Maagdenhuis, Sayangku, Kumohon, Bisa kah Kita Menyelesaikan Omong Kosong Kita Bersama-sama

Maagdenhuis, Sayangku, Kumohon, Bisa kah Kita Menyelesaikan Omong Kosong Kita Bersama-sama

Oleh: Donya Alinejad

Jika gerakan demi Universitas Baru ini akan dimenangkan, maka itu artinya tidak saja sekadar harus merumuskan jawabannya sendiri—tapi harus pula memperjuangkan kekuasaan untuk mewujudkannya.

Kuakui, sejak pertama kali aku dengan canggungnya menyelinap melalui jendela belakang gedung Bungenhuis yang sedang diduduki, aku sudah jatuh cinta. Sejak pemogokan pekerja kebersihan dan pendudukan Universitas Vrije (VU) di Amsterdam pada tahun 2011, aku sudah melihat universitas diselimuti cahaya baru: sebagai lokasi perjuangan yang mengesankan. Aku begitu terpikat akan kecerdikannya.

Saat ini, Maagdenhuis diduduki, dan sebagai ukuran pembandingnya yang historis adalah pendudukan legendaris gedung yang sama oleh mahasiswa, yang penuh sesak, pada tahun 1969. Tentu saja dengan melihat perbandingan yang romantis tersebut, aku mau mengatakan bahwa hal itu semacam kebangkitan semangat pemberontakan. Tapi, aku lebih cenderung melihat Maagdenhuis dalam konteks kaitan yang lebih dekat dan perjuangan saat ini di (dan untuk) VU.

Aku kira, Anda boleh saja mengatakan bahwa aku lebih memahami gerakan saat ini sebagai penjelmaan cinta pada pandangan pertamaku saja. Dan sebagai salah satu dari mereka yang melakukan pembicaraan-pembicaraan, tukar-pikiran, korespondensi email, keluhan-keluhan, letupan-letupan, dan sebagai bagian dari publik berkeliaran di dalam ruangan ini, serta terlibat lebih banyak lagi dengan kejadian-kejadian yang sedang berlangsung, aku memilih momen ini untuk menumpahkan beberapa hal yang ada dalam dadaku. Di atas segalanya, rasa sayang yang tulus akan dapat merawat kejujuran kritik, khan?

Jadi, begini lah cara aku memahaminya. Alasan mengapa sebagian besar dari kita memahami bahwa gerakan Maagdenhuis itu sangat kuat dan inspiratif adalah karena kita melihatnya dari hal-hal yang mendasar. Apa yang telah dimulai beberapa minggu lalu itu, sebagai suara protes yan,g awalnya, hanya datang dari satu fakultasi di Universitas Amsterdam (UvA) dan yang, kemudian, diperdalam dalam diskusi publik mengenai kepentingan (kemendesakan) dan proporsinya yang benar-benar dipertaruhkan, yakni: makna universitas, masa depan sosial lembaga-lembaga publik di zaman penghematan ini, dan hak untuk menentukan nasib sendiri atau mengatur diri sendiri oleh mereka yang mengemban tugas-tugas inti di lembaga-lembaga tersebut.

Tapi, jika gerakan ini hendak dihidupkan sesuai dengan potensinya, maka gerakan ini harus tidak sekadar merumuskan jawaban-jawabannya sendiri atas persoalan-persoalan mendasar tersebut. Gerakan ini juga harus merebut kekuasaan untuk mewujudkan jawaban-jawabannya. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan massa di sisinya, membutuhkan musuh yang dijadikan lawannya, dan pergeseran tujuan-tujuannya. Maafkan aku. Aku tahu bahwa ini tidak terdengar ‘menyenangkan’, tapi maklumi lah aku.

Menengok Ke Belakang

Di depan mata kita, jurusan humaniora memprotes menentang pemotongan dan reorganisasi, yang tidak sekadar menyebar ke seluruh UvA; pesan protes tersebut juga bergaung begitu kuatnya di kalangan mahasiswa dan jajaran (staf) kampus-kampus lain di Belanda dalam bentuk pernyataan-pernyataan solidaritas dan cabang-cabang baru gerakan terus bemunculan. Keseluruhan kisahnya menggemakan suara-suara baru dari mereka yang bekerja di bidang kesehatan, pendidikan menengah dan sektor hukum di Belanda. Artinya, pengelolaan oleh elit manajerial dan jalan panjang menuju penghapusan dana publik, membuat lembaga tersebut menjadi semakin layaknya perusahaan (korporasi), tidak demokratis, kehilangan fungsi intinya sebagai lembaga publik, dan bahkan benar-benar menghisap (eksploitatif).

Mahasiswa-masalah yang berani menggebrak masalah tersebut pada bulan lalu tidak sekadar memicu aksi protes yang lebih luas menentang masalah tersebut, mereka juga mengambil-alih (memberikan jalan keluar) tugas yang menggambarkan visi alternatif bagi universitas kontemporer dan menyodorkannya ke ranah yang masuk akal. Dengan tajam mereka menyebut dirinya “Universitas Baru”, dan para mahasiswa pada bulan Februari dengan mulai menduduki—dengan dukungan gerakan pendudukan (penghuni liar) Amsterdam—gedung monumental Bungenhuis di pusat kota.

Gedung tersebut adalah gedung fakultas humaniora yang terkena dampak. Dan, di gedung itu juga, Dewan Eksekutif UvA mengumumkan, hanya sehari setelah mereka menggusur paksa mahasiswa, bahwa gedung tersebut sedang dalam proses penjualan dan sedang diperbaharui untuk dijadikan tempat spa mewah serta kompleks hotel sebagai bagian dari rantai Soho Club, klub-pribadi eksklusif dan hotel. Langkah tersebut, tentu saja, hanya mengobarkan kemarahan publik terhadap penggusuran tersebut, sementara pendekatan Dewan mengabaikan argumen yang dikemukakan mahasiswa sembari mengkriminalkannya.

Pendudukan

Pendudukan Bungenhuis memang lebih dari sebuah gaya-pendudukan dengan pengambilalihan ruang untuk bermusyawarah, membuat program alternatif, dan tinggal di situ. Ada tuntutan yang jelas yang dirumuskan untuk diajukan kepada Dewan Eksekutif UvA ini. Universitas baru dicanangkan akan memberikan distribusi kekuasaan yang lebih besar dalam hal keputusan substantif di kalangan staf dan mahasiswa, transparansi dan kontrol atas keuangan, serta kondisi kerja yang dapat diterima.

Tapi ada juga hal lain yang merasuki formulasi awal tuntutan, slogan protes, pesan yang lebih luas, dan sentimen gerakan, yakni: bahwa sudah waktunya bagi Dewan Eksekutif UvA untuk mundur dari jabatan mereka dan digantikan oleh wakil-wakil yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat akademik. Ada keinginan untuk mengalihkan kekuasaan kepada kami, para mahasiswa dan staf universitas. Dengan kata lain, perubahan mendasar dalam keseimbangan kekuasaan. Hal ini menjelaskan arah gerakan tersebut, bahwa poin tersebut adalah segalanya, namun sekarang semuanya menghilang dari cakrawala (berpikir kita).

Kami sekarang berada dalam situasi di mana staf universitas (beberapa staf administrasi, tapi kebanyakan anggota fakultas) telah bergabung dalam solidaritas bersama pendudukan mahasiswa, turut merumuskan tuntutan dan membentuk kelompok kerja dalam berbagai tema. Para pemimpin informal sekarang berbicara kepada Dewan mengenai pengaturan komite yang akan akan melakukan investigasi keuangan dan mengusulkan struktur yang lebih demokratis. Pertanyaannya adalah bukan pada apakah semua perkembangan tersebut (harus dilihat) dari titik kita mulai. Pertanyaannya lebih pada ke arah mana pendekatan tersebut berakhir. Pertanyaan tersebut menjadi semakin mendesak karena gelombang perhatian (positif) media yang semakin menyurut, dan soal bagaimana, kapan serta jika mereka yang terlibat mengajukan mengakhiri pendudukan.

Menatap ke depan

Pada tahun 2013, yang menjadi kesamaan antara Maagdenhuis dengan VU, lebih dari gerakan ’69 atau pendudukan gedung berikutnya, adalah bahwa staff universitas memainkan peranan yang penting. Kedudukan staff tersebut menjadi kunci dalam dua kasus tersebut, terutama karena bisa membeberkan hubungan yang tak seimbang antara pihak manajemen dan mereka sendiri. Sesuatu yang telah cukup jelas bagi para staff, yang telah terlibat dalam 2 kasus tersebut, adalah bahwa perluasan dari kaum yang lemah (secara ekonomi, budaya dan modal sosial) harus dipahami tidak hanya sebagai dampak buruk dari efisiensi, tetapi merupakan dampak dari kebijakan yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada para manajer untuk memaksakan pemotongan-pemotongan (kesejahteraan) dan reformasi. Bagiku, belajar dari pengalaman tersebut akan memberikan pemahaman baru untuk bagaimana melangkah selanjutnya.

Dalam peristiwa di Maagdenhuis saat ini, dukungan kuat dari fakultas memberikan peningkatan kredibilitas terhadap protes mahasiswa atas status akademik kelulusannya. Tetapi, yang lebih penting, dampak aksi yang dilakukan pekerja di universitas tersebut telah membuka beragam persoalan bagi mereka yang di atas. Bagaimanapun, ruang hukum dan politik bagi pelaksanaan mogok kerja sangat sempit di Belanda dan di tempat lainnya, walaupun aksi mogok kerja merupakan cara yang sangat efektif dalam memberikan tekanan bagi pengusaha. Begitu kuatnya batasan tersebut sehingga, secara historis, pembatasan terhadap hak tersebut terus meningkat hingga dilembagakan.

Ya, pencaplokan (kooptasi) oleh serikat buruh merupakan kelanjutan dari pembatasan tersebut. Akan tetapi, justru dalam pembatasan tersebut lah serikat buruh menjadi harapan terakhir bagi pengorganisasian desakan massa yang efektif di tempat kerja. Selain itu, staf universitas memiliki posisi yang lebih baik sebagai penantang utama terhadap Dewan universitas, ketimbang mahasiswa, karena kecenderungannya untuk berkarir seumur hidup di universitas dan, karena itu, memiliki ingatan institusional yang lebih lama serta memiliki kepentingan yang lebih besar pula. Singkatnya, kami memiliki motif dan sarana.

Sebagai tambahan bagi kondisi khusus tersebut. Pertama, pengalaman yang telah dipelajari oleh mereka yang terlibat aktif dalam mengorganisir serikat buruh di UV, sehingga, kemudian, kesukaran-kesukaran yang tersembunyi dapat diidentifikasi, raksasa yang tidur telah dibangunkan, dan landasan kerja diletakkan terlebih dahulu sebagai pondasi bagi kampanye serikat buruh (yang memiliki sumberdaya yang baik) di universitas sebagai sebuah sub-sektornya. Hal tersebut, sebagian besar, merupakan akibat dari kemajuan yang diperoleh serikat buruh melalui perjuangannya di dalam UV, dan anggota yang paling aktif berpindah menjadi anggota parlemen, menjadi Dewan-sektor FNV, dan menjadi anggota serikat buruh sektor publik terbesar di Belanda serta, dengan demikian, memiliki posisi yang baik untuk membangun kampanye dan meraih dukungan.

Kedua, ada gerakan demokratisasi di universitas yang belum pernah kita lihat sebelumnya.

Dan ketiga, kelompok kiri dalam pemilu Belanda praktis tidak ada, sehingga terdapat segala hal yang menguntungkan yang dapat digunakan untuk melawan-balik kebijakan penghematan. Itulah kesempatan untuk mendemokratisasikan struktur organisasi universitas dengan memperbesar kekuatan kontrol mereka sendiri, yang lebih baik ketimbang melakukan lobi-lobi tersendiri di tempat kerja dalam setiap persoalan. Itu juga merupakan kesempatan untuk menempa kekuatan, yang baru, yakni kekuatan gerakan serikat buruh dari bawah yang dipimpin oleh anggotanya sendiri, dan tertanam selama gerakan sosial berlangsung demi mendorong perubahan politik yang lebih tinggi, tempat di mana pemotongan-pemotongan (kesejahteraan) dan kebijakan-kebijakan seperti yang sudah biasa kita kenal didesakkan ke bawah, pada kita semua.

Memobilisasi

Pahami lah bahwa, sebagaimana yang kumengerti, bahkan angin yang berhembus ke arah layar kapal kita pun, itu merupakan hasil dari kerja keras. Untuk memulai setiap aksi (pemogokan) yang berharga diperlukan tindakan mobilisasi yang luas di setiap basis universitas. Itu berarti secara aktif menjangkau seluruh pelosok universitas—ke setiap departemen dan fakultas—agar dapat melibatkan mereka semua ke dalam gerakan yang mengangkat isu-isu lokal yang telah mereka kenali, dan dengan langkah-langkah yang mampu mereka lakukan pada tahapan-tahapan tertentu. Dan dalam alur tersebut, marilah kita pertimbangkan secara lebih serius, apakah model pendudukan dengan membentuk majelis seperti yang kami gunakan—yang lebih mutakhir—merupakan model yang paling efektif untuk tujuan mobilisasi dalam skala luas?

Pertanyaan tersebut bahkan praktis belum mulai menyentuh pada seberapa efektif prinsip mencari konsensus sesungguhnya dalam mencari model keterlibatan politik yang demokratis. Cara bagaimana bentuk tersebut dilaksanakan justru melanggengkan sistem hirarki tertentu dengan menyembunyikan keterlibatan mereka. Contoh yang paling halus adalah penolakan terhadap pemimpin yang terpilih secara informal, juga adanya hambatan bagi keterlibatan mereka yang tidak memiliki kebebasan (yang tujuannya bermanuver dengan kontrak sementara mereka) untuk menunda pekerjaan dalam waktu yang lama guna terlibat dalam majelis dari hari ke hari.

Untuk mempersenjatai diri dengan jawaban balik terhadap isian-kebijakan, diskusi majelis secara konsisten memusatkan diri pada persiapan perundingan dengan Dewan. Kemajuan telah dicapai dalam pembahasan yang lebih mendalam untuk mempersiapakan tuntutan dalam perundingan. Diskusi dengan skala yang lebih luas juga diselenggarakan untuk membentuk komite pelaporan yang diusulkan. Tapi diskusi tersebut belum melihat jauh ke dalam, dan mungkin terlihat samar di mata anggota baru, sementara gerakan menjadi lebih inklusif sehingga, tidak diragukan lagi, mengorbankan hal-hal detail.

Pada akhirnya, yang kupahami, bahwa percobaan tersebut merupakan bibit baru dalam demokrasi, yang mencakup eksperimen dalam berbagai kombinasi dan bentuk pengambilan keputusan yang sesuai dengan tujuan gerakan yang lebih luas. Mengapa hal tersebut dianggap prinsipil atau harus percaya-diri pada sebuah bentuk majelis jika memang tidak terbukti berguna untuk mencapai tujuan tertentu?

Mungkin sekarang adalah saat yang paling tepat untuk memikirkannya, atau kah kita harus memfokuskan sebagian besar sumber daya kita yang terbatas untuk meningkatkan mobilisasi pendudukan gedung—karena telah disakralkan sedemikian rupa—sebagai cara yang paling efektif untuk menumbuhkan gerakan. Atau apakah akan lebih baik bila kita tidak mendahului mencari jalan lain, atau lenyap perlahan-lahan dengan mengalihkan fokus kita; tidak hanya dengan mengalihkan semangat Maagdenhuis ke dalam fakultas, tapi juga membangun organisasi yang berkelanjutan dan aktif di sana.

Adalah penting untuk melanjutkan inisiatif mengaktifkan staf seperti dalam Persatuan Aksi Fakultas yang akan diselenggarakan pada tanggal 20 bulan ini, dan melakukan gerakan sekarang juga untuk membuka hubungan dengan unsur-unsur kolektif terorganisir lainnya di sektor publik sebagai langkah penting menuju pembangunan gerakan yang mencakup lebih dari satu tempat saja, dan mendesak pertanggungjawaban di setiap tahapannys, baik di dalam maupun di luar universitas.

Tekanan

Sangat disayangkan bahwa gerakan tersebut dimulai dengan tidak sepenuh hati sehingga menjauhkan diri pada sorotan-target. Louise Gunning, Ketua Dewan Eksekutif yang menduduki kursi panas cukup lama, cukup masuk akal untuk dikorbankan demi menyelamatkan anggota Dewan lainnya. Sudahkah kita manfaatkan ketidakpopuleran dalam dirinya, sehingga gerakan ini bisa berhasil mendorong pengunduran dirinya. Perbedaan dengan situasi saat ini, alih-alih berbicara dengan Dewan yang kuat dan bersatu, kita bisa saja meraih kemenangan sementara dan kembali membicarakan hal yang sama dengan Dewan yang telah terpecah, dengan demikian kita memiliki posisi yang relatif lebih kuat.

Hanya dengan cara yang sama seperti saat mengungkapkan citra kaum 1%, maka akan diperoleh cara yang sangat efektif untuk menghadapkannya sebagai tandingan bagi kaum 99%, yang memiliki musuh bersama dalam politik pencitraan di mata publik, dan dalam rangka membangun tindakan dengan tujuan yang jelas. Tetapi hal tersebut lebih dari sekadar perangkat sinisme. Hal tersebut dapat membantu meningkatkan tekanan pada saaran. Dewan telah berhasil menggunakan momen tersebut untuk menyelinap ke belakang layar entitas tak berbentuk tersebut, dan itu dilakukan sebelum untuk pertama kali mahasiswa mempertanyakan otoritas keanggotaannya. Ketimbang menunjukkan kepercayaan diri dalam mengendalikan pesan tersebut, kami telah membuatnya menghilang dari sorotan akibat ketakutan kita dituduh tidak bermain dengan bagus. Intinya, kita tidak boleh berhenti pada Gunning atau Dymph van den Boom, tetapi menjadikannya pengalaman dalam menghadapi persoalan, dan untuk menunjukkan bagaimana menempatkan dan melangkah setelah Gunning dan van den Boom berkuasa.

Keselarasan

Keengganan mempolarisasi (mengkutubkan) perspektif dan berkonfrontasi dengan kekuasaan pastinya terjadi disebabkan sebagai bagian dari tradisi politik Belanda yang menyejarah, yang berurat akar, pada keputusan mengambil jalan kompromi. Tapi, aku juga memiliki kecurigaan bahwa staf akademik, khususnya, kemungkinan secara agak menyakitkan mengalami pergeseran subjektivitas politik. Kelihatannya sebagian besar dari kita masih belum mematahkan pemahaman umum akademisi (gambaran yang masih kuat di masyarakat luas juga) sebagai komunitas produsen pengetahuan, tempat di mana semua pihak memiliki kepentingan yang sama dan hidup dalam keseralasan, ketimbang tempat beberapa perbedaan kecil. Sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman masa lalu dan sayangnya, dalam kasus pendudukan ini, juga demikian lah adanya. Dan gejala tersebut menjadi sesuatu yang semakin jelas bagiku, di tempat kerjaku saat ini, di UvA.

Bila diamati alur pada tahun yang lalu, rekan-rekanku dan aku memulainya dari sebuah kelompok kecil yang merasa tidak puas, bertemu secara diam-diam dan hati-hati di sebuah ruang kelas, dan berencana mengadakan pertemuan terbuka yang dihadiri oleh sebagian besar staf. Karena kami yang membentuk sturuktur dan menggalang ketidakpuasan, kami, sebelum terjadi kenaikan gerakan Maagdenhuis ini, diaktifkan oleh perkembangan proses yang cukup lancar dan runut-utuh. Kami sudah tahu apa yang menjadi keprihatian kami, dan segera menyadari bagaimana keprihatinan kami cocok dengan tuntutan utama gerakan yang lebih luas. Hasilnya lanjutannya adalah, untuk pertama kalinya, dalam setiap pertemuan staf yang membahas tentang manajemen, termasuk yang diadakan baru-baru ini, konflik kepentingan menjadi semakin jelas.

Dalam membicangkannya, enntah itu mengenai bagaimana kita mengevaluasinya, atau tentang kebutuhan akan dukungan dari staf, atau juga tentang komunikasi kebijakan baru, ketegangan yang mendasarinya menjadi semakin jelas: evaluasi tidak hanya dilakukan untuk meningkatkan kualitas tapi juga digunakan sebagai ukuran hukuman dalam menentang kami: staf diminta untuk memenuhi tuntutan yang lebih tinggi, tapi tanpa (dukungan) investasi tambahan (karena: kotak hitam yang disebut “anggaran”), dan kebijakan baru dikomunikasikan dari atas ke bawah, meskipun staf telah bersuara menentangnya. Memiliki kolektif lokal yang bersuara membuat kami berani mulai mengungkapkan perselisihan penting tersebut dan, dari hari ke harinya, tak boleh mati hanya karena penyingkiran. Tindakan tersebut merupakan permulaan yang diharapkan guna memberikan kesadaran yang lebih luas tentang hakikat hubungan-hubungan yang tercipta ketika kami bekerja di bawah hak istimewa manajemen.

Jadi, jika Anda bertanya padaku, kita perlu menempatkan usaha untuk mengorganisir pandangan kita dalam mencapai tujuan dan perencanaan yang lebih besar, melampui agenda majelis ad hoc kita. Kita harus menggunakan sumber daya kita untuk melakukan mobilisasi luas dan menggunakan cara yang paling efektif untuk mencapainya. Dan kita butuh terus menggeser keseimbangan kekuasaan ke arah yang menguntungkan kita. May Day (1 May) mendatang di Belanda akan menjadi saat yang tepat untuk menyelaraskan perjuangan di universitas dengan perjuangan serikat buruh demokratis yang secara politik berbobot. Orientasi aksi dari kedua kekuataan tersebut sedang bekerja menuju saat yang penting tersebut. Ayo kita membuat sejarah terulang kembali di Maagdenhuis, dan keluar sebagai pemenang.

Sumber: http://roarmag.org/2015/03/maagdenhuis-new-university-struggle/

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *