Partai Pembebasan Rakyat: Dukung Mogok Nasional Buruh!

Image

Harus: Upah Naik (minimal) 50%; Hapus Outsourcing; Jaminan Sosial untuk Rakyat dan STOP PRODUKSI (Mogok) secara Nasional!

 

 

Salam Pembebasan,

             Mogok! Mogok! Mogok! Persatuan Buruh dengan nama Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh (KNGB) yang diarsiteki oleh KSPI, Sekber Buruh, KSN dan berbagai federasi dan aliansi-aliansi daerah berhasil dibangun kurang dari 3 minggu saja. Partai Pembebasan Rakyat, sebagai unsur yang tergabung dalam Sekber Buruh, turut serta dalam pembangunan KNGB.

            Ditengah kemandegan Majelis Pertimbangan Buruh Indonesia (MPBI), KNGB lahir hasil persatuan dari berbagai perbedaan politik dan ideologi yang bisa ditarik garis kerjasama dan komprominya, melalui rencana kerja bersama untuk memperjuangkan 3 tuntutan: Upah Naik (minimal) 50%; Hapus Outsourcing; Jaminan Sosial untuk Rakyat. Dan diperjuangkan dengan cara MOGOK NASIONAL!

            Mogok nasional ini harus didukung tidak hanya oleh kaum buruh se-Indonesia dan dunia. Namun juga oleh seluruh rakyat, karena setiap kemenangan (meskipun) kecil, akan memberikan inspirasi bagi perjuangan-perjuangan yang lebih besar. Dan, cita-cita yang lebih besar, merebut kekuasaan ke tangan buruh dan rakyat—agar semakin besar syarat bagi perubahan tatanan masyarakat yang lebih baik, menjadi semakin terang.

            Mogok nasional ini harus didukung, juga, karena serangan-serangan terhadap kaum buruh semakin gencarnya dalam paska geredug pabrik dan mogok nasional pertama, tahun lalu. Apakah itu oleh Akademisi pro pemodal, Pemerintah, Apindo, bahkan bos-bos limbah beserta preman yang mereka galang, berupaya habis-habisan mematahkan perlawanan kaum buruh yang sedari 2 tahun terakhir memperjuangkan: kebebasan berserikat, status kerja, upah yang layak, hingga pelbagai tuntutan lainnya.

            Serangan tersebut, tidak hanya berbentuk fisik seperti yang dilakukan oleh para preman dan aparat negara (TNI dan Polri) seperti yang terjadi dalam kasus buruh di Pabrik Enkei, Suzuki, maupun Kalbe Farma. Namun juga, statemen dari Akademisi, Apindo, dan Pemerintah yang menyatakan bahwa tuntutan upah naik (minimal) 50% secara nasional adalah irasional.

            Nampak jelas, bahwa rejim dan pengusaha, tak ingin merugi besar-besaran apabila kaum buruh memenangkan tuntutannya. Karena, jika tuntutan menang, bukan tidak mungkin, inspirasi perlawanan akan merembet ke berbagai sektor yang juga melawan, seperti kaum tani yang menolak perampasan tanah dan impor pangan, mahasiswa yang menolak liberalisasi pendidikan, atau pun kaum miskin kota yang menolak penggusuran.

            Mogok nasional ini harus berhasil. Harus! Ditengah fakta KSPSI dan KSBSI, yang sebelumnya tergabung dalam MPBI dan menginisiasi mogok nasional pertama, tak mau bergabung dalam KNGB dan tak mendukung mogok nasional dengan alasan “perdebaan strategi dalam memperjuangkan tuntutan”.  Dan juga KASBI yang tak mau bersatu. Padahal fakta sejarah sudah menunjukkan, bahwa, kemenangan status kerja, upah naik, bahkan ada yang mencapai 40% kenaikannya, serta penambahan yang sangat signifikan keanggotaan serikat adalah buah dari Gerudug Pabrik dan Pemogokan secara Nasional!

           Beda Kepentingan  

            Jika Jokowi dalam pernyataan dihadapan media-media menyatakan bahwa: “ hubungan antara kaum buruh dan pengusaha bukan lah hubungan konflik melainkan hubungan mitra kerjasama, dan harus harmonis”. Maka, jelas Jokowi keliru, dan membela kepentingan pengusaha. Sebab, dengan upah rendah yang diterima buruh,  dan keuntungan yang besar yang diterima pengusaha, jelas bukanlah cerminan bagaimana antar “mitra’ tersebut diuntungkan, melainkan si buruh  yang dirugikan, dan si pengusaha yang (sangat) diuntungkan, maka, dengan demikian, hubungannya adalah hubungan penghisapan. Dan, jelas, selalu dan akan selalu melahirkan konflik.

            Mari kita lihat fakta. Tak usah dulu fakta perusahaan-perusahaan elektronik, otomotif, baja, apalagi pertambangan yang padat teknologi, dimana perusahaan mendapatkan keuntungan besar tak hanya dari penghisapan terhadap buruh, namun juga mekanisme pasar saham dan saham komoditi berjangka yang membuat angka keuntungan pengusaha-pengusaha jenis komoditi tersebut bisa ratusan kali lipat. Mari kita lihat fakta di tekstil, dan seringkali muncul argumentasi, jika upah buruh tekstil dan produk tekstil meningkat 50% maka pengusaha akan mendapat kerugian besar.

            Tiap 1 orang buruh perusahaan tekstil bisa menghasilkan  3 hingga 4 pieces  produk per harinya. Dengan tiap produknya berbandrol minimal  200an ribu rupiah. Artinya setiap 1 buruh menghasilkan minimal lebih dari 800an ribu rupiah, sedangkah per harinya mereka hanya di gaji kurang dari  Rp. 50.000.  Dan ini dalam kasus Jakarta. Lebih rendah lagi yang di dapat oleh buruh-buruh di Sukabumi, Subang, Cilacap, Demak, dsb.

            Dengan bahan-bahan mentah yang mudah didapatkan di dalam negeri, sesungguhnya pengusaha tekstil, mendapatkan keuntungan tiap 1 orang buruhnya  lebih dari 10 kali lipat dari apa yang diterima buruh.  Sungguh timpang!

           Jadi, sesungguhnya, menaikkan upah buruh tekstil dari 2, 290.000 (dalam kasus DKI Jakarta)  menjadi (minimal) Rp. 3, 435.000, hanya sedikit saja mengurangi keuntungan kapitalis. Tak membuat perusahaan tekstil dan produk tekstil gulung tikar. Meyakini dan ikut mengkampanyekan apabila buruh tekstil naik 50% perusahan akan gulung tikar, maka, sudah jelas, bukan berpihak pada buruh, melainkan pada pengusaha!

          Bantahan lainnya, bahwa upah naik 50% dan status kerja tetap, serta jaminan sosial, adalah rasional, adalah fakta bahwa dengan upah 2, 290.000 buruh tak bisa hidup dan berkembang sebagai manusia sebagai individu, apalagi sebagai orang tua yang harus mengembangkan kapasitas anak yang mereka lahir dan besarkan.

          Mari kita lihat pengeluaran pokok buruh. Untuk sewa kamar buruh harus membayar Rp.400.000 – 500.000 tiap bulannya . Kemudian,  Rp. 900.000 untuk biaya makan dan minum (sudah termasuk minyak tanah, cabai, daging, susu, beras, bawang, sayur-sayuran, minyak goreng, bumbu, air galon, dll) per bulannya, Rp. 500.000 dikirimkan untuk biaya sekolah dan hidup anaknya di kampung, Rp. 100.000 untuk peralatan mandi dan perlengkapan perempuan. Lebih dari Rp. 400.000 dikeluarkan untuk biaya transportasi dan komunikasi. Sehingga untuk menutupinya buruh harus kerja lembur. Sangat menyedihkan apabila lemburnya tak dibayar. Dan itu sering terjadi.

           Kebutuhan-kebutuhan tersebut tentunya semakin meningkat. 30% peningkatan harga disebabkan oleh imbas kenaikan harga BBM, maupun inflasi. Pemerintah sendiri sadar bahwa kedepan inflasi akan mencapai lebih dari 10%. Namun, sungguh aneh bukan kepalang, tetap saja tak rasional bagi pemerintah jika upah buruh naik 50%.

           Padahal dari fakta pengeluaran buruh diatas, sangat sedikit pengeluaran buruh untuk: sekolah, atau melanjutkan kuliah, mengikuti kursus-kursus, rekreasi dan tamasya, membeli buku, membeli koran, menonton film atau lagu-lagu bermutu, renang, menunaikan kewajiban untuk naik haji (bagi umat Islam), apalagi semakin sulit membeli tanah dan membangun rumah, dan menabung untuk hari tua—karena negara tak menjamin hidup bagi manusia lanjut usia (Manula).

            Namun tetap saja, bagi pemerintah dan pengusaha yang bersikukuh menerapkan patokan upah yang berdasar pada  64 KHL. Upah naik yang rasional hanya sebatas 5 -20% sesuai Inpres. Tentu saja, karena 64 KHL adalah rumus jebakan untuk merasionalisasi: Politik Upah Murah.  Yang dibutuhkan bagi kaum buruh adalah (minimum) 84 KHL bahkan lebih daripada itu.

             Sekali lagi, aneh bukan kepalang. Buruh yang perharinya mendapatkan Rp. 2.290.000/bulan di Jakarta dan Rp.600.000an di Sukabumi, sementara anggota DPR mendapatkan per bulan Rp. 30 – 40 Juta, Presiden SBY mendapatkan Rp 1.1 Miliar per tahun, belum lagi uang transport, uang amplop, dan “upeti-upeti” proyekan. Dan, seperti yang kita ketahui bersama Ketua MK saja, meloloskan 1 kasus “memasang tarif’ Rp. 500.000.0000. Ketimpangan yang bukan main dibandingkan upah buruh.  Jadi, mana yang lebih rasional, pendapatan plus korupsi pejabat dan keuntungan pengusaha belum lagi ditambah penggelapan pajaknya, atau tuntutan kaum buruh: Upah Naik (minimal) 50%; Hapus Outsourcing; Jaminan Sosial untuk Rakyat?!  Ironis.

             Mendesak dan Jangka Panjang

            Tuntutan: upah Naik (Minimal) 50%; Hapus Outsourcing; Jaminan Sosial Untuk Rakyat, adalah HARUS dan MENDESAK! Namun, kaum buruh tak boleh menutup mata. Penghambat-penghambat kemenangan dan kemajuan gerakan buruh terus menghadang di depan. Tuntutan jangka panjang, yakni penghapusan sistem kontrak, pemberangusan terhadap premanisme, penghapusan terhadap pemberangusan kebebasan berserikat (union busting), mengembalikan tentara ke barak tak lagi bercokol di kawasan-kawasan pabrik, bandara, maupun pelabuhan, pengadilan terhadap tindak kekerasan oleh aparat kepolisian, harus terus dikumandangkan.

            Mengapa? Karena dalam setiap kemenangan kecil, tentu musuh-musuh kaum buruh (Pengusaha, Rezim, dan Aparat), akan terus memikirkan cara, bagaimana agar buruh tidak menang terus, atau lebih parahnya, memukul mundur gerakan buruh hingga tunduk dan takluk.

            Dan, perjuangan tak boleh berhenti pada tuntutan ekonomi semata. Karena tak mungkin ada kemenangan besar: demokrasi dan kesejahteraan seluas-luasnya bagi kaum buruh dan rakyat, apabila kaum buruh dan rakyat tak punya visi perjuangan politik. Visi, untuk merebut kekuasaan. Sebab, selama, kekuasaan, masih di tangan partai-partai agen kapitalis, pejabat-pejabat korup, Jenderal Pelanggar HAM dan musuh kaum buruh lainnya, maka, kemenangan sekecil apapun dapat dirampas begitu saja dari tangan kaum buruh dan rakyat! Oleh karena itu bercita-citalah terus untuk membangun alat politik buruh dan rakyat guna merebut kekuasaan.

            Cara berjuang

            Sekali lagi, sejarah sudah membuktikan dengan bersatu, melakukan sweeping, gerudug pabrik, mogok, kepercayaan diri buruh lahir dan berkembang, sehingga kemenangan-kemenangan di tingkat pabrik, kawasan bahkan pembatalan rancangan undang-undangan pernah terjadi.

            Pertama, Pengalaman sweeping pabrik, gerudug pabrik harus dimulai lagi. Gerakan buruh harus menggerudug pabrik-pabrik besar, agar meningkatkan kepercayaan dan keberanian serta memperbanyak kekuatan. Dengan demikian pabrik-pabrik kecil semakin mudah di geruduk.

            Kedua, Gerakan Mahasiswa, Tani dan kaum miskin kota, harus membantu buruh dengan memblokir jalan-jalan raya besar, agar mobilisasi polisi bahkan preman yang hendak mengintimidasi dan memukul buruh terhambat.

            Ketiga, Gerakan Buruh yang bekerja di sektor listrik, harus mematikan listrik serentak. Agar tak ada lagi produksi.

            Keempat, ajak semua warga-warga kampung untuk membantu buruh. Kemenangan buruh tentu akan memberikan keuntungan terhadap hajat hidup mereka. Karena, tak sedikit buruh-buruh adalah bagian dari warga kaum. Mengajak warga kampung, akan  memudahkan perjuangan kaum buruh dalam menghadapi pengusaha dan preman.

            Kelima, seluruh kekuatan kaum buruh di arahkan untuk memblokade jalan, pelabuhan, bandara, dan jalur kereta api, dan jalan-jalan utama.

            Keenam, ingat Mogok Nasional adalah MENGHENTIKAN PRODUKSI secara NASIONAL.  Mogok, bukanlah aksi sebagian dan sebagian lainnya bekerja. Mogok adalah berhenti produksi dan memberikan serangan kerugian terhadap pengusaha dan rejim yang bebal terhadap tuntutan buruh. Jika kita tak benar-benar serius melakukan pemogokan secara nasional yang terjadi adalah: “untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak”.

            Demikian pertanyaan sikap dan seruan kami kepada kaum buruh dan rakyat. Hidup Rakyat! Hidup Buruh! Lanjutkan perjuangan (A Luta Continua)!

Medan Juang, 28 Oktober 2013

 

Paulus Suryanta Ginting

Juru Bicara

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *