Harus: Kerjasama dan Kesatuan Serangan!

Image

Oleh: Surya Anta*

 

 

Rumus yang harus digunakan adalah rumus yang dikemukakan oleh ahli taktik besar Napoleon Bonaparte, yang kerap diulangi oleh Lenin: “on s’engage et puis on voit”—kita ikut bertempur dulu, baru kita lihat nanti.” Ernest Mendel-Sosialisme dan Masa Depan

 

“Namo bisa jadi aras, Aras bisa jadi namo” Hari ini Bisa Saja Kita Kalah, Tapi Besok Kita Pasti Menang.—Kiras Bangun (Si Garamata/Si Mata Merah)

 

 

 

Sebagai isu, kenaikan harga BBM bukan lah isu yang baru dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia sejak akhir kekuasaan Soeharto hingga saat ini. Dengan demikian, wajar apabila sebaran perlawanan kenaikan BBM tak lagi sekadar di kota-kota geopolitik perlawanan rakyat (Jabodetabek, Surabaya, Medan, Makasar, Semarang, Bandung, Yogyakarta, dan Semarang) tapi menyebar hingga ke pelosok kota-kota kecil seperti Jambi, Ternate, Serang, dsb. Hal tersebut menguatkan kesimpulan, pertama, budaya aksi massa, organisasi perlawanan, komite dan persatuan menyebar luas; kedua, sebaran kemerosotan kesejahteraan meluas di mana-mana.

 Namun, meski aksi menolak kenaikan BBM adalah isu yang bisa mempersatukan seluruh elemen masyarakat karena imbasnya terhadap seluruh sektor masyarakat, akan tetapi dalam sejarahnya hanya beberapa kali saja aksi massa berhasil menunda kenaikan harga BBM. Tapi penundaan bukan penggagalan, karena pada akhirnya rezim menemukan banyak cara untuk menaikkan harga BBM. Apakah dengan cara menaikkan harga Pertamax, dan menyubsidi minyak tanah dan premium atau menaikkan di saat menjelang puasa dan lebaran atau saat mahasiswa disibukkan dengan ujian, atau menyogoki pimpinan organisasi rakyat untuk tidak memobilisasi massanya, atau baru-baru ini dengan merubah APBN 2013 dengan mengalihkan subsidi BBM ke subsidi infrastruktur—dengan dalih “suara rakyat” dan “menyejahterakan rakyat”.

 

Sandiwara Politik

Harga BBM berhasil dinaikkan. Premium akan naik hingga Rp. 6500 per liter. Kenaikan tersebut dibungkus dengan rumus merubah APBN-P. Sekali lagi, koalisi gabungan partai pendukung pemerintah memenangkan pertarungan politik ini. Ada 4 partai yang menolak, di antaranya PKS, PDIP, Gerindra, dan Hanura. Meski  keempat partai tersebut kalah tapi tak sedikit rakyat yang tidak tertipu dengan “politik pura-pura” tersebut.

Mari kita lihat, Gerindra, misalnya, sebagai partai yang menyatakan diri “nasionalis dan pro rakyat” di parlemen menyatakan menolak, tetapi dewan pembina dan calon presidennya,  Prabowo “pelanggar HAM” Subianto ini, menyatakan diri setuju dengan kenaikan BBM. PDIP, sebagai partai yang katanya  partai “wong cilik”, dan berjanji akan memobilisasi massa 15 ribu anggotanya untuk membantu memberikan tekanan kepada DPR agar harga BBM tak naik, pada kenyataannya tak memobilisasi massanya. Padahal jumlah anggota fanatis PDIP sangat lah besar. Sekali lagi, ini lah politik “pura-pura tolak”.

Lain halnya dengan Partai Keadilan Sejahtera, sebagai partai yang menjadi anggota Koalisi Partai pro pemerintah di satu sisi, dan di sisi lain pamornya tengah turun, karena kasus korupsi daging sapi yang melibatkan mantan Presiden PKS dan Fathanah, harus memainkan “politik pura-pura” yang paling kentara, yakni dengan menolak kenaikan BBM. Padahal sebelumnya PKS mendukung kenaikan BBM.  “Politik dua kaki” alias politik oportunis ini harus mereka lakukan demi menyelamatkan popularitas PKS pada pemilu 2014 yang akan datang.

Begitu pula dengan Hanura, partai yang dibesarkan oleh Jenderal “Pelanggar HAM” Wiranto ini nampaknya kencang menyatakan menolak  kenaikan BBM, tapi tak pernah ada seruan dari Wiranto agar anggota Partai dan Ormasnya untuk turun ke jalan bersama rakyat. Sudah jelas, tak mungkin BBM gagal dinaikkan tanpa turun ke jalan bersama rakyat. Sejarah sudah menunjukkan bagaimana Aksi Massa lah yang membuat BBM ditunda kenaikannya.

Jadi, sekali lagi, bagi kami, DPR baik partai pendukung maupun penolak kenaikan BBM, hanya mempertontonkan sandiwara politik. Dan rakyat sudah semakin jenuh dengan tingkah polah penuh tipu daya dari elit dan partai politik borjuis tersebut.  Begitu pula di sisi lain, sandiwara politik tersebut memperlihatkan kepada kita semakin jelas, bahwa peta perpolitikan di parlemen adalah homogen. Meskipun dengan nama, bendera, “ideologis”, warna yang berbeda-beda, sesungguhnya partai politik di parlemen bukan lah representasi dari rakyat, melainkan representasi dari kepentingan elit; kepentingan klas kapitalis; dan, kepentingan modal asing.

 

Kekerasan Negara

Sementara di gedung DPR, anggota parlemen memainkan politik sandiwara, di jalan-jalan rakyat memobilisasi diri menolak kenaikan BBM. Tapi, penolakan kenaikan harga BBM disambut oleh aparatus kekerasan negara: tentara dan polisi, dengan peluru, pentungan, dan gas air mata. Kekerasan lah yang diberikan oleh negara terhadap rakyatnya. Di depan DPR saja, misalnya, atas nama ketertiban dan protap aksi massa yang tak boleh lebih dari jam 6 malam, aksi massa dari berbagai elemen buruh, mahasiswa, dsb, dipukul mundur oleh tentara dan polisi dengan menggunakan pentungan, peluru karet, dan gas air mata.

Kekerasan tidak hanya terjadi di depan DPR. Di Medan, aksi massa dipukul mundur hingga kampus  Universitas Nomensen, 87 orang massa aksi ditangkap, dan puluhan lainnya masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Polisi memukul dengan alasan pengrusakan terhadap KFC (Kentucky Fried Chicken).

Wartawan juga menjadi korban kekerasan. Di Jambi, seorang Jurnalis dari TransTV menjadi korban kekerasan polisi, begitu pula seorang jurnalis di Ternate. Jelas polisi melanggar undang-undang kebebasan pers. Dalam UU Kebebasan Pers, jurnalis mendapatkan perlindungan dan kebebasan untuk mendapatkan informasi dan menyebarluaskan informasi. Tapi apa yang dilakukan oleh Tentara dan Polisi dan tindak kekerasannya menunjukkan bahwa polisi dan tentara melanggar kebebasan pers.

Kekejian polisi dan tentara juga ditunjukkan di Ternate. Aksi Massa dari berbagai organisasi kampus, perempuan, dan kelompok demokratik, dipukul mundur pada hari pertama aksi dan juga pada hari kedua (setelah kenaikan BBM). Lebih dari 8 orang mahasiswa menjadi korban kekerasan pada hari pertama aksi. Pada hari kedua (19/06/2013), puluhan massa aksi ditangkap dan dipukuli oleh polisi dan tentara. Aksi masih berlanjut hingga tulisan ini ditulis. Dan kekerasan polisi masih berlanjut di Kampus Unkhair, Ternate.  

 Dalam 2 kali aksi BBM terakhir, polisi dan tentara menggunakan tindak kekerasan dengan kadar yang lebih diperbandingkan daerah-daerah lain agar ada stabilitas politik demi stabilitas investasi. Seperti yang kita ketahui, Ternate, merupakan daerah timur yang juga kaya akan bahan tambang dan laut. Ternate masuk dalam salah satu koridor MP3EI oleh karenanya  stabilitas investasi harus dibangun dengan cara apapun, termasuk kekerasan!

Tentara, Polisi, Parlemen, Pemerintah bahkan Media, memukul aksi massa dengan caranya masing-masing. Tapi ada satu hal yang menyatukan mereka semua yakni: tuduhan Anarkis. Tanpa mengerti makna sebenarnya, tujuan sebenarnya bukan sekedar memukul namun lebih jauh adalah mencerai-beraikan persatuan rakyat. Kita tak boleh tertipu dengan black propaganda semacam itu. Bahwa benar sasaran sebenarnya bukan lah KFC tetapi pusat-pusat kekuasaan. Dan metodenya bukan pengrusakan melainkan pendudukan. Kita harus terus mengingatkan rakyat bahwa persatuan rakyat lah yang utama, jangan mau dicerai-beraikan dengan black propaganda.

Taktik lain yang digunakan tentara dan polisi adalah memobilisir “warga”. Di Makasar misalnya, aksi-aksi mahasiswa dari tahun ke tahun kerap dipukul dengan isu anarkis dan pemobilisasian “warga”—yang besar kemungkinan adalah preman bayaran. Seperti halnya pada tahun-tahun pertama paska kejatuhan Soeharto, tentara dan polisi mengamankan diri dengan cara memobilisasi “warga” untuk memukul mundur aksi mahasiswa. Untuk mengatasi hal ini, pada tahun 98 dan 99, aksi mahasiswa menolak RUU PKB yang dipukul oleh Pam Swakarsa berhasil bangkit karena adanya dukungan dari rakyat di perkampungan sekitar. Maka, gerakan mahasiswa di Makasar harus mulai menyebarkan selebaran-selebarannya ke kampung-kampung di belakang kampus-kampus perlawanan. Makasar dimudahkan, karena mayoritas kampus yang berlawan berada dalam satu garis jalan, sehingga konsep jalur revolusi lebih mudah dijalankan di Makasar, namun konsep jalur revolusi harus me’libatkan rakyat seluas-luasnya. Sehingga upaya rejim untuk membelokkan isu dari “konflik vertikal ke konflik horisontal” bisa dihadapi bersama-sama dengan rakyat.

 

Lenin: Kompromi dan Kooperasi

Meski aksi marak di berbagai daerah, namun, setidaknya di Jakarta jumlah mobilisasi lebih sedikit dibandingkan aksi menolak kenaikan BBM pada Maret 2012. Paling tidak hampir setengah dari mobilisasi tahun lalu yang tumpah ke jalanan.  Belum diketahui perbandingan di setiap daerahnya.

 Ada berbagai penyebab turunnya mobilisasi dibandingkan aksi tahun lalu—

yang berakibat juga pada gagalnya penolakan kenaikan BBM:

 Pertama, Kurang Maksimalnya Mobilisasi Buruh. Harus diakui bahwa tulang punggung mobilisasi tahun-tahun terakhir ini adalah buruh. Jumlah mobilisasi buruh pada aksi Maret tahun lalu, lebih dari 70% keseluruhan jumlah mobilisasi aksi di depan DPR. Dan mobilisasi yang terbesar dari buruh bukan berasal dari serikat-serikat buruh “merah”. Melainkan serikat buruh yang tergabung dalam MPBI (FSPMI, KSPSI, KSBSI, dsb). Mengapa kurang maksimal? Hanya para pimpinan dari MPBI lah yang mengetahui alasan sebenarnya. Namun, paling tidak bisa ditarik kesimpulan bahwa keyakinan penolakan BBM tak benar-benar serius ada pada pikiran para pimpinan MPBI.

 Kedua, Metode Aksi. Metode aksi yang menohok sering dilakukan oleh FSPMI, KSPSI, FKI (MPBI) melalui pemblokiran jalan tol, pendudukan kawasan, dsb. Metode ini yang tidak muncul dalam pra aksi dan aksi hari H penolakan kenaikan BBM. Padahal metode aksi “blokir tol” ini lah yang membuat rejim memperhitungkan kekuatan ratusan ribu buruh. Mengapa? Karena metode semacam itu lah yang merugikan lancarnya sirkulasi modal kapitalisme.

Ketiga, Kompromi dan Kerjasama. Lenin menekankan pada tulisannya mengenai kompromi (On Compromise, 1917) dan kerjasama (On Cooperation, 1923), meski dalam konteks yang berbeda, paling tidak pesan utamanya bisa kita tempatkan dalam konteks masa kita hari ini. Dalam  kompromi, Lenin menekankan ada 2 jenis kompromi: kompromi sukarela dan kompromi terpaksa. Kunci kemenangan penolakan kenaikan harga BBM atau aksi apapun jelas adalah Persatuan. Karena persatuan melipatgandakan kekuatan kita dalam menghadapi musuh bersama (common enemy). Dan untuk memenangkan tuntutan kita, harus ada kompromi di antara unsur-unsur yang menolak kenaikan BBM. Kompromi ini adalah kompromi Sukarela yang tujuannya agar semua kelompok bisa bersatu dalam barisan perlawanan yang sama: barisan penolakan kenaikan BBM. Ada berbagai spektrum perlawanan yang ada di depan DPR. Apakah dari kelompok mahasiswa, kelompok buruh, kelompok demokratik lainnya. Apakah dari organisasi yang berasal dari generasi 98, atau yang tumbuh paska 98. Spektrum perlawanan ini muncul dengan kesadaran dan pengalamannya masing-masing. Tugas elemen yang paling besar (MPBI, dkk) dan tugas elemen yang paling sadar lah yang harus memikirkan celah-celah kompromi di antara unsur perlawanan ini agar bisa bersatu. Tanpa itu semua, kerjasama  dan pembangunan persatuan tak mungkin bisa sampai pada kemenangan penolakan kenaikan BBM atau tuntutan lainnya. Sehingga ada persatuan luas (broad unity) yang bersatu dalam tuntutan yang tidak kontradiktif, yakni “tolak kenaikan BBM”, yang mana seharusnya terbangun sebelum aksi hari H penolakan kenaikan BBM, atau pada saat aksi hari H. Namun, persatuan luas tersebut harus pula di dukung dengan kebebasan menyatakan prinsip dan sikap politik masing-masing (kebebasan agitasi dan propaganda).

 

 Kesatuan Serangan

Tapi, aspek-aspek di atas tidak mewujud. Sehingga dampaknya adalah tidak adanya kesatuan serangan. Kelompok mahasiswa, yang dalam sejarahnya adalah kelompok radikal, yang akan bertahan dalam situasi bentrok. Tak disokong secara maksimal oleh kekuatan buruh. Terlebih ketika Panglima Garda Metal menginstruksikan massanya untuk mundur sebelum terjadinya bentrokan meski sebelumnya sudah ada kesepakatan bersama untuk bertahan dan melawan. Padahal dari komposisi organisasi yang berlawan di depan DPR, organisasi buruh yang paling terlatih dalam bertahan dan melawan adalah Garda Metal. Mahasiswa dengan mobilisasi yang sedikit dan tak terlatih secara fisik maupun konseptual dalam situasi-situasi bentrokan—mungkin disebabkan karena putusnya pengetahuan dan pengalaman mengatasi bentrokan dari generasi pra 98—mengalami kerusakan fisik yang paling besar.

 Memang, kita harus jeli dan sadar kapan waktunya terus maju dan kapan waktunya mundur untuk mengatasi kerusakan akibat serangan. Baik Sun-Tzu, Hideyoshi—sang Taiko, Lenin bahkan Jenderal Sudirman sudah pernah menuliskan dan mempraktekkannya. Tapi mundur, di tengah-tengah pertempuran belum terjadi berakibat yang besar terhadap: kepercayaan persatuan, moral perjuangan elemen-elemen yang berlawan, hingga meningkatnya kepercayaan diri musuh (tentara, polisi dan parlemen).

 Jika memang tak bisa maju dan menang pilihan mundur adalah pilihan yang terpaksa harus diambil. Namun, mundur harus lah bersama-sama. Bukan sendiri-sendiri. Dan di dalam proses mundur itu ada upaya yang gigih untuk melawan serangan musuh. Seperti yang dikutip oleh Lenin berkali-kali dari sikapnya Napoleon Bonaparte, ““on s’engage et puis on voit”—kita ikut bertempur dulu, baru kita lihat nanti. Tetapi yang diinstruksikan oleh Panglima Garda Metal bukan lah bertempur, melainkan mundur tanpa bertempur. Dan akibatnya sangat fatal terhadap persatuan perlawanan itu sendiri.

 Perjuangan kita masih panjang. Benar. Dan, seperti yang disampaikan Kiras Bangun, pahlawan nasional, tokoh perjuangan anti kolonialis Belanda di awal 1900an “Namo bisa jadi aras, Aras bisa jadi namo” Hari ini Bisa Saja Kita Kalah, Tapi Besok Kita Pasti Menang. Semangat ini tetap harus ada dalam lubuk hati kita yang paling dalam. Namun tanpa: persatuan, kompromi dan kerjasama, serta tanpa kesatuan serangan, kata “Besok” dalam quote tersebut bisa menjadi sangat jauh. Maka, tugas elemen-elemen yang sadar dan elemen yang besar lah mendekatkan kata “besok” tersebut melalui persatuan  dan kesatuan serangan bersama. Sekian.

 

*Juru Bicara Partai Pembebasan Rakyat

** Poster oleh Kaluhara Eja

Share

0 thoughts on “Harus: Kerjasama dan Kesatuan Serangan!

  1. Mohon Ijin apakah tulisan ini bisa saya sebarkan? Baik di jejaring sosial ataupun saya print dan perbanyak utk kawan2 yg ada di tempat saya (Papua), Karena sangat bermanffat sekali. Tks.

    Wasalam,
    Donald Heipon
    Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *