasama untuk keberhasilan membesarkan anak dapat mengarah pada proses domestikasi spesies manusia itu sendiri, dan saat memilih kooperatif ketimbang agresif serta menyerang, laki–laki, sebagai pasangan, memperkuat pembagian dan ikatan sosial. Tipe peralihan ini telah diobservasi diantara simpanse betina.

Ketergantungan bayi dan jangka waktu membesarkan anak juga mempengaruhi pola pembagian makanan yang membentuk basis interaksi sosial. Bukti dari kelompok primata seperti simpanse, menunjukkan bahwa pembagian makanan terjadi dengan kelompok matrifocal (mother-centered) ketimbang dengan pasangan seksual. Ikatan yang kuat antara keturunan dan ibu membentuk ikatan utama, ditambahkan dengan saudara kandung, penguatan hubungan saudara tua, dengan ibu sebagai pusatnya. Peranan utama ibu mendorong meningkatnya kekerabatan serta guru utama inovasi teknologi yang terjadi dalam jangka waktu ketergantungan anak.

Tekanan untuk memiliki bayi dan makanan, yang kembali dibagi di dalam kelompok, akan memperkuat proses tersebut, juga untuk mendorong perkembangan arterfak dan peralatan seperti kontainer/wadah, tongkat penggali, dan lain-lainnya. Peralatan tersebut merupakan ciri sezaman aktivitas pengumpulan.

Tak ada bukti pembagian kerja berdasar jender yang tak dapat diperdebatkan, baik pada penggunaan alat dalam pengumpulan makanan, sampai penggunaan alat untuk perburuan besar yang muncul sekitar 100.000 tahun yang lalu. Kehadiran seorang bayi dapat menjadi penghalang bagi aktivitas tersebut, namun hal itu tak menghentikan perempuan (yang tak memiliki anak) untuk berburu, dan ada bukti wanita pemburu dalam masyarakat modern (Contohnya adalah orang Agta di Timur laut Luzon, Filipina).

Seperti yang dinyatakan oleh Margareth Ehrenberg :

Oleh karena itu, dapat dibuktikan bahwa langkah penting dalam perkembangan utama manusia terinsipirasi oleh perempuan. Juga mencakup perkembangan ekonomi dan inovasi teknologi, serta peran perempuan sebagai pusat sosial kelompok. Hal itu berbeda sekali dengan gambaran tradisional pria sebagai pelindung dan pemburu, membawa makanan kepada pasangan perempuannya. Model tradisional laki–laki tersebut berhubungan dengan serangan maskulin yang dianggap normal, yakni yang menganggap bahwa dalam jangka waktu lama, satu melawan satu, ikatan laki-perempuan merupakan perkembangan utama. Dengan lelaki sebagai penyedia makanan yang paling utama, dan dominasi laki-laki berhubungan (secara inheren) dengan keahlian berburu. Tak satupun dari pola ini yang sesuai (bagaimana pun sesuainya dengan lelaki tradisional, kecuali lelaki tradisional Barat). Primata jantan lainnya tak mengikuti pola ini, tak terjadi selain di kalangan Barat, khususnya yang mengumpulkan makanan dan dan pola kultural Palaolithic.” (Ehrenberg, 1989, hal. 150)

Argumen tersebut mendukung pola yang digambarkan Engels.

Pemukiman dan domestifikasi

Keragaman bukti meningkat dari zaman Neolithic ke muka. Ketika lapisan es mencair, wilayah tundra yang luas terbuka dan kumpulan ternak mundur ke utara. Kumpulan hewan diikuti oleh banyak pemburu yang berburu di lingkungan baru, vegetasi yang baru serta iklim yang berbeda.

Pada akhir periode Palaeolitic, 12.000 -15.000 tahun yang lalu, ada perubahan lingkungan dan corak hubungan. Pada “daerah bulan sabit subur” sekitar sungai Tigris dan sungai Efrat (daerah ini sekarang terletak di Turki, Siria, Iran, Irak, Yordania dan Israel) ada bukti pemukiman dan penyimpanan biji–bijian, tetapi hanya biji-bijian liar. Dari sekitar tahun 8.500 SM, biji-bijian liar ini berkembang, dan orang bermigrasi karena biji-bijian tersebut, karena binatang buruan, tinggal di sekitar benih yang berlimpah. Situs ini berisi bukti-bukti binatang domestik pertama, yakni anjing.

Saat itu, orang mulai memelihara biji-bijian liar, baik dengan menanam benih, yang tersebar secara tak sengaja, dan membiarkannya tumbuh atau, semakin berkembang, dengan menanam secara sengaja. Kegiatan ini menuntun pada modifikasi tanaman. Biji-bijian akan mudah tersemai jika benih terburai, tapi biji yang berbonggol besar cenderung biasanya berakar kuat. Domestikasi ini mempermudah pengumpulan tapi penyebarannya tergantung pada manusia

Hewan pun telah mulai mengalami perubahan. Daging yang harus ditangkap setiap hari, maupun hasil dari perburuan besar, mendatangkan masalah baru, yakni penyimpanan. Jika penjagalan dilakukan jauh dari pemukiman, masalahnya adalah bagaimana membawa (bangkai) hewan ini pulang. Jauh lebih mudah untuk membawa hewan tersebut pulang dalam keadaan hidup-hidup, mengurung dan memberinya makan dari pakan ternak yang tersedia.

Domestifikasi mungkin terjadi karena binatang yang gugup dan agresif harus dibunuh dan dimakan, sementara hewan yang jinak bertahan lama dan berkembang biak, menunjukan pola kapasitas seleksi. Perbedaan warna dan pertumbuhan rambut binatang mungkin disebabkan oleh ketergantungan yang besar pada perlindungan manusia predator. Binatang ini hanya dipakai dagingnya dan produk kulitnya saja.

Pemeliharaan tanaman dan binatang mencukupi persediaan makanan, bahkan surplus untuk disimpan. Pengasahan permukaan batuan jaman Neolitic bersamaan dengan penggilingan biji-bijian untuk konsumsi. Perbedaan bentuk tulang–yang berhubungan dengan penggilingan besar–ditemukan pada tulang lelaki dan perempuan di dekat daerah timur, tapi penggilingan benih terbuat dari batu–yang berhubungan dengan tulang perempuan–ditemukan di makam perempuan di Eropa, tempat teknologi berkembang.

Hasil panen makanan sekunder adalah tumbuhan polong-polongan, buah-buahan, kacang-kacangan, dan perempuan secara kolektif mengurus hasil panen dengan pertanian hortikultur.

Pemukiman tidak hanya memungkinkan untuk menyimpan makanan, namun juga mampu mengatasi keterbatasaan kapasitas pemburu-pengumpul. Pemukiman memungkinkan untuk mengakumulasi barang lain dan menghasilkan banyak anak. Tapi pemukiman juga menimbulkan masalah sanitasi, kuman, dan epidemic penyakit (kolera, tipoid,wabah pes, dipteri, dan lain sebagainya). Anak–anak lebih rentan penyakit sehingga lebih banyak tekanan terhadap anak.

Walaupun pemukiman telah merubah sistem produksi dan akumulasi, organisasi sosial masih tetap berdasarkan struktur klan matrilineal, yang diatur dalam masyarakat. Juga ada ketergantungan pada iklim dan kebutuhan untuk memelihara binatang serta menjaganya dari predator. Kelompok klan dalam rumah panjang (longhouses) ini, atau kelompok yang menetap matrilocal, membentuk inti kerjasama yang memungkinkan kelompok tersebut bertahan hidup.

Menyebarnya pemukiman mulai dari daerah “sabit subur” sampai Eropa dimulai disekitar 6.000 SM, bersamaan dengan teknologi yang berkembang cepat. Pemukiman meluas dan meningkat dengan pesat.

Dengan biji-bijian yang melimpah, tersedia serat baru seperti rami. Anyaman tenun yang sederhana, yang digunakan perempuan untuk ambin dan ikat pinggang, sekitar tahun 6.000 SM sampai berkembangnya 2 perkakas tenun yang berbeda, sampai tenunan pakaian. Pada wilayah panas yang curah hujannya sedikit, tenunan dasar horizontal, yang dianyam di luar, muncul pertama kali di Irak dan dari situ menyebar ke daerah tenggara, di daerah yang beriklim lebih dingin. Tenunan vertikal ditambahkan pada kasok dan ditenun di dalam rumah, menyebar di Barat .

Tak ada bukti pembagian kerja berdasarkan jender dalam kerja menenun, selain simbol artistik. Sepertinya perempuan yang menjadi penenun, tapi dari stuktur perkakas tenun, tergambar saat proses konsumsi menyiapkan serat dan perkakas tenun merupakan satu proses kolekif lintas jender.

Sekitar 6000 SM tembikar juga berkembang di sekitar Timur dan menyebar ke Eropa tenggara. Sekali lagi, tak ada bukti pembagian kerja berdasar jender dalam pembuatan tembikar, kecuali dalam mendekorasi, tapi kemungkinan itu kerja yang dilakukan perempuan karena pembuatan bejana berhubungan dengan kerja yang dilakukan perempuan dalam produksi dan penyimpanan makanan.

Tugas kaum lelaki pun mulai berubah. Perburuan berlanjut karena jumlah hewan piaraan masih terbatas, tetapi persediaan makanan terjamin oleh pertanian hortikultur dan pemeliharaan hewan. Berdasarkan perbandingan kontemporer, pemeliharaan hewan ini lebih sering dilakukan oleh perempuan.

Memancing dan pembersihan lahan untuk menanam menjadi hal yang lazim, bersamaan dengan perdagangan produk perhiasan seperti kerang tapi, yang lebih penting lagi, adalah produk yang jarang seperti pisau (obisidian) yang lebih tajam, yang terbuat dari batu api, dan sangat diperlukan untuk memanen hasil. Perkembangan teknologi kerajinan seperti tenun dan tembikar mengarah pada produksi komoditi kecil dan pertukaran. Jaringan pertukaran ini berkembang bersamaan dengan penanaman biji–bijian domestik dan inovasi teknologi. Pertahanan bukan aktivitas yang signifikan karena jumlah populasi yang sedikit serta tak ada perbedaan kemakmuran yang besar sehingga perang bukanlah permasalahan yang signifikan.

Perkembangan produk dari hewan yang kedua muncul dari Mesopotamia sekitar tahun 4000 SM. Daripada hanya menggunakan daging dan kulit domba, kambing dan lembu, memproses susu dan wol serta menggunakan kekuatan otot binatang memperbanyak variasi makanan. Wol untuk tenun berkembang. Wol lebih hangat dan lebih kuat dari linen, serta mudah untuk diwarnai. Perkembangan sekawanan hewan mencerminkan ciri perpaduan perkembangan pertanian.

Bahkan yang lebih signifikan adalah bahwa pemeliharaan hewan menandai organisasi sosial pertanian. Menggantikan kolektif holtikultur, rangka hewan besar dimanfaatkan untuk menggali lebih dalam dan produksi panen yang lebih baik. Rangka hewan lebih efektif untuk mengirim bijian dan, dengan penemuan roda, memungkinkan transportasi lebih banyak produk.

Pertanian bajak, dengan kerja individu manusia secara terisolir atau hanya dengan beberapa asisten/pembantu, menggantikan aktivitas kolektif pertanian perempuan sebagai sumber utama makanan, dan tugas perempuan secara bertahahap berpindah di dalam komponen desa atau pemukiman. Pergantian ini merupakan pusat subordiasi perempuan

***

VI

Engels berpendapat bahwa sumber penindasan perempuan adalah dikeluarkannya perempuan dari produksi sosial dan beralihnya tugas-tugas rumahtangga menjadi urusan pribadi. Kedua hal tersebut merupakan akibat dari perpindahan pemilikan komunal ke pemilikan pribadi laki-laki yang merupakan sumber produksi. Hal tersebut diperkirakan Engels terjadi secara berbarengan dengan munculnya pemeliharaan dan pembiakan hewan, yang menciptakan kekayaan sosial baru. Secara otomatis kekayaan ini dimiliki oleh laki-laki anggota klan tersebut.

Engels mendasarkan penjelasan ini pada dua dasar pemikiran yang keliru. Menurutnya, kegiatan penggembalaan muncul sebelum adanya pertanian, dan bahwa laki-laki lah yang menjadi pemberi nafkah secara alamiah: Mencari nafkah adalah menjadi urusan kaum laki-laki; oleh karenanya dia menciptakan dan memiliki fungsi produksi. Binatang ternak adalah fungsi baru pemenuhan kebutuhan hidup, awal mula dari domestifikasi, tujuan dari kerja-kerja mereka. (Engles, 1970 hal. 319).

Mengenai dasar pemikiran yang keliru tersebut, Engels berspekulasi bahwa laki-laki memiliki binatang (seperti lembu) dan komoditi yang mulai dipertukarkan. Namun demikian, Engels masih belum bisa menjelaskan bagaimana peternakan yang semula dimiliki secara komunal oleh klan atau suku berubah menjadi milik individu laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga.

Dalam hal ini, pemilikan mempunyai arti yang khusus: barang-barang yang memiliki nilai produksi potensial merupakan hak milik. Itu berarti bahwa pertanian dan peternakan, seperti yang mereka kembangkan, adalah sumber-sumber produksi yang dimiliki secara komunal. Orang memiliki secara individu (seperti barang-barang dan peralatan), misalnya pemilikan tanah pekuburan yang tampak selama periode Neolithikum. Akan tetapi, pemilikan pribadi seperti itu tidaklah penting karena mereka semua memilikinya secara merata. Ketika Engels menyatakan hak milik, dia memetakan perkembangan sumber daya yang dipergunakan dalam produksi dan reproduksi sehari-hari, serta bagaimana sumber daya produksi ini dimiliki.

Bukti-bukti menunjukkan bahwa domestifikasi binatang dan pemeliharaan ternak yang luas tidak hadir lebih dulu dari perkembangan pertanian. Senyatanya, hal itu terjadi belakangan. Tak ada isolasi perempuan dari produksi-produksi pokok, bahkan seperti dalam kelompok masyarakat pemburu pun, perempuan lah yang menyediakan nafkah sehari-hari: pertanian dan pemeliharaan hewan merupakan tugas utama perempuan. Manakala persedian mulai menipis, perempuan lah yang berkewajiban mencukupinya.

Jadi, anggapan Engels tentang peranan laki-laki sebagai pemberi nafkah adalah sejarah yang keliru, mencerminkan bias jender pada periode tersebut.

Pemukiman matrilineal pada jaman Neolithikum pada dasarnya hanya memproduksi kebutuhan mereka sehari-hari. Demikian juga dengan peternakan hewan yang hanya diambil daging dan kulitnya, untuk konsumsi mereka sendiri, dan bukan sebagai komoditi. Semenjak pertukaran barang terjadi antara pemukiman pertanian, pertukaran yang luas tidak akan terjadi sampai teknik-teknik pertanian menyebar pada daerah-daerah yang kekurangan produk yang dibutuhkan untuk membuat peralatan pertanian (kayu, batu-batuan, silica dan, yang terakhir, tembaga), atau daerah dimana keahlian atau produk alamiahnya kurang seperti tanah liat yang diperlukan bagi perkembangan spesialisasi kerja kerajinan yang terjadi belakangan (seperti tembikar, tenun, bengkel dan lain lain).

Meski demikian, penjelasan yang menempatkan penyebab utama munculnya pemilikan pribadi adalah tumbuhnya pertukaran komoditi, seperti yang ditulis Reed dalam Women’s Evolution, tidak lah menjawab sebuah pertanyaan mendasar: bagaimanakah individu laki-laki menjadi pemilik dari barang-barang yang dipertukarkan atau alat produksi yang dihasilkan oleh mereka?

Jawaban Engels, adalah: “mencari nafkah selalu menjadi urusan laki-laki”; atau jawaban Reed: bahwa lembu adalah sebagai simbol baru kekayaan dan komoditi, mulai dibarterkan dengan istri-istri sebagai ongkos perkawinan dan ongkos pengasuhan anak; peralihan dari pemilikan komunal ke pemilikan pribadi oleh laki-laki, menimbulkan pertanyaan. Tak ada penjelasan dari kaum materialis mengapa praktik-praktik sosial diletakan pada tempat pertama, juga mengapa mereka berubah pada waktu tertentu.

Reed, secara khusus, memisahkan munculnya pemilikan pribadi dari beberapa perubahan dalam karakter tenaga produktif. Dia gagal menjelaskan bagaimana ongkos perkawinan menjadi ada atau mengapa telah terjadi pemisahan dari matrilokalitas menuju patrilokalitas, sebuah syarat peralihan yang diperlukan jika kita menganggap biaya perkawinan atau pengasuhan anak yang, layaknya, pembayaran atas kerja, harus dikeluarkan.

Pendapat Reed, bahwa munculnya pemilikan pribadi terhadap alat produksi–dimana berarti sebuah perubahan fundamental dalam basis ekonomi masyarakat dan dalam hubungan produksi–adalah sebuah hasil dari perubahan dalam institusi suprastruktur perkawinan, bertentangan dengan hukum pokok dari materialisme historis yang menyatakan bahwa hubungan produksi (bentuk pemilikan) terkait dengan tingkat perkembangan dan karakter tenaga produktif, oleh karenanya, hal itu, pada awalnya, mengarah pada mekanisme perubahan.

Pentingnya Pertanian Bajak

Walau dasar pemikiran Reed dan Engels keliru, bukti-bukti arkeologi dan anthropologi modern mendukung penjelasan kaum Marxis bahwa kemunculan pemilikan pribadi meyebabkan penindasan terhadap kaum perempuan.

Perubahan kualitatif dalam karakter tenaga produktif terjadi pada peralihan dari pertanian kolektif–yang dikontrol oleh perempuan–pada pertanian secara individual–yang dikontrol oleh laki-laki. Laki-laki, untuk pertama kalinya, menjadi petani ketika masa peralihan ke pertanian bajak. Bagaimana peralihan tersebut berpengaruh pada hubungan produksi, terutama dalam terminologi jender?

Pertanian bajak pada awalnya memerlukan kekuatan fisik yang lebih besar, termasuk pemanfaatan binatang tak hanya kambing dan biri-biri, melainkan binatang yang lebih besar seperti lembu, dan menjadi bergantung pada bajak dengan mata bajak yang terbuat dari tembaga (bukan besi yang lebih kuat, yang berkembang kemudian). Pertanian bajak juga merupakan pekerjaan yang terisolasi dibandingkan dengan pertanian yang dilakukan perempuan. Di samping itu, pertanian bajak juga tidak mudah dikerjakan sambil mengasuh anak. Berbarengan dengan peralihan dalam pemeliharaan binatang untuk diambil daging dan kulitnya, yang dimanfaatkan sebagai sumber tambahan produk susu, wool dan kekuatan penarik untuk membajak, memanen dan transportasi, perkembangan bajak kemudian mengalihkan perempuan dari peranan dalam produksi sumber-sumber pokok pangan.

Pertanian bajak dan perkembangan teknologi terpadu menyebar mulai dari Mesopotamia, pada 4.500 SM, sampai ke Eropa, pada periode pada 500 tahun. Dengan pertanian bajak, awal mulanya tanah menjadi sumber kekayaan pribadi. Juga pemrosesan produk-produk susu tambahan dan perkembangan wool untuk pakaian, artinya bahwa pemeliharaan peternakan besar juga tersebar secara cepat.

Pertanian campuran (sistem tumpang sari) mempunyai cabang-cabang dan keragaman fungsi. Bajak mutlak harus diproduksi, binatang dilatih, pengaturan regulasi susu, dihasilkannya produk-produk lain dari susu seperti yoghurt dan keju, kulit domba untuk bahan wool, pemberian makanan pada ternak, menggembalakan dan memberi minum, wool dipintal dan ditenun menjadi benang dan kain. Perubahan pembagian kerja menjadi penting, semua anggota masyarakat (contohnya, laki-laki, sebaliknya juga perempuan) diperlukan dalam rangka memenuhi perkembangan bagian-bagian kerja.

Peralihan dalam kerja-kerja tersebut kemungkinan diperkuat oleh perkembangan populasi dan kebutuhan untuk memperoleh ladang (atau lahan-lahan yang tidak subur) yang lebih luas.Tanah menjadi sumber perselisihan dan migrasi/perpindahan merupakan salah satu cara utama untuk memperluas akses terhadap sumber tersebut.

Dari 4.500 SM, semua tekanan ini datang secara berbarengan. Pertanian intensif, yakni untuk mendapatkan makanan dan produk-produk tambahan, makin bertambah penting. Laki-laki meninggalkan pekerjaan berburu dan lantas terserap dalam tugas-tugas baru pertanian dan peternakan. Peralihan tersebut disertai dengan pembagian sosial dan ekonomi yang lebih signifikan dibanding sebelumnya–pemisahan antara yang kaya dan dan yang miskin, sebagaimana halnya kepemilikan tanah.

Ehrenberg (1989, hal. 105-107) menekankan 5 faktor penting dan berpengaruh dalam peralihan tersebut.

1. Setelah peternakan dalam skala yang besar diatur, penggopyokan hewan, sebagai variasi bentuk-bentuk perburuan, dikembangkan. Itulah asal muasal timbulnya kemakmuran/kekayaan: untuk pertama kalinya, pemilikan terhadap sumber daya yang bernilai dan mudah dicuri menjadi ada.

2. Pertanian bajak secara individual menegaskan terjadinya perubahan dalam pengontrolan pertanian berdasar jender. Laki-laki mengontrol pertanian dan peternakan, sedangkan perempuan lebih banyak bekerja menyiapkan makanan dan membuat kerajinan seperti tekstil, serta mengasuh anak.

3. Walau sedikit, tanah dibutuhkan untuk produksi-produksi serupa seperti dalam holtikultura. Pertanian bajak menghemat lebih banyak tenaga, terutama di lahan-lahan yang kurang subur. Perkembangan populasi pun menekankan tanah-tanah yang subur untuk ditanami. Oleh karenanya, perempuan diperlukan untuk menghasilkan lebih banyak lagi pekerja anak-anak, hal ini akan menegaskan lagi apa yang tampak sebagai peranan utama mereka. Juga akan mengarahkan nilai yang lebih besar pada anak laki-laki karena perempuan menarik diri dari kegiatan pertanian dan hanya sedikit saja dalam membantu mencari nafkah, yang menjadi peranan utama dan basis bagi kesetaraan status sosial mereka.

4. Hal tersebut berimplikasi pada kelompok sosial masyarakat dan menjadi basis peralihan kelompok matrilineal/matrillocal ke kelompok patrilineal/patrilokal. Pada gilirannya, hal tersebut mengarahkan pada pemukiman oleh sistem klan secara individual dan unit keluarga yang dikepalai oleh seorang suami.

Petani dan peternak laki-laki akan mengajarkan keahlian dan teknik-teknik pertanian intensif pada anak-anak lelaki mereka, memberikan penindasan terhadap sistem warisan matrilenial. Dalam pertanian yang didominasi oleh perempuan, perempuan akan mengajarkan pada anak-anak perempuan mereka, sehingga warisan ini tidaklah menjadi persoalan. Dalam pertanian holtikultura, pemilikan dimiliki secara komunal dengan sedikit peralatan yang dibutuhkan, oleh karenanya warisan ini tidaklah terlalu penting. Tetapi dominasi laki-laki dalam menghasilkan makanan dan produk-produk lainnya menimbulkan pertentangan bagi matrilineal/matrilocalitas. Penindasan yang dibangun untuk menentang pemilikan komunal–sebagai metode komunal kolektifisasi tenaga kerja–dirusak oleh tenaga kerja laki-laki pada masa pertanian bajak dan peternakan.

5. Peningkatan besar yang berkaitan dengan tugas-tugas, dan semakin berkembangnya bagian-bagian pemilikan material dalam jangka waktu yang panjang, spesialisasi kerajinan, serta pertukaran, kemudian menimbulkan semakin bertambahnya pembagian kerja.

Perdagangan dan pertukaran komoditi umumnya dibawa oleh laki-laki atas nama rumah tangga atau klan. Semakin menjadi-jadi, hal itu memberikan tekanan pada mereka untuk menggabungkan produk kerja-kerja pertanian yang mereka miliki dengan produk rumah tangga, sehingga makin meningkatkan kecenderungan pemilikan individu dan penguasaan atas semua produk.

Pemilikan materi dan warisan tersebut kemudian mengarahkan pada akumulasi kekayaan pada seluruh generasi, membangun hirarki sosial kelas, status dan kekuasaan. Kekayaan menjadi memiliki kekuatan penuh dengan dipinjamkan pada keluarga-keluarga miskin yang, lantas, membayarnya dengan memberikan jasanya seperti tenaga atau tugas-tugas perang. Pembagian antara si kaya dan si miskin semakin meluas, misalnya si miskin diberi hutang semakin banyak dan tidak mempunyai waktu lagi untuk memproduksi kebutuhan mereka sendiri. Proses ini adalah kerangka kerja antara manusia yang, sebagaimana layaknya produk, binatang, barang-barang dan tanah, menjadi obyek nilai yang dipertukarkan. Anak-anak atau perempuan bisa diserahkan (untuk digunakan sebagai tenaga kerja atau peternak) guna membayar hutang-hutang keluarga miskin.

Adalah ironis bahwa pertanian diketemukan oleh perempuan sejak jaman Neolithikum, merubahnya menjadi berakibat negatif bagi perempuan.

Kerja perempuan, kerjasama dalam perkembangan kerajinan, menenun, tembikar dan sebagainya, semakin banyak yang dikerjakan di rumah semenjak dikeluarkannya perempuan sebagai penghasil utama makanan (sekalipun peranan perempuan dalam mempersiapkan makanan bertambah). Pengucilan dari sumber-sumber status dan kekuasaan yang tinggi, serta kehilangan kesetaraan yang ada sebelumnya pada periode masyarakat pemburu-pengumpul dan pada awal Neolithikum, mengarahkan pada ketidakberdayaan mereka dalam masyarakat berkelas—yang berkembang dari periode sebelumnya ke masa sekarang.

VII. Relevansinya dengan Kondisi Sekarang

Tulisan ini bukanlah sekadar sebuah rekonstruksi sejarah (yang menarik) yang didasarkan pada bukti-bukti yang ada sekarang. Penjelasan Marxis tentang kaitan antara perkembangan sosial pemilikan pribadi dengan penindasan perempuan makin diperjelas dengan data tersebut, dan menyangkal penjelasan yang dominan mengenai bagaimana ketidakadilan sosial itu ada dan mengapa tak dapat dirubah (sebagaimana doktrin tentang perbedaan alamiah).

Tidak ada bukti yang mendukung teori-teori determinis biologis, walau sebenarnya mereka pun tak terlalu bersandar pada bukti-bukti. Teori-teori demikian memiliki landasan ideologisnya, memberi keyakinan untuk mengubah, mengurangi atau meminimalisir upaya-upaya untuk menghapuskan ketidakadilan jender. Adanya ideologi seperti determinasi biologis tersebut adalah untuk melayani kepentingan sebuah kelas–sekarang ini, merupakan kepentingan kelas yang ingin menurunkan pencapaian yang telah diperoleh perempuan sejak tahun 1960-an.

Sekarang ini, kelas kapitalis dan pemerintahannya melakukan kampanye untuk mengurangi upah riil, memangkas dana bagi pelayanan sosial dan kesejahteraan, memungut biaya bagi pendidikan, pelayanan kesehatan serta pelayanan kaum jompo. Serangan tersebut membutuhkan unit tradisional, yakni keluarga untuk diserap masuk ke dalam kubangan. Keluarga merupakan salah satu wilayah utama masyarakat kapitalis di mana tenaga kerja keluarga diserap tanpa bayaran: perempuan dibebani kerja yang tak diupah.

Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam penataan bidang sosial telah mendorong tekanan di dalam rumah. Biaya perawatan anak telah melonjak semenjak layanan perawatan anak dihapuskan. Konsesi rumahtangga dengan upah tunggal terjadi. Pasar kerja telah merestukturisasi kerja penuh-waktu (full time) ditranformasikan ke dalam kerja paruh-waktu (part time). Tenaga kerja laki-laki pun kemudian diisi oleh perempuan. Apabila perempuan tersebut mempunyai anak, seringkali yang terjadi adalah upah mereka hanya cukup untuk membeli keperluan bagi perawatan anak, dan upah keluarga yang dibayar pemerintah tak berarti apa-apa.

Serangan kapitalis tidak bertujuan mendorong semua perempuan untuk keluar sebagai tenaga kerja. Ini dihambat secara historis; diskriminasi upah bagi perempuan sudah muncul sejak dimulainya revolusi industri. Tujuannya lebih untuk membuat perempuan semakin rentan terhadap eksploitasi, untuk mendorong mereka keluar sebagai tenaga kerja (upah yang lebih rendah, jam kerja yang lebih sedikit, tanpa jaminan keamanan kerja, tanpa hari libur, jenis kerja yang lebih banyak, tanpa jaminan keselamatan dan tanpa serikat kerja). Dengan cara demikian lah didesakkan tekanan untuk mengurangi upah dan kondisi kerja bagi buruh perempuan. Serta mencangkokkan pemikiran bahwa tempat “alamiah” bagi perempuan yang pertama-tama dan yang paling utama dalam keluarga, sebagai perawat suami dan anak, dengan tanpa diupah. Oleh karenanya, upah kerja bagi perempuan hanya bersifat sekunder, tergantung dari kemampuan kelas penguasa untuk membayarnya.

Serangan ini tidak berarti bahwa semua capaian dari gerakan pembebasan perempuan akan gagal. Perempuan yang digaji secara layak dan bekerja penuh-waktu masih bisa menentukan pilihan-pilihan antara karier dan anak, akan tetapi mereka juga akan sangat dipengaruhi oleh ideologi yang mengkontradiksikan antara kepuasan kerja dan perawatan anak. Rasa bersalah lantaran lebih mementingkan hal-hal lain di luar keluarga dan rasa keibuan adalah bagian terpenting dari serangan ideologi ini.

Serangan itu juga berarti bahwa perbedaan-perbedaan kelas makin bertambah pengaruhnya pada kemajuan yang dicapai perempuan di masa lalu. Perempuan-perempuan berduit telah mampu melewati tahap paling buruk penindasan dan eksploitasi. Ketika perempuan bisa mengambil warisan dan mengontrol uangnya (yang merupakan pencapaian terpenting dari gelombang pertama feminisme di abad dua puluh), mereka bisa mengambil pilihan untuk menghindar dari keadaan yang memaksa seperti yang dialami oleh perempuan lain.

Sekarang jelaslah, pada model kebijakan neoliberal, banyak perempuan kelas menengah yang telah mampu memperbaiki nasib mereka, sepanjang mereka terhindar dari kondisi buruk seperti yang dialami oleh perempuan yang nasibnya kurang beruntung. Terdapat pembagian antara “kaum senasib”, yang dengan keputusan-keputusan mereka–dan jumlahnya makin luas–punya kepentingan yang berbeda. Kebijakan ekonomi neoliberal menciptakan kondisi material untuk menyatukan jurang perbedaan tersebut.

Penjelasan historis tentang akibat-akibat sosial penindasan perempuan, seperti tercermin dalam pamflet ini, menunjukkan dengan sangat tegas akibat-akibat dari dikeluarkannya perempuan dari peranan utama dalam kehidupan ekonomi. Tanpa kemandirian ekonomi, perempuan akan rentan dan tak bisa membuat serta mengimplementasikan keputusan-keputusan mereka sendiri.

Tentu saja, tidak berarti bahwa hanya isu-isu ekonomis saja yang mempengaruhi perempuan.Ada berbagai cara dimana perempuan ditindas dalam kelas sosial¾menyerang hak-hak reproduksi adalah wilayah pokok yang lain. Akan tetapi, marjinalisasi ekonomi lah yang secara signifikan telah menyingkirkan pilihan-pilihan yang lain. Juga memperkuat pengaruh dari serangan-serangan gencar dengan mereduksi kesempatan-kesempatan lain yang terbuka bagi perempuan yang dipaksa tinggal di dalam rumah ketika anaknya masih kecil. Tatkala si anak mulai masuk sekolah, perempuan diperbolehkan bekerja paruh waktu, harga yang dibayar lebih kecil.Sangat menyedihkan

Pembebasan Perempuan dan Perspektif Feminis

Tatanan sosial perempuan masuk ke dalam kemandirian ekonomi dan keluar dari konservatisme psikologis makin diperburuk oleh bertambahnya pembagian-pembagian dalam feminisme, yang merupakan satu kelemahan, dan pemisahan-misahan gerakan perempuan justru merusak kenyataan akan dibutuhkannya pengorganisiran bersama.

Kini, feminisme liberal menyandarkan perjuangannya pada rasionalisasi “beberapa perempuan memang melakukannya, namun kebanyakan tidak”. Berbagai upaya ditempuh dalam rangka membenarkan hal tersebut, dengan argumentasi bahwa perempuan yang berada di garis depan adalah perintis jalan ke dalam dunia-menjijikkan yang didominasi laki-laki, dan itu membutuhkan dukungan dari perempuan yang lain. Apa yang luput untuk sering disebutkan adalah bahwa jalan yang sedang dirintis tersebut adalah bagian dari karir individu, dan bukan bertujuan untuk kepentingan semua perempuan. Ditambah lagi, kepentingan individual sedang dijustifikasi oleh apa yang disebut feminisme “lakukan lah sendiri”, yang menolak kepentingan pribadi yang konservatif atau menolak kekalahan generasi feminisme liberal terdahulu–yang beranggapan bahwa hambatan institusional bagi kesetaraan perempuan tak akan berlangsung lebih lama lagi. Justru, jika perempuan tidak melakukannya (terserah definisi anda tentang “melakukannya”), itu adalah kesalahannya sendiri–sekalipun “menyalahkan sesama korban” juga keliru.

Feminisme radikal sangat membingungkan dalam hal: bagaimana mungkin serangan terhadap perempuan ditangkal dengan menyerahkan keyakinan pada “alam” sehingga, dengan demikian, menjadi pusat serangan ideologis. Menganggap esensial nilai moral perempuan tidak dengan sendirinya akan mengatasi merosotnya nilai ekonomis dan sosial, melainkan justru memberikan pembenaran bahwa “perempuan adalah ibu dan pengurus rumah tangga”, yang akan menambah serangan ideologis. Itu terutama jika analisis para feminis radikal–dalam mengapa perempuan itu “superior”–didasarkan pada karakter reproduktif dan karakter pemelihara mereka.

Ketika kaum feminis radikal memahami bahwa penindasan perempuan adalah persoalan struktur, mereka bersikeras bahwa hanya pandangan mereka lah yang sah dan tegas. Hal itu membuat kesatuan tindakan untuk membagun kembali gerakan pembebasan perempuan menjadi sebuah hal yang mustahil. Hal tersebut juga mensejajarkan cabang-cabang feminisme itu dengan beberapa kekuatan sayap kiri terbesar yang bergabung memperjuangkan perempuan dalam hal seperti hak-hak seksualitas dan reproduksi.

Cabang utama lainnya dalam feminisme, yang menambah kebingungan ideologis, adalah postmodernisme. Cabang ini menjiplak individualisme feminisme liberal dan, seringkali, diadopsi untuk bereaksi terhadap dogmatisme feminisme radikal.

Dalam satu makna, postmodernisme merupakan satu ekspresi di dalam feminisme dengan filsafat neoliberalisme. Postmodernisme memperkuat keragaman dan perbedaan; masing-masing umat manusia mempunyai pengalaman yang unik di dunia dan akan merasakan serta merespon dunia secara berbeda. Ini berarti bahwa upaya-upaya untuk menduniakan dan menjeneralkan hukum tentang bagaimana dunia (alam atau masyarakat) itu bergerak, adalah untuk meniadakan pandangan tentang pengalaman setiap orang. Siapa yang pada zaman dulu telah mendominasi sains atau kemajuan, yang dilakukan dengan cara menekan dan mengeksploitasi kelompok yang tak punya kekuatan, termasuk di antaranya, perempuan. Oleh karenanya, dikatakan oleh kaum postmodernis, bahwa ilmu pengetahuan dan teori-teori kemajuan sosial harus disingkirkan.

Pengalaman dalam masyarakat tidak lah memiliki pola yang tetap, yang ada hanyalah sudut pandang yang terpisah-pisah, yang diekspresikan melalui bahasa sebagai cerita individu yang tertinggi (teks). Maka, menginstitusikan penindasan perempuan, kelas, etnik, ras, dan sebagainya adalah sebuah khayalan belaka, kemustahilan sudut pandang yang lain tentang pengalaman mereka (perempuan) sendiri.

Bagi kaum postmodernis, pembebasan tidak mempengaruhi secara nyata usaha untuk mengubah masyarakat, apakah itu lewat reformasi atau revolusi. Justru, pembebasan adalah bersifat individu dan subyektif. Perubahan sejajar dengan pembagian dalam bahasa atau penampilan, dan dengan itulah anda “mendefinisikan’ diri anda sendiri atau “mengidentifikasi” diri dalam berbagai situasi tertentu. Sudut pandang ini membuat solidaritas berdasarkan pada pengalaman-pengalaman penindasan yang serupa, dan perjuangan bersama untuk mengubah penindasan adalah hal yang mustahil. Postmodernisme merupakan senjata lain dalam gudang senjata milik penguasa.

Kaum Marxis berargumen bahwa penindasan dan eksploitasi ada secara sistematis, dan kita bisa menentukan mekanismenya, bagaimana serta mengapa hal tersebut terjadi, agar kita dapat mengubahnya.

Perubahan tidak lah jatuh dari langit, akan tetapi hanya dapat terjadi jika semua kaum tertindas memahami alam penindasan mereka dan bergabung dengan yang lainnya untuk berjuang menghapuskannya. Itu lah mengapa menjadi signifikan untuk memerangi mitos bahwa perempuan adalah makluk yang selalu tersubordinasi.

Gagasan bahwa ketidaksetaraan jender itu ada secara alamiah dan tidak dapat dirubah, dilihat dari fakta-fakta ilmiah, dalam kenyataannya, hal tersebut merupakan: bagian dari ideologi politik yang reaksioner. Hanya dengan cara menjelaskan sejarahnya–memberi bukti-bukti ilmiah munculnya masyarakat manusia dan perkembangannya–maka semua mitos tersebut dapat dibongkar.

TAMAT

***

Catatan:

1. Diterjemahkan dari buku yang ditulis oleh Pat Brewer, The Dispossession of Women, Resistance Books, 2000.

2. Spesies bertubuh tegak yang berjalan di atas kedua kakinya.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *