Thomas Rieger
Perdebatan menarik antara Bung Coen dan Bung Goenawan kelihatannya mulai seru dan memang menyentuh sejumlah hal yang sangat mendasar bagi siapapun yang tergolong pencinta emansipasi, dalam arti penghentian penindasan manusia atas sesamanya dalam segala bentuknya – kelas, gender, etnis, orientasi seksuil dsb. Saya jelas-jelasnya terlalu muda untuk termasuk golongan manikebu diabetis, apa boleh buat, saya memilih untuk tetap marxis, agaknya di kubu si Charly, bukan si Groucho. Seriusnya, saya berpendapat bahwa urusan „keterbukaan“, „pluralis“ dsb., pokoknya apa saja yang menyangkut „suluh“ -sebagai lawannya benteng, kerangkeng dan entah engengan apa lagi – bukan monopoli aliran non-marxis. Sosialisasi politik saya di Indonesia pada zaman orde baru yang segelap-gelapnya. Dalam konfrontasi dengan orde baru, „kiri“ hampir otomatis berarti „PKI“, entah karena memang pilihan sang subyek begitu, entah karena dicap mereka (kaum Orba). Hanya segelintir orang – seperti Bung Joesoef Isak almarhum – bisa menerima kehadiran „kiri“ di luar dikotomi itu. Dalam konteks kebebasan intelektuil yang relatif jauh lebih besar masa pasca-Suharto sering dilupakan, bahwa sebelum diktator terlaknat itu jatuh, perlawanan rakyat berkembang, antara lain juga karena kemunculan aliran kiri baru yang keluar dari paradigma stalinis yang lama (tanpa menjadi jinak alias sosial demokrat). Sumbangan saya ini tidak ada pretensi teoretis apa-apa, melainkan dimaksudkan untuk menghormati salah seorang kawan, Bung Kohar („AKI“), yang pada masa awal kebangkitan kembali pergerakan kiri itu termasuk yang berhaluan pluralis tanpa kehilangan orientasi marxisnya.
Perlu diingat, bahwa keberanian untuk membuka diri itu ditampilkan pada saat yang serba gelap untuk segenap pergerakan sosialis: stalinisme di Uni Sovyet (yang hanya nama saja, karena sudah berpuluh-puluh tahun tak mengenal dewan buruh barang sebuah juapun) akhirnya tumbang, tapi bukan oleh revolusi proletar melainkan oleh „kudeta berangsur“ sayap pro-kapitalis birokrasi yang berkuasa, yang di kemudian hari dengan enaknya bergandengan tangan dengan unsur-unsur paling represif aparat stalinis (bangsa Putin, si jagal).[1] Rejim-rejim konconya di Eropah Timur tak mau ketinggalan dan tenggelam satu per satu. Harapan akan pembaharuan di Tiongkok dibantai di lapangan Tian An Men. Habis membunuh harapan rakyat RRT, birokrasi kontra-revolusioner yang berkuasa menunujukkan muka kelasnya yang sebenarnya bagi barang siapa yang belum pandai membedakan diktatur oleh proletariat dari diktatur atas proletariat: yang dihukum mati pada bulan-bulan sesudah pembantaian Tian An Men, sebagian besar buruh, bukan mahasiswa. Segoblok-gobloknya birokrat, masih enggan membunuh anaknya sendiri yang kuliah di perguruan tinggi elit…
Pendek kata, keberanian untuk membuka diri, untuk lebih memilih suluh dari pada benteng, terjadi pada saat yang sebagian besarnya diwarnai dua macam reaksi di antara kaum kiri: berkapitulasi mentah-mentah atau mengunci diri dalam benteng. Sikap yang terakhir sebagaimana kita ketahui sering menjadi tahap pertama dalam perjalanan ke arah kapitulasi juga…konteks itu yang perlu dilihat, jangan isi dari pada tulisan saya yang tidak ada istimewanya. Bung AKI memuatnya dalam majalah eksil „Mimbar“ yang diasuhnya, kira-kira pada paruh pertama tahun 1990[2].
7 TESIS
1. SOSIALISME ITU BERARTI PEMBEBASAN MANUSIA DALAM ARTI SELUAS-LUASNYA
Salah satu ciri pokok masyarakat sosialis menurut Marx adalah kemerosotan berangsur-angsur dari pada peranan negara (sebagai alat untuk menyelenggarakan diktatur kelas berkuasa atas kelas-kelas yang dikuasai/tertindas) dalam masyarakat. Seiring dengan proses itu segala bentuk penindasan yang sering masih menjadi warisan dari masyarakat praka-pitalis harus dihapuskan.[3] Masyarakat sosialis itu menuju masyarakat komunis yang merupakan gabungan bebas dan sukarela dari kaum produsen. Bila dipakai kriterium itu, sudah jelas bahwa tata masyarakat yang terdapat di Eropah Timur, RRT, Vietnam, Kuba dan Nikaragua meskipun bukan kapitalis lagi, tetapi juga belum bersifat sosialis. Alasan obyektif yang paling mendasar untuk hal itu ialah, bahwa dalam keadaan seperti sejak Revolusi Oktober dengan kekuasaan imperialisme masih jauh melebihi kekuatan negara tempat kelas proletar berkuasa tidak mungkin negara sebagai alat diktatur kelas proletar ‘berangsur hilang. Seperti diutarakan Marx, langkah untuk memasuki babak baru dalam sejarah umat manusia itu harus diambil secara kurang lebih serentak kalau bukan di seluruh dunia, pa-ling sedikit oleh kelas proletar di negara-negara terkuat. Dalil itu bukan dimaksudkan untuk membenarkan segala sikap yang diambil oleh pemimpin di negara buruh[4], melainkan untuk menunjukkan kondisi obyektif yang mendasari degenerasi yang dapat kita amati pada kebanyakan negara itu.
Dengan demikian sudah jelas kiranya, bahwa dalil tentang ‘kegagalan sosialisme’ itu hanya semboyan kosong belaka, karena memang masyarakat sosialis belum pernah terwujud di dunia ini!
2. REVOLUSI SOSIALIS ADALAH SATU-SATUNYA JALAN UNTUK MENJAMIN KELANGSUNGAN HIDUP UMAT MANUSIA
Umat manusia untuk pertama kali sepanjang sejarahnya secara keseluruhan menghadapi keadaan yang sedemikian gentingnya, sehingga kelangsungan hidupnya di bumi ini terancam secara konkrit. Pertumbuhan jumlah penduduk dunia yang tak terkendali, pencemaran (dan bahkan penghancuran) lingkungan hidup, pemborosan sumber daya alam, bahaya perang dengan penggunaan senjata nuklir, kimia atau biologis (kuman) oleh pengamat burjuis pun diakui dapat membawa kepunahan bagi seluruh umat manusia. Segala usaha pemerintah burjuis baik secara nasional maupun secara internasional (PBB dsb.) untuk memecahkan masalah tersebut selama ini sia-sia belaka. Dan selama usaha itu tetap berbentrokan dengan sistem kapitalis yang berazas tunggal “kejarlah laba sebesar-besarnya”[5], maka hasilnya tidak bakal lain dari nol. Hanya perombakan yang sebesar-besarnya, yang mengakhiri masa bersimaharajalelanya ‘azas tunggal’ kapitalis itu dapat membuka jalan untuk seluruh umat manusia ke luar dari krisisnya.
Dalam hubungan itu perlu ditolak sikap ‘mekanisme historis’ yang masih berjangkit pada banyak kawan. Tidaklah benar, bahwa menurut Marx kemenangan kelas tertindas merupakan suatu kepastian dalam proses sejarah. Apabila perkembangan kemampuan berproduksi (productive forces) dalam suatu masyarakat terbentur pada susunan ekonomi (perhubungan antara satu kelas dengan kelas lainnya dalam pekerjaan menghasilkan /produksi) maka krisis yang timbul dapat diselesaikan melalui penggulingan kelas berkuasa oleh kelas tertindas (revolusi) sehingga tersingkir rintangan yang menghalangi perkembangan masyarakat itu. Namun apabila kelas tertindas tidak mampu untuk mencapai pendobrakan itu, masyarakat bersangkutan akan menemui jalan buntu yang dapat berakhir dengan kehancuran bersama-sama kelas berkuasa dan kelas tertindas atau masyarkat itu secara keseluruhan. Itu yang dimaksudkan Rosa Luxemburg dengan rumusannya yang tersohor, bahwa pada masa kapitalisme terkembang penuh (imperialisme) hanya ada dua pilihan yang dimiliki umat manusia: Sosialisme atau tenggelam dalam kebiadaban.
Dan satu hal lagi yang perlu diambil sebagai hikmah dari lebih seratus tahun perjuangan demi sosialisme: setiap kali kelas buruh berusaha untuk menempuh jalan reformis, jalan parlementer untuk merombak susunan masyarakat, usaha itu tenggelam dalam banjir darah. Darah proletar yang ditumpahkan oleh kelas burjuis dan kaki tangannya, alat represi dari negara burjuis. Itulah hikmah dari pengalaman pahit baik di tanah air kita sendiri maupun di Chili 1973.
Juga perlu dihindari jebakan ‘revolusi bertahap’, rumusan yang berakar pada fikiran Mensyevisme dan kemudian diambil alih oleh Stalin dan para pengikutnya. Memang tidak dapat disangkal, bahwa dalam negara kapitalis terbelakang seperti di Indonesia masih banyak tugas yang secara historis termasuk program revolusi burjuis (seperti landreform, penegakan negara hukum, perlindungan hak-hak individu dsb.) belum diselesaikan. Namun tidak boleh kita lupakan, bahwa burjuasi Indonesia bukanlah burjuasi Eropa abad ke-18 atau ke-19. Indonesia dewasa ini menjadi bagian dari dunia yang dikuasai imperialisme dan burjuasi dunia sudah lama berhenti untuk memainkan peranan revolusioner, melainkan membela diri mati-matian terhadap ancaman revolusi proletar dan mengambil sikap yang sereaksioner-re-aksionernya. Dalam keadaan itu burjuasi Indonesia terjepit antara keinginannya untuk melepaskan diri dari simbiose dengan unsur birokrasi dan militer dan memperoleh ruang gerak lebih besar dari imperialisme dan rasa terancamnya oleh massa proletar, petani miskin dan kelas tertindas lainnya[6]. Dilihat kelemahan sosial kelas burjuis itu, maka ia akan mencari lindungan Imperialisme dengan selekasnya begitu menghadapi mobilisasi proletar. Dan tanpa mobilisasi itu, dia akan terlalu lemah untuk menghadapi imperialisme dan kompradornya. Baik dari pertimbangan teoretis itu maupun dari pengalaman sejarah (secara negatif: Indonesia sendiri, Chili; secara positif: Cuba, Nicaragua) dapat disimpulkan, bahwa tugas itu harus diselesaikan oleh kelas proletar. Artinya, revolusi proletar itu akan mulai dengan menyelesaikan tugas yang tak diselesaikan dalam revolusi burjuis tetapi tidak akan berhenti di situ, melainkan akan maju terus dengan mengambil langkah yang akhirnya menghancurkan sistem kapitalis dan memberi watak sosialis kepada revolusi itu. Proses seperti itu dapat dengan jelas sekali diamati dalam revolusi Cuba yang dipimpin oleh organisasi yang semula hanya menentang diktatur dan kuasa imperialisme di Cuba. Tetapi dalam mobilisasi untuk tujuan itu ternyata, bahwa kedaulatan nasional itu hanya dapat direnggut dari tangan imperialis apabila dilakukan mobilisasi buruh dan tani miskin yang seluas-luasnya dan semakin disita kekuasaan politik dan ekonomi burjuasi dalam negeri yang sama sekali tidak bersikap ‘nasional’. Proses revolusioner di Nikaragua (meskipun oleh intervensi imperialis kini dalam bahaya akan dibalikkan) menurut pola yang mirip.
3. PEMERINTAHAN PARTAI TUNGGAL BERLAWANAN DENGAN CITA-CITA SOSIALISME
Sejarah mengajarkan bahwa sesudah kekuasaan kelas burjuis ditumbangkan, perlu ditegakkan diktatur kelas proletar untuk menjaga agar sisa-sisa kelas berkuasa yang lama jangan sampai mendapat kesempatan untuk melakukan kontrarevolusi. Tetapi istilah ‘diktatur kelas proletar’ telah banyak menimbulkan salah tafsir, umumnya salah tafsir yang di-sengajakan. Oleh partai-partai Internasionale ke-2 (sosialdemokrat) serta mereka yang mencoba untuk mengekorinya (seperti aliran ‘Eurokomunis’ yang termasuk antara lain Partai Komunis Italia) diktatur kelas proletar itu diartikan sebagai tata masyarakat yang tidak mengenal hak-hak azasi manusia dan kebebasan demokratis, seperti kebebasan berorganisasi, kebebasan berkumpul atau mengeluarkan pendapat. Tafsiran itu dipergunakan oleh golongan itu untuk mencoret penegakan diktatur kelas proletar (dan dengan demikian juga tujuan revolusi sosialis) dari programa partainya masing-masing dan membenarkan kapitulasinya di hadapan kelas burjuis. Golongan kedua yang suka memberi salah tafsir pada istilah itu adalah diktator-diktator seperti Stalin, Deng dan Ceausescu serta para pengikutnya yang melakukan diktatur pribadinya dengan segala tindak penindasan yang sekeji-kejinya sebagai ‘diktatur kelas proletar’. Dengan kata lain mereka mengartikan diktatur kelas proletar sebagai diktatur (kaum birokrat) atas klas proletar. Arti yang bagaimanakah diberi oleh Marx pada ‘diktatur kelas proletar‘?
Bagi Marx selama ada masyarakat berkelas, tentu ada kelas yang berkuasa dan kelas yang tertindas. Kelas yang berkuasa akan melakukan usaha apa saja yang dianggapnya perlu untuk melestarikan kekuasaannya. Hal itulah yang disebut ‘diktatur kelas’. Bentuk diktatur itu sangat beragam, menurut imbangan kekuatan antara kelas berkuasa dan kelas tertindas. Diktatur kelas burjuis misalnya dapat mengambil bentuk demokrasi burjuis yang memberi kebebasan yang relatif besar seperti dalam sejumlah negeri Eropah Barat dewasa ini, tetapi juga dapat mengambil bentuk diktatur fasis seperti di Indonesia sekarang atau misalnya di Jerman Hitler zaman dulu. Adapun diktatur kelas proletar harus berbentuk demokrasi yang seluas-luasnya, jauh lebih luas dari pada demokrasi burjuis yang paling sempurna sekalipun, karena sebab yang sederhana sekali: dengan ditegakkannya diktatur kelas proletar untuk pertama kali dalam sejarah umat manusia kelas yang berkuasa adalah kelas yang mencakup sebagian terbesar dari masyarakat. Demokrasi proletar itu yang dapat diselenggarakan misalnya melalui dewan buruh (sovyet dalam bahasa Rusia, hanya sayangnya di Uni Sovyet sudah berpuluh-puluh tahun tidak ada sovyet lagi…) tentu akan menjamin hak azasi dan hak politik yang seluas-luasnya, termasuk hak berorganisasi untuk semua kelompok kecuali yang mencoba dengan kekerasan untuk menghancurkan demokrasi proletar itu (seperti golongan ‘Contra’ di Nikaragua). ‘Azas partai tunggal’ yang sekian lama menjadi ciri khas dari tata negara Uni Sovyet serta negara-negara Eropah Timur dan masih dipegang di RRT merupakan penyelewengan yang sangat mendasar dari marxisme. Dalam hal itu (seperti dalam banyak hal lain) terdapat persekutuan diam-diam antara tukang canang imperialisme dunia dan penganut stalinisme: oleh yang pertama penyamarataan “diktatur kelas proletar = diktatur partai komunis” telah digunakan untuk menjadikan sosialisme itu suatu momok, juga di mata kebanyakan kaum buruh. Bagi diktator sebagai Deng, Ceasescu dan Jaruzelski rumusan itu sangat berguna untuk mendiskreditkan segala tindakan perlawanan terhadap rezimnya, bahkan segala bentuk kritik dicap sebagai bersifat kontrarevolusioner dan didalangi oleh CIA.
Dan masih ada alasan kuat lainnya mengapa ‘azas partai tunggal’ itu bertentangan dengan pemikiran marxis. Dalam masyarakat modern dewasa ini kelas proletar mencakup antara 20% (di beberapa negara yang masih sangat tergantung pada pertanian) dan lebih dari 80% (di negara industri kapitalis yang termaju). Kelas itu oleh seorang yang berpikir secara materialis tidak mungkin dianggap sebagai kelompok monolitis, yaitu yang seluruh anggotanya dianggap seragam dalam sikap dan kepentingannya. Apalagi sekutu kelas proletar seperti petani miskin, bagian-bagian tertentu dari kaum burjuis kecil dsb. Dan semua sikap dan kepentingan berbeda itu tentu tidak mungkin diwadahi dan diwakili dalam organ legislatif oleh satu partai saja.
Tentu ada yang membantah penalaran itu dengan dalil bahwa di Uni Sovyet sudah sejak zaman Lenin Partai Komunis Uni Sovyet de facto menjadi partai tunggal. Namun dalil itu harus ditolak dengan tegas. Keadaan itu oleh Lenin dan banyak pemimpin Bolchevik pada zaman sebelum diktatur Stalin dianggap sebagai keadaan sementara yang disebabkan oleh perang sipil, intervensi asing dan sebagainya dan bukan suatu hal yang harus diangkat menjadi teori (apalagi dogma pengganti agama). Tidak ada ajaran Lenin, bahwa diktatur kelas proletar harus diselenggarakan oleh partai tunggal. Dan kalaupun ada, barang siapa mengaku marxis dan leninis hendaknya juga mencontoh kedua pejuang revolusioner itu dengan berpikiran kritis, termasuk terhadap buah pikiran mereka itu sendiri, dan jangan hanya membeo saja.
4. DEMOKRASI DAN SENTRALISME ADALAH DUA PRINSIP YANG TAK TERPISAHKAN DALAM PARTAI REVOLUSIONER YANG MEMPERJUANGKAN SOSIALISME
Menilik pengalaman pahit baik di Indonesia sendiri maupun di luar negeri timbullah pertanyaan, partai macam apakah yang perlu dibangun untuk memperjuangkan cita-cita sosialisme. Sampai pada waktu yang belum lama ini setiap orang revolusioner pasti menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan, bahwa untuk memimpin kelas buruh dalam perjuangan revolusioner diperlukan partai leninis yang berdasarkan sentralisme demokratis. Namun belakangan ini semakin gencar Lenin dan ajarannya tentang pembangunan partai diserang sebagai pangkal segala bencana yang terjadi di Uni Sovyet, Polandia Cekoslovakia d.l.l. Gerakan massa merebahkan monumen Lenin, Galangan Kapal Lenin di Gdansk (Polandia) oleh buruhnya sendiri diberi nama lain dan masih banyak gejala lain yang menunjukkan popularitas tokoh revolusioner itu paling sedikit di kalangan kaum buruh negeri kelahirannya serta tetangga-tetangganya sedang merosot sekali. Lenin dengan teorinya tentang partai revolusioner dianggap menjadi semacam ‘bapak rohani’ dari diktatur birokrasi gaya Stalin dan para epigonnya. Untuk menguji kebenaran pendapat itu perlu dikaji apakah sebenarnya yang menjadi hakikat sentralisme demokratis.
Sentralisme berarti, bahwa seluruh partai melaksanakan secara berdisiplin keputusan yang telah diambil oleh badan yang dipilih untuk itu. Disiplin yang keras dituntut karena partai revolusioner yang menghadapi negara burjuis dengan segala alat penindasannya seperti polisi rahasia dan tentara seakan-akan menjadi angkatan perang yang terlibat dalam perjuangan hidup-mati. Dengan struktur yang longgar dan disiplin yang rendah mudah sekali partai akan dihancurkan oleh musuh. Namun disiplin yang tinggi hanya dapat tumbuh dari kesadaran yang tinggi tiap-tiap anggotanya. Kesadaran itu hanya dapat bertumbuh apabila demokrasi intern dalam partai dijalankan dengan baik. Hanya kader yang dididik dalam suasana perdebatan demokratis dalam partai dan secara insyaf ikut menetapkan garis politiknya betul-betul akan mampu untuk melaksanakan tugas revolusionernya. Demokrasi intern itu seharusnya termasuk hak untuk membentukkan tendens dan fraksi yang memajukan usul tertentu dalam perdebatan tentang garis partai. Barang tentu apabila kelompok itu dalam pengambilan keputusan kalah, ia harus tunduk pada disiplin partai (sentralisme). Namun apabila tendens atau fraksi tidak boleh di-bentuk dan ikut secara terbuka dalam perdebatan politik intern, maka akan timbullah klik-klik in-formil yang tidak jelas dasarnya (atau, lebih celaka lagi, perdebatan intern mati sama sekali). Hak untuk membentukkan fraksi dan tendens terjamin dalam partai bolsyevik sampai sekitar 1920 dan hanya dihapuskan untuk sementara karena kegentingan keadaan dalam perang sipil. Larangan yang semula bersifat sementara itu akhirnya dipergunakan oleh Stalin untuk menegakkan diktaturnya dan kemudian dikramatkan sebagai ‘prinsip Leninis’… Kegagalannya sampai tiga kali untuk mencegah merajalelanya teror putih adalah harga yang mahal sekali yang dibayar oleh PKI (dan rakyat Indonesia!) untuk sikap menganggap remeh prinsip sentralisme demokratis, terutama segi demokrasinya.
5. KELAS PROLETAR HARUS MEMILIKI PARTAI SENDIRI YANG TIDAK TERIKAT PADA PARTAI BURJUIS MANAPUN
Kelas proletar hanya dapat memperjuangkan kepentingannya, apabila memiliki partai yang mempunyai watak kelas proletar dan tidak terikat pada salah satu fraksi kelas burjuis, sekalipun yang berhaluan ‘progresif‘. Pengalaman yang negatif apabila tidak ada ‘kemandirian secara organisasi’ dari kelas buruh di gelanggang politik, terdapat banyak sekali baik di negara imperialis maupun di negara kapitalis terbelakang. Di Amerika Serikat meskipun ada serikat buruh, tetapi secara politik kelas proletar tidak pernah berhasil untuk membentuk organisasi yang mewakili kelasnya secara politik (yang reformis pun seperti di Eropa Barat tidak ada) dan selalu mengekori Partai Demokrat yang dipandang sebagai sedikit lebih ‚progresif‘ atau sekurangnya ‘liberal’ dari Partai Republikan. Keadaan itu menyebabkan (tentu juga: disebabkan, hubungan itu memang bersifat timbal-balik) kesadaran politik yang sangat rendah di dalam kelas proletar negara imperialis terkuat di dunia itu. Di Amerika Latin pada gilirannya terdapat gejala yang umumnya disebut ‘populisme’, yaitu pemimpin burjuis berkarisma besar dengan demagogi sosial yang lihai berhasil untuk memikat massa rakyat dengan rupa-rupa janji muluk serta semboyan-semboyan anti-imperialis. Contoh yang klasik untuk itu adalah Argentina dengan Peronismenya serta Mexico dengan partai PRI-nya. Selama pemimpin burjuis itu memiliki sumber daya yang memadai untuk (meskipun secara sangat terbatas) memperbaiki taraf hidup rakyat, populisme itu seakan-akan memiliki watak progresif dan bahkan melakukan konfrontasi terbatas dengan imperialisme. Hal seperti itu terjadi misalnya pada masa pemerintahan pertama Peron di Argentina (1946-55) atau Cardenas di Mexico (1934-40).
Namun dalam periode ‘bersemi’-nya pun populisme itu menindas (tak jarang dengan kekerasan) segala usaha kelas buruh untuk bertindak secara merdeka dan melepaskan diri dari pengendalian oleh pemimpin burjuis[7]. Kalau negara yang dipimpin rezim burjuis yang bersifat populis itu selanjutnya dilanda krisis ekonomi, tampaklah wajah populisme itu yang sebenarnya: konfrontasi dengan imperialisme dihentikan, taraf hidup kelas proletar dan kaum tertindas lainnya ditekan serendah-rendahnya. Contoh yang baik untuk itu selain Mexico dan Argentina adalah Peru dan Bolivia. Partai-partai populis di negara-negara itu tidak ada satupun yang secara tegas menentang pelunasan hutang luar negeri (pada bank dan pemerintah negara-negara imperialis) yang menjadi masalah hidup mati bagi semua negara kapitalis terbelakang. Mereka tidak berani putus hubungan dengan imperialisme, karena membutuhkan sokongannya untuk melestarikan kedudukan kelas burjuis masing-masing terhadap tuntutan kaum tertindas .
Di samping negara yang kelas proletarnya belum mencapai kemandirian politik secara organisasi ada juga partai yang termasuk gerakan buruh tetapi karena ilusi reformisnya mengikatkan diri secara politis pada salah satu fraksi kelas burjuis. Hal serupa itu umumnya disebut front rakyat (popular front). Garis yang mengorbankan kemandirian politik kelas buruh demi janji-janji muluk dari sekelompok burjuis ‘progresif‘ serta beberapa kursi menteri sudah banyak membawa celaka untuk gerakan buruh internasional. Garis NASAKOM yang diikuti oleh PKI telah melucuti kelas proletar Indonesia serta sekutu-sekutunya dalam menghadapi kelas burjuis dan penindas lainnya dan memberi kesempatan kepada mereka untuk melancarkan teror putihnya yang ketiga, yang mahaganas itu.
Sebaliknya, contoh yang positif untuk hasil garis politik yang menitikberatkan kemandirian politik kelas proletar terdapat di Brasilia. Partai Buruh (PT) dalam beberapa tahun terakhir ini mengumpulkan aktivis serikat buruh serta berbagai gerakan massa untuk membangunkan suatu kubu sosialis yang menjadi alternatif terhadap rezim burjuis serta partai-partai reformis lama. Usaha itu dalam tahun lalu menghasilkan dinamika yang kuat dalam perjuangan massa tertindas, seperti ternyata dalam pemogokan umum di bulan maret 1989 serta mobilisasi dalam pemilihan umum untuk dewan perwakilan rakyat tingkat daerah yang membawa kemenangan untuk PT di beberapa kota industri yang penting seperti Sao Paulo. Kecenderungan itu diteruskan dalam kampanye pemilihan presiden yang untuk pertama kali dalam beberapa dasawarsa terakhir ini menyatukan seluruh sayap kiri Brazil untuk mendukung kandidat PT, Luis Inacio da Silva (biasa dipanggil ‚Lula’) yang menjadi terkenal sebagai pemimpin buruh industri logam. Meskipun masih banyak kelemahan yang melekat pada PT, terutama secara organisasi – namun pendirian yang mandiri, yang putus dengan segala aliran burjuis, membawa dinamika untuk perjuangan kaum tertindas di Brazil yang untuk pertama kalinya dalam sejarah negeri terbesar Amerika Latin itu membuka perspektif revolusioner.
6. KELAS PROLETAR DI SEMUA NEGERI MEMBUTUHKAN ORGANISASI REVOLUSIONER SEDUNIA (INTERNASIONALE)
“Titik berat dalam mengorganisir kelas proletar terletak pada pembangunan Internasionale” (Rosa Luxemburg)
Hampir semua aliran politik dewasa ini memiliki organisasi sedunia atau Internasionale. Ada Internasionale Liberal dan Internasionale Keristen-Demokrat di pihak kaum burjuis, ada Internasionale Sosialis (atau Internasionale ke-2) dari sayap reformis dalam gerakan buruh. Hanya sayap revolusioner dari gerakan buruh yang tidak memiliki lagi Internasionale. Hal itu sangat bertentangan dengan tradisi sayap revolusioner dalam gerakan buruh. Organisasi buruh revolusioner pertama yang dibangun antara lain oleh Marx dan Engels bersifat internasional. Perlawanan Lenin, Luxemburg dan Trotski (untuk menyebut hanya yang paling terkenal) terhadap arus reformisme sesudah pengkhianatan partai-partai Internasionale ke-2 juga dilakukan secara internasional, seperti di Konperensi Zimmerwald. Dan sesudah Revolusi Oktober kaum Bolsyevik serta sayap revolusioner sosialis di negara-negara lainnya dengan secepatnya berusaha untuk membangun kembali Internasionale yang bersifat revolusioner. Usaha itu yang membuahkan Internasionale ke-3 (juga disebut Internasionale Komunis atau Komintern). Dan musuh kita memang tidak salah kalau Internasionale itu dianggapnya sebagai ancaman berat, sehingga Hitler, Tenno dan konco-konco fasis lainnya bergabung dalam ‘Pakta Anti-Komintern’. Hanya, bukan di tangan kedua musuh bebuyutan kelas proletar itu Komintern akhirnya tumbang, melainkan pada tahun 1943 dilikwidasi oleh Stalin, penjagal ratusan ribu Bolsyevik di Uni Sovyet itu. Organisasi seperti Kominform yang didirikan selama Perang Dingin tidak pernah menjadi partai proletar sedunia seperti Internasionale ke-3 pada masa awalnya, melainkan hanya alat penyaluran perintah pimpinan di Moskow kepada partai-partai lain yang berstatus ‘adik‘. Barangsiapa yang ‘membandel’ dihukum, seperti terjadi dengan RRT.[8]
Tidak perlu dijelaskan, bahwa keadaan seperti itu berbahaya sekali. Mengingat campur tangan imperialis di tempat manapun yang dianggapnya penting (Timur Tengah, Amerika Tengah, Pasifik dsb.) dan juga bentrokan antara negara kapitalis terbelakang (Irak-Iran, India-Pakistan, Senegal-Mauretania dsb.) maka terang sekali, bahwa kelas proletar tidak cukup hanya memiliki semboyan ‘kesetiakawanan internasional’, melainkan harus memiliki organisasi internasional yang kuat, yang dapat mengkordinasikan aksi proletar dengan serentak di berbagai negeri sehingga tercegah bahaya masing-masing kelas buruh bergabung dengan kelas burjuis ‘sendiri’-nya dan akhirnya proletar saling membunuh atas nama kepentingan ‘tanah air’-nya. Organisasi internasional juga semakin penting karena proses produksi kapitalis juga bersifat semakin internasional. Berkembangnya perusahaan internasional, berpindah-pindahnya pabrik dan lain sebagainya merupakan gejala dari proses internasionalisasi produksi itu.
Bagaimana sifat internasionale yang perlu dibangun itu? Jelas sebagai partai proletar revolusioner sedunia perlu diterapkan apa yang dikatakan di atas tentang sentralisme demokratis. Dengan satu kekecualian. Pengalaman pada masa Internasionale ke-3 menunjukkan, bahwa sebaiknya pimpinan internasional jangan sampai mencampuri urusan taktik sehari-hari dari masing-masing seksi. Sentralisme yang dilebih-lebihkan akhirnya akan menimbulkan kesalahan yang disebabkan pengetahuan yang tidak memadai di pihak pimpinan internasional mengenai keadaan konkrit dan juga akan memperlambat pengambilan keputusan. Sebaliknya, kelonggaran yang berlebih-lebihan seperti dahulu dalam Internasionale ke-2 akan menjadikan organisasi internasionale sebuah senjata tumpul. Tentu yang dikatakan di sini tentang sifat Internasionale yang perlu dibangun itu masih sangat umum. Namun yang lebih konkrit itu akan berwujud dalam perjuangan untuk menegakkan organisasi itu dan tidak dapat disimpulkan hanya dari pengalaman historis saja.
7. DALAM PEMBANGUNAN PARTAI REVOLUSIONER YANG DAPAT MEMIMPIN KELAS PROLETAR DAN SEKUTUNYA DALAM REVOLUSI SOSIALIS HARUS DIPADU BERBAGAI ALIRAN YANG MASING-MASING MEMILIKI TRADISI TERTENTU DAN MENYUMBANG PENGALAMAN TERSENDIRI YANG BERHARGA
Dalam pembangunan partai revolusioner perlu ditinggalkan konsep yang melihat pembangunan itu sebagai proses linear. Artinya, pembangunan bertolak dari satu kelompok kecil yang memiliki program revolusioner yang benar dan menyeluruh sampai menjadi partai revolusioner massa yang memimpin kelas tertindas dalam revolusi. Perpecahan yang sudah-sudah dalam gerakan buruh, kemajemukan masyarakat, ketidakserentakan perkembangan kesadaran dalam berbagai sektor kelas proletar, latar belakang budaya atau tradisi pemikiran yang berbeda-beda, kehadiran lebih dari satu kelas yang tertindas dan masih banyak faktor lain menyebabkan, bahwa di kebanyakan negara terdapat lebih dari satu aliran yang menentang sistem kapitalis dan mencari jalan untuk menumbangkannya serta menggantinya dengan tata masyarakat sosialis. Perpecahan itu sering menjadi hambatan yang sangat besar dalam perjuangan revolusioner, termasuk pembangunan partai. Sikap sektarisme memungkinkan kaum burjuis dapat main adu domba dengan leluasanya. Namun hambatan itu dapat dinetralisir sebagian atau seluruhnya dan bahkan bisa dijadikan suatu faktor pendorong, apabila ditangani secara konstruktif. Contoh proses penyatuan berbagai aliran revolusioner sampai terbentuk partai revolusioner yang kuat dapat diamati di El Salvador (pembentukan FMLN = Front Farabundo Marti untuk Pembebasan Nasional). Contoh yang lain adalah perpaduan yang semakin sering dari kelompok dengan latar belakang marxisme dengan kelompok keristen kerakyatan (teologi pembebasan) yang terjadi di Amerika Latin, Pilipina dan – dengan corak yang sedikit berbeda – juga di beberapa negara lain seperti Korea Selatan.
Perpaduan itu menuntut sikap terbuka (yang jangan disamakan dengan oportunisme atau pendirian yang tak kenal azas!) dan otokritis dari semua pihak, penghargaan atas perjuangan kelompok lain dan – di pihak kita – kesadaran, bahwa marxisme bukan pengganti agama, bukanlah dogma seperti yang dimiliki sri paus, melainkan ilmu yang faalnya adalah sebagai senjata di tangan kaum tertindas untuk memperjuangkan pembebasannya.
Catatan
[1] Lagi menulis begini, teringat saya akan tulisan atau wawancara (nuwun pangapunten, saya sedang jauh dari arsipku untuk mengecheck rujukan itu) Daniel Bensaid mengenai perbedaan penting yang sering kurang dipahami antara revolusi dan kontra-revolusi: revolusi terjadi dengan mobilisasi enerji masyarakat yang luar biasa sebagai gejolak, kontra-revolusi cenderung terjadi sejara berangsur, sejengkal demi sejangkal.
[2] Tulisan ini tentu di sana sini sudah kedaluwarsa,paling mencolok mungkin dalam hal perkembangan di Brazil dengan pengkhianatan Lula dengan mayori tas PTnya. Tapi agaknya justeru pengalaman pahit itu mengonfirmasikan sejumlah dari tesis yang dikemukakan di sini: dilepaskannya independensi kelas sebagai prinsip dibarengi manuver-manuver stalinis terhadap anggota PT yang melawan kapitulasi itu, dan hasil dari pemerintahan PT sebgai penyelenggara sistem burjuis dari sudut pandang kaum tertindas nol besar.
[3] Contoh untuk penindasan itu ialah penindasan pria terhadap wanita, kepincangan antara keduduk-dan orang desa, antara kedudukan pekerja intelek-tuil dan pekerja tangan, antara kedudukan orang tua dan orang muda dsb. Anggapan bahwa semua itu hilang secara otomatis bila alat-alat produksi telah disita dari tangan kelas burjuis telah terbukti sebagai harapan kosong.
[4] Istilah ‘negara buruh’ diambil sebagai terjemahan dari istilah workers state dalam bahasa Inggeris. Artinya, negara yang bersangkutan tidak lagi berada di tangan kelas burjuis atau kelas lain yang secara historis mendahului kelas burjuis sebagai kelas berkuasa.
[5] Perlu dicatat, bahwa ternyata hasil dari sistem ekonomi terencana yang tidak berdasarkan demokrasi proletar melainkan dikendalikan menurut keputusan sewenang-wenang selapisan kecil birokrat benalu hampir sama buruknya.
[6] Istilah yang memang tidak terlalu memuaskan itu dipakai di sini karena penulis tidak mau menutup-nutupi bahwa analisa tentang kelas yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memang belum dilakukan secara memuaskan.’Kelas tertindas lainnya’ misalnya mencakup golongan besar yang dalam bahasa Inggeris disebut ‘urban poor’, orang miskin yang hidup di kota dan mempunyai pencaharian yang tak menentu, misalnya sebagai penjaja koran, penjaja minuman dan lain sebagainya. Untuk menggolongkan kelompok itu secara skematis sebagai ‘burjuis kecil’ (karena memiliki alat produksinya sendiri tanpa menghisap orang lain) atau sebagai ‘proletar lumpen’ (karena statusnya yang tak menentu) pada hemat penulis sama sekali tidak cocok untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang berfungsinya masyarakat Indonesia dewasa ini.
[7] Sebetulnya contoh untuk populisme tidak perlu dicari jauh-jauh, karena rezim Sukarno merupakan contoh yang jelas untuk corak politik burjuis itu. Namun Sukarno ditumbangkan oleh fraksi burjuasi lainnya pada zaman dia masih nampak progresif, sehingga perkembangan selanjutnya tidak dapat ditampilkan seperti dalam hal populisme di Amerika Latin.
[8] Perlu dicatat, bahwa sesudah perpecahan antara Moskow dan Beijing partai-partai yang berkiblat ke RRT diperlakukan dengan cara yang serupa dan kerjanya tidak lain dari pada membeo sabda pimpinan PKT.
bebaskanlah para TAPOL NAPOL, Karena mereka tidak bersalah dan tidak melakukan MAKAR, Yang melakukan Makar adalah Negara dan kaki tangan negara (TNI/POLRI). Hakim kasih Uang Habis Perkara (KUHP) Harus di Buktikan bahwa seseorang bersalah jangan kasih uang habis perkara (KUHP).