Memproyeksi Periode Pasca Pasca-Orde-Baru (Bagian 2)

Memproyeksi Periode Pasca Pasca-Orde-Baru (Bagian 2)

Oleh: DR. Max Lane

Artikel ini merupakan salah satu Bab dari buku yang diterbitkan pada 2014, berjudul “Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca-Reformasi” disusun oleh  Usman Hamid, AE Priyono. Artikel ini dirampungkan pada pertengahan 2013. Penerbitan artikel ini telah seijin penulis artikel dengan tujuan untuk pendidikan dan penyadaran.

Politik Pasca Pasca-Orde-Baru

Pengorganisasian kembali kelas pekerja Indonesia
Kelas buruh Indonesia berperan penting dalam gerakan memaksa Suharto turun. Aksi bersama kaum buruh dan mahasiswa serta gerakan mogok dengan tuntutan high-profile selama tahun 1990an mempelopori suasana pemberontakan. Suasana ini menciptakan munculnya ratusan ribu massa yang siap turun ke jalan untuk menuntut kebutuhan kelasnya – demokrasi – yang juga didukung oleh kelas buruh Indonesia. Mereka tidak bergerak di bawah bendera serikat buruh ataupun partai buruh. Memang pada tahun 1990an bentuk kekuatan sosial-politik yang sempat berkembang ialah organisasi-organisasi sementara, wadah-wadah ad hoc, sampai juga termasuk respon bersama terhadap seruan-seruan selebaran. Inilah cikal-bakal untuk munculnya serikat-serikat alternatif terhadap organisasi resmi buruh masih sangat yang dikendalikan pemerintah. Pengamatan ini menjadi penting karena fungsi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) ketika itu terutama adalah sebagai perpanjangan tangan kekuatan negara dan dunia usaha. SPSI tidak memfasilitasi kelas buruh mengorganisir diri bersama-sama, justeru sebaliknya.

Pada tahun 1998 bukan hanya kroni yang kehilangan dukungan kekuatan represi militer. Serikat buruh SPSI dengan elitenya dan strukturnya juga tidak lagi dilindungi negara. Bahkan Presiden Habibie bergerak sangat cepat untuk melepaskan SPSI dari kontrol pemerintah. Selama sekitar periode 1998-2008 dunia serikat buruh, termasuk berbagai elemen SPSI, berkembang dengan dinamika-dinamikanya sendiri. Tidak semua dinamika ini tampak kelihatan bagi yang mengamati dari luar, tetapi jelas bergairah meski penuh kontradiksi.

Tampak sangat jelas bahwa apa yang sedang terjadi di sektor buruh formal dan serikatnya merupakan pengorganisiran diri kembali dari sebuah bagian dari kelas sosial proletar yang memiliki ratusan ribu anggota, sumberdaya, serta juga posisi, yang strategis dalam proses perubahan ekonomi-politik negeri ini. Ini merupakan faktor – meski masih seawal-awalnya – yang sama sekali baru dalam perpolitikan Indonesia saat ini. Saya menduga, situasi tahun 1920an bisa berulang kembali dalam versi modernnya pada periode pasca 2014. Sudah pasti ini akan berdampak radikal bagi kehidupan politik kepartaian. Pertanyaan pentingnya adalah: siapa yang paling siap mengambil manfaat dari situasi ini? Kapan dan bagaimana akan muncul sebuah partai buruh massa di Indonesia yang situasi-situasi kelahirannya akan menjadi semakin matang dalam waktu yang dekat ini?

Segelintas struktur kelas sosial Indonesia

Sejak abad 19 (atau sebelumnya) negeri-negeri Nusantara sudah terintegrasi ke ekonomi dunia. Ekonomi koloni Hindia Belanda cepat transformasi menjadi ekonomi kapitalis, meskipun kolonialisme tidak memungkinkan revolusi industri menyebar juga ke Hindia. Ketika Indonesia merdeka, ekonominya sepenuihnya sudak kapitalis tetapi tanpa industry, berarti tanpa kemampuan memproduksi capital dengan skala besar. Indonesia berkembang sebagai negeri kapitalis dengan dua kelas utama: kelas kapitalis dan kelas proletar. Tetapi dengan tidak berkembangnya industri sesungguhnya (industri berat dan sedang dengan skala besar dan berbagai mertode organisasi produksi yang ilmiah), kelas kapitalis Indonesia tidak berkembang tetapi stagnan kerdil. Majoritas adalah kapitalis-kapitalis kecil yang lokal.

Bukan hanya itu. Juga terpilihara sejumlah besar sekali orang desa yang “marhaen” – memiliki “alat produksi”, termasuk sepetak tanah, tetapi tidak signifikan kemampuan teknologinya, sehingga tetap miskin dan gampang dieksploitasi. Ini adalah kaum petani. Kapitalis yang SAMA SEKALI tidak memliki kapitalis. Secara realitas sosial lebih dekat pada kelas proletar.

Kelas proletar di Indonesia sejak dulu sampai sekarang terbagi mereka yang bekerja di sektor formal yang produktivitas (tenaga kerjanya) relatif tinggi dan yang lainnya yang bekerja di usaha mikro (atau bahkan kerja sendirian) yang produktivitasnya rendah sekali. Majoritas yang besar dari dulu sampai sekarang pula adalah proletar yang di sektor yang kedua: sector usaha kecil berpoduktivitas rendah. Sekali lagi ini adalah konsekwensi tidak terjadinya industrialisasi yang sesungguhnya di Indonesia. Dewasa ini hanya kurang lebih 5 juta daripada 120 juta angkatan kerja Indonesia menjadi p;egawai di usaha sedang atau besar yang mampu memanfaatkan mesin-mesin yang beroperasi dengan skala besar dan produktifitas tinggi. Sebagian besar proletar Indonesia adalah proletar informal, bekerja sendiri atau bekerja di usaha-usaha sangat kecil. Pekerjaannya juga tidak tetap. 100 juta proletar ini – yang sering diberi julukan tidak ilmiah tetapi deskriptif ‘kaum miskin kota’ – sangat macam-macam pengalaman sosial dan ekonominya. Dan mereka tidak bisa diorganisir atgau mengorganisir diri di lokasi kerja. Hampir tidak mungkin mereka akan dirikan serikat pekerja.

Dari yang lima juta yang di sector formal usaha sedang dan besar, sekitar 3 juta tercatat sebagai anggota serikat buruh dengan Departemen Tenaga Kerja. Sektor ini sebenarnya sudah mencapai tingkat pengorganisiran yang sangat lumayan – meski masih jauh juga dari tuntas.

Selama Orde Baru, SPSI memang terutama perpanjangan kekuasaan negara Orde Baru mengatur supaya jangan kelas buruh berorganisasi. Ideologi ‘resmi’ SPSI ialah ‘karyawanisme’, yaitu bahwa buruh bisa bekerja sama secara tripartite dengan pengusaha dan rejim. Tidak perlu ada pertentangan. Ideologi ini ditambah dengan intervensi pemerintah, pengusaha dan aparat keamanan dalam kehidupan “serikat buruh” ini melahirkan julukan “serikat kuning”, artinya serikat gadungan. Pada saat yang sama, serikat-serikat ini memang exist secara formal. Ada struktur formalnya dengan pengurus-pengurus, ada legalitas, ada rekening bank dan kadang-kadang ada kantornya. Ketika Habibie melepaskan serikatnya dari beking rejim, semua struktur-struktur ini harus jalan sendiri. Tidak mengherankan bahwa sesudah 20 tahun sebagai alat kekuasaan, mula-mula banyak kebengongan dan kebingungan. Tetapi kemudian berkembang sebuah proses yang tercerminkan oleh pecahan, pergantian pengurus, penambahan serikat unit kerja, pemindahan serikat unit kerja dari satu serikat kepada yang lain, lemudian terbangun federasi baru, alliansi baru dan konfederasi baru. Dalam proses ini jelas ada pengurus lama yang hilang dari peredaran, ada yang bertahan, ada banyak sama sekali baru. Tenti saja semakin berjarak waktu dengan Orde Baru, semakin bertambah pengurus dan aktivis yang baru.

Proses ini jelas sangat kompleks dan ribet, menjangkau organisasi yang berkeanggautan jutaan orang. Saya sendiri tidak mengerti semua perubahan-perubahan yang terjadi ataupun peta politik sepenuhnya dari puluhan serikat yang ada sekarang. Tetapi ada hal-hal yang jelas.

  1. Tingkat pengorganisiran sudah sampai menjangkau jutaan orang dan bahwa sebagian besar ini sudah teratur membayar iuran sehingga serikat bisa berkembang cukup solid dan professional.
  2. Bahwa dengan terjadinya Mogok Nasional Oktober 3, 2012; penututpan kawan industri beberapa kali di JABOTABEK dan juga di Batam; dengan terjadinya fenomena ‘gerunduk’ antar pabrik; dengan peningkatan statistik mogok pada umumnya; dan sudah dua kali mobiliasi May Day yang semakin besar (60 ribu 2012 dan 200 ribu 2013) sudah jelas juga bahwa kesadaran politik sector ini semakin terbuka untuk militansi dan berkampanye.
  3. Bahwa dengan terjadinya mobilisasi buruh berapa kali dalam mendukung kampanye Rieke Pitaloka; dengan intervensi FSPMI Batam di politik lokal pemilihan DPRD; dengan ide Forum Buruh Bogor mencalonkan seorang pengurus serikat buruh sebagai Bupati Bogor; dengan semakin ada sentimen untuk “go politik” tercerminkan di berbagai sosial media yang di pakai kaum buruh, juga kelihatan bahwa sebagian kelas buruh yang sedang berorganisasi kembali ini juga sedang memikirkan kebutuhan untuk mendirikan atau memiliki sebuah partai buruh.

Sementara ini terkesan bahwa sentiment ingin adanya wadah politik ini tidak berkembang karena sebuah biat ideologis. Sentimen ini berkembang karena terasa jalan buntunya berkampanye hanya dengan cara serikat buruh. Kita hanya perlu memikirkan satu contoh saja dalam hal ini (meski pasti banyak contoh). Dua tahun kampanye dengan mogok dan grunduk bisa mencapai keputusan formal kenaikan upah minimal yang cukup bagus (untuk kenaikan dalam satu tahun). Tetapi kenaikan ini tidak sesungguhnya bisa diterapkan di realitas, karena negara tidak serius menjalankannya. Negara lebih berpihak pada pengusaha. Tanpa kekuatan riil dan besar di dalam pemerintahan, kemenangan di lapangan tidak bisa dijadikan riil dinikmati kaum pekerja dan keluarganya. Situasi dan logika ini yang mengakibatkan kesadaran: di antara semua partai yang ada, tak ada dimiliki rakyat buruh. Ini paling dirasakan oleh buruh serikat yang sudah berpengalaman berjuang tetapi kemudian jalan buntuh.

Tetapi jelas sentiment tersebut tidak berkembang merata di antara seluruh keangguataan, apalagi pengurus; apalagi mengingat bahwa masih ada juga pengurus warisan SPSI zaman Suharto. Sudah jelas proses untuk mencapai diluncurkan sebuah partai rakyat buruh yang dipelopori oleh gerakan serikat buruh akan harus melewati berbagai pergulatan, perdebatan dan konflik. Dan semua ini belum mulai dengan sesungguhnya, baru di ambang pintu pergulatan. Memang kancah pergulatan utama pasti akan diantara massa pekerja yang dibawah naungan serikat-serikat Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI), termasuk Federasi Pekerja Metal Seluruh Indonesia (FPMSI). Dari jauh dan dari luar, sulit untuk meramalkan persis bagaimana akan berkembang. Hanya, yang bisa dicatat, MPBI dan anggautanya dan serikat besar lainnya tidak akan bisa melarikan diri dari logika situasi. Masalah alat politik buat gerakan serikat buruh yang sudah menjadi riil itu hanya akan bisa dijawab dengan membentuk sebuah partai rakyat buruh yang bisa memperjuangkan kekuasaan untuk memenuhi tuntutan serikat buruh.

Dengan situasi sudah mencapai ambang pintu pergulatan seperti digambarkan di atas, berarti Indonesia juga sudah masuk ke periode pasca Pasca Orde Baru, di mana kita akan mulai melihat kekuatan sosial (social forces) menjadi pelaku dalam perubahan dan bukan lagi pengkelompokan perorangan. Sampai saat ini hanya kekuatan sosial yang berusaha membendung atau memoderasi perubahan yang sempat berperan, belum yang akan ingin melakukan perubahan.

Dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru ini akan merupakan perubahan radikal, bahkan secara budaya dan kehidupan politik, perubahan revolusioner. Memang sebuah partai rakyat buruh pro-kesejahteraan ala ‘welfar state’ secara yang mau bergerak di bidang elektoral bukan sesuatu yang pada akar masalahnya radikal atau revolusioner. Tetapi munculnya sebuah partai politik yang tergerakkan oleh kebutuhaqn massa grass roots akan langsung berbenturan dengan semua elit politik dan bisnis, dan partai-partainya yang ada dan berbenturan pula dengan ideologi dan budaya lama warisan Orde Baru. Jadi jangan kita heran juga kalau diantara pimpinan maupun massa serikat-serikat MPBI dan lainnya akan juga kelihatan sering ada momen-momen keragu-raguan dalam proses meluncur kearah membangun alat politiknya. Akan dibutuhkan argument-argumen ilmiah dan masuk akal untuk menjadi senjata dalam hal membangun keberanian menjalankan perubahan ini. Taka pa-apa. Dalam sejarah selalu terjadi selama ini.

Pelaku di luar gerakan serikat-serikat MPBI dan sejenisnya.
Seperti diuraikan diatas, serikat buruh sector formal (usaha skala sedang dan besar) mungkin berjumlah 5 juta daripada 120 juta angkatan kerja – dan 230 juta orang Indonesia (yang bertambah 2-3 juta setiap tahun). Sektor ini kecil sebenarnya, tetapi sangat strategis karena tenaga kerja mereka produktif sekali (karena diintegrasi dengan teknologi produksi skala besar). Sektor ini adalah sumber terbesar vakue added dalam ekomoni riil Indonesia. Juga karena mereka bisa menguasai tempat kerja skala besar dan bisa memberhentikannya, posisi tawarnya semakin kuat. Tetapi jelas juga bahwa proses-proses politik periode pasca Pasca Orde Baru tidak akan berkembang “matang” kalau terpisah daripada atau tidak melibatkan semua lapisan masyarakat lainnya yang berkepentingan. Dalam esei pendek ini tidak mungkin saya mensurvei semua sector 200 juta rakyat ini. Saya akan membatasi diri mengkomentari kemungkinan peran daripada elemen-elemen political agency (pelaku proses politik) yang berkedudukan strategis di pembukaan periode pasca Pasca Orde Baru ini, yaitu kekuatan-kekuatan yang pada dasarkan oleh ideologi pro-reformasi yang kemunginan bisa cocok dengan sebuah partai rakyat burh yang lahir dari proses-proses pengorganisiran kembali sektor tertentu kelas pekerja Indonesia ini.

Bukan hanya 33 tahun kekuasaan Orde Baru meninggalkan warisan. 25 tahun protes dan perlawanan – sejak gerakan mahasiswa 1973 dan munculnya W.S. Rendra sebagai penyair protes – juga meninggalkan warisan. Periode gerakan pro-demokrasi tahun 1990an meninggalkan warisan sebuah dunia aktivisme pro-demokrasi, pro-Ham, pro-pembebasan wanita, pro “social transformation”, pro-pluralisme dan banyak lagi. Bahkan juga ada yang pro-sosialis. Meskipun juga sangat awal dan belum terlalu besar, banyak dan luas, kelihatan semakin bertumbuh. Semua elemen-elemen ini, dengan ratusan organisasinya (rata-rata kecil) belum berhasil menciptakan sebuah dinamika politik. Ini terutama ialah bahwa meskipun lelihatan banyak, karena belum merupakan atau berhubungan organik dengan re-organising social forces, kemampuannya terbatas. Kekuatan-kekuatan ini tetapi merupakan sekadar berbagai kelompok perorangan-perorangan– di tengah-tengah sebuah negeri berpenduduk 230 juta orang.

Dari semua kelompok ini yang paling menyadari kepentingan kekuatan sosial adalah mereka yang terinspirasi oleh ideologi-ideologi yang mendukung mobilisasi massa. Dalam sejarah Indonesia sejak tahun 1990an, Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang paling menghayati dan mencoba menjalankan perspektif ini, terutama dari tahun 1992 sanmpai dengan 2007. Sejak tahun 2007, sesudah PRD pecah berapa kali, terlahirkan berbagai organisasi baru yang berusaha meneruskan perspektif tersebut dengan caranya sendiri-sendiri. Selain yang berasal-usul dari PRD juga ada yang muncul dari sayap progressipnya gerakan mahasiswa 1998 Forum Kota dan juga yang terinspirasi oleh gerakan petani di Filipina dan Indonesia dulu. Meskipun aktivis full-time dari berbagai kelompok ini tidak banyak – mungkin ratusan – mereka sudah dan bisa berperan penting ke depan.

Pertama, semua kelompok ini menaruh perhatian ke gerakan buruh. Semua kelompok ini sudah berhasil membangun serikat buruh (meskipun relative kecil). Sebagian besar dari serikat buruh yang dikembangkan leh kelompok aktivis ini sudah bersatu di organisasi Serikat Bersama Buruh (SEKBER BURUH). Kelompok ini semua memliki media baik terbitan ataupun website. Rata-rata semua mengadvokasi mobilisasi massa dan juga salah adtu versi daripada ideologi sosialisme dan demokrasi partisipatif. Ada juga banyak kelompok dan individual yang juga sentimennya ataupun pikriannya kurang lebih kearah yang sama, atau, minimal, tidak terbuka pada pikiran seperti itu, termasuk di kampus. Tetapi kelompok yang say asebut di atas ini penting karena sudah sistematik dan lama berkegiatan dan, terutama, ada fokus pada serikat buruh. Tetapi juga ada tantangan baru berhubungan dengan gejala-gejala periode pasca Pasca Orde Baru.

Serikat buruh non-rejim baru dicoba dibangun di Orde Baru di awal tahun 90an. Ada Setiakawan, kemudian Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), yang didirikan orang-orang PRD. Kemudian ada Serikat Sejahteraan Buruh Indonesia (SBSI) didirikan Mokhtar Pakpahan dan teman-temannya. Semua serikat ini didirikan untuk dipertentangkan dengan serikat kuning perpanjang tangan kekuasaan repressif. Memang pada periode itu tak aka nada gunanya berusaha bekerja di dalam, bekerja melalui atau bekerjasama dengan SPSI. Tetapi 10 tahun sesudah Orde Baru runtuh, situasi sudah berubah. Sudah ada serikat-serikat buruh yang anggautanya ratusan ribu orang, bahkan jutaan, yang tidak lagi menjadi perpanjangan tangan rejim. Serikat-serikat MPBI dan serikat-serikat besar lainnya adalah tempat habitat dan aktivisme ratusan ribu pekerja Indonesia. Taktik lama untuk mempertentangkan (counterpose) serikat yang dipimpin atau dipengaruhi oleh aktivis radikal dengan yang besar sudah tidak berlaku. Dulu “yang besar”, hanya besar diatas kertas. Anggautanya tidak bebas aktif. Sekarang situasi sudah baru. Yang besar memang belum tentu radikal. Pasti banyak anggautanya jug atidak puas dengan keadaannya dan ingin memperbaikinya sesuai dengan kesadaran yang ada. Proses pengorganisiran kembali kelas buruh (atau salah satu bagian daripadanya) masih pada awal. Situasi masih relatif cair. Kemungkinan membentuk sebuah gerakan buruh yang bersatu secara luas masih mungkin. Mendorong dan mendukung persatuan semua serikat buruh di dalam satu gerakan serikat pasti akan merupakan langkah yang positip buat demokrasi. Dan juga sekaligus akan lebih memungkikan terlahirkan sebuah partai rakyat buruh yang besar dan demokratis terbuka (karena pasti akan ada berbagai kebhinekaan di dalamnya). Seruan untuk adanya partai baru dari rakyat tidak bisa abstrak ataupun beranggapan bahwa kelompok-kelompok aktivis dan “basis-basis”nya merupakan “awal” dari partai tersebut. Serian dan sikap harus merespons situasi baru di atas.

Contoh perubahan situasi periode baru yang saya sentuh di atas ini penting. Proses merealisir potensiil perubahan dengan adanya social forces yang muklai berorganisasi kembali ini akan sangat membutuhkan dorongan dan dukungan yang maksimal dan bersahabat dari luar – yaitu dari luar sektor buruh formal tersebut. Mengapa? Coba bayangkan. Meskipun mereka menempati tempat strategis, sektor ini tetapi hanya 5 juta daripoada 120 juta. Dan meskipun konsepnya sangat moderat “pada essensi”nya – sebuah partai elektoral massa yang pro-“welfare state – dalam prakteknya konsep ini sepenuhnya berlawanan dengan system elitis yang berlaku. Akan membutuhkan dorongan dan dukungan yang maksimal, baik dari kelompok2 aktivis radikal, mauopun seluruh sektor demokratis dan kerakyatan. Ini merupakan jenis tantangan baru untuk golongan yang ingin perubahan kearah keadilan sosial, pembaharuan dan demokrasi yang lebih lengkap.

Situasi pembukaan periode Pasca Orde Baru ini menuntut sikap jelas dari semua orang, bukan dalam hal wacana, tetapi dalam hal real-politik: apakah mendukung secara riil gerakan serikat buruh yang sudah muncul (MPBI, SPSI, FSPMI, Sekber dan semuanya) dan mendorong persatuannya dan apakah mendukung, dan kemudian mendorong segala dinamika bagaimanpun munculnya yang menuju kearah kekuatan-kekuatan yang sudah berkembang itu berlangkah lebih maju mendirikan sebuah partai rakyat yang demokratis dan pro-kesejahteraan rakyat banyak. Dengan mengerakkan suara maupun pembuatan dukungan dan dorongan kemungkin partai itu menjadi besar, demokratis dan terbuka akan semakin mendekati realitas.

Mungkin akan ada yang bertanya: kemudian program selengkap-lengkapnya sebuah gerakan dan partai seperti itu apa? Ideologinya apa, selain memenangkan tuntutan-tuntutan kesejahteraan yang mendesak? Pertanyaan ini hanya menjadi pertanyaan riil dan penting, kalau elit politik dan bisnis produk Orde Baru dan periode pascanya tidak lagi memonopoli sendirian dunia kehidupan politik negeri. Rakyat banyak Indonesia harus memiliki alat politiknya sendiri dulu. Pekerjaan yang lainnya, dengan proses-proses dan pertarungan sendiri, pasti akan dikerjakan kalau ada demokrasi yang lebih terbuka dan rakyat yang lebih aktif. Selesai***

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *