Relasi Kapitalisme dengan Organisasi Media

                                                               Image

[Bagian kedua dari tiga tulisan]

Oleh: Obet*

Banyak teori yang mencoba menjelaskan relasi antara kapitalisme dengan organisasi media, baik dari perspektif Marxis ataupun non Marxis. Marxisme Klasik memandang media merupakan alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya.

Pertama, pendekatan Marxisme Klasik memandang media cenderung dimonopoli oleh kapitalis, yang penanganannya dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional untuk memenuhi hasrat kelas tersebut. Para kapitalis melakukan hal tersebut untuk mengeksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang berlebihan Pemikiran dasar teori inilah yang kemudian mendorong lahirnya teori-teori lain seperti Teori Ekonomi Politik, Teori Kritis dan Teori Hegemoni Budaya.

Kedua, Pendekatan Hegemoni Media, Teori ini lebih menekankan pada ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan dan mekanisme yang dijalankannya untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para kelas pekerja. Sehingga, upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam fikiran mereka. Pergeseran perhatian dari faktor ke faktor ideologi terkait erat dengan kelanjutan hidup kapitalisme. Pergeseran ini dinilai William telah mengangkat derajat media massa setara dengan alat ideologi negara lainnya.

Ketiga, Pendekatan Sosial Budaya, pendekatan ini lebih melihat tinjauan positif dari produk media massa dengan keinginan untuk memahai makna dan peran yang dibawakan budaya terakhir dalam kehidupan kelompok tertentu dalam masyarakat. Pendekatan ini juga berusaha menjelaskan cara budaya massa berperan mengintegrasikan golongan masyarakat yang mungkin menyimpang dan menentang. Pendekatan ini juga mengalami pesan dan publik melalui pemahaman pengalaman sosial kelompok-kelompok kecil masyarakat dengan cermat, kritis dan terarah. Tujuannya agar dapat memberikan penjelasan mengenai pola pilihan dan reaksi terhadap media.

Keempat, Pendekatan Fungsional Struktural, Pendekatan ini memandang institusi/organisasi media dalam kaitannya dengan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan yang dimaksud terutama berkaitan dengan kesinambungan, ketertiban, integrasi, motivasi, pengarahan, dan adaptasi. Masyarakat dilihat sebagai sebuah sistem yang terdiri atas beberapa bagian yang saling berkaitan atau sub sistem, setiap sub sitem tersebut memiliki peran yang berarti. Media diharapkan dapat menjamin integrasi ke dalam, ketertiban dan memiliki kemampuan memberikan respon terhadap subsistem lainnya. Namun kenyataannya pendekatan fungsional struktural seringkali menjadi subsistem yang memiliki ketergantungan penuh pada sistem kapitalis. Sehingga kemampuan untuk melakukan fungsi media secara ideal tidak bisa terealisir karena dikalahkan kepentingan pemodal.

Ekonomi Politik Media

Pada dasarnya Pendekatan ekonomi politik media juga dikatakan sebagai pendekatan teori dalam kaitanya dengan kapitalisme media. Teori ini lebih ditujukan pada pendekatan yang memusatkan perhatian lebih banyak pada struktur ekonomi daripada muatan ideologis media. Teori ini mengungkapkan ketergantungan ideologi pada kekuatan ekonomi dan mengarahkan perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur kepemilikan dan mekanisme kerja pada media. Dalam tinjauan Garnham, organisasi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik, kualitas pengatahuan tentang masyarakat, yang diproduksi oleh media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan oleh nilai tukar beragam isi dalam kondisi yang memaksakan perluasan pasar, dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan. Kepentingan-kepentingan tersebut, berkonsekuensi pada kurangnya jumlah sumber media yang independent, munculnya sikap apatis terhadap khalayak pada sektor kecil serta menciptakan konsentrasi pada pasar besar.

Istilah ekonomi politik diartikan secara sempit oleh Mosco sebagai: studi tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling menguntungkan antara sumber-sumber produksi, distribusi dan konsumsi, termasuk didalamnya sumber-sumber yang terkait dengan komunikasi. (Boyd Barrett, 1999: 186).

Boyd Barrett secara lebih gamblang mengartikan ekonomi politik sebagai studi tentang kontrol dan pertahanan dalam kehidupan sosial. (Boyd Barrett, 1999: 186) Dari pendapat Mosco ini, pengertian ekonomi politik dipahamai secara lebih sederhana sebagai hubungan kekuasaan (politik) dalam sumber-sumber ekonomi yang ada di masyarakat.

Bila seseorang atau sekelompok orang dapat mengontrol masyarakat berarti dia berkuasa secara de facto, walaupun de jure tidak memegang kekuasaan sebagai eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pandangan Mosco tentang penguasa lebih ditekankan pada penguasa dalam arti de facto, yaitu orang atau kelompok orang yang mengendalikan kehidupan masyarakat. Sedangkan dasar dari kehidupan sosial adalah ekonomi. Maka pendekatan ‘ekonomi politik’ merupakan cara pandang yang dapat membongkar dasar atas sesuatu masalah yang tampak pada permukaan. Untuk memahami bagaimana penerapan pendekatan ekonomi politik digunakan dalam studi media massa, maka ada tiga  konsep awal yang harus dipahami, yaitu:

  • Commodification- segala sesuatu dikomoditaskan (dianggap barang dagangan).
  • Spatialization- proses mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial.
  • Structuration- penyeragaman ideologi secara terstruktur.

Commodification (komodifikasi) adalah upaya mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat mendapatkan keuntungan. Tiga hal yang saling terkait adalah: Isi media, jumlah audience dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah audiencee atau oplah. Jumlah audience atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat digunakan untuk ekspansi media.

Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi, jaringan dan lainnya. Selain itu tentunya profit bagi pengusaha. Komodifikasi berkaitan dengan proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya di pasar. Proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu melibatkan para awak media, khalayak pembaca, pasar, dan negara apabila masing-masing di antaranya mempunyai kepentingan (Mosco, 1996).

Spatialization adalah cara-cara mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, jarak dan waktu bukan lagi hambatan dalam praktek ekonomi politik. Spasialisasi berhubungan dengan proses pengatasan atau paling tepat dikatakan sebagai transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial.

Dengan kata lain, spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media (Mosco, 1996). Ukuran badan usaha media dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Horizontal artinya bahwa bentuk badan usaha media tersebut adalah bentuk-bentuk konglomerasi, monopoli. Proses spasialisasi yang bersifat vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaannya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi, terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media.

Berkaitan dengan media massa, maka kegiatan yang berada di kota kecil dapat disiarkan langsung oleh televisi nasional yang berpusat di Jakarta untuk kemudian dikomoditaskan. Dengan kekuatan modal besar untuk berinvestasi pada tehnologi komunikasi, pengusaha media Jakarta akan melibas pengusaha media kota-kota lain yang kemungkinan memiliki modal lebih kecil. Dengan demikian, semua kegiatan yang ada dalam sebuah negara, akan diliput oleh  jurnalis yang sama.

Padahal, sebuah kegiatan di daerah misalnya, bila diliput oleh jurnalis televisi daerah akan menghasilkan siaran yang berbeda karena kemungkinan memiliki ‘angle’ yang berbeda. ‘Angle’ berbeda karena ideologi dan filosofi wartawannya berbeda. Liputan-liputan langsung oleh media jakarta menghasilkan strukturasi atau menyeragaman ideologi. Dalam kasus ini adalah idelogi yang dianut pengusaha media Jakarta.

Structuration (Strukturasi) yaitu penyeragaman ideologi secara terstruktur juga terjadi karena seperti  wartawan Redaksi Metro TV merangkap jabatan sebagai redaksi Media Indonesia. Kompas juga memimpin usaha-usaha penerbitan anak usaha Kompas. Koran-koran daerah juga dikuasai oleh kelompok pengusaha media di Jakarta. Dalam struktur kepemilikan yang demikian, pemimpin redaksi koran-koran daerah biasanya adalah didikan dari Jakarta.

Jadi media yang sama pemiliknya akan memiliki ideologi yang sama pula. bahwa: “Isi media selalu merefleksikan kepentingan pihak yang membiayai mereka”. (McQuails, 2000: 193). Strukturasi berkaitan dengan hubungan antara gagasan agensi, proses sosial dan praktek sosial dalam analisa struktur. Strukturasi merupakan interaksi interdependensi antara agen dengan struktur sosial yang melingkupinya (Mosco, 1996).

Secara makro, Peter Golding dan Graham Murdock (dalam Curran dan Gurevitch, 1991:15-32) menunjukkan bahwa perspektif ekonomi politik media bisa dibedakan menjadi dua macam paradigma yaitu perspektif ekonomi politik dalam paradigma liberal; dan perspektif ekonomi politik dalam paradigma kritis.

Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu proses pertukaran pasar di mana individu sebagai konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas yang sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya.

Golding dan Murdock menempatkan perspektif ekonomi politik media pada paradigma kritis. Mereka berpendapat bahwa perspektif ekonomi politik kritis berbeda dengan arus utama dalam ilmu ekonomi dalam hal holisisme, keseimbangan antara usaha kapitalis dengan intervensi publik; dan keterkaitan dengan persoalan-persoalan moralitas seperti masalah keadilan, kesamaan, dan kebaikan publik (public goods).

Sifat holistik dalam perspektif ini merupakan satu dari beberapa pertimbangan yang dibuat dalam konteks perspektif ekonomi politik kritis. Holistik di sini berarti menunjukan adanya keterkaitan saling mempengaruhi antara organisasi ekonomi dan kehidupan politik, sosial, dan kultural. Analisisnya bersifat historis dan secara moral menunjukkan keterkaitannya dengan persoalan public good. Aspek historis dalam sifat holisme perspektif ekonomi politik kritis berpusat pada analisa pertumbuhan media, perluasan jaringan dan jangkauan perusahaan media, komodifikasi dan peran negara.

Analisa ekonomi politik kritis memperhatikan perluasan “dominasi” perusahaan media, baik melalui peningkatan kuantitas dan kualitas produksi budaya yang langsung dilindungi oleh pemilik modal. Tentu saja, ekstensifikasi dominasi media dikontrol melalui dominasi produksi isi media yang sejalan dengan preferensi pemilik modal. Proses komodifikasi media massa memperlihatkan dominasi peran kekuatan pasar. Proses komodifikasi justru menunjukkan menyempitnya ruang kebebasan bagi para konsumen media untuk memilih dan menyaring informasi.

Dalam konstalasi di atas, maka tidak mengherankan apabila peran media di sini justru menjadi alat legitimasi kepentingan kelas yang memiliki dan mengontrol media melalui produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas objektif yang sudah bias karena dibutnuk oleh kelompok kepentingan baik secara politik maupun ekonomis.

Perjuangan kelas biasanya didasarkan pada antagonisme ekonomi-politik. Posisi dan peran media adalah menutupi dan merepresentasi secara bias dan manipulatif antagonisme tersebut. Ideologi dimanfaatkan untuk menghapus dan mengeliminasi perjuangan kelas. Kontrol atas kelas dibuktikan dengan mencocokkan ideologi yang tersirat dalam pesan media dengan kepentingan kelas yang dominan.

Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada.

Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria. Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma budaya dominan.

Perspektif ekonomi-politik kritis memiliki tiga varian utama. Ketiga varian tersebut adalah instrumentalisme, kulturalisme, dan strukturalisme. Dalam penelitian ini, varian yang digunakan adalah perspektif instrumentalisme. Perspektif ini memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, di mana segala sesuatu pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Perspektif ini melihat media sebagai instrumen dari kelas yang mendominasi. Dalam hal ini kapitalis dilihat sebagai pihak yang menggunakan kekuatan ekonominya – untuk kepentingan apapun – dalam sistem pasar komersial untuk memastikan bahwa arus informasi publik sesuai dengan kepentingannya.

Apabila mainstream ilmu ekonomi melihat persoalan ekonomi sebagai satu hal dominan yang terpisah dan khusus, maka perspektif ekonomi politik kritis melihat persoalan ekonomi itu berada dalam hubungan dengan kehidupan politik, sosial, dan budaya. Liberalisme menekankan pada kedaulatan dan kebebasan individual dalam kapitalisme, maka paradigma kritis memberikan penekanan pada relasi sosial dan kekuasaan. Usaha untuk memahami proses relasional antara ideologi, media massa dan ekonomi politik media termasuk dalam kategori perspektif ekonomi politik. Vincent Mosco menyebutkan bahwa:

”…Ekonomi politik komunikasi berupaya menjadikan media bukan sebagai pusat perhatian, dengan konsentrasi lebih diarahkan pada kajian mengenai keterkaitannya dengan ekonomi, politik dan faktor-faktor lainnya. Menjadikan media bukan sebagai pusat perhatian berarti memandang sistem komunikasi sebagai terintegrasi dengan proses ekonomi, politik, sosial, dan budaya fundamental dalam masyarakat.”

Usaha untuk mengetahui dan mengeksplorasi prilaku media beserta profesionalitas jurnalis, akan lebih bijak jika kita kenali dahulu sistem dan perspektif ekonomi politik yang berkembang dan menjadi atmosfer suatu media. Sistem politik selalu berhubungan dengan organisasi dan manajemen kekuasaan serta control yang ada pada suatu kelompok sosial atau masyarakat terhadap berbagai aspek kehidupannya, khususnya aspek relasi sosial.

Di lain pihak, sistem ekonomi berhubungan dengan pengaturan serta penataan produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya ekonomi dan sosial manusia agar kehidupan berlangsung lebih manusiawi.  Setidaknya kerangka pokok di atas juga menjadi titik tolak refleksi ekonomi politik media yang akan menjadi bahan diskusi paper ini selanjutnya. Studi perspektif ekonomi politik yang berdasarkan pemahaman relasi-relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan yang secara bersama-sama membentuk atau mempengaruhi produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya, tetap menajdi bagian integral.

Tetapi aspek kontrol dan survive dalam sistem sosial juga menjadi aspek penajaman definisi yang perlu ditambahkan. Selain untuk menajamkan refleksi, beberapa aspek itu dipakai untuk memperluas cara pandang kita mengenai dimensi politik dan ekonomi dalam sebuah media berikut organiasai yang dibentuk serta profesionalitas yang mempengaruhi para awak dapur sebuah media terutama jurnalis.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah ruang lingkup yang perlu disepakati bersama. Ruang lingkup tersebut, yakni pertama, aspek politik yang berkisar tentang control dan pengaruh timbalbalik antara sistem ideologi, organisasi media dan profesi yang ada. Kedua, aspek ekonomi terkait dengan usaha atau aktivitas yang dilakukan untuk dapat bertahan dan berkembang secara ekonomis, yang dilakukan oleh pelaku media yang ada.

Oleh karena itu, dalam tulisan in kita memperhatikan lingkup kontrol langsung atau tak langsung sebuah media yang mempengaruhi sistem organisasi media yang pada akhirnya masuk dalam ide sistem nilai para awak media. Secara umum, kita berbicara tentang cara, sistem, tujuan produksi, distribusi berikut konsumsi media. Maka, dalam kerangka ruang lingkup semacam itulah setidaknya kita mempunyai tiga perspektif dalam pendekatan sosial-ekonomi media. Perspektif-perspektif tersebut pada mulanya ingin menjejaki sejauh mana sistem kerja media dalam dimensi sosialnya. Akan tetapi bisa saja perspektif ini dipakai sebagai titik pandang perspektif ekonomi politik media secara umum.

Pertama, visi perspektif yang lebih menitikberatkan pada ekonomi politik murni, dimana sistem dan proses media selalu berhubungan dengan hasil media yang dikaitkan pada struktur ekonomi organisasi media.  Kedua, visi perspektif yang lebih menitikberatkan pada sistem sosial yang mempengaruhi sisitem media tertentu. Secara jelas dikatakan bahwa media merupakan organisasi terstruktur secara sosial sehingga hasil-hasilnya bisa berwujud representasi relasi sosial atau bisa saja berisi rekonstruksi social.  Ketiga, visi perspektif yang lebih akan menunjukkan bahwa sistem merupakan tata nilai media terkait pada proses tarik menarik kekuatan serta sistem simbol budaya yang terkandung di dalamnya atau secara implisit ada dalam organisasi  media, yakni: kode etik atau sistem nilai profesionalisme setiap awak media.

Secara umum, perspektif ekonomi politik media melihat bahwa terjadi konspirasi besar antara struktur modal dengan para pelaku media, sistem organisasi, dan etikanya. Konspirasi besar dalam pemaknaan bahwa telah terjadi konspirasi kepentingan saling menguntungkan antara sistem nilai kapitalisme-struktur capital dengan organisasi media yang ada.

Keuntungan yang diambil dari persekongkolan adalah keuntungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Keuntungan sosial berwujud pada adanya previligi-previligi sosial yang didapatkan dalam sistem sosial oleh para pelaku modal, dan media. Keuntungan ekonomi tak lepas dari logika kapitalisme yang melebarkan dasar akselerasi dan akumulasi modal.  Keuntungan politik lebih dinyatakan dalam posisi control dan kekuasaan yang lebih besar. Dan keuntungan budaya lebih digambarkan pada kemampuan mendominasi dan melanggengkan hegemoni yang sudah ada.

Media Massa dalam Perspektif Teori Kritis

Teori kritis yang dimaksud adalah teori yang diajarkan mazhab Frankfurt (aliran Marxis ketiga). Para ahli teori kritik menganut pendekatan yang disebut budaya. Mereka yang prihatin terhadap tanda-tanda kegagalan ramalan Marxis tentang revolusi perubahan sosial, beralih mengandalkan kemapuan superstruktur yang terutama berujud dalam media massa guna menggantikan proses perubahan sejarah ekonomi. Dalam pandangan teori ini, budaya massa yang komersil dan universal merupakan sarana utama yang menunjang tercapainya keberhasilan monopoli modal tersebut. Seluruh sistem produksi barang, jasa dan ide yang diproduksi misalnya membuka kemungkinan diterimanya sebagian atau seluruh sistem kapitalisme. Mereka yang berpandangan ini dapat dikatakan melakukan upaya mengkombinasikan pandangan serba media dengan dominasi satu kelas social.

Media dalam konteks Teori Kritis selalu berhubungan dengan ideologi dan hegemoni. Hal ini berkaitan dengan cara bagaimana sebuah realitas wacana atau teks ditafsirkan dan dimaknai dengan cara pandang tertentu. Pendapat Golding dan Murdock (Currant & Guravitch ed., 1991:188) menunjukkan bahwa studi wacana media meliputi tiga wilayah kajian, yaitu teks itu sendiri, produksi dan konsumsi teks. Kerangka teoritis semacam ini adalah kerangka teoritis yang senada dikembangkan oleh Norman Fairclough. Perbedaan analisis Golding dan Murdock jika dibandingkan dengan analisis wacana kritis Norman Fairclough terletak pada wilayah analisis teks, produksi dan konsumsi sebagai kajian tersendiri. Fairclough mempunyai kerangka teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya sebagai wilayah analisis kritisnya. Dari konteks perspektif analisis di atas maka teks ditafsirkan. Wacana teks selalu melibatkan dengan apa yang disebut dengan peralihan timbal balik antara dua fokus kembar analisis wacana, yaitu kejadian komunikatif dengan tatanan wacana. Kejadian komunikatif meliputi aspek teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya. Wilayah teks media merupakan representasi yang berkaitan dengan realitas produksi dan konsumsi.

Fairclough melihat bahwa wilayah teks merupakan wilayah analisis fungsi representasional-interpersonal teks dan tatanan wacana. Fungsi representasional teks menyatakan bahwa teks berkaitan dengan bagaimana kejadian, situasi, hubungan dan orang yang direpresentasikan dalam teks. Ini berarti bahwa teks media bukan hanya sebagai cermin realitas tapi juga membuat versi yang sesuai dengan posisi sosial, kepentingan dan sasaran yang memproduksi teks. Fungsi interpersonal adalah proses yang berlangsung secara simultan dalam teks. Ciri pertama adalah ciri pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi.

 *Obet adalah mantan anggota LMND Makasar pada awal 2000an. Obet pernah terlibat penggorganisiran buruh di Bali dan Surabaya pada tahun 2002. Obet aktif sebagai jurnalis independen, dan sedang berupaya melanjutkan kuliah paska sarjana. Sebagai mantan aktivis mahasiswa dan organiser buruh, Obet ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman melalui tulisannya.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *