Oleh: Sumirah*
Pengesahan Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan (PP Pengupahan) memicu perlawanan dari kelas buruh . PP Pengupahan menetapkan kenaikan upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi serta menghilangkan peluang kelas buruh menggunakan posisi tawarnya dalam perundingan penetapan upah. Segera setelah pengesahan PP Pengupahan, pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan upah hanya sebesar 11,5 persen di seluruh Indonesia.
Sekali lagi, elit-elit serikat buruh membunyikan kembali rencana mogok nasional pada bulan November 2015 sebagai bentuk perlawanan untuk mencabut PP Pengupahan. Namun, mogok tersebut mengalami kegagalan yang bukan saja dilihat dari ketidakberhasilan membatalkan PP Pengupahan itu sendiri, tapi lebih penting lagi menilainya dari rendahnya partisipasi kaum buruh dalam pemogokan.
Berdasarkan observasi, hampir seluruhnya apa yang disebut mogok nasional itu sebenarnya adalah sebuah aksi unjuk rasa belaka! Di Kabupaten Bekasi, misalnya, pada hari pertama, buruh-buruh terbagi dalam kelompok-kelompok kecil kelihatan berkumpul di depan pabrik-pabrik. Setiap ada upaya buruh untuk mengumpulkan massa, aparat dengan sigap membubarkannya.
“Mogok nasional” ini masih mengandalkan unjuk rasa, padahal jika buruh benar-benar berhenti produksi, maka represi relatif dapat dikurangi. Kita harus mengakui bahwa kesadaran buruh untuk mogok belum tinggi. Sebab-sebabnya itulah yang harus kita cari dan atasi.
Jangan Berharap pada Otoritas
Kesalahan utama para pimpinan serikat buruh kuning (yang juga kemudian di idap juga oleh serikat merah) adalah melebih-lebihkan peranan otoritas dalam suatu pemogokan. Mereka berpikir, instruksi organisasi beserta sosialisasi-sosialisasinya sudah cukup untuk memobilisasi suatu pemogokan umum. Jargon “satu komando” itu terbukti hanya sebuah bualan omong kosong saat instruksi pemogokan diabaikan.
Keresahan buruh atas ketidakkonsistenan elit serikat buruh memberikan instruksi mogok nasional telah dirasakan sejak tahun 2013. Bukan barang baru! Mogok nasional jilid 2 itu gagal karena pabrik-pabrik di mana pengurus serikat buruh bekerja, justru tidak menghentikan proses produksi. Buruh mengenalnya sebagai “pabrik besar” atau “pabrik bonafid” di mana pengurus serikat buruh bekerja—sudah menjadi kebiasaan pengurus serikat buruh dipilih dari pabrik penyumbang iuran besar. Jumlah anggotanya mencapai ribuan. Sedangkan, “pabrik kecil” yang berusaha menjalankan instruksi menjadi serba salah ketika bos mengatakan “pabrik pengurusmu saja masih jalan”. Buruh tak percaya pada pengurus mereka yang tidak konsisten pada pemogokan. Said Iqbal mengumpulkan pengurus-pengurus ini setelah kegagalan mogok itu dan bahkan, meminta mereka menandatangani pernyataan akan menjalankan instruksi. Hasilnya bisa diketahui pada mogok 2015 yang masih saja gagal meningkatkan partisipasi anggota.
Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan terjadinya mogok nasional 3 Oktober 2012 yang disebut-sebut melibatkan 2 juta buruh?
Gerakan buruh Indonesia melakukan pemogokan yang melibatkan kurang lebih 2 juta buruh. Pemogokan ini merupakan akumulasi dari pembangunan gerakan buruh sejak tahun 2010 di kalangan buruh metal, bukan merupakan gerakan yang lahir secara spontan. Setidaknya ada empat kunci terjadinya mogok tersebut.
Pertama, pengorganisiran buruh-buruh yang aktif berserikat. Mereka terorganisir dalam pendudukan pabrik dan wadah garis depan serikat buruh. Buruh yang menjadi anggota serikat tidak serta merta aktif berpartisipasi dalam serikat buruh karena keterbatasan waktu luang akibat lembur. Meskipun buruh membayar iuran melalui potongan upah secara otomatis (kebanyakan pada serikat kuning), hal ini tak secara langsung berdampak pada mobilisasi. Artinya, besaran jumlah iuran yang diperoleh oleh serikat kuning tak mencerminkan jumlah mobilisasi faktual di lapangan.
Peranan buruh maju ini sangat penting sebagai ujung tombak. Garda Metal, misalnya, sebagai sayap Federasi Serikat Pekerja Metal (FSPMI) memiliki peranan dalam mengorganisir buruh agar lebih aktif terlibat dalam kegiatan serikat. Pada awal pembentukannya, birokrasi FSPMI tak langsung setuju, namun mereka berhasil meyakinkan elit FSPMI bahwa Garda Metal tidak akan menggangu otoritas birokrasi yang sudah ada, dalam hal ini Pimpinan Unit Kerja (PUK), Pimpinan Cabang (PC) sampai Dewan Pimpinan Pusat (DPP).
Proses ini juga berhasil mendorong kaderisasi dalam tubuh kepengurusan serikat buruh, walau belum sampai pada pimpinan puncak dan kepengurusan inti yang masih dipegang oleh elit-elit lama.
Kedua, penyadaran ekonomi-politik. 12 tahun reformasi tidak memberikan perubahan pada kurikulum serikat buruh besar yang sebagian besar hanya berisi tentang materi administrasi keserikatan dan hukum ketenagakerjaan belaka. Materi pendidikan ekonomi-politik yang mengajarkan sejarah masyarakat, sistem ekonomi kapitalisme, analisa proses produksi dan siasat pemogokan adalah hal yang asing bagi buruh. Kata “buruh” sendiri baru mulai dimaknai kembali pada tahun 2012 di kalangan serikat besar seperti FSPMI dan SPSI. 32 tahun kekuasaan Orde Baru menghapuskan kata “buruh” dan menggantinya dengan “karyawan”.
Ketiga, menggunakan aksi massa, solidaritas dan aksi tutup kawasan. Pada tahun-tahun itu juga, buruh kembali belajar menggunakan aksi massa sebagai metode perjuangan yang diperluas dengan solidaritas. Penutupan-penutupan kawasan sepanjang tahun 2011 membentuk atmosfer perlawanan langsung di jantung kapitalisme.
Keempat, mengangkat persoalan mayoritas buruh yang paling tertindas, yakni buruh outsourcing. Kondisi kerja outsourcing meluas setelah pengesahan UU No. 13 tahun 2003 yang mengizinkan penggunakan buruh outsourcing. Pengusaha memperluas penggunaannya dengan melanggar peraturan tersebut dengan cara menggunakan buruh outsourcing hampir di semua bidang produksi. Buruh outsourcing mendapatkan diskriminasi besar-besaran, dari mulai pembedaan seragam, tempat parkir, upah dan tunjangan sampai dengan pemotongan upah yang mencapai 30-40 % yang dilakukan oleh yayasan penyalur.
Ketika FSPMI mengangkat persoalan ini dengan program hapus outsourcing dan tolak upah murah (Hostum) dengan metode aksi di (geruduk) pabrik-pabrik, dukungan dari buruh outsourcing meluas. Apalagi, buruh telah menyaksikan sendiri aksi penutupan kawasan 27 Januari 2012 berhasil mempertahankan kenaikan upah sebesar Rp 400 ribu. Buruh outsourcing menggabungkan diri ke serikat dan menambah kekuatan gerakan secara signifikan.
Sehingga, tidak heran, pada 3 Oktober 2012. Mogok nasional dapat dilakukan dengan melibatkan sekitar 2 juta buruh.
Gerakan ini bukanlah gerakan yang direstui oleh elit serikat buruh pada awalnya. Usaha-usaha pembubaran pendidikan ekonomi politik telah ada sejak sebelum 2012. Teriakan birokrasi serikat buruh semakin kencang ketika gerakan membesar. Hasil-hasil dari pembesaran gerakan tersebut diambil alih oleh birokrasi serikat buruh dengan segala cara. Mereka juga secara aktif melarang anggotanya mengikuti pendidikan ekonomi politik yang kala itu diselenggarakan di Rumah Buruh dan Saung Buruh. Para kariris bermunculan seperti jamur di musim hujan yang berharap partisipasi dan otoritas mereka dalam gerakan buruh yang sudah membesar itu, dapat meningkatkan karir mereka.
Apa yang tidak asing dari situasi semacam ini adalah munculnya oportunisme yang ingin meraup hasil-hasil pembesaran gerakan buruh untuk kepentingan reformis belaka (kenaikan recehan, karir, hingga sogokan). Serangan balik dari negara dan kapitalis yang datang dalam bentuk represi aparat dan preman, diatasi dengan kompromi dan penyingkiran unsur-unsur yang dianggap mengganggu kompromi tersebut.
Kenapa saya menjelaskan semua fakta di atas untuk memahami bahwa gerakan kebangkitan tahun 2012 dilahirkan bukan karena otoritas “tangan dingin” elit serikat buruh atau spontanitas massa yang meledak seketika. Semua itu diorganisir, kawan-kawan, oleh mereka yang bekerja di dalam serikat kuning dengan gagasan-gagasan progresif! Apa yang dinamakan dengan “kepeloporan” itu nyata. Kelemahannya adalah, kepeloporan itu belum cukup secara kuantitas dan kualitas sehingga ketika efek samping pembesaran suatu gerakan muncul: oportunisme dalam wujud birokrasi serikat buruh, maka kekuatan pelopor tidak sanggup mengatasinya. Jika saja kelompok kiri bersatu sejak awal atau lebih banyak pelopor yang sadar, maka cerita dari akhir kebangkitan gerakan buruh tahun 2012 akan memberikan hasil berbeda karena adanya kehadiran alternatif yang sanggup memimpin kehendak sejati massa yang sedang bangkit, ketika pimpinan serikat buruh reformis berkompromi.
Di mana kah kelompok kiri pada saat itu?
Mereka masih berkutat dengan basis tradisionalnya, seperti KASBI dan Sekber Buruh. Keputusan Sekber Buruh yang setuju bersatu dengan FSPMI/KSPI dilakukan pada Deklarasi KNGB pada bulan September 2013, setahun setelah kebangkitan buruh tahun 2012! Sudah terlambat karena atmosfer gerakan sebagai lahan subur persemaian gagasan-gagasan kiri, telah menurun; massa yang sedang bangkit, telah mengendur. Kelompok progresif kehilangan momentum yang berharga itu.
Sudah menjadi takdir historisnya, penerimaan buruh terhadap gagasan-gagasan kiri (apalagi yang revolusioner) hanya dimungkinkan secara masif dalam keadaan atmosfer perlawanan yang tinggi. Tahun 2012 adalah kesempatan sejarah yang tidak dipergunakan oleh kaum kiri dengan tidak bersatu dengan MPBI. Seandainya tahun 2012, gerakan kiri bersatu dengan MPBI, maka ketika birokrasi mereka berkhianat, gerakan kiri dapat terus maju, dengan teguh dan konsisten yang dapat memenangkan hati buruh untuk bergabung dengan mereka.
Persoalan Tuduhan Sektarian
Dikeluarkannya orang-orang yang dianggap kritis pada April 2013 dan setelahnya, menegaskan posisi birokrasi FSPMI anti pada perbedaan pendapat. Tentu saja, mudah membungkusnya dengan segala macam fitnah agar orang menerima ketidakadilan itu. Celakanya, kelompok pemuja entrisme seperti Ted Sprague yang menganjurkan “kritik juga harus sesuai dengan perasaan massa buruh” tidak memahami kenyataan.
Terdapat suatu tujuan kenapa saya menuliskan “birokrasi FSPMI anti pada perbedaan pendapat” untuk menjelaskan bahwa birokrasi FSPMI sama sekali tak bisa dibantah, apalagi dikritik. Tentu saja konsekuensinya adalah diam atau dikeluarkan. Ada banyak cerita penyingkiran orang-orang yang bukan karena kritik, tapi karena berbeda pendapat dengan pimpinan puncak FSPMI, meskipun sesungguhnya orang yang disingkirkan itu memiliki watak yang sama saja. Melihat birokrasi FSPMI, jangan membayangkan sebuah serikat buruh sosial demokrat ala Eropa, bayangkan saja sebuah “kerajaan”!
Selain itu, kondisi serikat-serikat buruh kita masih relatif cair. Kecuali SPSI, yang lainnya masih seumur reformasi. Bandingkan dengan birokrasi serikat buruh sosial demokrat di Eropa atau Australia yang berumur lebih dari 100 tahun yang begitu mapan dan hegemonik. Komposisi serikat-serikat ini masih mungkin berubah, diorganisir, keluar dan memungkinkan pembangunan serikat-serikat baru sehingga tidak bekerja di dalamnya pun ketika dikeluarkan, tidak lantas mati kutu. Entrisme hanya taktik yang bisa dipakai pada waktu tertentu yang memungkinkan, sebagian besar secara ilegal, dan dilepaskan pada waktu yang lain.
Ketika individu-individu yang bekerja di dalam serikat kuning mau tidak mau harus berposisi terbuka (karena mereka bekerja secara legal) demi membela buruh, dikeluarkan, maka pengecaman terhadap individu-individu itu atas dasar “tidak bisa bertahan bekerja di dalam serikat kuning” atau “mengkritik terlalu keras” adalah serangan yang justru memperkuat birokrasi serikat buruh. Hal itu juga mengandung arti pekerjaan di serikat kuning dipandang sebagai pekerjaan strategis yang harus diemban setiap individu, bukan suatu taktik dan tugas dari organisasi yang dapat dilaksanakan pada suatu waktu dan dilepaskan pada waktu yang lain.
Segala macam khotbah Ted Sprague mengenai harus “mendorong lebih ke depan apa yang dikatakan oleh kaum reformis” atau “mendorong mereka melakukan apa yang sewajarnya perlu dilakukan oleh pemimpin buruh sejati untuk benar-benar membela kepentingan buruh” adalah sepenuhnya sudah dikerjakan selama dua tahun secara legal (terbuka) secara individual selama mendorong kebangkitan gerakan buruh tahun 2012. Tidak adanya kepeloporan yang cukup kuat tidak sanggup mengubah hasil akhir yang menentukan justru karena posisi mayoritas organisasi kiri pada waktu itu menolak bersatu dengan MPBI.
Setelah itu, FSPMI tidak saja membersihkan orang-orang yang dianggap “kiri”, tetapi juga sesama reformis yang memiliki akses ke massa. Semangat dari surat-surat pelarangan FSPMI kepada sejumlah pihak (termasuk LSM reformis, bahkan elit politik) mengandung makna tidak boleh berhubungan dengan massa anggota mereka secara langsung.
Kritik-kritik terhadap oportunisme birokrasi serikat buruh FSPMI kemudian terbukti dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam momen Pilpres 2014 di mana FSPMI/KSPI mendukung Prabowo Subianto. Tetapi, kebenaran saja tidak cukup bagi buruh yang memerlukan kepeloporan dari persatuan organisasi dan serikat kiri sebagai alternatif. Kepeloporan itu menjadi tidak mungkin saat mayoritas serikat progresif memilih bersatu dengan FSPMI/KSPI cs yang justru pada saat ini malah memperkuat hegemoni birokrasi serikat buruh.
Mereka yang pernah bekerja di tengah-tengah massa FSPMI, memahami betul apa makna bekerja mengagitasi dan mengajarkan siasat di tengah-tengah massa saat menyiapkan pemogokan-pemogokan. Sedangkan, persatuan serikat-serikat kiri dengan FSPMI cs yang sekarang adalah suatu persatuan di antara para pimpinan belaka dengan syarat implisit mensyaratkan tak boleh mengkritik elit serikat buruh.
Komite Persatuan Rakyat (KPR) menunjukkan kepeloporan yang ditopang oleh massa Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) pada akhir tahun 2015 lalu dalam momentum kenaikan upah. Hal ini menjelaskan, bahwa untuk sementara ini, hasil-hasil perluasan lebih banyak diraup oleh PPMI di mana keanggotaannya bertambah yang sangat tidak stabil karena potensi pengkhianatan pimpinan mereka yang gemar bersekutu dengan elit-elit politik dan situasi gerakan secara umum sedang menurun. Juga, kesadaran (perjuangan) ekonomis memiliki kelemahan terbesar hanya sebagai obat yang bersifat sementara. Kenaikan-kenaikan kesejahteraan dapat diambil kembali dengan mudah oleh kapitalis dalam transaksi yang tidak adil di pasar.
Kegagalan Membangun Kepeloporan Revolusioner
Situasi di atas, sesungguhnya sangat terkait dengan kenyataan tradisi kepeloporan-revolusioner semakin menurun di kalangan kelompok kiri kita yang pada akhirnya berakhir pada likuidasi partai revolusioner. Kecenderungan yang menghilangkan peranan kepeloporan revolusioner dapat dilihat dalam berbagai bentuk: menuntut kelonggaran berorganisasi; menunda pembangunan organisasi revolusioner; tidak memprioritaskan agenda organisasi revolusioner dan menggantinya dengan prioritas kerja-kerja ormas, sampai akhirnya; mengubah partai revolusioner menjadi sekadar grup kiri belaka atau bahkan membubarkannya.
Kita pernah memiliki partai revolusioner yang cukup solid, Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang memiliki peran besar dalam menjatuhkan kediktatoran Orde Baru. Sebagian besar kader-kadernya pada akhirnya memilih berdiaspora dengan menyebar bekerja di LSM-LSM dan partai-partai politik lain. Setelah PRD memutuskan beraliansi dengan Partai Bintang Reformasi (PBR) melalui alat politiknya Papernas pada tahun 2008, memicu perpecahan yang melahirkan KPRM-PRD yang kemudian berubah nama menjadi PPR. Fase ini adalah berakhirnya PRD sebagai partai kiri-revolusioner dan semakin menunjukkan garis oportunisme. Dalam Pemilu 2009, kader-kader PRD tampil menjadi calon anggota legislatif menggunakan PBR sebagai kendaraan politik. Hal itu terbukti dalam proses selanjutnya, PRD memperlihatkan posisi politiknya yang beralih dari kiri menjadi nasionalis (yang sukarnois) untuk menuntaskan revolusi nasional. Garis ini memberikan kemungkinan bagi terbukanya aliansi dengan borjuasi nasional untuk melawan neoliberalisme, dengan melawan kenyataan bahwa borjuasi di Indonesia adalah agen neoliberal. Keberadaan “borjuasi nasional” yang seolah berlawanan kepentingan dengan imprealis adalah artifisial, palsu, ilusi yang tidak ada dalam kenyataan dan hanya sebuah pembenaran untuk membenarkan kolaborasi dengan elit-elit politik borjuis. Pada tahun 2012, Ketua Umum PRD Agus Jabo Priyono justru menjadi pengurus partai Gerindra, Ketua Bidang Pemetaan Potensi Pemilih. Pada tahun 2015, kembali terpilih dan di saat yang sama juga adalah direktur PT CTPI (MNCTV) milik Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut dari keluarga Cendana-Soeharto.
Tidak mengherankan jika kemudian kehancuran partai kiri terbesar di Indonesia ini disertai dengan berbagai konflik dan polemik melahirkan berbagai macam demoralisasi berpartai. Generasi baru diracuni dengan gagasan “horor” konflik dan disiplin partai revolusioner yang membenarkan konsep organisasi yang longgar yang sebenarnya bukan gagasan baru di Indonesia, tapi sudah hidup dari sejak tahun 1980an. Juga bukan suatu konsep kiri baru, tapi lahir dari tendensi borjuis kecil liberal yang menganggap kontrol (partai revolusioner) adalah suatu momok yang mengerikan. Padahal, seperti kata Lenin, mustahil menghancurkan kapitalisme dengan segala aparatus kekerasannya tanpa disiplin baja.
Kelahiran PRD pada tahun 90an justru adalah hasil memisahkan diri dengan kelompok-kelompok studi yang menjadikan marxisme sebagai teori belaka. Sekadar teoritikus marxis ini memiliki ciri banyak sekali membicarakan marxisme, melakukan interpretasi baru, memproduksi maupun mereproduksi teori yang secara umum menerima marxisme dalam aspek filsafat dan ekonomi politik. Sedangkan di sisi lain, mengecilkan, mengaburkan dan bahkan menolak membahas aspek perjuangan kelas dan keharusan mempraktekannya. Sekalipun ada aspek perjuangan kelas yang dibahas, hanya sebatas bagaimana membangun “gerakan massa” yang menekankan pada seberapa besar jumlah massa belaka. Gagasan yang menginginkan “kelonggaran” berorganisasi baik itu berupa konsep sporadis, gerakanisme, sekadar grup kiri, sekadar ormas, atau seperti yang disebutkan PRD: “ partai kader berbasis massa yang bersifat terbuka” adalah menghancurkan partai revolusioner, memperkuat ekonomisme dan reformisme, yang berarti tidak akan membawa kita pada sosialisme.
Masalah yang Harus Diatasi
Dalam membangkitkan kembali gerakan buruh, kita menghadapi oportunisme yang secara nyata ditunjukkan oleh serikat-serikat sosial-demokrat seperti FSPMI/KSPI dan SPSI yang mencengkeram mayoritas massa buruh yang terorganisir. Dalam berbagai kesempatan, mereka menunjukan wataknya yang kompromis pada kapitalis dan negara serta menutup ruang demokrasi rapat-rapat di internalnya. Mereka menguasai mayoritas massa bukan karena mereka lebih besar dan kuat, tapi karena mereka melakukan segala macam kompromi yang mengkhianati buruh. Seringkali kita menyaksikan mereka melawan dengan gigihnya hanya untuk kemudian para pimpinannya menukar perlawanan itu dengan sogokan. Saya yakinkan Anda bahwa siapa saja bisa membangun serikat buruh besar dan merekrut anggota dengan gampang jika diberikan kemudahan-kemudahan oleh kapitalis, namun sebagai gantinya, massa buruh terus-menerus diperbudak meski mereka sudah menyandang status sebagai anggota serikat.
Menurunnya minat mengorganisir partai revolusioner adalah masalah yang paling krusial. Serikat-serikat buruh yang berada di bawah pengaruh kelompok kiri mayoritas berposisi menunda, mengabaikan bahkan melikuidasi partai revolusioner. Mereka yang membangun serikat buruh kiri tanpa membangun partai revolusioner mengalami kesalahan ketika memandang bahwa serikat buruh dapat menjadi organisasi yang homogen dalam bingkai garis politik memperjuangkan sosialisme, sebagaimana halnya partai revolusioner. Jika atmosfer revolusioner sedang meningkat, hal itu sangat mungkin, tapi pembangunan atmosfer ini pun harus dipelopori oleh partai revolusioner. Suatu tugas yang tidak mungkin dilakukan oleh serikat buruh belaka. Serikat buruh adalah alat tampung massa, sekolah atau tempat belajar dan latihan yang dipersiapkan untuk selanjutnya menjadi anggota partai revolusioner. Dengan cara pandang bahwa serikat buruh adalah alat politik yang mampu mengemban fungsi kepeloporan, maka membangun serikat buruh merah saja dirasa cukup. Cara pandang ini sangat berbahaya, yang secara perlahan-lahan menggerogoti tradisi kepeloporan di dalam gerakan buruh dan gerakan kiri.
Di bawah penindasan otokrasi Tsar di Rusia yang melarang segala macam perkumpulan, Lenin sudah menyadari bahwa situasi tersebut menjadikan partai revolusioner dan serikat buruh seakan tidak ada bedanya. Namun, seorang Lenin mampu memberikan batas pemisah yang ketat antara partai revolusioner dan serikat-serikat buruh.
“Kita harus mempunyai lingkaran-lingkaran, serikat-serikat buruh dan organisasi sedemikian itu dimana-mana dalam jumlah sebanyak mungkin dan dengan fungsi yang sangat beraneka warna; tetapi sunguh omong kosong dan membahayakan jika mencampuradukkan lingkaran-lingkaran tersebut dengan organisasi kaum revolusioner, jika menghapuskan garis pemisah di antara mereka, jika lebih memburamkan lagi pengertian massa yang sudah luar biasa kaburnya itu mengenai hal bahwa untuk “mengabdi” kepada gerakan massa kita harus mempunyai orang-orang yang khusus membaktikan diri sepenuh hati pada aktivitas-aktivitas sosial-demokratis, dan bahwa orang-orang itu harus melatih diri dengan sabar dan tekun menjadi orang-orang revolusioner profesional.//Ya, pengertian ini telah menjadi luar biasa kaburnya. Dosa kita yang terbesar mengenai organisasi ialah bahwa dengan kerajinan-tanganisme kita, kita telah memerosotkan prestise kaum revolusioner di Rusia. Seseorang yang lembek dan goyah dalam soal-soal teori, yang mempunyai pandangan picik, yang mengemukakan spontanitas massa sebagai dalih bagi kemelempemannya sendiri, yang lebih mirip seorang sekretaris buruh daripada mimbar rakyat, yang tidak sanggup mengajukan suatu rencana yang luas dan berani yang akan menimbulkan rasa hormat bahkan pada lawan-lawan pun, dan yang tak berpengalaman dan kaku dalam seni professionalnya sendiri—seni perjuangan melawan polisi politik—nah, orang demikian itu bukanlah seorang revolusioner melainkan seorang tukang kerajinan-tangan yang menyedihkan!”
Apa yang dituliskan oleh Lenin pada tahun 1902 dalam pamplet “Apa Yang Harus Dituntaskan?” masih begitu relevan jika kita melihat bagaimana serikat-serikat buruh hari ini yang berada di bawah pengaruh kelompok kiri (bahkan kiri revolusioner) terjatuh dalam ekonomisme dengan berbagai berbagai cara mulai dari mengaburkan pengertian serikat buruh seolah sanggup menjadi alat politik sosialis, melikuidasi partai revolusioner, menghancurkan keketatan rekrutmen partai maupun tenggelam dalam tugas-tugas rutin keserikatan-buruhan dengan mengabaikan agitasi dan propaganda politik.
Tentu saja, mereka tidak akan rela jika dituduh sebagai “ekonomis”. Mereka akan berdalih bahwa mereka juga mengajarkan politik kepada massa buruh dan melakukan aksi-aksi politik. Dalih semacam ini justru menunjukan “seseorang yang lembek dan goyah dalam soal-soal teori” yang tidak memahami terdapat bentuk politik “tradeunionism” khas serikat buruh yang hanya melayani tuntutan ekonomis belaka, bukan diarahkan untuk mencapai sosialisme.
Akhirnya, setelah segala persoalan yang saya sampaikan di atas, semakin kuat keyakinan dan kesimpulan saya bahwa persoalan kemunduran gerakan kita hanya akan bisa diatasi jika kita sanggup melahirkan partai revolusioner yang berdisiplin, homogen dan sanggup mengemban tugas-tugas teori dan praktek. Partai semacam ini akan sanggup secara saling dialektik melahirkan pelopor-pelopor yang dapat diandalkan dalam berbagai situasi untuk mengorganisir, berpropaganda dan melakukan serangan reguler hingga serangan yang menentukan untuk mencapai sosialisme. Selesai.
*Penulis adalah anggota Partai Pembebasan Rakyat
** artikel ini sebelumnya diterbitkan dalam versi cetak di Koran Arah Juang