Materialisme Historis Sebagai Ilmu

Oleh: Doug Lorimer (1)

Materialisme Historis sebagai sebuah ilmu berbicara mengenai hukum-hukum jeneral dan tenaga penggerak perkembangan masyarakat manusia. Seperti halnya semua ilmu yang lainnya, materialisme historis mencoba mengungkapkan esensi obyek yang dipelajarinya dengan jalan memahami hubungan material yang terletak didasar fenomena-yang-muncul dari obyek tersebut.

Seorang ahli fisikia terbesar abad ke-20, Albert Einstein menyatakan: “Kepercayaan akan adanya dunia eksternal, yang terlepas dari perasaan individu, merupakan landasan bagi segala ilmu alam.” (2) Kepercayaan tersebut merupakan pijakan cara-pandang materialis dalam melihat dunia. Namun pandangan materialis sebelum Marx masih tidak konsisten dan terbatas. Cara pandang materialis seperti itu tak bisa menerapkan prinsip-prinsip filsafat materialisme pada studi kehidupan sosial dan sejarah karena masih sarat dengan pandangan-pandangan idealis. (3) Sumbangan terbesar Marx dan Engels bagi perkembangan pemikiran ilmiah adalah karena mereka telah menyempurnakan materialisme yang baru setengah-jadi, yakni, mereka mengembangkannya pada studi tentang masyarakat, sehingga cara pandang materialis dalam melihat dunia, untuk pertama kalinya, menjadi konprehensif dan sepenuhnya konsisten serta efektif, ampuh.

1. Kelahiran Materialisme Historis

Sebelum materialisme historis lahir, dibutuhkan prakondisi sosial dan prakondisi teoritis tertentu. Hal tersebut bisa dijembatani oleh perkembangan logis pemikiran sosial, politik dan filsafat yang progresif. Tetapi kondisi-kondisi sosial juga memainkan perannya dalam memberikan kemungkinan berhasilnya penemuan hukum-hukum kehidupan sosial.

Percepatan/akselerasi perkembangan sosial, rangkaian peristiwa-perisitwa revolusi yang terjadi di Inggris dan, terutama, revolusi borjuis Prancis; semakin menajamnya kontradiksi dan bentrokan antar-kelas; kebangkitan kelas pekerja dalam khasanah sejarah—secara umum, itu lah prakondisi-prakondisi sosial yang membantu kelahiran materialisme historis.

Bila kemajuan sejarah bergerak sangat lambat, seperti yang terjadi di zaman feodalisme, maka sangat lah sulit untuk memahami hukum-hukum perkembangan sosial yang progresif, atau sangat lah berat untuk mengerti pergantian dari satu sistem sosial tertentu menjadi sistem sosial yang lain.

Peristiwa terbesar yang terjadi di akhir abad ke-18 dan di awal pertengahan abad ke-19 menunjukkan bahwa masyarakat, dalam eksistensi dan perkembangannya, merupakan sebuah subyek organisme sosial kehidupan yang memiliki kemampuan untuk merubah dan mematuhi hukum-hukum obyektif tertentu—yang sebenarnya independen dari keinginan dan kesadaran manusia.

Itu lah kesimpulan yang dicapai Hegel, (4) contohnya, dalam filsafat sejarahnya. Meskipun masih idealis dan mistis, Hegel berupaya mempertimbangkan sejarah dunia dari sudut pandang keharusan perkembangan internalnya. Ia memberikan perhitungan ke depan yang brilyan sehubungan dengan hakikat hukum yang mengatur perkembangan sosial dan korelasi antara kebebasan dengan keniscayaan dalam kehidupan sosial.

Penemuan hukum perkembangan sosial juga telah dipersembahkan dalam hasil studi yang dilakukan oleh ekonom borjuis Inggris, William Petty, Adam Smith dan David Ricardo, yang berkesimpulan bahwa tenaga kerja merupakan sumber kesejahteraan, yang memberikan sumbangan terhadap teori nilai tenaga kerja. Menurut Marx, ekonom Inggris telah menjelaskan tentang anatomi ekonomi kelas kepada kita. Meskipun mereka memandang bahwa basis keberadaan tiga kelas dalam masyarakat borjuis—tuan tanah, borjuis dan proletar—berasal dari perbedaan sumber pendapatan mereka—menyewakan tanah, mengeruk keuntungan dan menerima upah—masih dalam makna pendistribusian kesejahteraan atau bukan dalam makna produksi, namun pandangan mereka merupakan langkah yang maju dalam perkembangan pemikiran sosial.

Penemuan yang dilakukan oleh sejarawan Prancis semasa restorasi Bourbon—Augustin Thierry, François Mignet dan François Guizot (dan sebelum mereka oleh utopis sosialis terbesar Prancis, Saint-Simon)—yakni mengenai peran perjuangan kelas sebagai motif penggerak revolusi dalam abad baru, merupakan hal yang sangat penting yang mempersiapkan kelahiran materialisme historis. Materialisme sebelum Marxis juga memberikan sumbangannya dalam proses tersebut. Interpretasi mereka mengenai kejadian-kejadian sosial dan sejarah pada umumnya didasarkan pada posisi idealis, dan tak seorang pun yang mampu menemukan perhitungan ke depan yang brilyan. Seorang materialis Prancis abad 18, Helvetius, contohnya, menunjukan pentingnya lingkungan dan situasi-sekitar dalam membentuk opini sosial dan moral manusia; moral yang jelek merupakan hasil dari situasi-sekitarnya yang buruk, tulisnya. Dari pemahaman tersebut ia mengambil kesimpulan bahwa, untuk merubah moral yang jelek, situasi-sekitarnya harus dirubah. Tapi ia gagal memberikan penjelasan ilmiah mengenai bagaimana hal tersebut bisa dilakukan. Dalam pandangannya, perubahan kondisi sosial harus dijalankan melalui perbaikan hukum, hukum baru, yang hanya bisa dilakukan oleh penguasa yang jenius. Dalam posisi tersebut, ia masih seorang yang idealis.

Keberhasilan ilmu-pengetahuan alam juga memberikan pengaruh tertentu atas kelahiran materialisme historis. Pada akhir abad ke-18 dan awal pertengahan abad ke-19 terdapat upaya yang keras untuk menghasilkan ilmu kemasyarakatan yang secara ketat memiliki watak ilmu sosial yang ilmiah, yang sesuai dengan model ilmu-pengetahuan alam—mekanika, fisika, kimia dan biologi. Usaha tersebut merupakan langkah yang salah karena memperlakukan masyarakat seperti alam, alamiah, tanpa mempertimbangkan hakikat spesifiknya sebagai sebuah organisasi sosial yang memiliki hukum-hukum perkembangan yang khusus dan intrinsik.

Marx dan Engels merupakan orang-orang yang pertamakali menghasilkan teori kemasyarakatan yang ilmiah. Mereka menciptakan materialisme historis dengan memperluas filsafat materialisme dan, secara materialis, merevisi dialektika sehingga bisa memahami masyarakat—dengan menerapkannya pada aktivitas praktek revolusioner kelas pekerja. Dengan menunjukan adanya hubungan intrinsik, yang tak bisa dipisahkan, antara materialisme historis dengan filsafat materialisme secara umum, Lenin menulis:

“Marx mempertajam dan mengembangkan filsafat materialisme sepenuh-penuhnya, dan memperluas pemahaman mengenai alam sehingga bisa melibatkan, memasukan, pemahaman tentang masyarakat manusia ke dalam kognisi masyarakat. Materialisme historis Marx merupakan penemuan terbesar dalam pemikiran ilmiah. Kekacauan dan kesewenang-wenangan pandangan mengenai sejarah dan politik, yang muncul sebelumnya, digantikan oleh teori ilmiah yang (secara ketat) terpadu dan harmonis, sehingga bisa menunjukan bagaimana, sebagai akibat pertumbuhan tenaga-tenaga produktif, terbentuk lah sistim kehidupan sosial yang baru menggantikan yang lama.(5)

Hukum-hukum universal mengenai perkembangan materi ditemukan oleh materialisme dialektik yang beoperasi dalam masyarakat, tapi dalam hal ini ia memiliki bentuk khusus. Metode dialektik, yang diaplikasikan pada masyarakat, dan metode materialisme historis, pada esensinya, merupakan konsep yang identik. Tapi, jika kita ingin mengetahui hukum-hukum perkembangan masyarakat manusia, tidak lah mencukupi hanya memahami prinsip-prinsip umum filsafat materialisme dan hukum-hukum dialektika; namun kita juga harus mempelajari bentuk-bentuk khusus aktifitasnya saat beroperasi dalam suatu bentuk khusus pengorganisasian materi. Artinya, sebagai tambahan bagi kategori-kategori filsafat, kita harus memiliki kategori-kategori sosial semurni-murninya kategori sosial, misalnya, formasi sosio-ekonomi, tenaga produktif dan hubungan-hubungan produksi, corak atau cara produksi, basis dan suprastruktur, kelas-kelas sosial, dan sebagainya dan sebagainya. Kategori-kategori tersebut memberikan landasan untuk menyimpulkan hukum-hukum pokok keberadaan sosial dan pengetahuan sosio-historis, hukum-hukum perkembangan masyarakat manusia.

Marx dan Engels memformulasikan proposisi dasar materialisme historis pada tahun 1840-an, dalam karyanya “The German Ideolgy”. Walaupun pandangan baru mengenai sejarah, perkembangan sosial, pada awalnya sekadar sebuah hipotesa dan metode, tapi ia merupakan hipotesa dan metode yang, untuk pertama kalinya, memungkinkan adanya pendekatan (yang ketat) secara ilmiah dalam memahami sejarah. Dalam kata-kata Lenin, mereka menyebabkan studi tentang masyarakat menjadi ilmu-pengetahuan, karena mereka memungkinkan materialisme historis bisa digunakan untuk mengungkapkan pengulangan-kejadian dan regularitas perkembangan hubungan-hubungan sosial, bisa digunakan untuk menjeneralisasi sistim-sistim berbagai negeri menjadi konsep formasi sosio-ekonomi, dan bisa digunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang jeneral yang menyatukan atau menyamakan berbagai negeri tersebut namun, pada saat yang sama, bisa mengungkapkan perbedaan-perbedaan inheren yang disebabkan karena kondisi-kondisi spesifik dalam perkembangan negeri-negeri tersebut.

Pada tahun 1850-an, Marx melakukan studi tentang formasi sosio-ekonomi kapitalisme yang sangat kompleks. Dalam karyanya, “Capital”, ia menunjukan perkembangan, pergerakan dan gangguan terhadap formasi sosio-ekonomi kapitalisme. Ia menyimpulkan bagaimana, dalam formasi sosio-ekonomi kapitalisme, kontradiksi berkembang antara tenaga-tenaga produktif dengan hubungan-hubungan produksi, kontradiksi kelas-kelas sosial dan bagaimana, di atas landasan/basis hubungan-hubungan produksi material, berkembang suprastruktur yang berkesesuaian dengan basis tersebut, dan bagaimana ide-ide tertentu, yang merefleksikan cara-pandang dan kepentingan kelas-kelas sosial utama/pokok dalam masyarakat kapitalis, bisa muncul.

Marx dan Engels tidak menggunakan istilah “sosiologi” untuk teorinya karena istilah tersebut kemudian banyak digunakan oleh berbagai aliran positifis-idealis (6), yang samasekali tak memiliki makna sebagai sebuah ilmu-pengetahuan kemasyarakatan yang sejati. Tapi, doktrin yang mereka hasilkan dalam praktek merupakan dan hanya merupakan teori “sosiologi” ilmiah papan nama, walaupun teori tersebut bisa dijadikan bahan untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum aktual dan tentang motif penggerak dalam perkembangan sosial. Lenin menekankan:

“Ketika Darwin bisa menghancurkan pandangan yang mengatakan bahwa spesies binatang dan tanaman itu tidak berkaitan, hanya kebetulan saja, ‘diciptakan secara metafisik’, dan tak mengalami perubahan, maka baru lah biologi memperoleh landasan ilmiahnya, karena bisa menetapkan pendapat bahwa spesies itu mengalami perubahan dan berkembang. Demikian pula Marx, ia bisa menghancurkan pandangan yang mengatakan bahwa masyarakat itu merupakan gabungan mekanik dari individu-individu yang menyerahkan segala macam modifikasinya pada kehendak pemegang kekuasaan (atau, bila anda menyukainya, pada kehendak masyarakat dan pemerintah), dan yang terlahir dan berubah sewaktu-waktu saja. Dengan demikian, Marx adalah orang yang pertama kali yang meletakan studi tentang masyarakat di atas basis ilmiah dengan memberikan konsep bahwa formasi ekonomi masyarakat merupakan hasil-kesimpulan dari hubungan-hubungan produksi tertentu, dan memberikan fakta bahwa perkembangan formasi-formasi seperti itu merupakan proses sejarah alam.(7)

2. Persoalan yang Dibahas dalam Materialisme Historis

Masyarakat manusia dalam hakekat dan strukturnya merupakan bentuk keberadaan yang paling kompleks. Masyarakat manusia merupakan bagian alam yang spesifik dan, secara kwalitatif, unik serta, dalam makna tertentu, bertentangan dengan bagian alam lainnya. Interpretasi mengenai inter-relasi antara masyarakat dengan alam lah yang pada dasarnya membedakan materialisme historis dengan idealisme—yang hampir dalam setiap kasus menyodorkan anti-tesis absolut dalam melihat relasi antara masyarakat dengan alam—atau yang juga membedakan materialisme historis dengan materialisme metafisik—yang tidak mau mengakui perbedaan kwalitatif antara masyarakat dengan alam.

Giovanni Vico, seorang filosof Itali abad ke-18, menulis bahwa sejarah masyarakat berbeda dengan sejarah alam karena sejarah masyarakat dibuat oleh manusia, dan hanya oleh manusia, sedangkan fenomena dan proses alam terjadi dengan sendirinya, sebagai sebuah hasil dari kekuatan yang buta, tak memiliki kaitan dengan person siapapun (impersonal), dan spontan. Fakta bahwa masyarakat merupakan sebuah panggung bagi aktifitas manusia—yang mempunyai pikiran dan keinginan, dan yang menetapkan sendiri tujuan-tujuan tertentunya (serta berjuang untuk mencapainya)—telah, pada masa lalu ataupun pada masa kita sekarang ini, menjadi batu penghalang bagi sosiolog dan sejarawan yang mencoba mempelajari esensi, penyebab fundamental proses dan fenomena sosial. Beberapa di antaranya, memutlakkan hakikat spesifik peristiwa-peristiwa sosial dan sejarah, secara metafisik menentang ilmu-pengetahuan alam—yang mempelajari fenomena dan proses yang berulang-ulang—untuk dijadikan landasan bagi limu-pengetahuan sejarah karena mereka menganggap bahwa sejarah hanya memperlajari hal-hal yang individual dan unik. Jadinya, pada abad ke-19, beberapa filosof Jerman tertentu dari aliran neo-Kantianism (H. Ricket, W. Windelband) percaya bahwa harus ada dua metode pemahaman yang berbeda—yang bahkan mungkin saling bertentangan: apa yang disebut nomometrik—atau metode jeneralisasi yang diterapkan pada ilmu alam—dan metode ideografik—metode individualisasi (yang hanya mempelajari peristiwa-peristiwa individual dan unik) yang diterapkan pada ilmu-pengetahuan sejarah.

Tapi, pembedaan metafisik terhadap ilmu-pengetahuan alam dan ilmu-pengetahuan sosial sangat lah berlebihan dan tidak adil. Nampaknya kita tidak akan bisa menemukan fenomena yang benar-benar identik di dalam alam ketimbang di dalam sejarah (contohnya, dua spesies binatang atau dua daun dalam satu pohon yang sama). Di sisi lain, dalam masyarakat, dalam sejarah, di samping ada hal-hal yang berifat spesifik dan individual, ada juga yang bersifat umum—yang mewujudkan dirinya dalam fenomena ekonomi, dalam hubungan-hubungan sosial, dalam politik dan dalam kehidupan intelektual berbagai macam orang pada tahapan perkembangan sejarah yang sama. Hanya dengan meneliti gambaran-gambaran umum fenomena tersebut lah maka kita bisa menemukan hukum kehidupan sosial.
Sebenarnya, bila kita pahami bahwa proses-proses dan perisitiwa-peristiwa sosial adalah merupakan hasil dari kegiatan manusia itu sendiri, maka tidak lah sulit untuk memahami fenomena manusia dan kegiatannya sebagaimana halnya juga ketika memahami fenomena alam. Dan, tentu saja, seharusnya akan lebih mudah bagi manusia dan masyarakatnya untuk mendesakan kekuasaannya terhadap hubungan-hubungan sosial yang ada ketimbang menundukkan kekuatan kolosal alam. Sejarah manusia dan sejarah ilmu-pengetahuan menunjukkan bahwa penjelasan tersebut: salah.

Di awal pertengahan abad ke-19, ilmu-pengetahuan alam telah menunjukan kemajuan yang berarti, tapi ilmu-pengetahuan kemasyarakatan secara umum masih sangat muda, masih cikal-bakalnya. Setahap demi setahap kemanusiaan mulai mengetahui hukum-hukum dan kekuatan-kekuatan alam, sehingga bisa ditempatkan dalam kekuasaannya. Tapi, nampaknya, merupakan tugas yang jauh lebih sulit ketika hendak menemukan hakikat dan hukum-hukum masyarakat yang sebenarnya. Bahkan merupakan tugas yang jauh lebih sulit, lebih lama, mengelola hukum-hukum dan proses-proses sosial serta meletakkannya di bawah kekuasaan masyarakat. Kemungkinan untuk memecahkan persoalan-persoalan tersebut hanya bisa diperoleh dengan menciptakan ilmu-pengetahuan sosial yang bisa diaplikasikan pada tugas praktis mentransformasikan kehidupan sosial secara revolusioner.

Masyarakat manusia, fenomena dan proses-proses sosial dipelajari oleh berbagai ilmu-pengetahuan. Ekonomi-Politik meneliti hukum-hukum tentang kemunculan dan perkembangan produksi komoditi. Ilmu-pengetahuan hukum mempelajari hukum-hukum tentang kemunculan, hubungan, dan fungsi-fungsi berbagai lembaga politik dan hukum, negara dan hukun. Kritisisme estetika, seni, mempelajari hukum-hukum tentang kemunculan dan perkembangan seni, hubungan seni dengan realitas, dan metode kreativitas artistik. Etika mempelajari bidang-bidang moral dalam hubungan-hubungan antar-manusia. Jadi, walaupun masyarakat manusia itu diselidiki oleh berbagai imu-pengetahuan, namun masing-masing studi hanya merupakan aspek kehidupan sosial tertentu saja, atau hanya merupakan salah satu tipe dalam hubungan-hubungan atau fenomena sosial (ekonomi, politik dan ideologi).

Materialisme Historis tidak berurusan dengan aspek-aspek kehidupan sosial yang terpisah-pisah tersebut, tapi mempelajari tentang hukum-hukum umum dan tenaga penggerak yang memfungsikan serta mengembangkan kehidupan sosial; mempelajari kehidupan sosial yang secara keseluruhan terintegrasi; mempelajari hubungan intrinsik dan kontradiksi seluruh aspek-aspek dan relasi-relasi hubungan sosial. Tak seperti ilmu-pengetahuan yang terspesialisasi, materialisme historis mempelajari, di atas segalanya, hukum-hukum umum perkembangan masyarakat, hukum-hukum kemunculan, keberadaan, dan motif penggerak perkembangan formasi-formasi sosio-ekonomi.

Hukum-hukum umum sosial, yang berkaitan dengan epik-epik sejarah, beroperasi dalam setiap formasi sosio-ekonomi, dalam setiap epik sejarah, dalam cara yang spesifik. Karenanya, bila kita hendak mendapatkan ide yang benar mengenai karakter dan esensi hukum-hukum umum sosial, kita harus mempelajari fungsi spesifik hukum-hukum tersebut dalam berbagai epik sejarah, dalam berbagai formasi sosio-ekonomi—misalnya, dalam masa kolektivisme primitif, dalam masa “despotisme timur”, dalam masa perbudakan kuno, dalam masa feodalisme, atau dalam masa kapitalisme. Jadi, konsep “hukum-hukum umum sosial” memasukan koneksi-koneksi dan relasi-relasi intrinsik yang memberikan karakter pada hukum-hukum formasi-formasi sosio-ekonomi yang paling umum, yang ditentukan secara historis.

Materialisme historis juga berbeda dengan pendapat yang mengatakan bahwa sejarah hanya lah sekadar disiplin empiris. Sejarah menyiratkan studi tentang sejarah berbagai orang, berbagai peristiwa, dalam sekuens/tahap-tahap tertentu kronologisnya. Sejarah tidak memperlakukan tindak-tindak berbagai peristiwa secara abstrak, tidak dalam istilah-istilah teoritis yang umum, tapi dalam bentuk historis yang spesifik, yang mempertimbangkan kondisi kongkret di setiap negeri, yang mempertimbangkan tindakan orang-orang secara kongkrit dan pengaruhnya terhadap perubahan, yang kadang-kadang memainkan peranan yang sangat penting dalam peristiwa-peristiwa sejarah.

Di lain pihak, materialisme historis, sebagai sebuah ilmu-pengetahuan tentang perkembangan sosial, tidak mempelajari satu orang tertentu, atau satu negeri tertentu, tapi mempelajari masyarakat manusia secara keseluruhan, karena materialisme historis mempertimbangkan perkembangan masyarakat dari cara pandang hukum-hukumnya yang paling umum.

Materialisme historis, sebagaimana layaknya juga filsafat Marxis secara umum, mengkombinasikan teori dan metode sebagai suatu kesatuan. Materialisme historis dilengkapi oleh dialektika metarialis untuk menyelesaikan pertanyaan epistemologi (8) mendasar ilmu-pengetahuan sosial—pertanyaan tentang hubungan antara keberadaan sosial dan kesadaran sosial. Yang memberikan pengertian kepada kita tentang hukum-hukum yang paling umum dan tenaga penggerak dari masyarakat, karenanya, ia merupakan teori sosial yang paling jeneral serta ilmiah. Dengan alasan tersebut lah maka materialisme historis merupakan metode yang paling ampuh untuk mempelajari fenomena dan proses-proses kehidupan sosial, dan merupakan metode untuk aksi revolusioner. Dengan pertolongannya lah sejarawan, ekonom, mahasiswa-mahasiswa hukum dan seni dapat menemukan jalannya di tengah-tengah kompleksitas fenomena sosial. Yang paling penting, materialisme historis bisa memberikan [kepada pelopor (vanguard) politik kelas pekerja] tuntunan ilmiah dalam praktek sosial revolusionernya, demi mewujudkan revolusi sosialis-proletariat.

Materialisme historis mengasumsikan signifikansi metodelogi yang khusus dalam suatu konteks perkembangan sosial yang dinamis, yang berubah secara cepat, saat sejarah berubah dengan tajam, dan saat dibutuhkan suatu analaisa obyektif yang khusus dan ketat terhadap peristiwa-peristiwa sejarah, terhadap perilaku kelas-kelas dan partai-partai.

Materialisme historis merupakan landasan bagi sosialisme ilmiah, yang mempelajari strategi dan taktik perjuangan kelas pekerja, yang mempelajari hukum-hukum dan tenaga penggerak revolusi proletariat dan pembangunan masyarakat sosialisme.

Materialisme historis juga sangat relevan bagi penelitian sosial kongkret. Saat menerapkan metode matematis atau metode pengumpulan pendapat, metode wawancara, menyebarluaskan angket dan sebagainya, seseorang harus memiliki pijakan yang kuat dalam teori sosial (jeneral) Marxisme beserta metodenya. Pada gilirannya, ilmu-pengetahuan sosial Marxis, yang dianggap sebagai ilmu-pengetahuan teoritis (jeneral) tentang masyarakat, dalam perkembangannya, akan menyandarkan diri pada penelitian sosial yang spesifik, menggunakan data statistik sebanyak-banyaknya dan menggunakan data empiris lainnya yang berkaitan dengan berbagai macam aspek kehidupan sosial. Penelitan sosial yang spesifik akan bisa menyingkapkan mekanika berfungsinya hukum-hukum sosial dalam kondisi kehidupan yang nyata dan beragam.

Marxisme—yang memiliki tingkat kelas/kwalitas yang tingggi—memberikan contoh-contoh yang tepat dan begitu banyaknya ketika menerapkan metode kesejarahan-materialis dalam studi kongkrit proses-proses sosial. “Teori, kawanku, betapa pucatnya, namun yang segar adalah keabadian pohon kehidupan.” Lenin kerap mengutip bait dalam karya Gothe, Faust, dalam polemiknya melawan Marxis yang gagal melihat segala sesuatu yang baru dan tak teramalkan, tak diharapkan—yang dihasilkan oleh kehidupan yang berkembang cepat. Kehidupan, yang benar-benar terjadi dalam dunia, dalam sejarah, selalu lebih kaya ketimbang teori sosial yang paling maju sekalipun. Itu lah fakta bahwa kita, secara khusus, membutuhkan kewaspadaan terhadap zaman kita yang dinamis dan berbadai ini.

Materialisme historis memberikan kita panduan yang obyektif, ilmiah, agar jalannya peristiwa-peristiwa bisa kita ketahui dan mengerti, memprediksinya secra ilmiah, dan bisa melihat prospek dan kecenderungan-kecenderungan perkembangan sosial—jadi, dengan demikian: memberikan basis teoritis dalam tindakan revolusioner.

Ideolog borjuis mempertahankan gagasan bahwa keanggotaan politik tidak lah sesuai dengan ilmu-pengetahuan karena mengurangi karakter ilmiah materialisme historis, karena jelas-jelas mengakui bahwa materialisme historis merupakan panduan teoritis bagi praktek revolusioner. Beberapa di antaranya mempertahanan gagasan bahwa pengetahuan ilmiah berada di luar aktivitas politik praktis kelas sosial dan partai politik tertentu—sehingga sepertinya pengetahuan hanya demi pengetahuan. Mereka, jadinya, memisahkan politik dari praktek, setidaknya (atau apalagi) ketika melihat praktek sosial revolusioner. Tapi bisa kah, dalam masyarakat yang terbelah ke dalam kelas-kelas, ada teoritikus yang berkoar-koar di luar kepentingan kelas, tak peduli terhadap kepentingan-kepentingan kelas, dan tak mengambil posisi dalam perjuangan kelas? Ada, yakni, tentunya, orang-orang yang tak pernah eksis di dunia ini, hanya ada dalam angan-angan. Pada kenyataanya, kita tetap menemukan orang-orang yang benar-benar bermulut besar dengan “kenetralannya” namun, dalam praktek, mereka lah yang justru menyuruh kita sesengit mungkin berjuang (apakah secara partisan atau non-partisan) melawan teori sosial Marxis, agar bisa mendeskreditkannya dan menggantikannya dengan varian teori sosial borjuis.

Untuk menyangkal ide teori sosial yang tak memiliki pemihakan kelas—yang pada esensinya munafik—kaum Marxis terus terang mengakui bahwa memang benar teori sosial Marxis berpihak pada kepentingan atau melayani kebutuhan kelas pekerja. Lenin menegaskan bahwa “…dalam masyarakat yang berbasiskan perjuangan kelas, tak ada satu pun ilmu-pengetahuan sosial yang tidak berpihak”, dan “mengharapkan ilmu-pengetahuan tidak berpihak dalam masyarakat yang berbasiskan buruh-upahan adalah suatu kebodohan yang naif, sama hal mengharapkan ketidakberpihakan pemilik pabrik saat harus menjawab persoalan: apakah upah buruh boleh dinaikan tapi dengan tidak mengurangi keuntungan kapital.” (9)

Memang benar bahwa pemihakan-kelas dalam teori sosial akan tidak sesuai dengan pendekatan ilmiah, yakni bila teori tersebut mencerminkan dan mempertahankan posisi serta kepentingan kelas-kelas yang secara historis sudah tak berguna lagi (outmoded) dalam perjalanan perkembangan sosial. Bila teori sosial melakukan hal seperti itu, maka teori sosial tersebut mengabaikan kebenaran realitas sosial obyektif. Dan, bila teori sosial melakukan hal yang sebaliknya, maka teori sosial tersebut menjadi benar-benar obyektif dan ilmiah, yakni benar-benar mencerminkan dinamika realitas sosial, mencerminkan posisi, kepentingan-kepentingan dan aspirasi-aspirasi kelas-kelas dalam masyarakat yang, secara historis, progresif.

3. Karakter Obyektif Hukum-hukum Perkembangan Sosial

Lebih dari ratusan tahun yang lalu, dalam pengantar karyanya di tahun 1859, yang berjudul “A Contribution to the Critique of Political Economy”, Marx memberikan pernyataan formal yang sepenuh-penuhnya tentang proposisi-proposisi dan prinsip-prinsip dasar materialisme historis:

“Dalam produksi sosial kehidupannya, [manusia] masuk ke dalam hubungan-hubungan yang pasti, yang tidak terhindarkan dan independen dari keinginannya, yakni hubungan-hubungan produksi yang selaras dengan suatu tahap perkembangan tertentu dalam tenaga-tenaga produktif materialnya. Keseluruhan hubungan-hubungan produksi tersebut lah yang akan menentukan struktur ekonomi masyarakat, yakni fondasi masyarakat yang sebenarnya, yang di atasnya muncul, berdiri, suprastruktur hukum dan politik yang selaras dengan bentuk-bentuk kesadaran sosialnya. Itu lah corak produksi kehidupan material yang mengkondisikan proses kehidupan sosial, politik dan intelektual secara umum. Bukan lah kesadaran [manusia] yang menentukan keberadaannya, tapi, justru sebaliknya, keberadaan sosialnya lah yang menentukan kesadarannya. Pada tahap tertentu perkembangannya, tenaga-tenaga produktif material masyarakat akan bertentangan dengan hubungan-hubungan produksi yang ada, atau akan bertentangan dengan hubungan-hubungan kepemilikan—apa yang secara legal/hukum merupakan istilah lain dari hubungan-hubungan produksi—yang sedang mereka jalani. Dalam bentuk-bentuk perkembangan tenaga produktif tertentu, hubungan-hubungan kepemilikan tersebut kemudian berubah menjadi belenggu mereka. Setelah itu, datang lah epik revolusi sosial. Bila ada perubahan dalam fondasi ekonomi maka, secara besar-besaran, seluruh suprastruktur sedikit banyak akan pula ditransformasikan secara cepat. Dengan mempertimbangkan tranformasi semacam itu maka harus dibedakan antara transformasi material kondisi-kondisi ekonomi produksi, yang akan ditentukan oleh ketepatan ilmu-pengetahuan alam, dengan transformasi hukum, politik, agama, estetika atau filsafat—pendeknya, bentuk-bentuk ideologis yang mencerminkan kesadaran (manusia) akan pertentangan tersebut dan perjuangan untuk mengatasinya. Sebagaimana juga pendapat kita tentang satu individu, yang tidak didasarkan pada apa yang dipikirkan oleh si individu tersebut, demikian pula kita tidak bisa menilai periode transformasi tersebut berdasarkan kesadaran transformasi tersebut; sebaliknya, kesadaran tersebut harus dijelaskan bukan berdasarkan kontradiksi kehidupan material, tapi berdasarkan pertentangan antara tenaga-tenaga produktif sosial dengan hubungan-hubungan produksinya. Tak pernah ada tatanan sosial yang pernah menghilang, mati, sebelum tenaga-tenaga produktif memperoleh ruang untuk berkembang; dan hubungan-hubungan produksi yang baru, yang lebih tinggi, tak akan pernah terlahir sebelum keberadaan kondisi-kondisi material telah matang dalam kandungan masyarakat lama itu sendiri. Karenanya, keberadaan [kemanusiaan] hanya sebatas atau akan ditentukan oleh sejauh mana [kemanusiaan itu sendiri] bisa menyelesaikan tugas-tugasnya; karenanya, bila kita melihat masalahnya secara lebih dekat, selalu saja didapati bahwa tugas itu sendiri akan muncul hanya bila kondisi-kondisi material untuk menyelesaikannya telah eksis, atau paling tidak sedang dalam proses pembentukan.” (10)

Formulasi proposisi-proposisi dan prinsip-prinsip dasar teori sosial Marxis tersebut menekankan dua gambaran yang sangat penting. Pertama, historisisme yang sangat ketat, yakni yang mempertimbangkan bahwa masyarakat merupakan sesuatu yang berada dalam keadaan selalu berkembang. Kedua, aplikasi-konsisten pandangan materialis terhadap sejarah—sebagai suatu hukum-yang-mengatur prosesnya—yang, dalam analisa terakhir, dikondisikan oleh perkembangan tenaga-tenaga produkstif manusia, dikondisikan oleh tingkat perkembangan interaksi produktifnya dengan alam. Mengomentari formulasi Marx tersebut, Lenin menulis:

“Hal yang paling bemanfaat dari “sosiologi” dan historiografi pra-Marxis adalah karena mereka memberikan akumulasi fakta-fakta mentah, yang dikumpulkan secara acak, dan suatu deskripsi aspek-aspek individu dalam proes sejarah. Kemudian kita menguji totalitas tendensi-tendensinya yang berlawanan, dengan merangkum, menyempitkan, manfaat-manfaat tersebut menjadi apa yang disebut secara definitif disebut: kondisi-kondisi kehidupan dan produksi … dan dengan menyingkapkan bahwa, tanpa pengecualian, semua ide dan semua ragam tendensi berkaitan dengan kondisi tenaga-tenaga produktif material, maka Marxisme bisa menunjukkan jalan bagi studi—yang komprehensif dan mencakup segalanya—tentang kelahiran, perkembangan dan kemerosotan sistim-sistim sosio-ekonomi. Manusia menciptakan sejarahnya sendiri tapi apa yang menentukan motif manusia, massa rakyat, yakni, apa yang menumbuhkan bentrok-pertentangan di antara ide-ide dan upaya-upaya yang saling bertentangan? Apakah intisari seluruh pertentangan tersebut di kalangan massa masyarakat manusia? Kondisi obyektif kehidupan material apa yang membentuk basis dari semua aktivitas historis manusia? Hukum perkembangan apa yang mengatur kondisi-kondisi tersebut? Semua itu lah yang menjadi perhatian Marx, dan ia bisa memberikan jalan bagi studi sejarah yang ilmiah—sebagai proses tunggal—yang, dengan segala macam keragaman dan pertentangannya, diatur menurut hukum-hukum yang pasti.” (11)

Kita telah memahami sebelumnya, bahkan sebelum kemunculan materialisme historis, khususnya di bawah pengaruh kemajuan-kemajuan ilmu-pengetahuan alam, manusia berusaha untuk memahami kehidupan sosialnya, sejarah masyarakatnya, sebagai sebuah proses yang bergerak menurut hukum. Tapi hukum-hukum sosial, umumnya, diperlakukan dengan cara yang sama sebagaimana hukum mekanika, fisika atau proses-proses biologis alam. Sehingga gambaran spesifik ciri kehidupan sosial—yang diciptakan oleh manusia yang memiliki pikiran dan kemauan—diabaikan.

Sumbangan terbesar Marx dan Engels adalah: mereka bisa mengungkapkan bahwa di dalam kehidupan sosial, di dalam sejarah masyarakat, bukan saja terdapat hubungan anatara hukum-hukum sosial dengan hukum-hukum alam, tapi juga bisa menunjukkan bahwa hukum sosio-historis berbeda secara radikal dari hukum alam. Itu tercermin dari penjelasan mereka bahwa: perkembangan sosial merupakan bagian dari proses historis alam.

Proses historis alam merupakan proses yang seharusnya, niscaya, dan obyektif, yang memiliki aturan hukumnya—sebagai proses alam; sebuah proses yang tidak saja tidak bergantung pada kehendak dan kesadaran manusia tapi, sebenarnya, yang menentukan kehendak dan kesadaran tersebut. Pada saat yang bersamaan, tidak seperti dalam proses-proses alam, proses-proses historis alam merupakan hasil dari kesadaran, hasil dari aktivitas manusia yang sadar. Secara sekilas, proposisi tersebut nampaknya seperti mencerminkan kontradiksi logika: bagaimana mungkin, kita bisa menggabungkan fakta sosial, proses-proses historis, yang dihasilkan oleh manusia—yang memiliki kesadaran, kehendak dan hasrat, serta bisa menentukan sendiri tugas-tugas dan tujuan-tujuannya—dengan fakta bahwa sejarah patuh terhadap hukum-hukum obyektif-seharusnya, yang niscaya, yang tidak tergantung pada kehendak dan kesadaran manusia?

Kontradiksi tersebut bisa dipecahkan jika kita mengingat bahwa manusia (dan khususnya kelompok besar manusia—kelas-kelas, partai-partai, dan sebagainya), dalam mengejar tujuan-tujuannya, dipandu oleh ide-ide dan hasrat-hasrat tertentu serta, pada saat yang sama, selalu hidup di bawah kondisi-kondisi obyektif tertentu yang tidak tergantung pada kehendak dan hasrat mereka namun, pada akhirnya, ditentukan oleh arah dan karakter aktivitas, ide dan aspirasi-aspirasi mereka.

Apa yang dimaksud dengan hukum-hukum sosial?

Setiap hukum alam mencerminkan saling-keterkaitan (yang objektif, yang seharusnya, dan yang relatif stabil) antar-fenomena, antar-proses-proses. Demikian pula, hukum-hukum yang dibentuk oleh materialisme historis dan ilmu-pengetahuan sosial lainnya mencerminkan suatu prinsip keterkaitan reguler, berulang-ulang, antara fenomena sosial dan antara proses-proses sosial, yang memang selayaknya, niscaya, dan relatif stabil.

Beberapa hukum sosial beroperasi dalam berbagai tahap perkembangan sosial. Yakni mencakup hukum-hukum yang menentukan peran keberadaan sosial dalam kaitannya dengan kesadaran sosial; hukum-hukum yang menentukan peran hubungan-hubungan produksi yang dominan dalam kaitannya dengan suatu struktur masyarakat tertentu; hukum-hukum yang menentukan peran tenaga-tenaga produktif dalam kaitannya dengan hubungan-hubungan ekonomi; hukum-hukum yang menentukan peran basis ekonomi dalam kaitannya dengan suprastruktur sosial; hukum-hukum tentang ketergantungan hakekat sosial individu pada keseluruhan hubungan sosial, dan sebagainya.

Di samping hukum-hukum sosial yang bersifat umum, terdapat juga hukum-hukum yang hanya menangani formasi-formasi sosial tertentu. Yakni, terutama, hukum tentang masyarakat yang sudah terbagi ke dalam kelas-kelas, yang hanya merupakan karakter hubungan-hubungan produksi tertentu, dan hukum tentang perjuangan kelas sebagai tenaga pengegrak sejarah, yang hanya berlaku dalam formasi-formasi sosio-ekonomi yang didirikan di atas antagonisme kelas-kelas.
Beberapa kritik terhadap materialisme historis mengatakan bahwa sebuah hukum memiliki keterkaitan yang selalu eksis di manapun. Jika hukum perjuangan kelas tidak sesuai dengan persyaratan tersebut, maka ia tidak bisa disebut hukum.

Dalam gambaran umum, hukum-hukum kehidupan sosial rentang waktu eksistensi dan tindakannya lebih pendek ketimbang hukum-hukum alam. Hukum-hukum sosial lainnya, di samping hukum tentang perjuangan kelas, hanya berlaku pada saat dan di mana terdapat kondisi-kondisi dan hubungan-hubungan yang dibutuhkannya tersedia. Namun demikian, hukum-hukum tersebut obyektif, hukum-hukum sebenarnya yang mencerminkan keterkaitan intrinsik, yang relatif konstan, di antara fenomena sosial dan proses-proses sosial. Di atas segalanya, bahkan hukum biologi bumi pun tak bisa diterapkan pada matahari. Tetapi, prinsip tersebut bukan mengarahkan orang untuk meragukan realitasnya, obyektivitasnya.

Beberapa ekonom dan sosiolog borjuis mengangkat hukum-hukum sosial (misalkan, hukum eksistensi dan perkembangan kapitalisme) pada tingkatan hukum yang abadi, alami dan tidak dapat diganggu-gugat; mereka melihat kapitalisme (dengan kepemilikannya yang tak adil) dan hubungan-hubungan dominasi serta penindasannya berlaku pada semua tahap perkembangan masyarakat. Engels mengritik pandangan tentang hukum sosial dan ekonomi semacam itu:

“Bagi kita, apa yang disebut ‘hukum ekonomi’ bukan lah merupakan hukum alam yang abadi tetapi hukum sejarah yang bisa muncul dan bisa menghilang; dan aturan ekonomi-politik moderen, sejauh yang telah disusun dengan obyektivitas yang tepat oleh para ahli ekonomi, bagi kita hanya sekadar merupakan sebuah ringkasan dari hukum-hukum dan kondisi-kondisi yang mendasari masyarakat borjuis sehingga bisa eksis—pendek kata, kondisi-kondisi produksinya dan pertukarannya yang tercermin secara abstrak dan garis besarnya saja. Karenanya, bagi kita, tak ada satu pun dari hukum-hukum tersebut—sejauh itu mencerminkan hubungan-hubungan borjuis yang sepenuhnya—yang lebih tua dari masyarakat borjuis itu sendiri; hukum-hukum yang, sampai sekarang, sedikit banyak masih valid bagi seluruh sejarah hanya lah hukum-hukum yang tercermin dari hubungan-hubungan tersebut, yang merupakan kondisi-kondisi yang selayaknya dalam semua masyarakat yang didirikan di atas basis kekuasaan kelas dan penghisapan. (12)

Setiap hukum beroperasi di bawah kondisi kondisi tertentu dan hasil-hasil tindakannya tergantung pada kondisi-kondisi tersebut, yang berbeda dari satu formasi ke formasi lainnya, juga berbeda dalam setiap formasi, dan mengasumsikan bentuk-bentuk spesifik di berbagai negeri. Dengan demikian, kapitalisme di setiap negeri memiliki gambaran tertentu disebabkan masa lalu sejarah negeri tersebut, tergantung besar-kecilnya struktur-struktur ekonomi pra-kapitalis yang masih mendekam. Namun gambaran khusus tersebut tak berpengaruh terhadap hal utama: tidak, dan tidak bisa, menghapuskan hukum-hukum jeneral yang inheren dalam masyarakat kapitalis; tak ada hukum-hukum perkembangan kapitalisme yang memiliki karakter nasional, yakni hukum-hukum kapitalisme yang memiliki karakter khusus di setiap negeri; hukum-hukum formasi sosio-ekonomi yang tersendiri, walaupun spesifik, bila dikaitkan dengan hukum-hukum sosial jeneral, hukum-hukum itu sendiri merupakan hukum-hukum jeneral bagi semua negeri yang menjadi bagian dari formasi tertentu. Dalam hal tersebut, sebagaimana dalam bidang-bidang lainnya, terdapat kesatuan dialektik antara yang jeneral dengan yang khusus, yang berlaku di tingkatan internasional dengan yang berlaku di tingkatan nasional. Mengabaikan atau mengorbankan prinsip kesatuan dialektik tersebut, terlalu menekankan karakter nasional dengan menghancurkaan yang umum, yang internasional, bisa mengarah pada tendensi-tendensi nasionalis. Itu lah garis pembatas yang harus dilihat dan dimengerti oleh Marxis: sebagai kaum internasionalis—dalam pengertian politik—dan sebagai kaum dialektikus—dalam pengertian teori.

4. Aktifitas Kesadaran Manusia dan Peranannya dalam Sejarah

Dalam pengertian bahwa perkembangan sosial merupakan sebuah proses sejarah alam, apakah itu berarti kita menghambat upaya untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai peran kreatif manusia—aktivitas transformasi revolusioner? Apakah hal tersebut tidak akan mengarahkan kita agar meremehkan aktivitas historis, inisiatif historis kekuatan-kekuatan sosial progresif, atau meremehkan peran faktor subyektif?

Mereka yang berada di kubu padandangan idealis-subyekyif sering menuduh Marxis sebagai penganut fatalisme. Sosisolog borjuis memepertahankan pendapat bahwa konsepsi Marxis tentang karakter obyektif hukum-hukum perkembangan sosial meremehkan kebebasan manusia, meremehkan aktivitas sadar manusia, dan itu artinya anti-humanis. Mereka menuduh bahwa Marxis memandang faktor ekonomi sebagai segalanya, sedangkan ide-ide dan berbagai bentuk kesadaran sosial—seperti filsafat, moralitas, agama—diremehkan, bukan apa-apa atau, dari sudut pandang materialisme historis, dianggap samasekali tak memiliki signifikansi. Kasus seperti itu lah yang dijadikan bukti oleh kubu yang mengkritik Marxisme. Tapi, sebenarnya, mereka sedang mengaburkan materialisme historis menjadi materialisme ekonomi, yang vulgar. Keduanya, kubu idealis-subyektif dan materialis vulgar, salah, dan bertentangan satu dengan yang lainnya secara radikal.

Materialisme Historis sama sekali tidak menafikan signifikansi faktor politik, kesadaran sosial; malah sebaliknya, maaterialisme historis mengakui peranannya yang begitu penting dalam kehidupan sosial. Ide-ide reaksioner dan kebijakan reaksioner (contohnya, ide-ide rasis, kebijakan fasisme) memainkan peranan yang sangat negatif. Mereka membiarkan dan membawa kehancuran yang besar bagi rakyat pekerja.

Sebaliknya, ide-ide progressif, ide-ide revolusioner—dalam bidang filsafat, ekonomi, politik dan moral—dan kebijakan-kebijakan yang didasarkan padanya memainkan peran yang sangat besar, khususnya, saat ide-ide tersebut tersebar di kalangan massa, saat mereka bertindak sebagai kekuatan sejarah yang termobilisasi, terorganisir dan melakukan perubahan.

Materialisme historis, sebagaimana Marxisme secara keseluruhan, mengambil bentuk dan berkembang dalam rangka memerangi dua kecenderungan yang saling bertentangan: Pertama, menentang subyektifisme Hegelian Muda; Kedua, melawan providensialisme (13) dan fatalisme yang meremehkan signifikansi kesadaran manusia, aktivitas kreatif (menentang obyektifisme borjuis, menentang oprtunisme “sosialis” dengan teori-teorinya yang percaya bahwa peralihan dari kapitalisme ke sosialisme bica dicapai secara damai, dan sebagainya).

Kritikan borjuis terhadap Materialisme Historis berupaya membuktikan adanya kontradiksi antara aktivitas revolusioner partai Marxis dengan ajarannya tentang keniscayaan sejarah, khususnya tentang keruntuhan kapitalisme yang tak terdihindarkan. Kritik tersebut mengatakan, jika kita tahu bahwa gerhana bulan itu tak terhindarkan dan terpaksa harus terjadi karena terdapat hukum-hukum tertentu yang mengaturnya, maka tak seorang pun akan (atau mengapa bersusah payah) berpikir untuk mendirikan kelompok yang hendak mencegah gerhada bulan tersebut terjadi, tapi, si Marxis, yang mengajarkan kepada kita bahwa kapitalisme akhirnya akan runtuh, tetap saja mendirikan partai politik untuk melawan kapitalisme demi mendirikan sosialisme.

Adalah sesuatu yang bodoh dan absur, tentunya, mendirikan kelompok untuk “mengatur” gerhana bulan atau datangnya musim semi dan musim panas. Pergerakan bumi dan matahari, atau juga pergerakan bulan, tidak melibatkan aktivitas manusia. Rotasi bumi adalah mengelilingi matahari, dan rotasi bulan mengelilingi bumi, jauh sebelum manusia ada di bumi. Tapi sejarah dibuat dan sedang dibuat oleh manusia, dan hanya oleh manusia. Hukum-hukum perkembangan sosial, tak seperti hukum-hukum alam, merupakan hukum-hukum aktivitas manusia. Di luar aktivitas tersebut, hukum-hukum perkembangan sosial tak berlaku. Karenanya, revolusi-revolusi sosial, termasuk revolusi sosialis, bisa terjadi sebagai hasil perjuangan kelas-kelas progresif berdasarkan penggunaan hukum-hukum obyektif perkembangan sosial, khususnya hukum-hukum perjuangan kelas. Semakin mendalam dan komprehensif pengetahuan kita terhadap hukum-hukum perkembangan sosial, hukum-hukum revolusi sosial, semakin tinggi kesadaran, solidaritas, kesatuan dan organisasi rakyat pekerja, maka semakin berhasil lah perjuangan untuk sosialisme—penggerak kemajuan sejarah.

Sebagaimana juga bahwa pengetahuan tentang hukum-hukum dan proses-proses alam memberikan kepada kita kesempatan untuk memperkecil, menekan, kekuatan-kekuatan alam, demikian pula pengetahuan tentang hukum-hukum sosial yang menguasai kekuatan-kekuatan perkembangan sosial membuat kelas-kelas progresif secara sadar bisa menciptakan sejarah, berjuang demi kemajuan sosial. Dengan mengetahui hukum-hukum obyektif perkembangan sosial maka kekuatan-kekuatan sosial progresif bisa bertindak tidak secara membabi-buta, tidak secara spontan, tapi dengan menggunakan pengetahuan tentang apa yang sedang mereka kerjakan, dan, dalam makna tersebut: secara bebas.
Hukum-hukum perkembanagan sosial biasanya berfungsi sebagai kecenderungan-kecenderungan; yang mencari jalannya dengan mendobrak segala rintangan, dengan memanfaatkan sebanyak-banyaknya peristiwa-peristiwa yang dapat memberikan kesempatan, melalui konflik dengan kecenderungan-kecenderungan lain yang betentangan—yang, tentu saja, didukung oleh kekuatan-kekuatan musuhnya—atau kecenderungan-kecenderungan yang harus dilumpuhkan dan diatasi dalam rangka menjamin kemenangan kecenderungan-kecenderungan dan kekuatan-kekuatan yang progresif.

Konflik antara berbagai kecederungan atau kebiasaan berarti bahwa dalam setiap periode sejarah terdapat lebih dari satu kemungkinan. Jadi, tenaga-tenaga produktif yang diciptakan kapitalisme menyediakan—untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia—kemungkinan untuk mendirikan masyarakat sosialis, yang akan membebebaskan tenaga-tenaga produktif tersebut dari batas-batas hubungan-hubungan produksi kapitalis dan mensubordinasikannya pada manajemen kolektif rakyat pekerja. Kemungkinan alternatifnya, bagaimanapun juga, bukan lah kelanjutan kapitalisme, tapi semakin parah, atau semakin parahnya kontradiksi antara hubungan-hubungan produksi kapitalis dengan tenaga-tenaga produkstif—yang semakin besar kekuatannya—yang diciptakan oleh kapitalisme itu sendiri. Bila kecenderungan tersebut bisa terjadi, bisa terwujud, bisa berjalan, maka tenaga-tenaga produktif manusia akan didorong ke arah stagnasi dan kerusakan yang disebabkan oleh degradasi ekologi, dan runtuhnya kapitalisme berubah menjadi bentuk barbarisme baru, atau bahkan—sebagai hasil dari peledakan-peledakan nuklir di tingkat global—kehancuran ras manusia itu sendiri.
Pembentukan organisasi-organisasi Marxis revolusioner di seluruh negeri, perubahan mereka dari kelompok propagandis sosialisme menjadi partai-partai popular yang mampu memobilisasi massa rakyat dalam rangka perjuangan demi kekuasaan kelas pekerja dan sosialisme, karenanya merupakan tugas untuk melaksakan kewajiban yang paling mulia dan paling penting. Tanpa partai-partai seperti itu, perjuangan demi sosialisme tak akan pernah dimenangkan dan kemanusiaan secara keseluruhan akan mengalami tingkat penderitaan, degradasi, yang tak pernah dialami sebelumnya dan, bahkan, akan mengalami penghancuran fisik.

Keniscayaan sejarah, oleh karenanya, bukan lah berarti takdir. Dalam kehidupan nyata, manfaat efek hukum-hukum obyektif dan berbagai kecendrungan perkembangan sosial memudahkan kemungkinan-kemungkinan tertentu, yang realisasinya tergantung pada aktivitas massa: perjuangan kelas.

Pengetahuan tentang hukum-hukum keniscayaan sejarah, tentang hukum-hukum obyektif perkembangan sosial, tidak lah berarti membebaskan manusia untuk tidak bertindak, atau tidak butuh tindakan manusia, tapi justru menuntut tindakan aktif, partisipasi sadar manusia untuk menggunakan hukum-hukum tersebut demi kebutuhan mereka. Ajaran materialisme historis tentang proses historis alam tidak lah meremehkan peran keberadaan manusia, peran aktivitas sadarnya, tapi justru bisa menunjukkan signifikansi aktivitas tersebut, signifikansi perjuangan kekuatan-kekuatan progresif. Mengabaikan hukum-hukum tersebut, atau gagal mempertimbangkan kondisi-kondisi aktual dan alat-alat perjuangannya, bisa membuat massa rakyat pekerja, kelas pekerja dan partai-partainya, menjadi tak berpengharapan, pasif, atau malah melakukan petualangan politik sehingga mudah dikalahkan.

Dengan cara itu, materialisme historis bisa menyelesaikan problem filosofis: hubungan antara kebebasan dengan keniscayaan, problem antara kebebasan berkehendak dengan determinisme. Kebebasan [yang diamati Engels] tidak lah ada dalam mimpi (untuk membebaskan diri dari hukum-hukum alam), tapi ada dalam pengetahuan tentang hukum-hukum tersebut, dan di dalam kemungkinan membuat hukum-hukum tersebut bekerja secara sistimatis ke arah tujuan-tujuan tertentu. Pandangan tersebut berguna untuk mengetahui hukum-hukum eksternal alam sehingga memudahkan kita mengetahui huukum-hukum yang mengatur eksistensi ragawi dan mental manusia itu sendiri—dua kelas hukum yang bisa kita pisah-pisahkan hanya di dalam pikiran kita saja, bukan dalam realitas. Kebebasan kehendak, karenanya, samasekali tak berarti apa-apa kecuali sebatas kapasitas untuk membuat keputusan-keputusan dengan menggunakan pengetahuan tentang subyek tertentu. Dengan demikian, semakin bebas kebijakan seorang manusia dalam menjawab pertanyaan tertentu, maka semakin besar lah keniscayaan yang berisikan hukum-hukum yang akan menentukan kebijakan tersebut; sedangkan ketidakpastian, yang bisa disebut sebagai pengabaian atau ketidakpedulian—dalam bentuk pemilihan serampangan terhadap berbagai kemungkinan keputusan yang saling bertentangan—menunjukkan adanya ketidakbebasan tertentu, yakni yang (karena) dikuasai oleh obyek yang memang selayaknya mengontrol dirinya sendiri. Kebebasan, karenanya, hanya lah sebatas semungkin apa kita bisa menguasai diri kita dan alam, penguasaan yang ditentukan oleh pengetahuan kita terhadap keniscayaan alam; karena memang demikian lah yang seharusnya, selayaknya, dihasilkan, diproduksi, oleh perkembangan historis. (14)

Apa yang dikatakan Engels adalah tentang hukum-hukum alam yang sepenuhnya diterapkan pada hukum-hukum sosial, pada hubungan antara kebebasan dan keniscayaan dalam kehidupan sosial. Hukum-hukum sosial, yang banyak tak dipahami manusia dan bahkan ditentang oleh mereka, akan beroperasi sebagai kekuatan-kekuatan spontan yang bermusuhan terhadap manusia. Tapi bila kita bisa memahami hukum-hukum tersebut beserta hakikatnya, memahami kondisi-kondisi dan arah operasinya, maka kita akan mampu menguasai dan menggunakannya.

Sejarah kemanusiaan tentunya tidak lah selalu dihasilkan sesederhana sebuah garis lurus yang kian meninggi. Akan lah mistis bila hal tersebut hanya disusun dari arah-gerak ke depan. Namun demikian, sejarah kemanusiaan, secara keseluruhan, sering dipandang secara logis sebagai sebuah garis lurus yang semakin meningkat—dari satu formasi sosio-ekonomi ke formasi sosio-ekonomi lainnya, dari formasi sosio-ekonomi yang rendah ke formasi sosio-ekonomi yang tinggi, yang diukur dari perkembangan produktivitas sosial tenaga kerja manusia—padahal, sebenarnya, sejarah kemanusiaan bisa mengalami kemunduran, mengalami zigzag, mengalami kehancuran historis akibat, misalnya, perang-perang, invasi barbar, dan kemerosotan serta kejatuhan kekuasaan negara.

Gerakan historis itu beragam, tidak seragam, dan banyak memasukkan hal-hal yang spesifik—sehubungan dengan gambaran menyimpang dan kondisi-kondisi khusus perkembangan berbagai manusia. Tapi, dengan begitu, kita bisa melihat kebesaran materialisme historis, yang dihasilkan dari kekacauan dan keragaman (tanpa batas) hukum, regularitas, dan pengulangan-pengulangan dalam segala hal yang paling esensial dan pokok, yang merupakan ciri perkembangan kemanusiaan.
Adakah makna bahwa sejarah kemanusiaan, perkembangan masyarakat, atau pergerakan tersebut tak memiliki arti dan sangat mendasar sebagaimana arus sungai yang menyapu segala sesuatu yang ada dipinggirnya? Tentu saja tak ada landasannya untuk menyetujui atau mengakui makna apapun yang diimpor pada sejarah dari ruang hampa, dari ketiadaan—seperti kemutlakan metafisika yang sudah ditentukan sebelumnya, program yang sudah diatur terlebih dahulu atau takdir supranatural kemanusiaan. Pada saat yang sama, sejarah masyarakat dalam setiap zamannya memiliki isian pastinya. Massa, kekuatan-kekuatan progresif yang menciptakan sejarah, menyusuri jalannya demi mendapatkan hubungan-hubungan ekonomi, politik dan sosial lainnya yang baru, yang lebih mau berjuang untuk memenuhi beban tugas-tugas sejarahnya. Manusia mungkin bisa tak sepenuhnya sadar akan tugas-tugas tersebut, atau mereka mungkin salah memahaminya, kadang-kadang dalam bentuk mistis, bentuk khayalan. Dalam periode-periode transisi besar sejarah, kesadaran, aktivitas kreatif massa dan kelas-kelas progresif, berhasil mencapai puncaknya. Jadi, sejarah kemanusiaan tak seluruhnya spontan, dan kesadaran sosial juga merupakan bagian yang memainkan peranan penting.

Isi dari epik sekarang ini adalah perjuangan antara kekuatan-kekuatan kapitalisme dengan kekuatan-kekuatan sosialisme, transisi revolusioner dari kapitalisme menuju sosialisme. Kesadaran berjuang kelas pekerja dan sekutu-sekutunya, yang menghendaki sosialisme, mempercepat gerak sejarah. Dan, pada saat sekarang ini, sedang menyelesaikan berbagai kesulitannya, dan berada dalam kontradiksi serta antagonisme yang mendalam; karena itu, tak akan dicapai dalam arah layaknya garis yang lurus. Tapi, dalam hal ini, ada juga zigzagnya dan kemudurannya. Namun demikian, bila dilihat secara keseluruhan, proses historis konteporer sedang mengarah menuju sosialisme, dan itu lah maknanya yang paling mendalam.

***

(1) Lorimer, Doug, “Fundamentals of Historical Materialism, the Marxist View of History and Politics”, Resistance Books, Sydney, 1999, hal. 20-35.

(2) Dikutip dari D. Gribanov et al, “Einstein and the Philosophical Problems of 20th Century Physics“ (Progress Publishers: Moscow, 1979), hal. 18.

(3) Filsafat materialisme merupakan pandangan yang berpendapat bahwa, di luar kesadaran kita, terdapat dunia eksternal yang independen terhadap kesadaran apapun, namun bisa direfleksikan dalam kesadaran kita; pandangan yang berpendapat bahwa totalitas obyek-obyek di dunia eksternal merupakan materi yang menentukan (penentu), dan kesadaran merupakan produk dari sistim-sistim material tertentu, yakni, organisme hidup yang memiliki sistim syaraf dan otak. Filsafat materialisme beroposisi terhadap filsafat idealisme, yang memegang teguh pendapat bahwa kesadaran, apakah itu kesadaran manusia ataupun kesadaran supranatural, merupakan satu-satunya gambaran utama realitas, dan materi merupakan produk kesadaran individual yang kita miliki (idealisme-subyektif) atau merupakan pelepasan dari kesadaran supranatural (idealisme-obyektif).

(4) G.W.F Hegel (1770-1831) adalah figur lanjutan aliran fisafat idealis Jerman yang awalnya dirintis Immanuel Kant. Hegel berusaha menyelesaikan perbedaan filsafat tradisional dalam menangani persoalan antara pikiran dan materi, dan hasilnya adalah rumusan tentang realitas yang diseragamkan dan monistik yang menyebabkan materi menjadi suatu ekspresi tenaga inti pengatur yang “teraleniasi”—atau apa yang disebut sebagai akal atau Ruh Absolut. Walaupun teori Hegel tentang keberadaan merupakan teori yang idealis, namun ia memandang realitas sebagai sesuatu yang sedang mengalami proses perkembangan dialektik. Dalam pengantar edisi kedua Capital, Jilid 1, Marx menyadari bahwa “Di tangan Hegel, mistifikasi yang diderita dialektika sedikitpun tak menghalanginya untuk menjadi orang yang pertama yang menyajikan bentuk-bentuk jeneral bagaimana dialektika bekerja secara konprehensif dan cara yang sadar. Oleh Hegel dialektika diberdirikan oleh kepalanya. Dialektika harus dibalikkan agar berdiri secara benar, agar orang bisa menemukan inti-rasional di balik kulit mistiknya.”

(5) Lenin, V.I., “Collected Works”, Progress Publishers, Moscow, 1964-1970, Vol. 19, hal. 25.

(6) Positifisme adalah kecenderungan filsafat borjuis yang diprakarsai oleh Augustus Comte (1798-1857), suatu cabang empirisme, yang memegang teguh pendapat bahwa satu-satunya pengetahuan yang absyah adalah yang “positif”, yakni, yang dengan segera dan secara empiris bisa menentukan kebenaran dengan menyodorkan bukti-bukti dan pengakuan-pengakuan. Comte memandang penemuan hukum-hukum perkembangan sosial harus didasarkan pada kecenderungan-kecenderungan sosial saat ini yang akan, secara mekanistik, diproyeksikan bagi masa depan. Para pengikutnya, neo-positifis, menolak jeneralisasi teori-teori sosial apapun atau menolak “penetapan-penetapan nilai” yang melewati batas penjelasan-penjelasan sederhana terhadap peristiwa-peristiwa aktual dan lembaga-lembaga sosial.

(7) Lenin, V.I., “Collected Works”, Progress Publishers, Moscow, 1964-1970, Vol. 1, hal. 142.

(8) “Epistemology”: studi tentang sumber-sumber, perkembangan, batas-batas dan validitas pengetahuan.

(9) Lenin, V. I., “Selected Works” [dalam tiga jilid], Progress Publishers, Moscow, 1975, hal. 44.

(10) Marx, K., dan Engels, F., “Selected Works” [dalam tiga jilid], Progress Publishers, Moscow, 1969-1970, hal. 503-04.

(11) Lenin, V. I., “Selected Work”s [dalam tiga jilid], Progress Publishers, Moscow, 1975, hal. 25.

(12) Marx, K., dan Engels, F., “Selected Correspondence”, Progress Publishers, Moscow, 1975.

(13) Arah yang sudah ditentukan sebelumnya oleh kekuatan yang tak bisa dibuktikan secara ilmiah <beberapa orang melihat bahwa kunci gerak sejarah terletak pada kekuatan… providen—William Ebenstein>, “Webster’s II New Riverside University Dictionary”, The Riverside Publishing Company, hal.948.

(14) Engels, F., “Anti-Dühring” (Progress Publishers: Moscow, 1969), hal. 136-37.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *