Nasib Mogok Nasional di Tangan Elit Serikat Buruh

Oleh: Sherr Rinn*)

Baru saja Gerakan Buruh Indonesia (GBI) yang di dalamnya tergabung Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) / Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Komite Persiapan-Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KP-KPBI) dan berbagai serikat lainnya, mengundurkan rencana mogok nasional yang sebelumnya direncanakan pada tanggal 12 sampai 20 November (8 hari) menjadi tanggal 24 sampai 27 November 2015 (3 hari).

Alasan dari pengunduran jadwal pemogokan ini karena terlebih dahulu harus melakukan rapat-rapat akbar pada tanggal 12-20 November tersebut alias kurang persiapan. Padahal, batas waktu akhir penetapan upah oleh Gubernur adalah 20 November 2015.

Namun sebenarnya, selama tiga tahun ini, kita bisa mencatat pengunduran-pengunduran bahkan pembatalan-pembatalan pemogokan ini dari elit-elit serikat buruh besar.

2012

Elit-elit serikat besar ini memiliki rekor bermain-main dengan mogok nasional, paling tidak sejak mogok nasional pertama. Mogok nasional 3 Oktober 2012 adalah mogok nasional pertama yang dianggap sukses dan luar biasa, tetapi sebenarnya didominasi oleh buruh-buruh shift 2 dan shift 3 yang tidak bekerja di pagi hari. Aksi sweeping mampu menyukseskan mogok dengan menjemput buruh-buruh yang masih bekerja di pabrik. Tetapi, ada pula pabrik-pabrik yang masih beroperasi karena luput atau karena dilindungi dengan segala cara oleh kapitalis, termasuk dengan menggunakan bantuan pengurus serikat buruh. Setelah mogok nasional ini, kemampuan radikalisasi dilumpuhkan dengan penandatanganan kesepakatan harmonisasi pada tanggal 8 November 2012 oleh pimpinan FSPMI Bekasi Obon Tabroni dan pimpinan SPSI Abdullah dengan APINDO, pemerintah kabupaten Bekasi dan ormas preman. Kesepakatan ini mengakhiri aksi solidaritas yang sering disebut “geruduk pabrik” di Bekasi, menyusul daerah-daerah lainnya.

2013

Pada tahun 2013, mogok nasional sekali coba diorganisir. Kali ini dengan persatuan dengan serikat-serikat kiri di dalam Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh (KNGB) yang dideklarasikan pada akhir September 2013 di Gedung Juang, Jakarta. Sedangkan, Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) sedang retak, Andi Gani (KSPSI) dan Mudhofir (KSBSI) yang kala itu berseberangan dengan Said Iqbal, mengecam aksi sweeping buruh dalam deklarasi GEBRAK, 11 November 2013 di Gedung Juang.

Mogok nasional KNGB direncanakan pada 28 Oktober sampai 1 November 2013, kemudian diundur menjadi 31 Oktober sampai 1 November. Hari pertama mogok, ratusan ormas mampu memukul puluhan ribu buruh sehingga menimbulkan sedikitnya 17 korban luka-luka. Pada hari kedua mogok diganti menjadi unjuk rasa nasional secara sepihak oleh KSPI dengan aksi ke Mabes Polri, Jakarta. Kasus kekerasan terhadap buruh tersebut tidak jelas penuntasannya. Belakangan ketahuan, FSPMI secara sepihak mencabut laporan polisi, LBH Jakarta pernah melayangkan protes atas hal itu.

Kelemahan terbesar mogok nasional pun terkuak. Muncul keresahan di kalangan buruh yang berasal dari pabrik kecil/subkontraktor/vendor karena pabrik-pabrik besar justru tidak menghentikan produksi pada saat pemogokan. PUK SPEE FSPMI PT Plavis menjadi salah satu korban pemutusan hubungan kerja (PHK) karena mogoknya dianggap ilegal.

Presiden FSPMI/KSPI Said Iqbal mengumpulkan para pimpinan serikat FSPMI di Tambun, Bekasi, untuk ditanyai komitmen dalam menjalani instruksi dan diminta menandatangi hitam di atas putih. Tak mempan.

Pengajar ekonomi politik buruh, Danial Indrakusuma, menggambarkan kesadaran buruh yang memahami kelicikan pengurus serikat buruh dari pabrik-pabrik besar, sebagai berikut:

“Mulai tumbuh terbuka pemikiran bahwa pabrik tempat bekerja pimpinan/perangkat justru tidak stop produksl. Atau pimpinan/perangkat tidak memberikan tauladan. Apalagi yang seperti itu adalah pabrik-pabrik besar yang, sebenarnya, bisa menyumbangkan lebih besar massa demi kemenangan perjuangan.”

Segera setelah kegagalan, Said Iqbal kembali menjanjikan mogok daerah (sebagai gantinya) melalui surat instruksi nomor 012456/org/DPP-FSPMI/XI/2013 yang sedianya akan dilaksanakan pada 28-29 November 2013 untuk menuntut kenaikan upah kenaikan upah minimum 2014 sebesar 50 %, jalankan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia per 1 Januari 2014, hapus outsourcing sesuai Permenakertrans No. 19/2012, sahkan RUU Pekerja Rumah Tanggal, copot Kapolres Bekasi Isnaeni dan tangkap aktor intelektual kekerasan terhadap buruh.

Namun, pada 27 November 2013, rencana mogok daerah tersebut dibatalkan di seluruh daerah dan diundur sampai dengan waktu yang belum diumumkan. Mogok diganti menjadi aksi ke Mabes Polri dengan tuntutan yang sama. Mogok daerah itu sendiri tak pernah terlaksana, telah dua tahun berselang hingga saat ini.

2014

Dalam perjuangan upah pada tahun 2014, KSPI kembali bersatu dengan KSPSI AGN dan KSBSI, setelah sempat bersaing cukup tajam dalam Pilpres 2014 di mana Said Iqbal mendukung Prabowo Subianto, sementara Andi Gani dan Mudhofir mendukung Joko Widodo. Mereka merencanakan mogok nasional bersama tanggal 10 dan 11 Desember untuk menuntut kenaikan upah sebesar 30 %. Namun, lagi-lagi berdasarkan rapat para pimpinan 3 konfederasi besar dan puluhan federasi pada 2 Desember 2014, mogok nasional tersebut diganti menjadi unjuk rasa nasional dengan dalih sebagai bentuk pemanasan sebelum mogok nasional. Dalihnya adalah masih kurang persiapan. Sampai saat ini, mogok nasionalnya tak pernah terlaksana.

2015

Rencana mogok nasional kembali mengemuka saat May Day 2015 di mana Said Iqbal atas nama KSPI mengumumkan akan mogok nasional pada November mendatang jika tuntutan buruh saat May Day tidak dipenuhi oleh pemerintah.

Pada Juli 2015, sekali lagi KSPI bersama Gabungan Buruh Indonesia (GBI) berencana akan melakukan mogok nasional menolak aturan baru jaminan hari tua (JHT) dalam BPJS Ketenagakerjaan. Rencana mogok nasional ini semakin santer menuju penetapan upah tahun 2016, terlebih lagi setelah munculnya wacana RPP Pengupahan sampai dengan pengesahannya.

Dalam momentum perlawanan terhadap PP Pengupahan, terjadi lagi pengunduran jadwal mogok terakhir seperti yang disebutkan awal tulisan ini: rencana mogok nasional yang sebelumnya direncanakan pada tanggal 12 sampai 20 November (8 hari) menjadi tanggal 24 sampai 27 November 2015 (3 hari).

Kekecewaan Massa

Mogok nasional masih bergantung pada kehendak pimpinan serikat-serikat buruh besar yang menguasai massa besar. Sebut saja mereka, FSPMI/KSPI, KSPSI dan KSBSI. Hubungan patron-klien antara elit serikat buruh dan anggotanya menjadikan pelaksanaan mogok nasional selalu menanti instruksi dari para perangkat, dan disertai dengan kekecewaan massa jika instruksi mogok tersebut ditunda, dibatalkan atau tak jelas kabarnya.

Apalagi, jika dilihat dari komposisi organisasi yang tergabung dalam aliansi-aliansi yang dimotori KSPI, kekuatan kolektif massa buruh mayoritas justru berkumpul di dalamnya. Kekuatan tersebut menjadi sia-sia karena tidak diasah dengan militansi dan moral juang yang lebih tinggi. Belajar dari pengalaman kegagalan mogok nasional jilid 2 tahun 2013, harmonisasi antara elit serikat dengan kapitalis di perusahaan-perusahaan besar adalah penyebab kegagalan mogok nasional yang total. Bagaimana pun juga mogok nasional yang sejati ini akan membuang kenyamanan segelintir elit serikat buruh. Bagaimana mungkin hal itu diwadahi sekaligus: kenyamanan segelintir elit serikat dan perlawanan dalam bentuk penghentikan produksi total? Tentu tak mungkin, salah satunya harus dipilih. Semakin lama dibiarkan, aliansi besar ini justru akan menjadi wadah (magnet) yang efektif dalam menumpulkan kekuatan buruh, apalagi dengan didukung oleh serikat-serikat kiri yang turut serta di dalam GBI.

Elit-elit serikat buruh dari dulu selalu mengobati kekecewaan ini dengan janji-janji perlawanan baru: mogok nasional nanti, mogok daerah, ikut pemilu, ikut pilkada, dll. Berhubung karena massa sungguh tergantung pada kebijakan elitnya dan belum berkepribadian, maka kekecewaan itu belum berkembang menjadi tindakan perlawanan yang mandiri. Kaum buruh juga belum melihat adanya harapan adanya serikat dan gerakan alternatif sehingga belum berpindah.

Apa yang sedang diusahakan oleh Komite Persatuan Rakyat (KPR) untuk menjadi aliansi alternatif, yang paling tidak mengikis dominasi serikat besar yang kerap mengambil kebijakan sepihak, bukan hal yang mudah. Meski tak bergabung dengan GBI, KPR menawarkan “menyerang bersama dari barisan yang terpisah”.

Perjuangan buruh akan semakin cepat meraih kemenangannya jika mayoritas massa telah berpihak pada kekuatan yang paling setia.

Mogok Solidaritas

Mogok adalah senjata utama kelas pekerja dalam memperjuangan tuntutan-tuntutannya. Sebab, mogok adalah penghentian proses produksi pabrik milik kapitalis di mana buruh bekerja di dalamnya, sehingga menimbulkan akibat hilangnya keuntungan kapitalis.

Di dalam UU Ketenagakerjaan, mogok didefinisikan untuk melemahkan kaum buruh, yakni sebagai proses penghentian produksi akibat gagalnya perundingan sebanyak lebih dari tiga kali yang dinyatakan deadlock. Mogok pun dikategorikan sebagai mogok legal dan mogok ilegal. Dengan berbagai cara, kapitalis berusaha memanipulasi dan menuduh mogok buruh dilakukan secara ilegal hingga kapitalis dapat memenangkan kepentingannya secara hukum.

Dalam definisi ini, mogok nasional tidak diakui oleh hukum ketenagakerjaan Indonesia, karena mogok semacam itu tidak melewati proses perundingan dengan pengusaha di pabrik masing-masing. Menaker Hanif Dhakiri tahu persis hal ini dan dengan tidak ragu-ragu menolak keabsahan mogok nasional. Hal ini sekaligus menunjukan bahwa dia tidak berpihak pada kaum buruh sekalipun latar belakangnya sebagai mantan aktivis itu.

Konsekuensi mogok yang dianggap tak sah, tak main-main, akan didakwa sebagai kesalahan berat dan buruh bisa dipecat dan terlempar ke dalam barisan pengangguran.

Mogok nasional adalah mogok yang sulit, tetapi juga ada suatu pencapaian yang luar biasa jika sanggup dilakukan dengan kesadaran buruh sendiri, bukan karena sweeping dan sekadar konvoi aksi buruh shift 1 dan shift 2. Mogok serempak ini juga dapat digunakan sebagai mogok solidaritas untuk membantu buruh-buruh di pabrik lain yang sedang berjuang. Dalam peta rantai pasokan, buruh di pabrik-pabrik yang bekerja untuk memenuhi pesanan pabrik pelanggan (customer) yang sama akan sangat efektif menggunakan siasat mogok solidaritas untuk menggempur perusahaan-perusahaan multinasional tersebut.

Buruh yang telah dibiasakan menjalani disiplin pabrik dan mengadopsi hegemoni negara kapitalis akan berkecil hati dan takut pada hukum borjuis yang meng-ilegal-kan mogok nasional. Tetapi, bagi buruh yang selalu mencari akal dan jalan keluar bagaimana agar sanggup menghentikan proses produksi secara total, akan bergerak maju dan mengorganisir-diri serta kawan-kawannya dalam wadah-wadah akar rumput secara demokratis, tak peduli jika dihambat oleh elit-elit serikatnya sendiri yang gemar bermain-main dengan gertakan mogok nasional.

Kemampuan kaum buruh dalam mengembangkan siasat pemogokan serempak dan mogok solidaritas akan menjadi penentu dalam perjuangan massa buruh Indonesia di masa-masa yang akan datang.

*) Penulis ada pengelola Solidaritas.net, anggota PPRI dan KPR.

November 13, 2015

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *