Suluh yang haram tunduk pada kapitalisme

Thomas Rieger

Perdebatan menarik antara Bung Coen dan Bung Goenawan kelihatannya mulai seru dan memang menyentuh sejumlah hal yang sangat mendasar bagi siapapun yang tergolong pencinta emansipasi, dalam arti penghentian penindasan manusia atas sesamanya dalam segala bentuknya – kelas, gender, etnis, orientasi seksuil dsb. Saya jelas-jelasnya terlalu muda untuk termasuk golongan manikebu diabetis, apa boleh buat, saya memilih untuk tetap marxis, agaknya di kubu si Charly, bukan si Groucho. Seriusnya, saya berpendapat bahwa urusan „keterbukaan“, „pluralis“ dsb., pokoknya apa saja yang menyangkut „suluh“ -sebagai lawannya benteng, kerangkeng dan entah engengan apa lagi – bukan monopoli aliran non-marxis. Sosialisasi politik saya di Indonesia pada zaman orde baru yang segelap-gelapnya. Dalam konfrontasi dengan orde baru, „kiri“ hampir otomatis berarti „PKI“, entah karena memang pilihan sang subyek begitu, entah karena dicap mereka (kaum Orba). Hanya segelintir orang – seperti Bung Joesoef Isak almarhum – bisa menerima kehadiran „kiri“ di luar dikotomi itu. Dalam konteks kebebasan intelektuil yang relatif jauh lebih besar masa pasca-Suharto sering dilupakan, bahwa sebelum diktator ter­laknat itu jatuh, perlawanan rakyat berkembang, antara lain juga karena kemunculan aliran kiri baru yang keluar dari paradigma stalinis yang lama (tanpa menjadi jinak alias sosial demokrat). Sumbangan saya ini tidak ada pretensi teoretis apa-apa, melainkan dimaksudkan untuk menghormati salah seorang kawan, Bung Kohar („AKI“), yang pada masa awal kebangkitan kembali pergerakan kiri itu termasuk yang berhaluan pluralis tanpa kehilangan orientasi marxisnya.

Perlu diingat, bahwa keberanian untuk membuka diri itu ditampilkan pada saat yang serba gelap untuk segenap pergerakan sosialis: stalinisme di Uni Sovyet (yang hanya nama saja, karena sudah berpuluh-puluh tahun tak mengenal dewan buruh barang sebuah juapun) akhir­nya tumbang, tapi bukan oleh revolusi proletar melainkan oleh „kudeta berangsur“ sayap pro-kapitalis birokrasi yang berkuasa, yang di kemudian hari dengan enaknya bergan­dengan tangan dengan unsur-unsur paling represif aparat stalinis (bangsa Putin, si jagal).[1] Rejim-rejim konconya di Eropah Timur tak mau ketinggalan dan tenggelam satu per satu. Harapan akan pembaha­ruan di Tiongkok dibantai di lapangan Tian An Men. Habis membu­nuh harapan rakyat RRT, birokrasi kontra-revolusioner yang berkuasa menunujukkan muka kelasnya yang sebenarnya bagi barang siapa yang belum pandai membedakan diktatur oleh proletariat dari diktatur atas proletariat: yang dihukum mati pada bulan-bulan sesudah pem­bantaian Tian An Men, sebagian besar buruh, bukan mahasiswa. Segoblok-gobloknya biro­krat, masih enggan mem­bunuh anaknya sendiri yang kuliah di perguruan tinggi elit…

Pendek kata, keberanian untuk membuka diri, untuk lebih memilih suluh dari pada benteng, terjadi pada saat yang sebagian besarnya diwarnai dua macam reaksi di antara kaum kiri: berkapitulasi mentah-mentah atau mengunci diri dalam benteng. Sikap yang terakhir seba­gai­mana kita ketahui sering menjadi tahap pertama dalam perjalanan ke arah kapitulasi ju­ga…konteks itu yang perlu dilihat, jangan isi dari pada tulisan saya yang tidak ada istime­wa­nya. Bung AKI memuatnya dalam majalah eksil „Mimbar“ yang diasuhnya, kira-kira pada pa­ruh pertama tahun 1990[2].

7 TESIS

1.       SOSIALISME ITU BERARTI PEMBEBASAN MANUSIA DALAM ARTI SELUAS-LUASNYA

Salah satu ciri pokok masyarakat sosialis menurut Marx adalah kemerosotan berangsur-angsur dari pada peranan negara (sebagai alat untuk menyelenggara­kan diktatur kelas berkuasa atas kelas-kelas yang dikuasai/tertindas) dalam masyarakat. Seiring de­ngan proses itu segala bentuk penindasan yang se­ring masih menjadi warisan dari masyarakat praka-pitalis harus dihapuskan.[3] Masyarakat sosialis itu menuju masyarakat komunis yang merupakan ga­bungan bebas dan sukarela dari kaum produsen. Bila dipakai kriterium itu, sudah jelas bahwa tata ma­syarakat yang terdapat di Eropah Timur, RRT, Viet­nam, Kuba dan Nikaragua meskipun bukan kapitalis lagi, tetapi juga belum bersifat sosialis. Alasan obyektif yang paling mendasar untuk hal itu ialah, bahwa dalam keadaan seperti sejak Revolusi Oktober dengan kekuasaan imperialisme masih jauh melebihi kekuatan negara tempat kelas proletar berkuasa tidak mungkin negara sebagai  alat diktatur kelas proletar ‘berangsur hi­lang. Seperti diutarakan Marx, langkah untuk memasuki babak baru dalam se­jarah umat manusia itu harus diambil secara kurang lebih  serentak kalau bukan di  seluruh dunia, pa-ling sedikit oleh kelas proletar di negara-negara terkuat. Dalil itu bukan dimaksudkan untuk membe­narkan segala sikap yang diambil oleh pemimpin di negara buruh[4], melainkan untuk menunjukkan kondisi obyektif yang mendasari degenerasi yang dapat kita amati pada kebanyakan negara itu.

Dengan demikian sudah jelas kiranya, bahwa dalil tentang ‘kegagalan sosialisme’ itu hanya semboyan kosong belaka, karena memang masyarakat sosialis belum pernah terwujud di dunia ini!

2.  REVOLUSI SOSIALIS ADALAH SATU-SATUNYA JALAN UNTUK MENJAMIN KELANGSUNGAN HIDUP UMAT MANUSIA

Umat manusia untuk pertama kali sepanjang sejarah­nya secara keseluruhan menghadapi keadaan yang se­demikian gentingnya, sehingga kelangsungan hidup­nya di bumi ini ter­ancam secara konkrit. Pertum­buhan jumlah penduduk dunia yang tak terkendali, pencemar­an (dan bahkan penghancuran) lingkungan hidup, pemborosan sumber daya alam, bahaya perang dengan penggunaan senjata nuklir, kimia atau bio­logis (kuman) oleh pengamat burjuis pun diakui da­pat membawa kepunahan bagi seluruh umat manusia. Segala usaha pemerintah burjuis baik secara nasio­nal maupun secara internasional (PBB dsb.) untuk memecahkan masalah tersebut selama ini sia-sia be­laka. Dan selama usaha itu tetap berbentrokan de­ngan sistem kapitalis yang berazas tunggal “kejar­lah laba sebesar-besarnya”[5], maka hasilnya tidak bakal lain dari nol. Hanya perombakan yang sebe­sar-besarnya, yang mengakhiri masa bersimaharaja­lelanya ‘azas tunggal’ kapitalis itu dapat membuka jalan untuk seluruh umat manusia ke luar dari kri­sisnya.

Dalam hubungan itu perlu ditolak sikap ‘mekanisme historis’ yang masih berjangkit pada banyak kawan. Tidaklah benar, bahwa menurut Marx kemenangan ke­las tertindas merupakan suatu kepastian dalam pro­ses sejarah. Apabila perkembangan kemampuan ber­produksi (productive forces) dalam suatu masyara­kat terbentur pada susunan ekonomi (perhubungan antara satu kelas dengan kelas lainnya dalam pe­kerjaan meng­ha­sil­kan /produksi) maka krisis yang timbul dapat diselesaikan melalui penggulingan kelas berkuasa oleh kelas tertindas (revolusi) se­hingga tersingkir rintangan yang menghalangi per­kem­bang­an masyarakat itu. Namun apabila kelas ter­tindas tidak mampu untuk mencapai pendobrak­an itu, masyarakat bersangkutan akan menemui jalan buntu yang dapat berakhir dengan kehancuran bersama-sama kelas berkuasa dan kelas tertindas atau masyarkat itu secara keseluruhan. Itu yang dimaksudkan Rosa Luxemburg dengan rumusannya yang tersohor, bahwa pada masa kapitalisme terkembang penuh (imperia­lisme) hanya ada dua pilihan yang dimiliki umat manusia: Sosialisme atau tenggelam dalam kebiadab­an.

Dan satu hal lagi yang perlu diambil sebagai hik­mah dari lebih seratus tahun perjuangan demi so­sialisme: setiap kali kelas buruh berusaha untuk menempuh jalan reformis, jalan parlementer untuk merombak susunan masyarakat, usaha itu tenggelam dalam banjir darah. Darah proletar yang ditumpah­kan oleh kelas burjuis dan kaki tangannya, alat represi dari negara burjuis. Itulah hikmah dari pengalaman pahit baik di tanah air kita sendiri maupun di Chili 1973.

Juga perlu dihindari jebakan ‘revolusi bertahap’, rumusan yang berakar pada fikiran Mensye­visme dan kemudian diambil alih oleh Stalin dan para pengi­kutnya. Memang tidak dapat disangkal, bahwa dalam negara kapitalis terbelakang seperti di Indonesia masih banyak tugas yang secara historis termasuk program revolusi burjuis (seperti landreform, pe­negakan negara hukum, perlindungan hak-hak indi­vidu dsb.) belum diselesaikan. Namun tidak boleh kita lupakan, bahwa burjuasi Indonesia bukanlah burjuasi Eropa abad ke-18 atau ke-19. Indonesia dewasa ini menjadi bagian dari dunia yang dikuasai imperialisme dan burjuasi dunia sudah lama berhen­ti untuk memainkan peranan revolusioner, melainkan membela diri mati-matian terhadap ancaman revolusi proletar dan mengambil sikap yang sereaksioner-re-aksionernya. Dalam keadaan itu burjuasi Indonesia terjepit antara keingin­an­nya untuk melepaskan diri dari simbiose dengan unsur birokrasi dan militer dan memper­oleh ruang gerak lebih besar dari impe­rialisme dan rasa terancamnya oleh massa prole­tar, petani miskin dan kelas tertindas lainnya[6]. Dilihat kelemahan sosial kelas burjuis itu, maka ia akan mencari lindungan Imperialisme dengan se­lekasnya begitu menghadapi mobilisasi proletar. Dan tanpa mobilisasi itu, dia akan terlalu lemah untuk menghadapi imperialisme dan komprador­nya. Baik dari pertimbangan teoretis itu maupun dari peng­alaman sejarah (secara negatif: Indonesia sen­diri, Chili; secara positif: Cuba, Nicaragua) da­pat disimpulkan, bahwa tugas itu harus diselesai­kan oleh kelas proletar. Artinya, revolusi prole­tar itu akan mulai dengan menyelesaikan tugas yang tak diselesaikan dalam revolusi burjuis tetapi ti­dak akan berhenti di situ, melainkan akan maju te­rus dengan mengambil langkah yang akhirnya meng­hancurkan sistem kapitalis dan memberi watak so­sialis kepada revolusi itu. Proses seperti itu dapat dengan jelas sekali diamati dalam revolusi Cuba yang dipimpin oleh organisasi yang semula ha­nya menentang diktatur dan kuasa imperialisme di Cuba. Tetapi dalam mobilisasi untuk tujuan itu ternyata, bahwa kedaulatan nasional itu hanya da­pat direnggut dari tangan imperialis apabila dila­kukan mobilisasi buruh dan tani miskin yang se­luas-luasnya dan semakin disita kekuasaan politik dan ekonomi burjuasi dalam negeri yang sama sekali tidak bersikap ‘nasional’. Proses revolusioner di Nikaragua (meskipun oleh intervensi imperialis ki­ni dalam bahaya akan dibalikkan) menurut pola yang mirip.

3.   PEMERINTAHAN PARTAI TUNGGAL BERLAWANAN DENGAN CITA-CITA SOSIALISME

Sejarah mengajarkan bahwa sesudah kekuasaan kelas burjuis ditumbangkan, perlu ditegak­kan diktatur kelas proletar untuk menjaga agar sisa-sisa kelas berkuasa yang lama jangan sampai mendapat kesem­patan untuk melakukan kontrarevolusi. Tetapi isti­lah ‘diktatur kelas proletar’ telah banyak menim­bulkan salah tafsir, umumnya salah tafsir yang di-sengajakan. Oleh partai-partai Internasionale ke-2 (sosialdemokrat) serta mereka yang mencoba untuk mengekorinya (seperti aliran ‘Eurokomunis’ yang termasuk antara lain Partai Komunis Italia) dikta­tur kelas proletar itu diartikan sebagai tata ma­syarakat yang tidak mengenal hak-hak azasi manusia dan kebebasan demokratis, seperti kebebasan beror­ganisasi, kebebasan berkumpul atau mengeluarkan pendapat. Tafsiran itu dipergunakan oleh golongan itu untuk mencoret penegakan diktatur kelas pro­letar (dan dengan demikian juga tujuan revolusi sosialis) dari programa partainya masing-masing dan membenarkan kapitulasinya di hadapan kelas burjuis. Golongan kedua yang suka memberi salah tafsir pada istilah itu adalah diktator-diktator seperti Stalin, Deng dan Ceausescu serta para pengikutnya yang mela­kukan  diktatur pribadinya dengan  segala  tindak  penindasan  yang  sekeji-kejinya  sebagai   ‘diktatur  kelas  proletar’.   Dengan kata  lain mereka mengartikan diktatur kelas  pro­letar  sebagai  diktatur (kaum birokrat)  atas  klas proletar. Arti yang bagaimanakah diberi oleh Marx pada  ‘diktatur kelas proletar‘?

Bagi Marx selama ada masyarakat berkelas, tentu ada kelas yang ber­kuasa dan kelas yang tertindas. Kelas yang berkua­sa akan melakukan usaha apa saja yang dianggapnya perlu untuk melestarikan kekuasaannya. Hal itulah yang disebut ‘diktatur kelas’. Bentuk diktatur itu sangat  beragam,  menurut  imbangan kekuatan  antara kelas berkuasa dan kelas tertindas. Diktatur kelas burjuis misalnya dapat mengambil bentuk demokrasi burjuis yang memberi kebebasan yang relatif besar seperti dalam sejumlah negeri Eropah Barat dewasa ini,   tetapi  juga dapat mengambil  bentuk diktatur fasis seperti di  Indonesia sekarang atau misalnya di Jerman Hitler zaman dulu. Adapun diktatur kelas proletar harus berbentuk demokrasi yang seluas-luasnya, jauh lebih luas dari pada demokrasi bur­juis yang paling sempurna sekalipun, karena sebab yang sederhana sekali: dengan ditegak­kannya dikta­tur kelas proletar untuk pertama kali dalam seja­rah umat manusia kelas yang berkuasa adalah kelas yang mencakup  sebagian  terbesar  dari masyarakat. Demokrasi pro­le­tar itu yang dapat diselenggarakan misalnya melalui dewan buruh (sovyet dalam bahasa Rusia, hanya sayangnya di Uni Sovyet sudah berpu­luh-puluh  tahun  tidak  ada   sovyet  la­gi…) tentu akan menjamin hak azasi dan hak politik yang se­luas-luasnya,   terma­suk  hak  berorganisasi untuk semua kelompok kecuali yang mencoba dengan keke­rasan untuk menghancurkan demokrasi proletar itu (seperti  golongan  ‘Contra’ di Nikaragua). ‘Azas partai  tunggal’ yang sekian lama menjadi ciri khas dari tata negara Uni Sovyet serta negara-negara Eropah Timur dan masih dipegang di RRT merupakan penyelewengan yang sangat mendasar dari marxisme. Dalam hal itu (seperti dalam banyak hal lain) ter­dapat persekutuan diam-diam antara tukang canang imperialisme dunia dan penganut stalinisme: oleh yang pertama penyamarataan “diktatur kelas pro­letar = diktatur partai komunis” telah digunakan untuk menjadikan sosialisme itu suatu momok, juga di mata kebanyakan kaum buruh. Bagi diktator se­bagai Deng, Ceasescu dan Jaruzelski rumusan itu sangat berguna untuk mendiskreditkan segala tin­dakan perlawanan terhadap rezimnya, bahkan segala bentuk kritik dicap sebagai bersifat kontrarevolusioner dan didalangi oleh CIA.

Dan masih ada alasan kuat lainnya mengapa ‘azas partai tunggal’ itu bertentangan dengan pemikiran marxis. Dalam masyarakat modern dewasa ini kelas proletar mencakup antara 20% (di beberapa negara yang masih sangat tergantung pada pertanian) dan lebih dari 80% (di negara industri kapitalis yang termaju). Kelas itu oleh seorang yang berpikir se­cara materialis tidak mungkin dianggap sebagai ke­lompok monolitis, yaitu yang seluruh anggotanya dianggap seragam dalam sikap dan kepentingannya. Apalagi sekutu kelas proletar seperti petani mis­kin, bagian-bagian tertentu dari kaum burjuis ke­cil dsb. Dan semua sikap dan kepentingan berbeda itu tentu tidak mungkin diwadahi dan diwakili da­lam organ legislatif oleh satu partai saja.

Tentu ada yang membantah penalaran itu dengan da­lil bahwa di Uni Sovyet sudah sejak zaman Lenin Partai Komunis Uni Sovyet de facto menjadi partai tunggal. Namun dalil itu harus ditolak dengan te­gas. Keadaan itu oleh Lenin dan banyak pemimpin Bolchevik pada zaman sebelum diktatur Stalin di­anggap sebagai keadaan sementara yang disebabkan oleh perang sipil, intervensi asing dan sebagainya dan bukan suatu hal yang harus diangkat menjadi teori (apalagi dogma pengganti agama). Tidak ada ajaran Lenin, bahwa diktatur kelas proletar harus diselenggarakan oleh partai tunggal. Dan kalaupun ada, barang siapa mengaku marxis dan leninis hen­daknya juga mencontoh kedua pejuang revolusioner itu dengan berpikiran kritis, termasuk terhadap buah pikiran mereka itu sendiri, dan jangan hanya membeo saja.

4.       DEMOKRASI DAN SENTRALISME ADALAH DUA PRINSIP YANG TAK TERPISAHKAN DALAM PARTAI REVOLUSIONER YANG MEMPERJUANGKAN SOSIALISME

Menilik pengalaman pahit baik di Indonesia sendiri maupun di luar negeri timbullah perta­nyaan, partai macam apakah yang perlu dibangun untuk memper­juangkan cita-cita sosia­lisme. Sampai pada waktu yang belum lama ini setiap orang revolusioner pas­ti menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan, bah­wa untuk memimpin kelas buruh dalam perjuangan re­volusioner diperlukan partai leninis yang berda­sarkan sentralisme demokratis. Namun belakangan ini semakin gencar Lenin dan ajarannya tentang pem­bangunan partai diserang sebagai pangkal segala bencana yang terjadi di Uni Sovyet, Polandia Cekoslovakia d.l.l. Gerakan massa merebahkan monumen Lenin, Galangan Kapal Lenin di Gdansk (Polandia) oleh buruhnya sendiri diberi nama lain dan masih banyak gejala lain yang menunjukkan popularitas tokoh revolusioner itu paling sedikit di kalangan kaum buruh negeri kelahirannya serta tetangga-te­tangganya sedang merosot sekali. Lenin dengan teo­rinya tentang partai revolusioner dianggap menjadi semacam ‘bapak rohani’ dari diktatur birokrasi ga­ya Stalin dan para epigonnya. Untuk menguji kebe­naran pendapat itu perlu dikaji apakah sebenarnya yang menjadi hakikat sentra­lisme demokratis.

Sen­tralisme berarti, bahwa seluruh partai melaksana­kan secara berdisiplin keputusan yang telah diam­bil oleh badan yang dipilih untuk itu. Disiplin yang keras dituntut karena partai revolusioner yang menghadapi negara burjuis dengan segala alat penindasannya seperti polisi rahasia dan tentara seakan-akan menjadi angkatan perang yang terlibat dalam perjuangan hidup-mati. Dengan struktur yang longgar dan disiplin yang rendah mudah sekali par­tai akan dihancurkan oleh musuh. Namun disiplin yang tinggi hanya dapat tumbuh dari kesadaran yang tinggi tiap-tiap anggotanya. Kesadaran itu hanya dapat bertumbuh apabila demokrasi intern dalam partai dijalankan dengan baik. Hanya kader yang dididik dalam suasana perdebatan demokratis dalam partai dan secara insyaf ikut menetapkan garis po­litiknya betul-betul akan mampu untuk melaksanakan tugas revolusionernya. Demokrasi intern itu seha­rusnya termasuk hak untuk membentukkan tendens dan fraksi yang memajukan usul tertentu dalam perde­batan tentang garis partai. Barang tentu apabila kelompok itu dalam pengambilan keputusan kalah, ia harus tunduk pada disiplin partai (sentralisme). Namun apabila tendens atau fraksi tidak boleh di-bentuk dan ikut secara terbuka dalam perdebatan politik intern, maka akan timbullah klik-klik in-formil yang tidak jelas dasarnya (atau, lebih ce­laka lagi, perdebatan intern mati sama sekali). Hak untuk membentukkan fraksi dan tendens terjamin dalam partai bolsyevik sampai sekitar 1920 dan ha­nya dihapuskan untuk sementara karena kegentingan keadaan dalam perang sipil. Larangan yang semula bersifat sementara itu akhirnya dipergunakan oleh Stalin untuk menegakkan diktaturnya dan kemudian dikramatkan sebagai ‘prinsip Leninis’… Kegagal­annya sampai tiga kali untuk mencegah merajalela­nya teror putih adalah harga yang mahal sekali yang dibayar oleh PKI (dan rakyat Indonesia!) un­tuk sikap menganggap remeh prinsip sentralisme demokratis, terutama segi demokrasinya.

5.      KELAS PROLETAR HARUS MEMILIKI PARTAI SENDIRI YANG TIDAK TERIKAT PADA PARTAI BURJUIS MANAPUN

Kelas  proletar hanya dapat memperjuangkan kepen­tingannya, apabila memiliki partai yang mempunyai watak kelas proletar dan tidak terikat pada salah satu  fraksi  kelas burjuis,   se­ka­li­pun yang berha­luan  ‘progresif‘.  Pengalaman yang negatif apabila tidak ada ‘kemandirian secara organisasi’ dari ke­las buruh di gelanggang politik, terdapat  banyak sekali baik di ne­ga­ra imperialis maupun di negara kapitalis terbelakang. Di Amerika Serikat meskipun ada   se­­­rikat   buruh, tetapi  secara  politik  kelas proletar tidak pernah berhasil untuk  mem­ben­tuk organisasi  yang mewakili  kelasnya  secara  politik (yang  reformis  pun  seperti di Ero­pa  Barat tidak ada) dan selalu mengekori Partai Demokrat yang dipandang seba­gai  sedi­kit  lebih ‚progresif‘  atau sekurangnya ‘liberal’ dari Partai Republikan. Kea­daan itu menye­babkan (tentu juga: disebabkan, hu­bungan itu memang bersifat timbal-balik) kesa­daran politik yang sangat rendah di dalam kelas proletar negara imperialis terkuat di dunia itu. Di Amerika Latin pada gilirannya terdapat gejala yang umumnya disebut ‘populisme’, yaitu pe­mimpin burjuis berka­risma besar dengan demagogi sosial yang lihai ber­hasil untuk memi­kat massa rakyat dengan rupa-rupa janji muluk serta semboyan-semboyan anti-impe­rialis. Con­toh yang klasik untuk itu adalah Argentina dengan  Peronismenya  serta Mexico dengan partai PRI-nya. Se­lama pemimpin burjuis itu memiliki sum­ber daya yang memadai untuk  (meskipun secara sa­ngat terbatas) memperbaiki taraf hidup rakyat, po­pulisme itu seakan-akan memiliki  wa­tak progresif dan bahkan melakukan konfrontasi  terbatas dengan impe­ria­lisme. Hal seperti itu terjadi misalnya pa­da masa  pemerintahan  pertama Peron di Argen­tina (1946-55) atau Car­denas di Mexico (1934-40).

Namun dalam periode ‘bersemi’-nya pun populisme itu me­nindas (tak jarang dengan kekerasan) segala usaha kelas buruh untuk ber­tindak secara merdeka dan me­lepaskan diri dari pengendalian oleh pemimpin bur­juis[7]. Kalau negara yang dipimpin rezim burjuis yang bersifat populis itu selanjutnya dilanda kri­sis ekonomi, tampaklah wajah populisme itu yang sebenarnya: konfrontasi dengan imperialisme dihen­tikan, taraf hidup kelas proletar dan kaum tertin­das lainnya ditekan serendah-rendahnya. Contoh yang baik untuk itu selain Mexico dan Argentina adalah Peru dan Bolivia. Partai-partai populis di negara-negara itu tidak ada satupun yang secara tegas menentang pelunasan hutang luar negeri (pada bank dan pemerintah negara-negara imperialis) yang menjadi masalah hidup mati bagi semua negara kapi­talis terbelakang. Mereka tidak berani putus hu­bungan dengan imperialisme, karena membutuhkan sokongannya untuk melestari­kan kedudukan kelas bur­juis masing-masing terhadap tuntutan kaum tertin­das .

Di samping negara yang kelas proletarnya belum mencapai kemandirian politik secara organisasi ada juga partai yang termasuk gerakan buruh tetapi ka­rena ilusi reformisnya mengikatkan diri secara po­litis pada salah satu fraksi kelas burjuis. Hal serupa itu umumnya disebut front rakyat (popular front). Garis yang mengorbankan kemandirian poli­tik kelas buruh demi janji-janji muluk dari seke­lompok burjuis ‘progresif‘ serta beberapa kursi menteri sudah banyak membawa celaka untuk gerakan buruh internasional. Garis NASAKOM yang diikuti oleh PKI telah melucuti kelas proletar Indonesia serta sekutu-sekutunya dalam menghadapi kelas bur­juis dan penindas lainnya dan memberi kesempatan kepada mereka untuk melancarkan teror putihnya yang ketiga, yang mahaganas itu.

Sebaliknya, contoh yang positif untuk hasil garis politik yang menitikberatkan kemandirian politik kelas proletar terdapat di Brasilia. Partai Buruh (PT) dalam beberapa tahun terakhir ini mengumpul­kan aktivis serikat buruh serta berbagai gerakan massa untuk membangunkan suatu kubu sosialis yang menjadi alternatif terhadap rezim burjuis serta partai-partai reformis lama. Usaha itu dalam tahun lalu menghasilkan dinamika yang kuat dalam per­juangan massa tertindas, seperti ternyata dalam pemogokan umum di bulan maret 1989 serta mobili­sasi dalam pemilihan umum untuk dewan perwakilan rakyat tingkat daerah yang membawa kemenangan un­tuk PT di beberapa kota industri yang penting se­perti Sao Paulo. Kecenderungan itu diteruskan da­lam kampanye pemilihan presiden yang untuk pertama kali dalam beberapa dasawarsa terakhir ini menya­tukan seluruh sayap kiri Brazil untuk mendukung kandidat PT, Luis Inacio da Silva (biasa dipanggil ‚Lula’) yang menjadi terkenal sebagai pemimpin bu­ruh industri logam. Meskipun masih banyak kelemah­an yang melekat pada PT, terutama secara organisa­si – namun pendirian yang mandiri, yang putus de­ngan segala aliran burjuis, membawa dinamika untuk perjuangan kaum tertindas di Brazil yang untuk pertama kalinya dalam sejarah negeri terbesar Ame­rika Latin itu membuka perspektif revolusioner.

6.       KELAS PROLETAR DI SEMUA NEGERI MEMBUTUHKAN OR­GANISASI REVOLUSIONER SEDUNIA (INTERNASIONALE)

“Titik berat dalam mengorganisir kelas proletar terletak pada pembangunan Internasionale” (Rosa Luxemburg)

Hampir semua aliran politik dewasa ini memiliki organisasi sedunia atau Internasionale. Ada Internasionale Liberal dan Internasionale Keristen-Demokrat di pihak kaum burjuis, ada Internasionale Sosialis (atau Internasionale ke-2) dari sayap re­formis dalam gerakan buruh. Hanya sayap revolusio­ner dari gerakan buruh yang tidak memiliki lagi Internasionale. Hal itu sangat bertentangan dengan tradisi sayap revolusioner dalam gerakan buruh. Organisasi buruh revolusioner pertama yang diba­ngun antara lain oleh Marx dan Engels bersifat in­ternasional. Perlawanan Lenin, Luxemburg dan Trotski (untuk menyebut hanya yang paling terke­nal) terhadap arus reformisme sesudah pengkhia­natan partai-partai Internasionale ke-2 juga dila­kukan secara internasional, seperti di Konperensi Zimmerwald. Dan sesudah  Revolusi  Oktober  kaum Bolsyevik serta sayap revolusioner sosialis di ne­gara-negara lainnya dengan secepatnya berusaha un­tuk membangun kembali Internasionale yang bersifat revolusioner. Usaha itu yang membuahkan  Interna­sionale ke-3 (juga disebut Internasionale Komunis atau Komintern). Dan musuh kita memang tidak salah kalau Internasionale itu dianggapnya  sebagai  an­caman berat, sehingga Hitler, Tenno dan konco-kon­co fasis lainnya bergabung dalam ‘Pakta Anti-Komintern’. Hanya, bukan di tangan kedua musuh bebu­yutan kelas  proletar itu Komintern akhirnya tum­bang,  melainkan pada  tahun 1943  dilikwidasi  oleh Stalin, penjagal ratusan ribu Bolsyevik di Uni Sovyet itu. Organisasi seperti Kominform yang di­dirikan selama Perang Dingin tidak pernah menjadi partai proletar sedunia seperti Internasionale ke-3 pada masa awalnya, melainkan hanya alat penya­luran perintah pimpinan di Moskow kepada partai-partai lain yang berstatus ‘adik‘. Barangsiapa yang  ‘membandel’   dihukum, seperti terjadi dengan RRT.[8]

Tidak perlu dijelaskan, bahwa keadaan seperti itu berbahaya sekali. Mengingat campur  tangan imperialis di tempat manapun yang dianggapnya penting (Timur Tengah, Amerika Tengah, Pasifik dsb.) dan juga bentrokan antara negara kapitalis terbelakang (Irak-Iran, India-Pakistan, Senegal-Mauretania dsb.) maka terang sekali, bahwa kelas proletar ti­dak cukup hanya memiliki semboyan ‘kesetiakawanan internasional’, melainkan harus memiliki organisa­si internasional yang kuat, yang dapat mengkordinasikan aksi proletar dengan serentak di berbagai negeri sehingga tercegah bahaya masing-masing ke­las buruh berga­bung dengan kelas burjuis ‘sendi­ri’-nya dan akhirnya proletar saling membunuh atas nama kepentingan ‘tanah air’-nya. Organisasi in­ternasional juga semakin penting karena proses produksi kapitalis juga bersifat semakin inter­nasional. Berkembangnya perusahaan interna­sional, berpindah-pindahnya pabrik dan lain sebagainya me­rupakan gejala dari proses internasionalisasi pro­duksi itu.

Bagaimana sifat internasionale yang perlu dibangun itu? Jelas sebagai partai proletar revolu­sioner sedunia perlu diterapkan apa yang dikatakan di atas tentang sentralisme demokratis. Dengan satu kekecualian. Pengalaman pada masa Internasionale ke-3 menunjukkan, bahwa sebaiknya pimpinan inter­nasional jangan sampai mencampuri urusan taktik sehari-hari dari masing-masing seksi. Sentralisme yang dilebih-lebihkan akhirnya akan menimbulkan kesalah­an yang disebabkan pengetahuan yang tidak memadai di pihak pimpinan internasional mengenai keadaan konkrit dan juga akan memperlambat peng­ambilan keputusan. Sebalik­nya, kelonggaran yang berlebih-lebihan seperti dahulu dalam Internasio­nale ke-2 akan men­jadi­kan organisasi internasio­nale sebuah senjata tumpul. Tentu yang dikatakan di sini tentang sifat Internasionale yang perlu dibangun itu masih sangat  umum.  Namun yang lebih konkrit itu akan berwujud dalam perjuangan untuk menegakkan organisasi itu dan tidak dapat disim­pulkan hanya dari pengalaman historis saja.

7.       DALAM PEMBANGUNAN PARTAI REVOLUSIONER YANG DAPAT MEMIMPIN KELAS PROLETAR DAN SEKUTUNYA DALAM REVOLUSI  SOSIALIS  HARUS  DIPADU BERBAGAI ALIRAN YANG MASING-MASING MEMILIKI TRADISI TERTENTU DAN MENYUMBANG  PENGALAMAN TERSENDIRI YANG BERHARGA

Dalam pembangunan partai revolusioner perlu di­tinggalkan konsep yang melihat pemba­ngun­an itu se­bagai proses linear. Artinya, pembangunan bertolak dari satu kelompok kecil yang memiliki program re­volusioner yang benar dan menyeluruh sampai menja­di partai revolusioner massa yang memimpin kelas tertindas dalam revolusi. Perpecahan yang sudah-sudah dalam gerakan buruh, kemajemukan masyarakat, ketidakserentakan perkembangan kesadaran dalam berbagai sektor kelas proletar, latar belakang bu­daya atau tradisi pemikiran yang berbeda-beda, ke­hadiran lebih dari satu kelas yang tertindas dan masih banyak faktor lain menyebabkan, bahwa di ke­banyakan negara terdapat lebih dari satu aliran yang menentang sistem kapitalis dan mencari jalan untuk menumbangkannya serta menggantinya dengan tata masyarakat sosialis. Perpecahan itu sering menjadi hambatan yang sangat besar dalam per­juangan revolusioner, termasuk pembangunan partai. Sikap sektarisme memungkinkan kaum burjuis dapat main adu domba dengan leluasanya. Namun hambatan itu dapat dinetralisir sebagian atau seluruhnya dan bahkan bisa dijadikan suatu faktor pendorong, apabila ditangani secara konstruktif.  Contoh proses penyatuan berbagai aliran revolusioner sampai terbentuk partai revolusioner yang kuat dapat dia­mati di El Salvador (pembentukan FMLN = Front Farabundo Marti untuk Pembebasan Nasional). Contoh yang lain adalah perpaduan yang semakin sering da­ri kelompok dengan latar belakang marxisme dengan kelompok keristen kerakyatan (teologi pembebasan) yang terjadi di Amerika Latin, Pilipina dan – de­ngan corak yang sedikit berbeda – juga di beberapa negara lain seperti Korea Selatan.

Perpaduan itu menuntut sikap terbuka (yang jangan disamakan dengan oportunisme atau pendirian yang tak kenal azas!) dan otokritis dari semua pihak, penghargaan atas perjuangan kelompok lain dan – di pihak kita – kesadaran, bahwa marxisme bukan peng­ganti agama, bukanlah dogma seperti yang dimiliki sri paus, melainkan ilmu yang faalnya adalah seba­gai senjata di tangan kaum tertindas untuk memper­juangkan pembebasannya.

Catatan

[1]    Lagi menulis begini, teringat saya akan tulisan atau wawancara (nuwun pangapunten, saya sedang jauh dari arsipku untuk mengecheck rujukan itu) Daniel Bensaid mengenai perbedaan penting yang sering kurang dipahami antara revolusi dan kontra-revolusi: revolusi terjadi dengan mobilisasi enerji masyarakat yang luar biasa sebagai gejolak, kontra-revolusi cenderung terjadi sejara ber­ang­sur, sejengkal demi sejangkal.

[2]   Tulisan ini tentu di sana sini sudah kedaluwarsa,paling mencolok mungkin dalam hal perkembangan di Brazil dengan pengkhianatan Lula dengan mayori tas PTnya. Tapi agaknya justeru pengalaman pahit itu mengonfirmasikan sejumlah dari tesis yang dikemukakan di sini: dilepaskannya indepen­densi kelas sebagai prinsip dibarengi manuver-manuver stalinis terhadap anggota PT yang mela­wan kapitulasi itu, dan hasil dari pemerintahan PT sebgai penyelenggara sistem burjuis dari sudut pandang kaum tertindas nol besar.

[3]    Contoh untuk penindasan itu ialah penindasan pria terhadap wanita, kepincangan antara keduduk-dan orang desa, antara kedudukan pekerja intelek-tuil dan pekerja tangan, antara kedudukan orang tua dan orang muda dsb. Anggapan bahwa semua itu hilang secara otomatis bila alat-alat produksi telah disita dari tangan kelas burjuis telah ter­bukti sebagai harapan kosong.

[4] Istilah ‘negara buruh’ diambil sebagai terjemahan dari istilah workers state dalam bahasa Inggeris. Artinya, negara yang bersangkutan tidak lagi ber­ada di tangan kelas burjuis atau kelas lain yang secara historis mendahului kelas burjuis sebagai kelas berkuasa.

[5]   Perlu dicatat, bahwa ternyata hasil dari sistem ekonomi terencana yang tidak berdasarkan demo­krasi proletar melainkan dikendalikan menurut keputusan sewenang-wenang selapis­an kecil biro­krat benalu hampir sama buruknya.

[6] Istilah yang memang tidak terlalu memuaskan itu dipakai di sini karena penulis tidak mau menu­tup-nutupi bahwa analisa tentang kelas yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memang belum dilakukan secara memuaskan.’Kelas tertindas lainnya’ misal­nya mencakup golongan besar yang da­lam bahasa Inggeris disebut ‘urban poor’, orang miskin yang hidup di kota dan mempunyai penca­harian yang tak menentu, misalnya sebagai penjaja koran,  penjaja minuman dan lain seba­gainya.  Untuk menggolongkan kelompok itu secara ske­matis sebagai ‘burjuis ke­cil’ (karena me­miliki alat produksinya sendiri tanpa menghisap orang lain) atau sebagai ‘pro­letar lumpen’ (karena statusnya yang tak me­nentu) pada hemat penulis sama sekali tidak cocok untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang berfungsinya masyarakat Indo­nesia dewasa ini.

[7] Sebetulnya contoh untuk populisme tidak perlu di­cari jauh-jauh, karena rezim Sukarno merupakan contoh yang jelas untuk corak politik burjuis itu. Namun Sukarno ditumbang­kan oleh fraksi burjuasi lainnya pada zaman dia masih nampak pro­gresif, sehingga per­kembangan selanjutnya ti­dak dapat ditampilkan seperti dalam hal populisme di Amerika Latin.

[8] Perlu dicatat, bahwa sesudah perpecahan antara Moskow dan Beijing partai-partai yang berkiblat ke RRT diperlakukan dengan cara yang serupa dan kerjanya tidak lain dari pada membeo sabda pim­pinan PKT.

Share

0 thoughts on “Suluh yang haram tunduk pada kapitalisme

  1. bebaskanlah para TAPOL NAPOL, Karena mereka tidak bersalah dan tidak melakukan MAKAR, Yang melakukan Makar adalah Negara dan kaki tangan negara (TNI/POLRI). Hakim kasih Uang Habis Perkara (KUHP) Harus di Buktikan bahwa seseorang bersalah jangan kasih uang habis perkara (KUHP).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *