Organisasikan serta Muarakan Kemarahan Rakyat melalui Kepemimpinan Politik Alternatif!
Penilaian situasi dan posisi ini diterbitkan setelah cukup jernih memerhatikan dan memahami perkembangan situasi politik sepanjang minggu terakhir Agustus ini secara cermat dan hati-hati agar kita tidak jatuh kepada petualangan politik, pemujaan pada gerakan spontan dan kemarahan massa, mengurangi dan melebih-lebihkan kesadaran massa, dinamikanya dan prospek perjuangan ke depan.
Apabila kita menelisik eskalasi politik seminggu terakhir ini terdapat beberapa hal yang mesti kita pahami guna menyimpulkan penilaian dan meletakan posisi serta sikap yang berangkat dari pemahaman atas beberapa faktor: pertama, keadaan umum ekonomi dan dampaknya kepada rakyat; kedua, sebab kemarahan massa (sosial dan politik)?; ketiga, pemahaman atas aksi pertama pada 25 Agustus 2025; keempat, konstelasi umum politik borjuis dan analisanya; kelima, kondisi gerakan kiri, gerakan rakyat dan organisasi masyarakat sipil (OMS); dan, keenam, dinamika perkembangan perkembangan politik paska demonstrasi pertama.
Faktor-faktor tersebut akan menentukan: pertama, bagaimana kita merespon dan apa yang harus kita lakukan?; kedua, apa yang mesti diperjuangkan?; ketiga, kemungkinan prediksi atas perkembangan politik ke depan; dan, keempat, prospek perkembangan perjuangan rakyat dan kepemimpinan gerakan tandingan (alternatif) dari eskalasi politik kontemporer.
Penilaian Situasi
Faktor Pertama: kondisi ekonomi dan dampaknya kepada rakyat
Keadaan ekonomi yang memengaruhi kemarahan rakyat tidak lepas dari akibat kekeliruan jalan ekonomi dan salah urus selama 60 tahun. Keliru jalan dan salah urus ini telah lama dilakukan sejak rejim Soeharto dan rejim-rejim selanjutnya, dan tingkat kerusakannya diperdalam pada dua periode Pemerintahan Jokowi.
Ditambah kontradiktifnya kebijakan ekonomi Pemerintahan Prabowo-Gibran yang berkonsekuensi pada tidak terbangunnya industrialisasi nasional (unindustrialized). Jalan ekonomi kapitalisme-militer Orde Baru selama 32 tahun dan ekonomi neoliberal yang menitik beratkan pada pedagang murah sumber daya manusia dan alam berdampak pada ketidaksanggupan negara untuk membangun industri strategis, kapasitas serta kapabilitas manusia dan kemampuan keberlanjutan sumberdaya alamnya.
Pemerintahan Prabowo kekurangan kas keuangan negara akibat dari pemborosan keuangan yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-Amin untuk membiayai pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), yang hingga 2024 telah menghabiskan dana sebesar Rp 89 Triliun.[1] Janji Prabowo untuk menjalankan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) membutuhkan dana sebesar Rp 420 Triliun per tahun atau Rp 1,2 Triliun per hari. Total jatuh tempo utang yang mesti dibayarkan sepanjang tahun 2025 sebesar Rp. 800, 33 Triliun.[2]
Meski Prabowo menyatakan akan melakukan pengetatan anggaran, namun, gemuknya postur kabinet pemerintahannya, sebagai konsekuensi koalisi yang luas, diestimasikan menguras APBN sebesar Rp 777 Milyar per tahun. Anggaran militer yang meningkat hingga Rp 245,2 Triliun untuk tahun 2025 dari Rp 166,1 Triliun pada 2024.
Bahkan, pada awal Agustus ini, Prabowo baru saja membeli 48 pesawat tempur dari Turki seharga Rp 160 Triliun.[3] Bengkaknya pengeluaran anggaran negara ini diperkirakan telah mengakibatkan defisit APBN sebesar Rp 662 Triliun untuk tahun 2025.[4] Rencana anggaran DPR untuk tahun 2026 meningkat Rp 9,9 Triliun atau 47,98% dari tahun sebelumnya.[5]
Dari sisi neraca kesetimbangan keuangan, Pemerintah Prabowo lebih banyak menekankan penerimaan negara dari pajak dan utang.[6] Bukan mengurangi pengeluaran atau alokasi belanja negara. Seperti yang terjadi pada penerimaan triwulan pertama 2025, di mana penerimaan negara mengalami penurunan sebesar Rp 3,62 Triliun.[7] Sebaliknya, pemerintah justru tetap menjalankan alokasi belanja sesuai perencanaan awal dan besar kemungkinan alokasi belanjanya bertambah.[8]
Keadaan defisit neraca keuangan belanja negara ini berdampak pada berkurangnya anggaran pemerintah daerah. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menerbitkan Keputusan Menteri (KepMen) perihal pemotongan transfer keuangan daerah (TKD) untuk tahun 2025[9] yang dipangkas 50%[10] dibandingkan tahun 2024. Dan, untuk tahun 2026 turun 24,7% dibandingkan tahun 2025.[11] Pemangkasan transfer keuangan tersebut mengakibatkan pemerintah daerah menaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) kepada warganya untuk menambah anggaran pendapatan daerah. 104 pemerintah daerah meningkatkan pajaknya, dan 20 diantaranya menaikkan pajaknya hingga lebih dari 100%.[12] Bahkan, Pemerintah Kota Cirebon, Jawa Barat, menaikkan pajak hingga 1000%!
Penurunan tingkat kesejahteraan rakyat terlihat bagaimana sejak 20 Oktober 2024 hingga akhir 2025 ke depan, diprediksi sebanyak lebih dari 280.000 buruh akan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).[13] Sementara ini, faktanya sepanjang semester pertama 2025 telah terjadi PHK terhadap 42.385 pekerja.[14] Angka tersebut meningkat 32,19% dibandingkan semester pertama pada tahun 2024.
Tingkat kemiskinan (poverty line) Indonesia menurut Bank Dunia, berdasarkan LMIC (negara-negara berpenghasilan menengah bawah), telah mengalami peningkatan dari 15,6% (44,7Juta) menjadi 19, 9% (57,05 Juta). Ada peningkatan jumlah kemiskinan lebih dari 12 juta orang Indonesia. Padahal pada triwulan pertama tahun 2025 (Januari-Maret) angka masih berkisar 15,6%. Jelas sekali dampak “pemborosan anggaran di atas” dan “pengetatan anggaran di bawah” punya hubungan erat dengan peningkatan jumlah angka kemiskinan dan poverty line index.
Faktor kedua: sebab kemarahan massa dari aspek sosial-politik
Sepanjang Prabowo-Gibran menang pemilu telah terjadi peningkatan protes yang cukup signifikan hingga saat ini. Setidaknya dari protes terhadap RUU Pilkada pada Agustus tahun lalu, dengan #Peringatan Darurat, #kabursajadulu, #IndonesiaGelap, #TolakRUUTNI, pemblokiran 140.000 rekening dorman oleh PPATK yang merugikan masyarakat, dan bagaimana para pejabat (termasuk Prabowo) merespon protes tersebut telah berakibat meningkatnya ketidakpercayaan dan kemuakan masyarakat terhadap instusi negara, khususnya lembaga kepolisian dan legislatif. Meski pernyataan-pernyataan mencibir dan terkesan mengejek dan menghina juga keluar dari mulut Prabowo, kemuakan dan kemarahan tersebut belum manifest dalam tindakan kepada dirinya.
Peningkatan eskalasi dalam tindakan yang berujung pada tuntutan mundurnya pimpinan lembaga negara, dalam hal ini eksekutif daerah, dimulai dari Kabupaten Pati. Naiknya pajak oleh pemerintah daerah menuai protes dan bentrokan dengan aparat kepolisian dan masyarakat, yang dimulai dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Bupati Pati, Sudewo, menaikkan pajak hingga 250%. Warga kemudian merencanakan aksi pada 13 Agustus 2025.
Pernyataan Bupati yang terkesan angkuh dan tak berempati. Tantangannya kepada warga mengakibatkan lonjakan dukungan donasi aksi.[15] Alhasil puluhan ribu warga Pati menuntut Bupati Sudewo lengser[16], meskipun ia sudah membatalkan kenaikkan pajak.[17] Warga Pati sudah terlanjur marah akibat pernyataan pongah dari Bupati Sudewo. Aksi protes menolak kenaikkan pajak ini merebak hingga ke Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.[18] Aksi protes di Kabupaten Bone yang menolak kenaikkan pajak hingga 300% berujung bentrokan dengan aparat kepolisian, dan 62 orang ditangkap.[19]
Setelah Pati dan Bone, tidak butuh waktu lama bagi pejabat menambah kemuakan dan kemarahan rakyat. Saat anggota DPR berjoget pada sidang tahunan MPR dan saat Ahmad Sahroni, anggota DPR RI dari Partai Nasdem, menghina masyarakat yang memprotes kenaikkan gaji dan tunjangan DPR dengan tuntutan “Bubarkan DPR!” dengan sebutan “tolol sedunia”. Cibiran juga dilontarkan oleh anggota DPR lainnya yang juga selebritas, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Nafa Urbach. Keangkuhan dan penghinaan para pejabat ini yang menjadi pemicu protes dan kemarahan publik.
Faktor Ketiga: pemahaman atas aksi pertama pada 25 Agustus 2025
Bermula dari unggahan di media sosial, Tiktok, adanya rencana aksi menuntut pembubaran DPR pada 25 Agustus 2025 beberapa hari sebelumnya. Tak ada yang mengetahui siapa yang menentukan tanggal aksi tersebut. Anehnya, rencana aksi 25 Agustus 2025 ini hanya viral di Tiktok, kurang tersebar di media Twitter. Padahal biasanya isu politik lebih tersebar di media Twitter dan Instagram seperti pengalaman aksi “#PeringatanDarurat” pada Agustus 2024 dan “#IndonesiaGelap” Maret 2025. Dalam penelusuran netijen, akun-akun media sosial yang kali pertama menyebarkan rencana aksi 25 Agustus tersebut dalam sejarahnya adalah akun-akun buzzer yang mendukung agenda pemerintahan Prabowo dan menolak aksi massa.
Tak ada konsolidasi atau rapat-rapat persiapan aksi dikalangan NGO, organisasi gerakan buruh maupun mahasiswa. Dari penyebaran informasi pihak Polda Metro Jaya ada 6 kelompok yang mengirimkan surat pemberitahuan aksi untuk 25 Agustus 2025 ke DPR RI yang jika diakumulasikan tidak sampai 500 orang. Dan, hanya satu organisasi yang dikenal publik, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). .
Beberapa hari sebelum aksi bertebaran poster dan tuntutan aksi yang nampaknya lebih menguntungkan pemerintahan Prabowo, seperti: Bubarkan DPR, Turunkan Gibran, Pecat Kapolri, Kapolda, dan Kapolres pendukung “Mulyono”, pecat kroni-kroni “Mulyono”.
Sehari sebelumnya aksi, rencana aksi yang sudah viral tersebut direspon oleh beberapa BEM dan aliansi mahasiswa dengan tuntutan lebih radikal: turunkan Prabowo-Gibran, Adili dan Penjarakan Jokowi, Bubarkan DPR dan lainnya. Meski masing-masing tetap dalam pertanyaan, “siapa yang merencakan aksi pada 25 Agustus 2025 untuk Bubarkan DPR?”
Aksi perdana pada 25 Agustus 2025 ini mulai bentrok dengan aparat di depan DPR pada tengah hari dengan jumlah massa ratusan, pada sore hari jumlah massa mulai ribuan, dan semakin banyak menjelang petang. Peserta-peserta aksi yang melakukan live Tiktok, Facebook, dan Instagram membuat massa semakin membludak. Sebagian besar massa berasal dari kaum miskin perkotaan, pengemudi ojek online dan anak-anak remaja SMA dan STM. Bentrokan meluas hingga tengah malam ke berbagai area sekitar DPR (Pejompongan, Petamburan, Bendungan Hilir dan sekitar Gelora Bung Karno).
Hingga hari ini masih belum pasti siapa atau kelompok mana yang pertama kali menginisiasi, merancang dan menentukan tanggal 25 Agustus 2025 sebagai aksi perdana “Bubarkan DPR!”. Meskipun dugaan lebih menguat ke arah pihak Prabowo dan pendukungnya sebagai “dalang” perencanaan awal, dibandingkan dugaan kubu Jokowi-Giran dan pendukungnya. Pada dasarnya, tetap masih berupa dugaan, dan dibutuhkan tim pencari fakta yang independen untuk mendapatkan kesimpulan bersama atas momen sejarah ini. Mengabaikan penelusuran fakta-fakta tersebut dan sekedar menganggapnya sebagai inisiatif dan kreatifitas massa justru akan membuat kita “menari di atas tabuhan gendang” pihak lain.
Faktor Keempat, konstelasi umum politik kaum borjuis dan analisanya.
Sudah menjadi dugaan umum bahwa “perkawinan politik” Prabowo dan Jokowi tak akan berlangsung lama. Bagi Prabowo apapun jalan mesti dilakukan untuk menjadi kaum borjuis yang berkuasa. Bagi Jokowi, yang memanjat kekuasaan bukan sebagai borjuasi nasional lama, segala hal mesti dilakukan agar kekuasaan politiknya bisa bertahan dan berlanjut. Meskipun melanggar konstitusi dan mengkhianati sekutu-sekutu lamanya.
Pada dasarnya dalam persatuan politik borjuis mana pun, hukum kompetisi dan pertentangan dalam rangka untuk menjadi paling dominan merupakan hukum besi kepentingan kelasnya. Dominasi politik memberikan jalan bagi akumulasi dan dominasi modal.
Persatuan politik ini sudah tidak cukup lagi dengan siasat akomodasi jabatan dan uang. Tak ada anggaran yang cukup untuk terus menerus membiayai belanja akomodasi politik, sebagaimana terlihat dalam analisis kondisi ekonomi. Persatuan politik Prabowo-Jokowi sudah sejak beberapa bulan terakhir menampakan keretakan yang laten, diantaranya: pembiaran Prabowo atas isu ijazah palsu Jokowi, pembiaran oleh Prabowo atas isu pemakzulan Gibran oleh beberapa purnawirawan TNI, Riza Chalid sekutu Jokowi dijadikan tersangka, pembatasan kekuasaan dan wewenang Erick Tohir, penempatan TNI untuk memback up Kejaksaan Agung agar berani berhadapan dengan pihak Kepolisian serta pertarungan porsi fungsi dan kewenangan dalam RKUHAP merupakan fakta yang mesti dilihat sebagai friksi dan keretakan diantara penguasa lama dan penguasa baru.
Sejak Prabowo-Gibran dilantik ada dua isu besar yang membuntuti mereka hingga saat ini: pertama, isu bahwa Prabowo akan terguling sebelum tahun kedua ia berkuasa dan digantikan oleh Gibran; kedua, konsolidasi politik Prabowo rampung pada tahun pertama dan penyingkiran kroni-kroni Jokowi dan Gibran dalam pemerintahan dan instusi negara.
Kedua isu ini semakin santer merebak sepanjang 25 Agustus 2025 hingga hari ini. Meski “bola” tak pernah pengarah kepada Prabowo sejak 25 Agutus 2025 dan puncak aksi dan kerusuhan pada 30 Agustus 2025, namun ia menyatakan “tidak akan mundur” saat di dampingi oleh Kapolri, dan menuding aksi-aksi seminggu terakhir sebagai tindakan makar dan terorisme.
Pernyataan Prabowo tersebut sebenarnya menguatkan dugaan masyarakat bahwa momentum tersebut dimanfaatkan untuk mengarahkan telunjuk pada aktor-aktor kompetitornya, daripada ketidakmampuannya sendiri dalam mengatasi masalah. Akibatnya, dugaan soal penyingkiran kroni-kroni Jokowi justru jadi semakin menguat.
Kepolisian dan Listyo Sigit yang telah dianggap oleh masyarakat sebagai “anak emas” pemerintahan Jokowi serta dugaan keterkaitan institusi keamanan tersebut dengan bisnis judi online, tidak segera dipecat oleh Prabowo. Pertanyaannya, “mengapa dan untuk tujuan apa”? akan segera terjawab di masa-masa yang akan datang. Namun sementara ini yang dapat disimpulkan, tujuan-tujuan yang lebih besar tak akan bisa dipenuhi apabila konsesi kepada massa segera diberikan dengan pencopotan Kapolri. “Bara api dalam sekam” nampaknya akan dipelihara, sejauh “bara api” itu tidak mengakibatkan bola panas pada kepresidenan Prabowo, sebaliknya pada DPR dan institusi Polisi.
Di sisi lain, kubu-kubu elit berebut pernyataan politik yang menguatkan isu: ada kekuatan dalam dan luar yang hendak menggulingkan Prabowo, dan Jokori-Gibran serta kroni-kroninya yang sedang disingkirkan. Tidak ada kubu oposisi yang muncul ke permukaan.
PDIP sebagai partai non pemerintahan, telah “terkunci” dengan kasus Hasto dan pembebasannya melalui amnesti. Setidaknya dua atau tiga kubu dalam PDIP yakni “kubu oposisi” Prabowo (atau mungkin istilah yang tepat kubu diluar pemerintahan) dan kubu bergabung dalam pemerintahan, terpaksa berekonsiliasi dalam kongres terakhir dengan istlah: mitra strategis pemerintah Prabowo.
Menyadari akan kesulitan untuk mengatasi masalah ekonomi dan dampaknya, Prabowo berkepentingan untuk menggaet partai pemenang pemilu dalam pemerintahannya. Suatu hal yang nampaknya belum mampu Prabowo menangkan sepenuhnya.
Anies Baswedan dan Mahfud MD elit politik yang sebenarnya potensial untuk menjadi oposisi pemerintahan tak menunjukan diri menjadi oposisi tandingan. Anies yang tak memiliki partai namun sangat populer dan memiliki basis dukungan dihambat dengan pemidanaan dan abolisi kasus Tom Lembong. Prabowo “mencuri” kredit dari kriminalisasi Tom Lembong yang banyak orang menduga Jokowi adalah “dalangnya”.
Dalam momentum aksi semingu terakhir ini baik Anies dan Mahfud hanya memperlihatkan posisi kritis normatif saja. Tidak lebih. Namun basis pendukung masing-masing di area kaum miskin perkotaan besar kemungkinan turut melampiaskan kemarahan pada aparat kepolisian dan DPR/DPRD.
Seperti biasa dalam sejarah politik Indonesia sejak Orde Baru. Elit politik selalu menunggu saat-saat penting yang krusial, aman dan menguntungkan untuk menjadi “oposisi tandingan”. Hal serupa yang terjadi pada kronik 1998.
Faktor Kelima: kondisi gerakan kiri, gerakan rakyat dan organisasi masyarakat sipil (OMS)
Gerakan kiri, gerakan rakyat dan koalisi organisasi masyarakat sipil dapat dikatakan tergagap-gagap melihat kecepatan eskalasi politik terakhir yang memang diluar jangkauan dan kontrolnya. Jelas momen seminggu terakhir bukan diinisiasi oleh gerakan tersebut. Sebagian besar turut mengintervensi paska 25 Agustus 2025. Namun jelas eskalasi politik ini belum mampu dipimpin oleh gerakan kiri, gerakan rakyat dan masyarakat sipil.
Lemahnya gerakan kiri. Terutama gerakan kiri yang berasal dari spektrum pra 1998, akibat demoralisasi massal, perpecahan, kemunduran ideologi dan kegagalan untuk menjadi saluran politik massa. Dan gerakan kiri spektrum paska 1998 yang relatif kurang pengalaman dan kecakapan politik dalam menilai situasi dan menghadapi perkembangan politik. Serta kecenderungan massif tumbuhnya borjuis kecil radikal indvidual dan komunitas yang menganggap bahwa perjuangan yang terpimpin dan terorganisir dalam partai kiri sebagai pola perjuangan yang usang.
Gerakan kiri saat ini lebih beragam dan fragmentatif. Alih-alih melihatnya secara pesimistis, keragaman ini akan dapat menjadi peluang (opportunity) dan menjadi kekuatan (strength) apabila mampu mengatasi fragmentasi dan menemukan kesepakatan-kesepakatan minimum program dan taktik.
Pertumbuhan organisasi gerakan rakyat (buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota) sebenarnya semakin marak dan meluas paska 1998. Namun, karena kurangnya kepemimpinan kiri, transformasi gerakan rakyat dari gerakan sosial menjadi gerakan politik menjadi terhambat dan lama. Kurang mampu untuk bergerak lebih cepat dalam mengintervensi momentum dan melihat jendela peluang (window opportunity) untuk melakukan akselerasi bagi percepatan kesadaran massa dan peningkatan eskalasi politik ke arah politik programatik gerakan.
Organisasi masyarakat sipil sebenarnya lebih memiliki infrastruktur yang baik ketimbang dua gerakan sebelumnya. Dikenal oleh media dan jaringan yang luas. Meski tak memiliki basis massa yang luas. Kecenderungan perjuangannya yang membatasi diri pada tuntutan minimum reformasi dan hal-hal yang mudah dicapai (achievable) membuat kesulitan untuk memimpin dan mengorganisasikan kemuakan dan kemarahan massa.
Faktor Keenam, dinamika perkembangan perkembangan politik paska demonstrasi pertama
Pasca 25 Agustus 2025, momentum isu tersebut kemudian diintervensi oleh serikat-serikat buruh yang tergabung dalam Partai Buruh untuk mengkampanyekan tuntutan sektoralnya sendiri pada 28 Agustus 2025 di DPR. Serikat pekerja pimpinan Andi Gani dan Jumhur Hidayat yang semula juga berencana untuk turun membatalkan rencana aksi dengan alasan yang kurang jelas.
Said Ikbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Presiden Partai Buruh menghimbau agar kelompok-kelompok yang hendak melakukan aksi anarkistis untuk tidak terlibat dan aksi tersebut hanya memperjuangan tuntutan kaum buruh, menaikkan upah buruh dan menolak PHK. Muncul dugaan yang merebak terkait kompetisi di antara elit pimpinan serikat buruh perihal siapa yang akan memimpin Satgas PHK dan Deindustrialisasi.
Patut dicatat, Said Ikbal merupakan mantan kader PKS dan pendukung setia Prabowo sejak Pemilu Presiden 2014. Mayoritas buruh pimpinan Said Ikbal merampungkan aksinya pada siang hari. Namun massa semakin membludak menjelang sore hari dan petang. Bentrokan antara aparat dan demonstran meluas hingga tragedi naas terjadi, aparat Brimob dengan mobil Rantis melindas beberapa pengemudi ojek online.[20] Satu orang meninggal dunia.
Tewasnya pengemudi ojol, Affan Kurniawan, memancing kemarahan yang lebih besar. Massa (mayoritas pengemudi ojol) kemudian mulai mengepung dan bentrok dengan aparat Brimob di markas komando Brimob, Kwitang, Pasar Senen pada malam itu juga. Bentrokan bertahan hingga esok harinya karena dukungan masyarakat sekitar.
Keesokan harinya, 29 Agustus 2025, lebih dari 30 kota/kabupaten turun ke jalan dengan kuantitas yang bervariasi. Di Jakarta ribuan massa sejak siang hari dipimpin oleh mahasiswa mulai mengepung markas Polda Metro Jaya (PMJ). TNI tanpa senjata dikerahkan namun mahasiswa dari BEM UI meneriaki dengan seruan “Tentara Kembali ke Barak! Satu-satunya laporan signifikan tentang bagaimana respon negatif atas pengerahan militer di tengah massa.
Sebaliknya, di Mako Brimob Kwitang, sejak pagi massa yang juga dijaga oleh Marinir dan Kostrad dielu-elukan “Hidup TNI!”. Terlihat TNI membagi-bagikan uang dan air mineral kepada massa.[21] Di depan DPR, Marinir dan Angkatan Darat menjaga DPR menggantikan pihak kepolisian. Massa juga meneriakkan “Hidup TNI!”.
Pengepungan dan pembakaran kantor polisi meluas ke berbagai titik, Polsek Cawang di Jakarta Timur, Polres Jakarta Timur di Jatinegara, Polsek Kramat, Markas Gegana di Kramat, Jakarta Pusat, dan berbagai pos polisi di sekitar DPR, Semanggi, sepanjang jalan Otista, Jakarta Timur hingga Pasar Senen, Jakarta Pusat. Massa juga dalam skala kecil melakukan penjarahan di sekitar Kwitang. Dan membakar fasilitas umum di berbagai titik aksi di Jakarta Timur, Selatan dan Pusat.
Demonstrasi yang berujung pada pembakaran fasilitas negara juga terjadi Mataram, Makassar (dilaporkan 3 orang meninggal), Medan, Yogyakarta, Bandung dan Surabaya.[22] Singkatnya, masyarakat dalam keadaan penuh kemarahan baik pada institusi DPR maupun Kepolisian.
Saat laporan ini ditulis sepanjang 25-31 Agustus 2025, lebih dari 40 kota/kabupaten melakukan aksi. 9 orang telah meninggal akibat kekerasan aparat dan orang tak dikenal. Lebih dari 20 orang hilang. 3195 orang yang ditangkap, beberapa kantor DPRD dan fasilitas umum terbakar.
Pengerahan militer di aksi-aksi, termasuk di rumah para pejabat yang dijarah, atau kantor DPRD yang dibakar dan ditangkapnya intel Bais dan anggota TNI di beberapa lokasi aksi yang berakhir rusuh. Serta akun-akun pendukung Prabowo yang terlihat mengarahkan isunya pada pembubaran DPR, pemakzulan Gibran, tangkap dan/atau adili Jokowi serta copot Kapolri. Mengharuskan kita untuk kembali mengingat pola cipta kondisi yang terjadi pada 1998. Meski berbeda, namun ada pola yang sama.
Prabowo segera mengonsolidasikan semua pimpinan organisasi keagamaan dan selanjutnya partai di DPR. Termasuk Megawati yang sudah “utang budi” pada Prabowo. Konsesi atas kemarahan massa diberikan dengan penonaktifan beberapa anggota DPR yang menghina. Tapi sebaliknya, memberikan hukuman kepada demonstran dengan tudingan makar, terorisme dan polisi boleh untuk bertindak tegas. Dua hari setelahnya penangkapan aktivis dimulai. Aktivis dijadikan kambing hitam.
Partai-partai anggota Parlemen terdelegitimasi dengan isu pembubaran DPR. Semua pimpinan partai berkumpul dengan mudahnya dipanggil Prabowo. Sementara Prabowo mendapatkan kredit sebagai “penyelamat keadaan”. Di masa yang akan datang, popularitas partai-partai tersebut segera merosot dibandingkan Prabowo dan Gerindra, apabila tak ada dinamika yang lebih besar lagi. Dengan keadaan sekarang ini, jika esok hari diselenggarakan pemilu, sangat mungkin dimenangkan oleh Gerindra dan Prabowo. Sebab tak satu pun sebenarnya serangan yang signifikan mengarah pada legimitasi kepresidenannya.
Kesimpulan peniaian situasi:
- Apa yang dapat kita nilai dari eskalasi politik yang meningkat lebih dari seminggu terakhir ini disebabkan oleh pertemuan tiga aspek: pertama, kemarahan (amok) massa akibat dari keadaan ekonomi, sosial dan politik; kedua, kemarahan (amok) massa yang dimanfaatkan oleh pertarungan antar elit (Jokowi/Gibran vs Prabowo) atau Polri vs TNI; serta, ketiga, intervensi oleh kubu-kubu elit dan pendukungnya yang tak punya keberanian menyatakan diri sebagai oposisi.
- Kemarahan massa kepada institusi DPR dan Polisi dan pengrusakan yang dapat dikategorikan masih dalam skala kecil dibandingkan 1998 merupakan kemajuan terbatas. Yang karena ketiadaan kepemimpinan dari gerakan alternatif masih cukup sulit bertransformasi menjadi krisis politik yang dapat diakselerasikan.
- Kemarahan rakyat merupakan wujud dari kesadaran spontan massa. Kemarahan tersebut dapat bermuara pada kemajuan atau kemunduran keadaan. Tergantung pihak mana yang lebih dominan dan mampu memimpin. Apakah elit dan pertarungannya, atau gerakan rakyat dan kerjasamanya.
- Kemarahan massa dimanfaatkan oleh pertarungan elit serta aparatus kekerasan negara (TNI vs Polisi) untuk menjadi kerusuhan sebagai dalih untuk memudahkan memukul mundur gerakan sosial dan politik yang potensial kedepannya menjadi alternatif dari bawah.
- Sejauh ini, Prabowo mempertahankan “api dalam sekam”, sebab masih merasa dalam kontrolnya. Namun “api dalam sekam” ini kedepannya bisa “membakar dirinya” atau memperkuat posisinya dengan dalih menyelamatkan keadaan negara dan bangsa melalui dekrit presiden, darurat militer dan kembali berkuasa melalui mekanisme musyawarah MPR sesuai UUD 1945 sebelum amandemen, semuanya tergantung dari kekuatan-kekuatan politik yang berkaitan dan bertentangan.
- Krisis ekonomi serta kebangkrutan keuangan sudah jelas terlihat. Namun, krisis ekonomi itu tidak hanya berhenti menjadi krisis sosial, namun menjadi krisis politik, dan lebih jauh lagi krisis revolusioner tergantung seperti apa pembangunan alternatif dari bawah memberikan hegemoni kepemimpinan kepada rakyat.
Bagaimana kita merespon dan apa yang harus kita lakukan?
Meski posisi dan sikap ini bisa dikatakan terlambat. Namun tentu saja penting untuk menjabarkannya, sebagai pemahaman dinamika selanjutnya. Tentu penting bagi kita untuk merespon eskalasi politik ini dengan kejernihan berpikir, kewaspadaan dan kejelasan posisi. Dan menepiskan subyektifitas sehingga melebih-lebihkan kesadaran dan dinamika massa dengan menyatakan “revolusi sudah diambang pintu”. Kesembronoan semacam itu akan berakibat fatal bagi organisasi, persatuan dan perjuangan rakyat. Karena itu obyektifitas penting untuk selalu menjadi panglima.
Dari penjabaran di atas ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh gerakan:
Pertama, kebutuhan adanya strategi atas kepemimpinan yang mewujud menjadi pusat konsolidasi politik di antara penggabungan gerakan kiri, gerakan rakyat dan organisasi-organisasi masyarakat sipil. Kesepakatan minimum di antara ketiga elemen tersebut lebih baik daripada tidak ada kesepakatan sama sekali dan tidak ada pusat konsolidasi sama sekali. Tanpa pusat konsolidasi dalam karakter demokratik-reformis sekalipun, jangan berharap ada kepemimpinan demokratik yang dapat menjadi pole of attraction (pusat daya tarik), apalagi mengharapkan kepemimpinan revolusioner.
Kedua, strategi bawah, meski media sosial menjadi sarana paling cepat untuk menyebarluaskan gagasan/narasi kepada rakyat, namun, pembangunan komite-komite perlawanan teritorial, kampung, dan kawasan pabrik merupakan basis bagi keorganisasian perlawanan dan wadah demokrasi, koordinasi dan pembelajaran rakyat. Rancah bangun organisasi perlawanan tetapi lebih baik dibangun secara luring dibanding daring.
Ketiga, dalam kondisi sekarang, pertarungan antara narasi yang benar dan narasi palsu begitu cepat. Kampanye yang integral dan mudah dipahami rakyat dibutuhkan dalam melawan narasi palsu yang disebarkan. Cepat, benar, faktual, menarik, mudah dipahami dan massif yang diorganisasikan secara kolektif dan integral menjadi kunci.
Keempat, radikalisasi dan mobilisasi dari area teritorial dan sektoral. Dan diorganisasikan secara rapi dengan terus mendorong dan melatih kepemimpinan gerakan buruh progresif sebagai sektor yang lebih terorganisir agar tidak mudah disusupi dan diadudombakan
Apa yang harus diperjuangkan?
Terkait seruan Bubarkan DPR, kita harus kembali kepada konteks dan konstelasi. Jangan serta merta melahapnya. Dalam sejarah politik Indonesia ada tiga kali isu pembubaran parlemen.
Pertama, saat Soekarno membubarkan Badan Konstituante melalui dekrit presiden 5 Juli 1959. Alasannya, Badan Konsituante gagal melahirkan UUD yang baru paska UUDS 1950. Pertentangan dan keributan politik di parlemen ini dimanfaatkan oleh militer untuk menekan Soekarno agar segera mengeluarkan dekrit presiden. Pembubaran Badan Konstituante tersebut memberikan peran yang lebih besar kepada militer. Sesuatu yang sudah sejak peristiwa 17 Oktober 1952 diharapkan oleh militer.
Kedua, saat kekuatan sisa Orba, TNI, Polisi dan aliansi reformis gadungan (Amien Rais, Hamzah Haz, Megawati), terganggu dengan berbagai reformasi yang dilakukan Gusdur soal permintaan maaf terhadap korban rasisme 1998, permintaan keluarga anggota dan simpatisan PKI, permintaannya untuk mencabut Tap MPRS 25/1966, ruang dialog untuk ekspresi politik rakyat Papua dan sebagainya. Jadi saat itu, DPR vis avis dengan Presiden yang hendak menuntaskan masalah-masalah masa lalu dan perluasan demokrasi (meski) liberal.
Ketiga, konteks hari ini. Komposisi DPR mayoritas adalah anggota koalisi pemerintahan Prabowo.Tidak ada oposisi. Sementara PDIP sebagai partai non koalisi, menyatakan diri sebagai “mitra strategis”. Pada dasarnya, DPR sebagai lembaga “stempel” Prabowo. “Bola” yang hanya mengarah pada legislatif, justru menguntungkan eksekutif.
Jadi, kita tidak akan menganjurkan seruan “Bubarkan DPR!”, dan karena kemarahan massa mengarahkan kita pun tidak akan menghalangi ekspresi kemarahan tersebut melainkan menjelaskan secara gamblang problem fundamental kebobrokan DPR, dan kaitannya dengan Prabowo, dan sistem ekonomi politik yang diambil.
Tuntutan Dewan Rakyat, Komune, atau Konfederalisme Demokratis pada dasarnya masih jargon. Belum ada basis materialnya. Tak ada pusat konsolidasi dan persatuan rakyat dan organisasi-organisasi rakyat. Dan lebih jauh, tak dimengerti oleh rakyat. Tak sedikit massa rakyat yang turun ke jalan masih belum beroganisasi. Justru seruannya:
- Berorganisasi, Bersatu dan Berlawan untuk Republik yang Adil/Setara, Demokratis, Ekologis, Modern dan bervisi Kerakyatan!
- Bangun Presidium Rakyat untuk Politik Alternatif!
Selebihnya terkait tuntutan-tuntutan minimum tentang upah pejabat, buruh, reformasi POLRI, TNI, dan sebagainya, secara umum kita dapat bersepakat dengan tuntutan minimum demokratik yang mengemuka.
Prediksi atas perkembangan politik ke depan
Aksi-aksi direncanakan oleh beberapa kelompok akan berlangsung hingga 5 September 2025. Meski ormas keagamaan sudah dikumpulkan oleh Prabowo untuk menyerukan “tenang” dan “damai”[23]. Dan pimpinan-pimpinan partai di parlemen sudah dikonsolidasikan. Sementara beberapa anggota DPR dan Partai mulai terlihat berkompromi, Puan menyatakan minta maaf[24], Golkar setuju pembatalan tunjangan anggota DPR[25]. Partai-partai menonaktifkan anggotanya yang menjadi pemicu kemarahan. Demonstrasi, bentrokan, dan kemarahan yang telah meluas ke lebih dari 40 kota/kabupaten mengalami penurunan drastis sejak Prabowo menuding demonstran sebagai “makar, terorisme, dan tindak tegas”.
Ketiadaan kepemimpinan dari organisasi-organisasi dan tokoh-tokoh yang dianggap prularis, kerakyatan dan demokratik membuat, korban yang semakin banyak berjatuhan dikalangan massa demonstran, fear monggering yang diciptakondisikan oleh aparat TNI dan Polri, membuat arah dan pergerakan “bola” sejauh ini ditentukan oleh elemen yang paling dominan, Prabowo dan aparatusnya.
Prospek perkembangan perjuangan rakyat dan kepemimpinan gerakan tandingan (alternatif) dari eskalasi politik kontemporer.
Ketidakmampuan pemerintahan Prabowo-Gibran dalam mengatasi masalah ekonomi, sosial dan salah urus pemerintahan akan membuat letupan-letupan massa potensial muncul kedepannya secara spontan, sporadis dan tanpa kepimimpinan. Dan sangat mungkin berada di luar jangkauan intervensi gerakan rakyat.
Meski kecil, prospek positif, potensial lahir apabila ada persatuan antara gerakan kiri, gerakan rakyat dan gerakan sosial agar dapat menunjukan arah dan kepemimpinannya.
Jika tidak, prospek terburuk saat terjadi krisis ekonomi berada pada titik puncak (peak), dan eskalasi politik kembali memanas, kemudian kemarahan massa berubah menjadi amok, selanjutnya memberikan dalih bagi Prabowo untuk memberlakukan Darurat Militer dan kita mundur ke era suram, kediktaktoran militer ala Prabowo.
Kita berharap prospek terburuk itu tak pernah terjadi. Kesabaran, keluwesan, kerendahan hati, serta ketepatan program dan taktik dapat menjadi landasan bagi pembangunan organisasi dan persatuan rakyat.
Medan Juang, 3 September 2025
Kolektif Nasional Partai Pembebasan Rakyat
[1] https://ikn.kompas.com/read/2025/01/21/174342587/hingga-2024-pembangunan-ikn-habiskan-dana-apbn-rp-89-triliun
[2] https://nasional.kontan.co.id/news/utang-jatuh-tempo-pemerintah-tertinggi-pada-juni-2025-capai-rp-1789-triliun
[3] https://www.bbc.com/indonesia/articles/cyvnq7406mjo
[4] https://www.cnbcindonesia.com/news/20250723071052-4-651366/sri-mulyani-lapor-ke-prabowo-defisit-apbn-2025-bengkak-jadi-278
[5] https://www.tempo.co/ekonomi/anggaran-dpr-naik-dana-daerah-turun-2063514
[6] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250818133058-78-1263681/prabowo-akan-tambah-utang-rp7819-t-terbesar-sejak-pandemi-covid-19
[7] https://www.tempo.co/ekonomi/apbn-tekor-rp-31-2-triliun-dalam-2-bulan-pertama-2025-ekonom-wanti-wanti-defisit-melebar-dari-target-1220417
[8] https://kbr.id/articles/indeks/apbn-2025-defisit-belanja-negara-tetap-jalan-dan-bertambah
[9] https://www.cnbcindonesia.com/news/20250723071052-4-651366/sri-mulyani-lapor-ke-prabowo-defisit-apbn-2025-bengkak-jadi-278
[10] https://www.cnbcindonesia.com/news/20250204132517-4-607833/sah-dana-transfer-ke-daerah-mayoritas-dipotong-50
[11] https://www.kppod.org/berita/view?id=1447
[12] https://www.tempo.co/politik/kemendagri-104-daerah-naikkan-pbb-20-daerah-naik-di-atas-100-persen-2060902
[13] https://data.goodstats.id/statistic/simak-tren-jumlah-phk-selama-10-tahun-terakhir-PxXQl#:~:text=Data%20Pemutusan%20Hubungan%20Kerja%20(PHK)%202014-2024&text=Pemutusan%20Hubungan%20Kerja%20(PHK)%20merupakan,2024:%2080.000%20pekerja
[14] https://www.cnbcindonesia.com/research/20250727071010-128-652512/phk-melejit-32-di-semester-i-2025-wilayah-ini-paling-parah
[15] https://www.tempo.co/ekonomi/anggaran-dpr-naik-dana-daerah-turun-2063514
[16] https://www.bbc.com/indonesia/articles/c1ejd9vjv1wo
[17] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250808120919-32-1260253/bupati-pati-resmi-batalkan-kenaikan-pbb-250-persen
[18] https://www.tempo.co/politik/daftar-daerah-yang-menggelar-demo-tolak-kenaikan-pbb-p2-2061043
[19] https://regional.kompas.com/read/2025/08/20/195122878/demo-kenaikan-pbb-p2-di-bone-berujung-bentrok-62-pengunjuk-rasa-ditangkap
[20] https://www.tempo.co/politik/kronologi-mobil-brimob-lindas-pengemudi-ojol-hingga-tewas-saat-demo-di-dpr-2064223
[21] https://www.kompas.com/jawa-barat/read/2025/08/29/152342688/tni-bagi-bagi-air-mineral-ke-massa-demo-ojol-di-mako-brimob?page=all
[22] https://www.kompas.com/jawa-barat/read/2025/08/29/152342688/tni-bagi-bagi-air-mineral-ke-massa-demo-ojol-di-mako-brimob?page=all
[23] https://news.detik.com/berita/d-8088108/presiden-prabowo-undang-16-ormas-keagamaan-di-hambalang
[24] https://news.detik.com/berita/d-8087875/puan-maharani-minta-maaf-kami-akan-dengar-aspirasi-rakyat
[25] https://www.metrotvnews.com/read/N6GCxJpW-fraksi-golkar-setuju-pembatalan-tunjangan-dpr
