Pemilu 2024 dan Sikap Politik Partai Pembebasan Rakyat

Pemilu 2024 dan Sikap Politik Partai Pembebasan Rakyat

Pemilu 2024 sudah dekat. Sikap politik ini tentu tak akan banyak berpengaruh terhadap eskalasi politik yang ada. Tak akan berpengaruh terhadap siapa yang akan jadi pemenangnya, sebab memang siapapun yang menang satu hal yang pasti, rakyat masih akan ditindas kepentingan kapitalisme. Meski begitu rakyat akan tetap berlawan di mana pun berada. Namun, sikap adalah sikap, yang harus ditunjukan untuk membedakan siapa yang menjadi kawan seiring sejalan dan lawan dalam pertarungan jangka panjang ini. Sikap politik ini merupakan hasil kongres Partai Pembebasan Rakyat (PPR) dan penambahannya merupakan hasil diskusi bersama calon-calon kader.

Apa sikap kita terhadap pemilu kaum borjuis?

Pemilu borjuis pada hakikatnya adalah ajang politik kaum borjuis dan bagian dari suprastruktur borjuis untuk melanggengkan dominasi dan hegemoninya terhadap kelas pekerja dan rakyat tertindas lainnya. Dominasi dan hegemoni kelas penguasa melalui pemilu bukan hal baru, sudah ada sejak lahirnya trias politika (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) yang dalam sejarahnya lahir dari demokrasi tuan-tuan budak yang sudah hidup kurang lebih dua ribuan tahun. Disebut sebagai demokrasi tuan budak, sebab budak-budak menitipkan aspirasi politiknya kepada tuan-tuan budak yang terwakili di dalam senat-senat tersebut. Seperti halnya hari ini, kaum tertindas menitipkan nasib dan aspirasinya kepada tuan-tuan modal yang berkuasa atas partai-partai yang ada.

Demokrasi tuan budak ataupun demokrasi tuan modal pada hari ini, pada hakikatnya bukan demokrasi langsung, tapi demokrasi tidak langsung. Partisipasi politik hanya ada pada saat pemilu. Tak ada partisipasi yang substansial sebelum dan setelah mereka terpilih.

Demokrasi yang kita kehendaki adalah demokrasi langsung, yang kita sebut sebagai demokrasi kerakyatan, di mana peran eksekutif, legislatif, yudikatif termaktub dalam Dewan Rakyat. Melalui Dewan Rakyat tersebut partisipasi politik dari bawah bisa berjalan secara berkelanjutan, tak hanya ada di bilik-bilik suara. Rakyat memiliki hak untuk pergantian langsung apabila perwakilan-perwakilan mereka tidak menjalankan program dan kebijakan yang diaspirasikan dari bawah. Tanpa perlu menunggu lima tahun berikutnya.

Meski pemilu borjuis adalah arena kompetisi kaum borjuis, namun secara prinsipil kami tidak anti, tidak menolak atau bahkan memilih lari dari arena tersebut apabila terdapat kesempatan untuk bertarung. Persoalan ikut pemilu dan boikot pemilu ditentukan dari kondisi demokrasi borjuis itu sendiri dan kesanggupan internal gerakan kiri.

Kondisi hari ini sejak paska pemilu 1999 mempersulit kaum kiri pada umumnya untuk ikut terlibat dalam pertarungan pemilu borjuis. Pengetatan sistem kepartaian dan sistem pemilu sejak paskapemilu 1999 membuat beberapa proyek-proyek partai front elektoral yang diinisiasi oleh beberapa kelompok kiri dan kiri tengah gagal bahkan sejak verifikasi faktual pertama (sah secara hokum sebagai partai politik). Proyek-proyek tersebut misalnya dilakukan oleh PRD pada 2004 melalui Partai Persatuan Oposisi Rakyat (POPOR) untuk intervensi pemilu 2004 dan Partai Persatuan Pembebasan Rakyat (PAPERNAS) pada intervensi pemilu 2009, atau Partai Perserikatan Rakyat (PPR) dan Partai Persatuan Rakyat (PPR) pada intervensi pemilu 2009 dan 2004. Selain itu, beratnya persyaratan administrasi untuk lolos verifikasi faktual pertama dan kedua, isu anti komunis selalu dijadikan “peluru” untuk membatasi partisipasi politik kaum progresif. Jadi, faksi borjuis dari sisa orde baru, para jenderal pelanggar HAM dan kaum borjuis reformis palsu menskenariokan agar partisipasi politik massa terkanalisasi dalam spektrum tengah-kanan dan kanan. Kiri harus dibuat abstain dalam momen politik apapun agar tak bertumbuh dan mengoyak-oyak persoalan masa lampau, lalu menggangu stabilitas kapitalisme neoliberal. Hakikatnya demokrasi liberal pada hari ini adalah demokrasi liberal tanpa kiri. Suatu ironi bagaimana bisa ada kebebasan demokrasi tapi tanpa kemerdekaan berpikir termasuk kemerdekaan untuk menjadi kiri dan mendirikan partai kiri. Ironi ini adalah bukti nyata atas belum tuntasnya reformasi 1998 dan masih berlanjutnya dampak genosida politik 1965-1966.

Hal-hal tersebutlah yang mengakibatkan kaum kiri-revolusioner pada khususnya dan kaum kiri pada umumnya tidak bisa terlibat bertarung selain menjadi sekoci-sekoci pendukung calon atau partai tertentu. Selama kita tidak membongkar penyempitan demokrasi yang dilakukan secara sistematis paska pemilu 1999, dan mendobrak kebuntuan politik akibat terus bercokolnya kekuatan lama sisa orba dan kaum borjuis reformis palsu, niscaya partisipasi rakyat hanya akan dikanalkan pada partai-partai borjuis dan tokoh-tokoh borjuis populis. Dan penyempitan ruang demokrasi misalnya, melalui electoral threshold (ET), presidential threshold (PT) dan syarat pendirian partai akan terus diperberat oleh pemerintahan kaum borjuis.

Jadi, singkatnya kita tidak dapat berkontestasi dalam pemilu borjuis, bukan karena anti terhadap pemilu, namun karena tidak cukup besar ruang demokrasi yang tersedia bagi kaum kiri untuk menghadirkan dirinya dalam pertarungan politik tersebut. Akibat dari upaya penggagalan yang sistematis terhadap partisipasi kiri tersebut, sebagian besar elemen-elemen kiri dalam spektrum 1998 berada dalam kefrustasian yang akut sehingga melikuidasi partai kiri-revolusioner, seperti yang dilakukan oleh PRD, memilih masuk ke partai borjuis dengan pembenaran, “change with in”, merubah dari dalam, memilih calon presiden-wakil presiden atau kepala daerah yang lesser of evil, terbaik dari yang terburuk, atau bahkan berkolaborasi dengan aristokrasi buruh kanan melalui Partai Buruh.

Namun, tugas utama kaum kiri-revolusioner dalam mengintervensi pemilu borjuis bukanlah berlomba-lomba memperbanyak spanduk dan poster tokoh/caleg atau menggunakan politik uang agar dapat kursi legislatif, melainkan menjadikan arena borjuis sebagai panggung politik propaganda jalan keluar pembebasan rakyat dan mendelegitasi sistem kapitalisme berserta alat dan sistem politik borjuisnya. Arena borjuis bagi kita adalah ajang pendidikan politik bagi rakyat untuk memahami apa dan bagaimana politik revolusioner tersebut.

Sebab, tugas utama dari segala bentuk perjuangan baik parlementer, ekstra parlementer dan lainnya adalah pendidikan politik revolusioner. Maka, slogan politik akan menentukan pemahaman dan tugas politik rakyat. Seruan “tolak pemilu” dan “golput” justru dipahami sebagian besar oleh rakyat menjadi anti terhadap pemilu, anti partai dan partai elektoral serta tak jarang berakhir apatis. Padahal rakyat harus dipersiapkan untuk siap berjuang dalam arena ekstra parlementer maupun arena parlementer. Rakyat juga bisa menyadari bahwa alat politik perjuangan adalah Partai, tidak cukup sekedar berserikat, organisasi sektoral, komunitas, ataupun NGO. Tidak cukup sekedar gerakan sosial, gerakanisme, yang kita butuhkan adalah gerakan politik radikal. Lebih jauh lagi adalah partai yang dapat memimpin perjuangan parlementer, eksra parlementer dan revolusi.

Golput meskipun mengalami peningkatan sejak pemilu 2004 namun tidak memiliki dampak yang krusial. Pemilu tidak bisa dinyatakan gagal meski tingkat golputnya lebih dari 30%. Dalam sejarahnya diberbagai negeri, boikot pemilu yang sesuai per definisinya dalam praktek, dalam artian bukan hanya slogan dan jargon semata, memberikan dampak yang krusial. Namun, pertanyaannya apakah kaum kiri pada umumnya sanggup menjalankan Boikot Pemilu sesuai per definisinya dalam praktek pada hari ini? Belum. Gerakan kiri Indonesia pada umumnya tengah berada dalam titik terendahnya dalam 25 tahun terakhir. Sebagian besar sudah menanggalkan prinsip kepeloporan dan tidak sedikit yang mensubordinasikan diri pada kaum kanan dan tengah-kanan. Kita sedang membangun kembali dari puing-puing kefrustasian generasi lama yang jatuh kepada politik posibilistik. Penyakit ketidakpercayaan diri ini menghinggapi pada umumnya kaum kiri dan serikat/organisasi rakyat yang dilabeli “merah”, akibatnya tak ada persatuan kiri, apalagi persatuan kaum revolusioner. Yang ada hanya persatuan luas, seluas-luasnya hingga tak memiliki batas/demarkasi lagi. Akar dari wajah yang sama dengan apa yang dilakukan PRD dengan mendukung Prabowo-Gibran: keinginan untuk segera besar dan cepat mendapatkan kekuasaan. Akar yang sama pula dengan apa yang dilakukan oleh sebagian unsur-unsur kiri yang saat ini ada di dalam Partai Buruh.

Bagaimana kami memandang Partai Buruh?

Pertama-tama, secara umum, tidak berarti bahwa partai buruh adalah partai proletariat. Kedua hal ini berbeda secara substansial dan watak. Partai Buruh adalah wadah atau alat di mana kaum buruh memperjuangkan tuntutan politik sektoralnya, yang tidak serta merta adalah tuntutan politik kelas. Sedangkan partai proletariat adalah partai yang tidak hanya terdiri dari kaum buruh namun secara program dan kesadaran mencerminkan politik pembebasan klas proletariat atas penindasan kelas borjuis.

Karena itu, kita dapat menemukan di berbagai negara, tidak sedikit partai-partai buruh yang hanya berjuang untuk tuntutan-tuntutan ekonomis kaum buruh semata, atau bahkan dalam derajat tertentu menjadi pro kapitalisme neoliberal dan anti terhadap kaum buruh imigran, pro perang imperialis seperti pada masa kepemimpinan Tony Blair dari Partai Buruh Inggris. Singkatnya, partai buruh meskipun secara komposisi berasal dari klas buruh, tak jarang kepemimpinannya dikuasai oleh aristokrasi buruh yang sangat pro kapitalis, apakah itu kapitalisme neoliberal atau kapitalisme ala Keynesian.

Sekarang kita bicara tentang Partai Buruh yang hari ini dipimpin oleh Said Ikbal. Partai Buruh pimpinan Said Ikbal ini bukanlah partai buruh yang baru. Partai Buruh adalah partai lama yang sudah ada sejak pemilu 1999 dibawah kepemimpinan Mochtar Pakpahan. Almarhum Mochtar Pakpahan sendiri adalah tokoh reformasi dan mantan tahanan politik orde baru. Dia tidak percaya pada penggulingan kapitalisme. Dia dan partai buruh yang ia pimpin meyakini jalan mendamaikan pertentangan kelas buruh dan kapitalis, belasan tahun lalu dia menyebutnya sebagai jalan sosial demokrasi ala Jepang. Sebelum meninggal, ia berpesan agar pimpinan-pimpinan serikat buruh seperti Said Ikbal dan Andi Gani mengambil alih partai buruh. Suatu rencana tertunda yang digagas bersama antara FSPMI/KSPI, KSPSI, SPI dan beberapa serikat lainnya yang tergabung dalam Rumah Rakyat Indonesia (RRI) menjelang pemilu 2019. Rencana mengakuisi Partai Buruh ini baru dilakukan pada Mei 2021 setelah Mochtar Pakpahan meninggal.

Said Ikbal dan lingkaran kepemimpinannya bukan orang baru di gerakan buruh. Dia adalah elit lama FSPMI/KSPI. Kebangkitan gerakan buruh yang kala itu dikenal melalui gerakan gerudug pabrik pada kurun 2011-2012 melambungkan namanya. Tapi dibawah kepemimpinannya pula FSPMI/KSPI mendukung Prabowo Subianto pada pemilu 2014 dan 2019. Gelombang perlawanan dan partisipasi kaum buruh dalam serikat pekerja kemudian dikanalisasi dalam politik diaspora ke partai-partai borjuis pada pemilu 2014 dan 2019, dengan apologi “buruh go politik”, serta mendukung calon presiden paling bermasalah, Prabowo Subianto. Dalam kampanye-kampanye mereka saat itu jelas bertendensi kanan: anti buruh migran, pro militer, pro orbaisme, anti komunisme, anti Cina dan pembullyan terhadap perjuangan HAM.

Aristokrasi buruh kanan itu lah yang saat ini memimpin Partai Buruh. Memang ada elemen-elemen kiri dan serikat buruh merah yang tergabung dalam partai buruh. Namun, elemen ini kecil, dan sudah sejak pembubaran Sekretariat Bersama Buruh (Sekber Buruh) pada pertengahan 2014, dengan hasrat ingin cepat luas, ingin cepat besar, mereka menanggalkan kepeloporan politik kiri dalam ajang luas. Dengan gagasan yang penting luas, yang penting besar, akhirnya tak terlihat perbedaan politik mana yang air dan mana yang minyak. Sejak lama mereka, sejak sebelum “hidup bersama” dalam Partai Buruh, tidak melakukan kritik keras terhadap manuver-manuver politik Said Ikbal cs yang berorientasi ke kanan itu.

Dominasi serikat buruh kanan di Partai Buruh lebih kuat hari ini dibandingkan dengan awal kepemimpinan Mochtar Pakpahan di Partai Buruh. Pada awal-awal reformasi, partai buruh di masa kepemimpinan Mochtar adalah sekutu dalam memperjuangkan tuntutan minimum reformasi, melawan orba dan melawan jenderal penjahat HAM. Sebaliknya, Said Ikbal, FSPMI/KSPI adalah pendukung keras Prabowo dan sisa orba.

Kami menilai bahwa berharap kepada Partai Buruh sebagai partai alternatif adalah mengilusi diri sendiri, yang akan mengakibatkan kita berakhir pada bentuk kefrustasian yang lain, terjerembab dalam lubang keputusasaan. Hingga akhirnya kita malas untuk mendefinisikan kembali seara programatik dan praktek apa makna alternatif dan seperti apa partai alternatif yang dibutuhkan rakyat pada hari ini guna membuat perubahan mendasar dan besar. Tak percaya diri bahwa kaum demokratik dan progresif mampu membangun alat perjuangannya sendiri tanpa perlu bersandar pada oligarkhi, atau juga artistokrasi buruh kanan.

Pertarungan elit vs elit, bukan rakyat vs elit

Sejak pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ditentukan melalui pemilu pada tahun 2004, bukan lagi melalui kompromi dan negosiasi partai-partai di parlemen, banyak aktivis-aktivis 1998 yang masuk ke gerbong-gerbong calon-calon tersebut menjadi tim pemenangan. Berharap mendapatkan “reman-remah” kekuasaan apabila junjungan mereka menang.

Fenomena tersebut semakin menjamur pada pemilu 2024 ini. Mantan-mantan aktivis 1998 dan tidak sedikit juga mantan aktivis paska 1998 bergabung di tim pemenangan baik di kubu Prabowo-Gibran, Ganjar-Mahfud, dan Anies-Muhaimin. Bahkan, tak peduli benar atau tidak, Prabowo Subianto, mantan Jenderal berlumuran darah dan kroni Orba itu didukung oleh korban-korban penculikannya ataupun mantan aktifis seperti Budiman Sudjatmiko, Haris Rusli Moti, Agus Jabo (PRD/PRIMA) yang dahulu kala paling getol melawan Orba dan militerisme. Bagi mereka pembenarannya adalah persatuan nasional. Persatuan untuk melawan siapa? Melawan imperialisme? Tidak juga, sebab ketiga calon yang ada tak mungkin bisa bertarung tanpa dukungan elit nasional dan kolaboratif dengan korporasi internasional. Hakikatnya dukungan mereka terhadap musuh-musuh pentingnya di jaman Orba dulu, bukanlah untuk menggilas imperialisme atau kapitalisme atau menuntaskan agenda reformasi total, melainkan: uang dan jabatan.

Memang persatuan di antara elit borjuasi begitu fragile dan longgar, dan tak begitu jelas perbedaan garis di antara mereka. Tapi kita mesti jeli melihatnya, sebab satu materi dan materi lainnya meskipun terdapat kesamaan bentuk, warna dan watak, namun selalu ada perbedaan. Selalu ada yang lebih buruk daripada yang lain. Menemukan perbedaan ini tidak lantas kita akan menggunakan konsep luminare minus malum atau lesser evil. Melainkan memberikan tekanan serangan kepada musuh yang lebih berbahaya tanpa harus bersatu dengan musuh yang lain. Banyak kaum demokrat dan mantan aktifis 1998 yang seharusnya belajar dari kegagalan konsep ini setelah Jokowi terpilih pada 2014 tak lama kemudian dia memunggungi rakyat dan memberikan kompromi yang begitu besar kepada oligarkhi, militerisme dan sisa orba. Tetapi, banyak dari mereka tetap saja tak mau belajar dari kegagalan konsep luminare minus malum.

Bagi ketiga calon presiden dan wakil presiden ini, rakyat hanyalah “lumbung suara” dan “tangga menuju kekuasaan”. Bagi mereka dukungan militer, sisa orba, borjuis nasional dan internasional yang akan menentukan menang atau tidak dan bertahan atau tidak kekuasaannya. Mari kita lihat siapa jenderal dan borjuasi nasional yang masuk ke lingkaran inti mereka:

Anies Baswedan-Muhaimin:
Militer: Marsekal Muda (Purn) Iman Sudrajat, Laksamana Muda (Purn) Hendri Suprianto, Letjend (Purn) Ediwan Prabowo, Letjend (Purn) Fachrul Razi, Letjend (Purn) Sutyoso, Mayjend (Purn) Jul Effendi, Mayjend (Purn) Syaiful Rizal, Mayjend (Purn) Sunarko, Mayjend (Purn) Gadang, Marsekal Muda (Purn) Iman Sudrajat dan Irjen Pol (Purn) Anas Yusuf.
Borjuis Nasional: Suya Paloh, Jusuf Kalla, Rahmat Gobel, Muhammad Ali, Fahrul Razi, Leontinus Alpha Edison, Jan Darmadi, Susno Duadji.


Prabowo-Gibran:
Militer: Mayjend (Purn) Arri Sujono, Brigjend (Purn) Surya Darma, Jend (Purn) Wiranto, Marsekal (Purn) Imam Sufaat, Jend (Purn) Subagyo HS
Borjuis Nasional: Hashim Djojohadikusumo, Abu Rizal Bakrie, Titiek Suharto, Erick Thohir, Hatta Rajasa, Airlangar Hartarto, Luhut Binsar Panjaitan, Wishnu Wardhana dan tentu saja Joko Widodo.


Ganjar-Mahfund:
Militer: Jend (Purn) Andika Perkasa, Komjend (Purn) Gatot Eddy Pramono, Laksamana (Purn) Bernard Kent Sondakh, Marsekal (Purn) Agus Supriatna, Laksamana Madya (Purn) Agus Setiadji, dan Letjend (Purn) Ganip Warsito.
Borjuis Nasional: Sandiaga Uno, Mohammad Arsjad Rasjid, Oesman Sapta Odang, Harry Tanoe, Orias Petrus Moedak, Heru Dewanto, Puan Maharani Andi Ridwan Wittiri,


Dan tentu saja masing-masing borjuasi nasional dan purnawiran jenderal tersebut bersandar kepada faksi-faksi borjuis internasional Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, dan Eropa. Tak ada borjuis nasional yang dapat berdiri sendiri tanpa menjadi bagian jejaring modal internasional. Itulah mengapa jargon nasionalisme yang dikumandangkan ketiga calon pada tiap debatnya hanya bualan semata untuk mendapatkan suara bukan untuk melawan imperialis.

Bagi borjuasi internasional selama kepentingan mereka untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia, serta tingkat akumulasi modal bisa berlangsung dalam grafik yang menanjak akan mereka dukung. Siapapun yang bisa menghadirkan stabilitas politik akan menguntungkan stabilitas ekonomi kapitalis internasional akan mereka pertahankan. Stabilitas politik di mata rakyat dan di mata elit sangat berbeda. Di mata kita stabilitas politik merupakan ancaman bagi kebebasan berpendapat, kebebasan bereskpresi, kebebasan berorganisasi dan kebebasan untuk berlawan. Sementara di mata kaum borjuis stabilitas politik adalah kebebasan untuk menghisap. Karena itu, ketiga calon pada dasarnya setali tiga uang. Sama tapi juga berbeda. Berbeda tetapi memiliki kesamaan.

Dan yang pasti, pemilu presiden 2024 kali ini tidak berbeda dengan pemilu 2004, 2009, 2014, 2019: pertarungan ini bukanlah pertarungan rakyat melawan elit, melainkan pertarungan elit vs elit. Pertarungan di antara kaum borjuis untuk memastikan siapa yang paling dipercayai oleh Imperialis untuk menjalankan program-program neoliberal. Jika anda menghendaki perubahan, bersiaplah untuk menghadirkan pertarungan rakyat melawan elit bukan menjadi sekoci-sekoci penopang pertarungan elit vs elit.

Sikap terhadap Pemilu 2024

Berangkat dari realitas yang berkembang saat ini dan dialektikanya dengan kemampuan subyektif, kami menyatakan bahwa:

Pertama, tak ada satu pun partai dalam pemilu 2024 ini baik partai lama atau partai baru merupakan representasi dari kepentingan politik rakyat.

Kedua, tak ada satu pun partai dalam pemilu 2024 ini baik partai lama maupun partai baru yang akan menuntaskan perjuangan demokrasi: mengadili jenderal pelanggar HAM, mengembalikan militer ke barak, membubarkan struktur komando territorial, menuntaskan reformasi TNI-Polri dan membuka keran demokrasi dan partisipasi seluas-luasnya.

Ketiga, tak ada satu pun partai dalam pemilu 2024 yang anti terhadap imperialisme. Ada beberapa partai yang mendaku sebagai partai nasionalis namun perannya sudah jelas sangat pro terhadap kepentingan korporasi internasional.

Keempat, meski kami mengerti bahwa Prabowo-Gibran lebih buruk bagi demokrasi dan HAM dibandingkan Anis-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, kami tak sudi terbawa arus jargon “asal bukan Prabowo”. Sebab kami sadar bahwa pada akhirnya siapapun yang akan terpilih akan mengakomodasi kepentingan sisa orba, militerisme, dan kapitalisme neoliberal. Bisnis akan menjadi yang utama. Rakyat kembali menjadi korban tipu daya. Sementara mereka akan kembali bercengkrama dan bermesraan selepas pemilu. Kami tak akan dan tak mau tertipu oleh “serigala berbulu domba”.

Kelima, sangat tidak cukup berbicara golput atau abstain. Mari bersama-sama membangun persatuan politik alternatif (baik itu partai alternatif atau blok politik alternatif). Sebab yang dibutuhkan oleh rakyat adalah kepemimpinan politik dari kaum kiri dan demokratik untuk menunjukan jalan perjuangan. Kami tidak sedang “mengharapkan hujan dari langit, air dalam tempayang dibuang”. Yang tengah kami sampaikan adalah tugas sejarah bersama. Tugas untuk bukan hanya mempertahankan capaian yang ada dari perjuangan demokrasi 1998 namun mendobrak kebuntuan dan penyempitan politik yang dilakukan secara sistematis oleh kolaborasi sisa-sisa orba, reformis palsu, militerisme dan kepentingan modal internasional.

        Sebagai penutup, kami hendak menyerukan kepada rakyat dan kaum pergerakan, cukup sudah dengan tipu daya politik kooptasi kaum borjuis! Jika anda menghendaki perubahan, jika anda menghendaki demokrasi dan kesejahteraan mari bahu membahu mendobrak kebuntuan yang ada dan mari membangun politik dan partai alternatif. Selamat berjuang dan terima kasih!

Medan Juang, 5 Februari 2024

Partai Pembebasan Rakyat

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *