Menggugat Heterosekseksisme, Melawan Penindasan Seksualitas Manusia*

Zely Ariane**

Aku mengerti betul bahwa seseorang yang berjuang seperti aku, seorang aktivis, seorang aktivis gay, menjadi target atau berpotensi menjadi target bagi mereka yang merasa tidak aman, ketakutan, terancam, atau terganggu atas dirinya sendiri… Jika sebuah peluru harus menembus otak ku, biar peluru itu menghancurkan setiap pintu kloset… meledakkan pintu-pintu kloset sekali dan selamanya, hingga tegak serta beranjaklah melawan.” Harvey Milk—sebuah rekaman suara yang dibuat agar diputar pada hari pembunuhannya.

Harvey Milk, seorang pejuang hak-hak homoseksual Amerika Serikat di era 1970-an mengatakan: “Tidak butuh kompromi demi memenuhi hak-hak rakyat. Tidak butuh uang untuk menghormati (hak) individu. Tidak butuh survey untuk menghapuskan represi.” Penggalan kalimat di dalam pembukaan UUD 1945 Indonesia juga mengatakan, bahwa, kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan demi berkehidupan kebangsaan yang bebas lah rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Memang demikianlah seharusnya esensi kemerdekaan dan pembebasan bagi setiap rakyat, termasuk rakyat Indonesia. Tetapi pernahkah kita berfikir, bahwa kemerdekaan hingga meliputi kebebasan mencintai dan menemukan kebahagiaan seksualitas individual, yang bebas dari syak-wasangka, cemoohan, dan represi? Kemerdekaan itu meliputi pemenuhan seluruh hak-hak kemanusiaan: dari perut yang kenyang, hati yang bahagia oleh kasih sayang, hasrat yang diwadahi dengan indah, dan pikiran yang bebas, untuk seluruh rakyat?

Rasanya kemerdekaan semacam itu adalah kemewahan di tengah penindasan negara dan mayoritas institusi agama terhadap, lebih kurang, 2 juta kaum homoseksual di Indonesia saat ini—baik yang menyatakan diri, menyembunyikan diri, atau bahkan mengutuki dirinya sendiri. Masyarakat kita telah lama dibuat dalam kebodohan atas nama tabu dan haram, tanpa mengerti apa itu dari berbagai sisi. Institusi pendididikan kita masih merepresi kebebasan akademik yang non-arus besar, sehingga ilmu-ilmu pembaharuan terkait seksualitas, sebagai hak azasi kemanusiaan, masih terus menjadi ‘minoritas’.

Kita, si mayoritas, lebih ‘senang’ membiarkan penindasan terjadi di sekeliling kita, daripada bertanggung jawab memeriksa norma arus besar yang menyebabkan penindasan itu. Kita lebih ‘senang’ melihat kaum homoseksual bersembunyi, menyalahkan dirinya sendiri—bahkan bunuh diri—daripada mempertanyakan pada diri sendiri mengapa kita boleh pamer cinta & keluarga sementara mereka tidak? Kita lebih ‘senang’ kaum homoseksual jadi bahan guyonan, sekedar tontonan televisi, atau acara-acara kuis, daripada tersenyum hangat pada anggota keluarga; kawan-kawan kita, yang memilih menjadi homoseksual, atau bahkan mendorong menemukan jati diri yang sebenarnya. Kita lebih ‘senang’ pada kenyamanan kita sekarang, daripada memeriksa apakah kenyamanan itu ada di jalan yang benar; yang tidak sedang menindas, atau membiarkan orang lain tertindas?

Urusan pribadi adalah politis

Di dalam masyarakat dimana negara dan penyelenggaranya adalah alat penindas, dan norma-norma yang berkembang adalah norma menindas, maka urusan pribadi selamanya menjadi urusan politis. Sehingga, sebagai individu yang bertanggung jawab, seharusnya kita belajar: ada apa dibalik pengukuhan norma hateroseksualitas? Apa itu heteroseksisme? Mengapa ada kaum non heteroseksual dan mengapa masyarakat menindasnya? Kepentingan apa dibalik penindasan ini?

Kita sudah cukup akrab dengan kenyataan dan pengakuan—walaupun masih juga minoritas— bahwa perempuan mengalami penindasan ganda. Pengakuan dan pemahaman terhadap penindasan perempuan, penting bagi pemahaman terhadap penindasan seksualitas manusia. Karena kaitan antara penindasan kaum homoseksual (Lesbian, Gay, Biseksual, Transeksual/Transgender, Interseksual, Queer–LGBTIQ) dengan penindasan perempuan adalah hal kunci bagi perjuangan pembebasan keduanya.

Walaupun derajat penindasan dan toleransi sangat luas dan beragam, tidak pernah terdapat kesetaraan sejati, atau kebebasan, bagi kaum LGBTIQ dalam masyarakat kapitalis saat ini. Heteroseksisme, yang menindas mereka, seperti juga seksisme, ditunjukkan dalam segala bidang—dari politik, pekerjaan, dan pendidikan, hingga aspek-aspek paling intim dalam keseharian hidup manusia. Dan kapitalisme terus memeliharanya.

Penindasan dan represi ini tidak boleh dibiarkan, dan harus kita selesaikan dalam perjuangan menuju masyarakat baru, yang memerdekakan manusia dari penindasan manusia lainnya. Oleh karena itu, segala bentuk rintangan bagi perkembangan kebebasan individu, baik yang digiring oleh logika modal maupun pengkonstruksian norma pengukuh kekuasaan, harus dilawan atas landasan objektif pembebasan kelas-kelas dalam masyarakat.

Menjawab pertanyaan-pertanyaan penting di atas, dan memperjuangkannya, tidak cukup sekadar deskripsi fenomena, namun juga memberi penjelasan atas fenomena tersebut: asal usul, polemik dan perkembangannya, yang tentu saja, akan menjadi pekerjaan terus menerus dan tidak akan diselesaikan oleh satu atau beberapa artikel saja.

Tidak ada sosialisme tanpa pembebasan manusia; tidak ada pembebasan manusia tanpa sosialisme.

__________

Tulisan ini dipublikasikan sebagai pengantar redaksi dalam Buletin Mahardhika, yang diterbitkan oleh Komite Nasional Perempuan Mahardhika pada Maret 2011.

**  Anggota Komite Nasional Perempuan Mahardhika

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *