Pernyataan Sikap: Sudah Saatnya Kaum Tani Bangkit dan Bersatu!

Image

Sudah Saatnya Kaum Tani Bangkit dan Bersatu!

 

Hidup Kaum Tani!

Hidup Rakyat!

Setiap tahun, pada tanggal 24 September, kita selalu memperingatinya sebagai hari tani nasional. Dari tahun ke tahun kebutuhan akan pentingnya sebuah gerakan rakyat dalam menentang pemerintahan neoliberal semakin dirasakan. Selama pemerintahan neoliberal masih berkuasa, maka seluruh problem-problem rakyat khususnya kaum tani tidak akan dapat teratasi.

Sejumlah negara maju seperti AS, Autralia dan lain-lain melalui Agreement on Agriculture (AOA), IMF, Bank Dunia dan kesepakatan perdagangan bilateral lainnya sangat agresif untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi disektor pertanian, fakta-faktanya dapat ditunjukan dengan munculnya berbagai UU, yang sangat penting dalam menopang pertanian, seperti UU Sumberdaya Air, UU Pengadaan Tanah, UU Kelistrikan, UU Pertambangan, UU Kehutanan, UU Perkebunan, dan lain-lain, diserahkan penguasaannya kepada swasta, yang bermuara pada dua hal, pertamaterjadi penyingkiran rakyat dari sumber-sumber hidupnya (perampasan tanah), yang terkonversi menjadi berbagai macam peruntukan, seperti perkebunan dan pertambangan, yang kecepatan mencapai 10.000 Ha/tahun atau di Jawa angkanya bahkan sudah mencapai 40.000 Ha/tahun, hal ini bisa terlihat, misalnya untuk sektor perkebunan, terjadi perluasan perkebunan sawit hingga 100.000 Ha, dimana sebagian besar dikuasai oleh segelintir perusahaan saja dan hingga tahun 2010 lalu, pemerintah telah mengeluarkan izin lokasi baru mencapai 26,7 juta Ha. Di sektor pertambangan, menurut data JATAM, dari 192.26 juta Ha wilayah Indonesia, 95.45 juta lahan telah dikontrak karyakan kepada perusahaan pertambangan baik dari dalam dan luar negeri dan lain-lain. Kedua munculnya berbagai macam kekerasan yang menimpa kaum tani akibat keberpihakan pemerintah kepada perusahaan-perusahan agrobisnis atau tambang. Menurut data BPS pada tahun 2007 jumlah konflik tanah yang masuk sebanyak 2.615 kasus dan meningkat menjadi 7491 kasus pada tahun 2009 di seluruh Indonesia dengan luas lahan konflik sebesar 608.000 Ha, yang telah menewaskan sedikitnya 23 petani, 183 kasus bentrok bersenjata, 668 kasus kriminalisasi terhadap kaum tani.

Selain itu, liberalisasi pertanian juga ditunjukan akhir-akhir ini, dengan membanjirnya produk pangan impor dari berbagai negeri. Data-data impor produk pangan menunjukan di tahun 2011, kita telah mengimpor beras sebanyak 2 juta ton, kedelai 1.5 juta ton. Begitu juga gula, jagung, susu, daging sapi dsb, sehingga total impor kita sekarang mencapai 65% dari keseluruhan kebutuhan pangan nasional. Banjirnya produk pangan impor ini dikarenakan pemerintah telah membebaskan tariff hingga 0% terhadap 59 jenis produk bahan pangan, diantaranya: beras, gandum, kedelai, bahan baku pangan pakan ternak, dan pupuk. Biasanya, argumentasi yang sering disampaikan pemerintah adalah dalam rangka menjaga keterswedian dan harga pangan agar tetap murah.

Liberalisasi juga, munculkan oligopoli perusahaan swasta yang dapat mengendalikan harga produk, bibit dan sarana produksi pertanian, kita dapat mengambil contoh misalnya seperti yang terjadi dalam kasus penurunan harga beli susu oleh Nestle dari petani. Posisi tawar kaum tani sangat kecil karena Nestle menyerap lebih dari 50% produksi susu dari petani. Dan sebaliknya pemerintah justru “diharuskan” memprivatisasi BULOG dan PUSRI yang selama ini berperan dalam mengontrol harga dan tata niaga pupuk, sehingga tidak ada lagi perlindungan dan kepastian produksi pertanian dalam negeri.

Kesemuanya itu pada akhirnya akan mengakibatkan turunnya produksi pertanian, seperti saat ini yang sudah terjadi misalnya dalam produksi kedelai, beras dan lain-lain, terjadinya penyempitan lahan terhadap 13 juta petani hingga tahun 2003 dan pertambahan angka petani yang tidak memiliki tanah (tuna kisma), terjadinya peningkatan biaya produksi pertanian menjadi 2 kali lipat dari 250 ribu per Ha menjadi 450 ribu per Ha, meningkatnya ancaman kedaulatan pangan, kemiskinan, putus sekolah, kematian ibu dan bayi, pengrusakan lingkungan, perubahan iklim dan lain sebagainya.

 Apa yang harus dilakukan?

Sudah sangat sering kita mendengar perjuangan yang dilakukan oleh kaum tani ditingkat lokal, kaum tani dengan militansi berjuang melakukan reklaiming, meskipun harus berhadapan dengan aparat dan preman perusahaan, yang tidak jarang memakan korban. Perjuangan tersebut adalah basis bagi terjadinya mobilisasi nasional dan kampanye solidaritas internasional, basis bagi terjadinya aliansi dengan klas-klas terhisap lainnya dan bahkan dapat menjadi basis untuk merebut kekuasaan politik.

Kaum tani jelas berkepentingan terhadap kekuasaan politik yang berpihak kepada kaum tani, pengalaman sejarah diberbagai negeri menunjukan, dua model pembagunan pertanian yang dijalankan: Venezuela dan Brazil misalnya. Di Venezuela, Presiden Chavez membuat program land reform yang ekstensif, pengambilalihan lahan-lahan perkebunan dan tanah kosong dan pemindahan mereka yang tak bertanah dan petani-petani subsisten dan terakhir mereka yang pindah ke kota-kota ke lahan tersebut, sebaliknya di Brasil, Lula malah mempromosikan perluasan perusahaan-perusahaan agroeksport skala besar, mengonsentrasikan tanah, dan membiayai perusahaan-perusahaan agrobisnis yang menggusuri petani kecil dan buruh tak bertanah.

Apa yang menjadi perbedaan disini mengenai hubungan “negara” dan gerakan tani adalah karakter kelas dari negara dan orientasi ideologi para pemimpinnya. Dalam kasus Venezuela di bawah Chavez, keberpihakan pemerintah kepada gerakan tani telah membawa keuntungan kepada kaum tani dan sebaliknya di Brazil, Lula, adalah rejim neoliberal yang banyak memberi keuntungan kepada perusahaan agrobisnis. 

Untuk mencapai hal tersebut tentu bukan hal yang mudah, kaum tani harus terus pertamamelakukan kampanye seluas-luasnya, untuk penyadaran terhadap tuntutan, kepada seluruh masyarakat dan organisasi-organisasi, agar mendapatkan dukungan yang luas. Kampanye ini bisa dilaksanakan melalui berbagai macam media, baik dalam bentuk aksi, long march, vergadering, seminar, konferensi pers, selebaran dan lain sebagainya. Kedua, secara simultan terus memberi penyadaran dan perluasan keanggotaan dengan cara membangun wadah-wadah atau organisasi kaum tani dan harus secara terus menerus diisi penyadaran, baik dalam bentuk diskusi, maupun pendidikan terjadwal. Ketiga, menciptakan ajang-ajang konsolidasi, penyadaran dan tindakan berlawan, yang semakin meningkat, penyatuan bisa dimulai dari tingkat lokal, antar kota, antar wilayah sampai dengan nasional. Keempat, membangun kerjasama diantara klas-klas tertindas lainnya. Kerjasama ini diperlukan untuk menambah kekuatan dan harus diusahakan semakin menjadi permanen. Ditengah situasi penindasan yang dialami oleh seluruh rakyat adalah basis bagi peyatuannya.

Tuntutan darurat apa yang harus dipenuhi sekarang? 

Pertama-tama adalah menghentikan semua paket liberalisasi di sektor pertanian, mulai dari liberalisasi terhadap penguasaan sumber-sumber daya alam seperti air dan tanah, liberalisasi perdagangan produk-produk pertanian dan liberaliasi terhadap sektor-sektor industri yang mendukung pertanian seperti: industri gas dan pupuk. Dan meminta tanggung jawab negara untuk melindungi pertanian nasional, dengan memberikan berbagai macam bentuk insentif, subsidi, pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertanian nasional, meningkatkan pengetahuan, teknik dan alat-alat pertanian sehingga tercipta produktifitas dan efisiensi.

Kedua, penyelesaian sengketa-sengketa agraria secara adil dan mengembalikan tanah milik para petani, mengusut dan mengadili para pelanggar HAM yang telah melukai dan membunuh kaum tani. Dan membebaskan kaum tani untuk membentuk organisasinya sendiri, secara mandiri.

Ketiga, menolak liberalisasi industri yang pendukung pertanian dan menasionalisasikannya dibawah kontrol rakyat.

 

Jakarta, 24 September 2013
 

Paulus Suryanta Ginting

 Juru Bicara

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *