Jarak Tipis di antara Kedua Calon Presiden Indonesia

Jarak Tipis di antara Kedua Calon Presiden Indonesia

 

Oktober 6, 2014

 

Oleh: Max Lane

(Artikel ini diterbitkan dalam bahasa Inggeris di ISEAS PERSPECTIVES pada tanggal Juli 4, 2014, sebelum pemilihan presiden berlangsung pada tanggal Juli 9. Artikel ini diterjemahkan sukarela oleh Mohamad Zaki Hussein. Terima kasih.)

 

Setelah periode lobi pra-kampanye yang panjang untuk membentuk koalisi politik, kampanye pemilihan presiden telah berjalan selama tiga minggu. Sudah ada tiga debat di antara kedua calon (dengan tiap debat berfokus pada satu topik spesifik) dan “dialog” antara kedua calon presiden dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) yang disiarkan secara nasional oleh televisi. Terdapat banyak kegiatan ketika para calon presiden dan juru bicara mereka menenggelamkan diri dalam kampanye; papan iklan dan reklame ada di mana-mana.

 

Pembelahan yang ada di elit Indonesia sudah cukup jelas. Kedua calon, Joko Widodo (dari PDI-P) dan Prabowo Subianto (dari GERINDRA), mewakili dua jalan ke masa depan (atau kembali ke masa lalu) yang sungguh berbeda bagi Indonesia, tetapi keduanya muncul dari elit berkuasa Indonesia. Widodo berasal dari elit daerah baru yang tumbuh subur dalam eksperimen Indonesia dengan desentralisasi. Prabowo sangat terkait dengan elit lama Orde Baru dan, sekalipun ia sendiri sangat kaya, juga merupakan kakak dari seorang pengusaha yang sangat kaya. Ia adalah mantan menantu Suharto dan anak mantan menteri Suharto, yang juga seorang pengusaha kaya.[1] Di saat ini, kebanyakan jajak pendapat mengungguli Widodo dari Prabowo dengan angka antara 5% dan 7%, dengan 20-30% pemilih yang belum menentukan pilihannya. Widodo, meski masih unggul dalam jajak pendapat, tampak telah kehilangan keunggulan yang ia miliki sebelumnya di tahun ini, ketika beberapa jajak pendapat menempatkannya pada 70%.

 

“Visi” yang ditawarkan oleh kedua calon mencerminkan pembelahan utama dalam kelas kapitalis Indonesia. Terdapat konglomerat-konglomerat besar yang ingin mengembalikan status kroni mereka, diwakili oleh Prabowo dan Aburizal Bakrie (ketua Golkar), dan ada banyak sekali kapitalis provinsi serta kabupaten, diwakili oleh Widodo dan Jusuf Kalla, yang merupakan bagian terbesar dari elit cabang partai politik di seluruh negeri.[2] Sejak 2000, para kapitalis provinsi dan kabupaten memiliki lebih banyak ruang untuk intervensi politik sebagai akibat dari pemilihan langsung kepala daerah seperti bupati, walikota serta gubernur, dan kekuasaan anggaran yang lebih besar bagi parlemen daerah. Widodo sendiri merupakan contoh dari dinamika ini, setelah menjadi pemimpin utama komunitas bisnis di Solo, lalu menjadi walikota Solo dan kemudian Gubernur Jakarta, sebelum bertarung untuk jabatan Presiden. Prabowo berasal dari sebuah keluarga bisnis yang menjadi kaya setelah ayahnya kembali ke Indonesia menyusul pengambilalihan kekuasaan oleh Suharto. Baik Prabowo dan adiknya, Hashim Djojohadikusumo, telah mengembangkan bisnis mereka sebagai pemburu-rente di sektor sumber daya alam.

 

Dalam debat presiden pertama, Prabowo menyampaikan maksudnya dengan mengkritik pemilihan langsung untuk bupati dan walikota, menganjurkan untuk kembali ke sistem dimana parlemen daerah memilih mereka. (Sebenarnya, di sistem yang lama, parlemen daerah hanya menyampaikan rekomendasi kepada Presiden yang melakukan pengangkatan.) Widodo membela sistem yang sekarang sebagai lebih demokratis, tetapi menyarankan agar pemilihan daerah diselenggarakan di seluruh negeri pada waktu yang sama untuk menghemat uang. Prabowo memberi tanda bahwa ia tidak menyetujui pembentukan lebih banyak lagi unit administratif kabupaten; Widodo mendukung pembentukan itu jika pemerintah daerah yang lebih kecil dapat mendorong bisnis lokal. Prabowo menjanjikan—dengan sangat demagogis dan tanpa detil—proyek pembangunan yang besar untuk menjadikan Indonesia sebagai “Macan Asia,” sementara Widodo menawarkan lebih banyak bantuan untuk bisnis kecil serta menengah di lapangan dan merampingkan proses perizinan untuk semua bisnis (menggemakan baik latar belakangnya maupun dorongan saat ini oleh organisasi neoliberal seperti International Finance Corporation). Prabowo mengklaim bahwa sejumlah besar kekayaan—nyaris satu triliun dollar AS—disalurkan ke luar negeri atau merupakan kerugian potensial, yang dia sebut sebagai “kebocoran” besar dan menekankan bahwa menghentikan kebocoran ini adalah cara untuk membiayai proyek-proyek besar, sekalipun ia tidak memberikan penjelasan rinci tentang bagaimana ia akan menghentikan kebocoran itu. Meski demikian, Widodo tidak menyebut “kebocoran” kekayaan, kecuali terkait dengan perikanan dan pembalakan liar. Ia membela penjualan perusahaan telekomunikasi INDOSAT oleh mantan Presiden Megawati ke pembeli asing dengan alasan ada krisis keuangan, tetapi menyatakan ia akan membeli kembali saham-sahamnya. Ia mengambil garis lunak terkait kebutuhan renegosiasi kontrak dengan perusahaan-perusahaan asing. Ketika didesak oleh anggota Kamar Dagang Indonesia terkait kebutuhan pinjaman yang lebih murah untuk proyek-proyek jangka-panjang, Widodo menjawab bahwa ia setuju dan lebih banyak pinjaman berbunga-murah harus dicari dari luar negeri.

 

Perspektif kebijakan ekonomi yang berbeda ini antara kapitalis kabupaten dan kapitalis konglomerat tidak menimbulkan banyak diskusi di media arus utama atau media sosial. Diskusi publik lebih banyak ditentukan oleh perbedaan perspektif politik yang dianut kedua calon.

 

Perspektif politik Prabowo, seperti yang telah ia elaborasi beberapa waktu belakangan ini, betul-betul kembali ke Suhartoisme, tetapi dengan lebih banyak unjuk kemegahan dan demagogi. Ia menyatakan dukungannya terhadap demokrasi, tetapi untuk demokrasi yang “konstruktif,” bukan “destruktif,” yang ia angkat lagi di debat nasional pertama, menggemakan istilah lama Suharto “Demokrasi Pancasila.” Ia menyerukan diakhirinya pemilihan langsung untuk bupati dan walikota (meskipun pasangan calon wakil-presidennya yang berasal dari tipikal partai berbasis-lokal, Partai Amanat Nasional, membantahnya dalam hal ini di debat pertama). Demagogi Prabowo terus menyerang semua partai politik, kecuali partainya sendiri, dan semua politisi secara umum. Gayanya, dengan sebuah keris terselip di ikat pinggangnya, lencana Burung Garuda di kemejanya dan kebanggaan terhadap catatan militernya, menekankan militerismenya. Prabowo telah menerima dukungan dan mendeklarasikan kesediaannya untuk bekerjasama dengan organisasi semacam kelompok Islam radikal (yang memiliki nama buruk) Front Pembela Islam dan ultra-nasionalis Pemuda Pancasila, keduanya merupakan kelompok semi-milisi yang menentang hak asasi manusia, kelompok-kiri dan keyakinan minoritas. Ia menganjurkan kembali ke Konstitusi 1945 yang asli, yang akan menghapuskan banyak institusi liberal-demokratik yang muncul pada dekade terakhir.

 

Tidak diragukan lagi bahwa pandangan ini, didukung oleh kekuasaan negara, akan menjadi ancaman langsung terhadap ruang demokratik yang meluas dan telah dimenangkan oleh gerakan pro-demokrasi tahun 1990an yang menjatuhkan Suharto dari kekuasaannya. Pandangan itu akan mengantar ke periode ketegangan politik dan sosial yang meningkat dan, mungkin lebih cepat daripada lambat, akan mengancam keberadaan setiap ruang demokratik. Ancaman terhadap ruang demokratik dan pluralisme—ruang untuk minoritas, terutama minoritas agama dan sekuler—inilah yang merangsang banyak kelas menengah bawah urban, sekuler, kota besar dan berbasis sosial media, untuk melawan Prabowo.

 

Perspektif Widodo, lebih bersifat implisit daripada terelaborasi secara eksplisit, menjanjikan keberlanjutan status quo politik. Beberapa pendukung Widodo menunjukpada kemunculan kelompok relawan dalam jumlah besar dan mobilisasi JALAN SEHAT yang mengesankan, yang dijadikan aksi mendukung Widodo di Jakarta pada 20 Juni. Foto Widodo memakai kaos oblong putih dan mengangkat tangan salam dua jari—ia adalah calon nomor 2 di kartu suara—di hadapan 100.000 orang di Monumen Nasional sudah menjadi ikon. “Kerelawanan” baru ini, kata pendukungnya, merepresentasikan sebuah perbaikan kualitatif dalam kehidupan demokratik.[3]Ini merupakan sebuah over-estimasi yang kasar. Di negara dengan 190 juta pemilih, fenomena itu sangat kecil (terutama karena durasinya pendek dan tingkat organisasinya sangat terbatas dalam melampaui demonstrasi “yang dipersiapkan”).

 

Dokumen “Visi dan Misi” Widodo yang diajukan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) memang secara eksplisit berkomitmen pada norma-norma hak asasi manusia modern dan penyelesaian serangkaian panjang pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pembunuhan massal 1965 dan juga penghilangan serta penculikan 1998, dimana Prabowo terlibat. Meski demikian, terlepas dari penyebutan sesekali, sambil lalu, yang dilaporkan secara online, hal ini belum menjadi tema kampanyenya. Widodo belum menggunakan kesempatan yang ada dalam kemunculannya di televisi nasional untuk menyampaikan sebuah komitmen publik yang jelas terhadap isu ini. Terlebih lagi, ia telah menerima dukungan, dalam koalisinya, dari purnawirawan pejabat militer yang oleh lembaga hak asasi manusia yang utama dianggap juga telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat, seperti Jenderal Hendropriyono dan Muchdi,[4] yang dianggap banyak orang bertanggung jawab atas pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir. Terkhusus, Widodo sendiri tidak memerangi Prabowo secara terbuka dalam isu ini, tidak membuat komitmen publik yang jelas, dan membiarkan para pendukungnya di luar partai yang ia wakili membuat janji itu. Terkadang, para pendukungnya ini membuat janji yang perlu segera ia bantah, seperti janji Musdah Mulia,Direktur Institut Megawati, untuk menghapus kategori agama di KTP.[5]

 

Meskipun Widodo tidak bertarung dengan Prabowo dalam isu-isu demokratik dan hak asasi manusia, untuk sektor masyarakat yang menganggap penting hak-hak demokratik, perbedaannya jelas. Apapun kelemahan yang ada di status quo, kembali ke kediktatoran Suhartois—dan Suhartoisme yang dibela secara demagogis—akan merupakan pukulan besar bagi kemajuan demokratik apapun di negeri ini.

 

Tidak diragukan lagi bahwa frustrasi, bahkan kebencian massal terhadap elit yang diungkap sebagai korup, merosot dan “transaksional,” yakni terobsesi dengan memperkaya diri mereka sendiri dengan transaksi-transaksi, banyak membingkai atmosfir politik sekarang ini.[6] Baik Widodo dan Prabowo berupaya merespon hal ini. Widodo menawarkan sebuah “revolusi mental” dimana korupsi terutama akan diperangi dengan keteladanan dan pendidikan—tetapi juga didukung oleh lebih banyak dana ke Komisi Pemberantasan Korupsi[7]—yang dijanjikan calon Wakil-Presiden Yusuf Kalla di debat nasional pertama. Keseluruhan pemasaran kampanye Widodo didasarkan pada menjual dirinya sebagai “sederhana, jujur dan merakyat.” Kenyataan bahwa ia bukan seorang konglomerat yang suka bertransaksi cummantan milyarder kroni, tetapi “hanya” seorang jutawan eksportir mebel setingkat-kabupaten dengan kebiasaan gaya hidup sederhana (sejauh yang bisa kita lihat), membantunya menjual citra ini. Apa yang membuatnya bisa mengamankan basis dukungan kelas-bawahnya adalah kesediaannya untuk sering melakukan kunjungan lokal ke tempat dimana rakyat miskin hidup dan bekerja (meski bukan ke pabrik). Respon Prabowo terhadap elit yang rakus, korup dan merosot adalah mengancam secara demagogis akan menundukkan mereka—tetapi lagi-lagi, ia tidak menyebut nama atau menjelaskan secara spesifik bagaimana hal ini akan dilakukan (tidak mengejutkan mengingat status ultra-elit dia).

 

Mungkin karena aspek lain dalam perang retorika yang membuat Prabowo tampak dapat meningkatkan popularitasnya di jajak pendapat selama beberapa bulan terakhir. Prabowo telah melancarkan semacam jihad retoris terhadap luasnya kemiskinan di Indonesia dan terus menyatakan bahwa hal ini dimungkinkan oleh “kebocoran” kekayaan yang besar dari Indonesia ke dunia luar. Ia mengidentifikasi kebocoran ini sebagai akibat kepemilikan dan/atau dominasi asing di sumber daya alam Indonesia dan kontrak serta perjanjian yang secara berlebihan menguntungkan pihak asing. Retorika dan penekanannya pada hal ini konsisten dan benar-benar terlihat hampir seperti jihad, meski ia menghindar dari penjelasan spesifik tentang bagaimana ia akan mengakhiri situasi ini. Dalam debat nasional tentang pertahanan dan kebijakan luar negeri, ia bahkan mempertanyakan apa gunanya memiliki tank dan pesawat jika rakyat berada dalam kemiskinan. Tanggapan Widodo terhadap isu kemiskinan bernada jauh lebih rendah, memajukan kartu pintar dan kartu sehat gratisnya—simbol penting dari jaring pengaman sosial yang telah dibangun di Indonesia sesuai dengan konsensus neo-liberal pasca-Washington, dan dibayar dengan menghapuskan subsidi yang sebelumnya membuat inflasi rendah.

 

Jadi, kontras dalam isu kemiskinan dan eksploitasi asing ini adalah antara seorang militer yang “tegas,” yang mengatakan bahwa ia akan melancarkan perang terhadap kemiskinan dan pengambilan kekayaan Indonesia oleh pihak asing, dan seorang Walikota Solo yang menawarkan jaring pengaman sosial serta manajemen yang lebih baik atas dana-dana yang tersedia. Kontras ini mungkin memenangkan dukungan baru untuk Prabowo, dan memperkecil keunggulan Widodo. Para pendukung Widodo, bahkan pendukungnya yang berasal dari NGO liberal dan intelektual kiri yang signifikan dan berkampanye untuknya, serta serangkaian komentator, tampak mengabaikan kenyataan bahwa gambaran yang diberikan Prabowo tentang masyarakat Indonesia—meski ia melakukannya untuk tujuan demagogis—kurang lebihnya akurat. Sejumlah besar massa Indonesia itu miskin, dan terkait dengan standar kehidupan internasional abad ke-21 untuk pendapatan, pendidikan, kesehatan, budaya dan kesenangan, yang keberadaannya di Dunia Pertama mereka lihat melalui media, dan sehari-harinya mewujud di depan mata mereka melalui kelas atas dan menengah Indonesia yang sangat terbaratkan dan tumbuh dengan cepat, 150 juta atau lebih pemilih pada kenyataannya sangat miskin dan ditinggal dengan hina. Tidak diragukan lagi bahwa terdapat kemarahan yang menyakitkan dan meluas terhadap situasi yang sangat nyata ini di antara 150 juta orang tersebut.

 

Mengabaikan kondisi sosial dan ekonomi yang diciptakan oleh struktur ketergantungan dan keterbelakangan berjangka-panjang, serta membatasi analisis pada isu-isu rule of law di hak asasi manusia, korupsi dan elit politik transaksional dalam memahami perkembangan Indonesia, terutama (tetapi tidak hanya) terkait dengan mengidentifikasi kecenderungan-kecenderungan yang mendalam, merupakan sebuah kesalahan besar.

 

Prabowo menggalang dukungan dengan demagogi, mengklaim bahwa ia akan melancarkan perjuangan habis-habisan melawan kemiskinan dan pengambilan kekayaan oleh asing. Sejalan dengan status quo yang dipimpin oleh Yudhoyono dan agenda yang dimajukan oleh Bank Dunia, Widodo menawarkan manajemen teknokratik yang lebih baik atas dana-dana yang tersedia untuk melakukan perbaikan bertahap, dengan bantuan segera dalam bentuk jaringan pengaman sosial untuk kaum miskin kota—tetapi tidak mengartikulasikan kebijakan atau retorika efektif apapun untuk masalah kemiskinan struktural. Jika jajak pendapat yang ada benar, massa pemilih tampak nyaris terbagi rata pada siapa yang memiliki jawaban yang lebih kredibel. Mungkin masih ada waktu bagi para calon untuk menemukan pemasaran atau retorika baru yang dapat menarik beberapa persen poin ekstra ke kubunya.

 

Meskipun kedua calon secara jelas mendukung perspektif politik dan ekonomi yang muncul dari latar belakang kelas mereka—kapitalis kroni atau kapitalis borjuis kecil daerah—dan sejarah politik mereka—pemain politik militer Suharto dan politisi desentralisasi daerah pasca-kediktatoran, adalah keliru untuk menyimpulkan bahwa elit bisnis dan politik yang luas terbagi secara jelas ke dalam kedua garis tersebut. Oportunisme—atau menggunakan eufemisme para ilmuwan politik, politik transaksional—telah menjadi motivasi yang jelas dari pembelahan elit, baik di tingkat nasional maupun lokal. Tidak diragukan lagi, ada banyak kapitalis kabupaten di koalisi Prabowo, apakah sebagai pendukung individual atau sebagai bagian dari mesin salah satu partai pendukungnya. Koalisi Widodo mendapat dukungan terbuka dari kapitalis konglomerat Surya Paloh, dan anggota parlemen PDIP sudah menyatakan dengan jelas bahwa mereka telah menerima dukungan dari kapital besar (meskipun sekarang terdapat kritik bahwa uangnya langsung hilang dan tidak digunakan dalam kampanye). Setelah pemilihan, kita tentu akan melihat banyak pihak berganti kubu atau terungkap telah mendukung kedua kubu selama ini.

 

Oportunisme ditampilkan secara mencolok di depan publik selama periode pembentukan koalisi pencalonan. Baik PDIP dan GERINDRA tidak memiliki cukup suara atau kursi di parlemen untuk mencalonkan presiden serta wakil presiden, dan harus mencari mitra. Selama periode itu, hampir semua partai di satu kesempatan atau lainnya menyatakan bahwa mereka dapat bekerja baik dengan Widodo atau Prabowo. Pengecualiannya adalah Nasional Demokrat di bawah Paloh yang dengan cepat bergabung dengan PDIP dan Widodo, serta Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dengan cepat menjelaskan bahwa mereka akan ke GERINDRA dan Prabowo. Terdapat kebimbangan selama beberapa minggu, bahkan di pemain besar seperti GOLKAR yang tersenyum dan bersalaman di depan publik dengan kedua calon. GOLKAR, yang dipimpin oleh seorang mantan-kroni yang klasik, Aburizal Bakrie, pada akhirnya bergabung dengan Prabowo.

 

Pendekatan dan transaksi yang terjadi juga menyaksikan adanya pembangkang dari hampir semua partai yang menentang garis partai. Ketika koalisi sudah terbentuk, aktivitas pertama dari kedua calon adalah mencari sebanyak mungkin dukungan dari anggota elit yang lain, apakah mereka elit tingkat lokal seperti pemimpin pesantren atau mantan tokoh politik nasional.

 

Kampanye pencarian dukungan ini juga menyasar purnawirawan pejabat militer senior, yang mengakibatkan saling tuding yang sengit. Tokoh purnawirawan militer yang mendukung Widodo—seperti mantan kepala intelijen, Hendropriyono, yang diidentifikasi oleh semua kelompok hak asasi manusia sebagai bertanggung jawab atas pembantaian dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya, menyatakan Prabowo sebagai seorang psikopat. Cercaan balik juga tidak kurang parahnya. Akhirnya, seperti diduga banyak pihak akan terjadi, dokumen Dewan Kehormatan Perwira yang merekomendasikan agar Prabowo “diberhentikan dari keprajuritan”, yakni dikeluarkan dari angkatan darat, bocor dan tersebar luas serta dibahas di media. Hal ini semakin memperlebar jurang di antara para perwira purnawirawan. Mantan atasan Prabowo, Jenderal Wiranto, yang Partai Hanuranya berada di koalisi Widodo, menyelenggarakan konferensi pers menegaskan kebenaran dokumen tersebut. Wiranto sudah beberapa kali menegaskan, Dewan berkesimpulan bahwa Prabowo harus bertanggung jawab atas penculikan mahasiswa dan aktivis anti-Suharto lainnya pada 1997 dan 1998. Pernyataan Wiranto direspon dengan cercaan dari purnawirawan perwira di kubu Prabowo, bahkan dengan demonstrasi oleh mantan perwira KOPASSUS. Apa yang tidak jelas adalah sejauh mana benturan sengit ini tercermin di perwira yang masih aktif. Setelah beberapa dekade, Prabowo adalah tokoh politik pertama yang benar-benar mempolarisasi baik elit dan massa. Salah satu faktor yang berdampak pada pembelahan seperti ini terhadap masa lalu Prabowo adalah kampanye Suharto dalam melawan kesadaran sejarah kritis, yang sangat efektif dalam menciptakan ketidakpastian di publik tentang versi sejarah mana yang kredibel. Tidak ada memori sejarah yang terbagi bersama secara universal atau bahkan secara luas.[8]

 

Setelah memutuskan ke kubu mana, pertarungannya menjadi perjuangan mati-matian di antara para elit untuk memperoleh atau mempertahankan posisi. Hal ini bahkan berlaku bagi para pemimpin serikat buruh yang utama, yang mengharapkan posisi menteri, dimana sebagian mendukung Widodo dan sebagian lagi—termasuk serikat yang paling aktif, Federasi Serikat Pekerja Metal—mendukung Prabowo.

 

Untuk sejumlah besar rakyat miskin berpendapatan antara 1 dan 5 dollar AS per hari, pilihan yang ada tidak membuat semangat. Kedua kubu telah melakukan mobilisasi besar dan mengesankan, tetapi dalam konteks 190 juta pemilih, hal itu tidak mengindikasikan adanya partisipasi aktif rakyat tingkat tinggi. Lapisan bawah dan menengah dari kelas menengah, yang berpendidikan dan berpikiran liberal—sektor media sosial dari masyarakat—mungkin merupakan lapisan yang paling aktif, membentuk barisan relawan, menulis lagu, membuat film iklan dan jingleuntuk Widodo. Tetapi, bahkan setelah berbagai pendapat yang menilai siapa yang dipercaya akan memperbaiki situasi terkristalisasi di masing-masing calon, mood yang ada secara umum tetap pasif. Dalam masyarakat dimana budaya politik yang ada selama 40 tahun adalah budaya patron-klien, dimana sejumlah besar penduduk merasa tergantung kepada elit yang berkuasa, pemilihan ini adalah tentang memilih patron mana yang membuat mereka merasa nyaman bergantung.

 

Dalam pemilihan parlemen, sekitar 65 juta dari 185 juta pemilih tidak memilih atau memilih secara informal. Sebagian besar komentator dan politisi merasa bahwa suara golput akan menurun di pemilihan presiden, tetapi penurunannya mungkin tidak sebesar yang diperkirakan. Suara yang rendah untuk partai-partai dan suara golput yang tinggi merefleksikan keterasingan sejumlah penting masyarakat dari partai-partai yang ada. Terdapat sejumlah koalisi dan kelompok aktivis—seperti Komite Politik Alternatif[9]—yang aktif mengkampanyekan golput dengan alasan kedua calon tidak memiliki solusi. Yang lain—seperti Koalisi Melawan Lupa[10] dan Buruh Melawan Lupa[11]—memfokuskan serangan mereka secara efektif kepada Prabowo, tetapi tanpa menyerukan secara eksplisit dukungan terhadap Jokowi, dengan alasan ia juga memiliki pelanggar hak asasi manusia berat di timnya. Kelompok ini mewakili minoritas kecil dari kekuatan-kekuatan terorganisir yang aktif di arena pemilihan.

 

Meski demikian, pertanyaan yang juga muncul adalah apakah terdapat kecenderungan sosiologis yang dapat mendorong kemunculan pandangan alternatif dari visi Prabowo dan Jokowi, yang dapat direspon oleh massa yang terasing. Selama beberapa tahun belakangan ini, perkembangan politik baru dan utama yang masih kuat dandapat menjadi tantangan terhadap mentalitas klien, serta bisa terhubung dengan suara yang menolak apa yang sekarang dilayani oleh politik elit, adalah aktivisme serikat-serikat buruh baru, terutama Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan serikat-serikat yang bekerja dengan FSPMI. Mereka telah memobilisasi ratusan ribu orang yang sebagian besar adalah buruh pabrik di mogok nasional pada 2012 dan 2013—pada 2013 di hadapan kekerasan dari gang-gang anti-serikat yang terorganisir. Saat ini, terdapat jutaan anggota serikat pembayar-iuran, yang semakin memahami kegunaan dan potensi politik dari organisasi massa. Di lingkaran ini, pembicaraan tentang sebuah partai buruh baru semakin populer. Keputusan pimpinan FSPMI, yang diambil tanpa diskusi massal, untuk mendukung dan betul-betul berkampanye demi Prabowo, serta penegakan disiplin untuk mempertahankan garis yang monolitik terhadap hal ini terlepas dari adanya suara yang jelas besar untuk PDIP dalam pemilihan parlemen pada bulan April di daerah dimana anggota serikat tinggal, untuk sementara menekan diskusi-diskusi tentang sebuah partai baru dan eksperimen politik baru, bahkan pembangkangan terhadap garis pro-Prabowo, ke bawah tanah (atau ke Facebook).

 

Meski demikian, kemunculan serikat-serikat baru sebagai sebuah fenomena sosiologis dan arena politik baru, tidak akan pergi. Walau tidak ada jaminan bahwa hal ini akan menjadi proses yang cepat dan lancar, kemunculan kembali diskusi tentang partai baru adalah sebuah keniscayaan.

 

+++++++++++++++++++++++

 

Diterjemahkan oleh Mohamad Zaki Hussein dari Max Lane, “Gap Narrows between Candidates in Indonesian Presidential Elections,” dalam ISEAS Perspective, #39, 4 Juli 2014. Diakses 30 Juli 2014 dari http://www.iseas.edu.sg/documents/publication/ISEAS_Perspective_2014_39rev.pdf.

 

[1] Lihat Max Lane, “Who Will be Indonesian President in 2014”, ISEAS Perspectives, 18 Juli 2013.

 

[2] Lihat Max Lane (2013), Decentralisation and its Discontents: an essay on Class, Political Agency and National Perspective in Indonesian Politics (Singapura: ISEAS) untuk lebih banyak diskusi mengenai pembelahan ini.

 

[3] Ari Dwipoayana, dari Universitas Gajah Mada, lihat http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/06/22/1754152/prabowo-hatta.vs.jokowi-jk.mobilisasi.massa.vs.voluntarisme?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

 

[4]http://m.bisnis.com/pemilu/read/20140606/355/233933/ini-35-jenderal-pendukung-jokowi-jk-5-jenderal-diduga-bermasalah mendaftar 135 purnawirawan jenderal yang mendukung Widodo. Lembaga Bantuan Hukum mendaftar lima yang perlu menghadapi tuduhan pelanggaran hak asasi manusia berat.

 

[5]http://politik.news.viva.co.id/news/read/514219-joko-widodo-tidak-setuju-kolom-agama-di-ktp-dihapus

 

[6]Edward Aspinall, “Indonesia’s on the knife’s edge,” 17 Juni 2014, http://inside.org.au/indonesia-on-the-knifes-edge/, membahas politik transaksional dan korupsi sebagai penjelasan dari meningkatnya popularitas Prabowo. Artikel itu memberikan deskripsi yang baik tentang kepribadian politik Prabowo.

 

[7]Hal ini dinyatakan oleh calon Wakil-Presiden Yusuf Kalla di debat nasional pertama.

 

[8] Lihat “Memory” dalam Max Lane, Unfinished Nation: Indonesia before and after Suharto, Verso, 2008, hlm. 91-115.

 

[9]Lihat http://komitepolitikalternatif.blogspot.sg/

 

[10]http://news.liputan6.com/read/2057539/4-tuntutan-koalisi-melawan-lupa-tragedi-mei-98

 

[11]http://nasional.kompas.com/read/2014/06/13/1359331/Gerakan.Buruh.Melawan.Lupa.Tuntut.KPU.Diskualifikasi.Prabowo pilpres 2014

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *