11 Alasan Mengapa Kita Harus Menolak RUU ORMAS

Image

Oleh: Tim Koalisi Kebebasan Berserikat

  1.  Definisi Ormas sangat Umum, membelenggu semua bentuk dan bidang Kemasyarakatan. Definisi Ormas dalam Pasal 1 yang serba mencakup, “…organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang berdasarkan Pancasila”, akan memasukkan organisasi bersifat sosial atau non profit, asosiasi atau perkumpulan keilmuan/profesi/hobby baik yang beriuran ataupun tidak, pengajian, paguyuban keluarga, yayasan yang mengelola lembaga pendidikan dan rumah sakit, panti asuhan, dan masih banyak lagi. Dampaknya tentu berbenturan dengan
    definisi dan ruang lingkup badan hukum lain, karena Indonesia sudah memiliki UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan Staadsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen).
  2. RUU Ormas Mengecualikan Organisasi Sayap Partai Politik. Apa Tujuannya? Kontradiktif dengan definisi yang serba mencakup, RUU Ormas membuat pengecualian untuk organisasi sayap partai politik dalam Pasal 4 yang berbunyi “Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, demokratis, dan bukan merupakan organisasi sayap partai politik”. Padahal Undang-Undang tentang bentuk-bentuk badan hukum dalam pernyataan nomor 1, mengatur sangat lengkap tentang pendirian, tata kelola internal, akuntabilitas dan transparansi, larangan, hingga sanksi. Sangat jauh berbeda dengan pengaturan organisasi sayap partai politik hanya disebut dalam satu kalimat di dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik “Partai politik berhak….membentuk dan memiliki organisasi sayap partai” (Pasal 12 huruf j). Lantas, mengapa hanya organisasi sayap partai politik yang dikecualikan secara eksplisit dari RUU Ormas? Sementara aturan hukum bagi mereka jauh dari memadai. Apakah kepatuhan pada Pancasila dan NKRI, kondisi tata kelola internal, akuntabilitas dan transparansi mereka sudah tidak perlu diragukan lagi? Ataukah ini skema pengamanan diri partai politik menjelang 2014?
  3. RUU Ormas Menyempitkan Amanat UUD 1945 dan Membangkitkan Momok Represi Gaya Orde Baru. Pasal 10 menyatakan Ormas dapat berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum. Untuk apa? Badan hukum organisasi telah diatur dalam undang undang tersendiri. Pasal ini justru menyempitkan amanat UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berorganisasi hanya menjadi “Ormas”. Harus kita sadari, bentuk Ormas tidaklah dikenal dalam kerangka hukum yang benar. Ormas merupakan kreasi rezim Orde Baru yang bertujuan mengontrol dinamika organisasi masyarakat di Indonesia. UU Ormas lahir dengan semangat mengontrol dan merepresi dinamika organisasi masyarakat. UU Ormas juga memuat ancaman pembekuan dan pembubaran yang represif tanpa mensyaratkan proses pengadilan yang adil dan berimbang. Bentuk ancaman yang dibangkitkan kembali dalam RUU Ormas ini “Dalam hal peringatan tertulis kedua dan/atau peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat 5 tidak dipatuhi, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan sanksi penghentian sementara kegiatan” (Pasal 62 ayat (7)).
  4.  RUU Ormas Mengembalikan Politik sebagai Panglima. RUU Ormas akan menyeret seluruh bentuk organisasi sosial, keagamaan, hingga kemanusiaan ke ranah politik di bawah pengawasan Kementerian Dalam Negeri, khususnya Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Indonesia adalah negara hukum, pendekatan hukumlah yang perlu dikedepankan. Pengaturan mengenai organisasi berbasiskan keanggotaan mestinya diatur melalui RUU Perkumpulan yang sudah disiapkan oleh Kementerian Hukum dan HAM dan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014.
  5. RUU Ormas Mengacaukan Tata Hukum di Indonesia. Pasal 11 memasukkan badan hukum yayasan dan perkumpulan dalam belenggu RUU Ormas padahal
    keduanya telah diatur melalui UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan Staadsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen). Jika hanya hendak mengatur organisasi berbasiskan anggota seperti yang tertulis pada Pasal 13, “badan hukum yayasan diatur dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, mengapa tidak membuat UU Perkumpulan sebagai pembaharuan Staadsblad 1870-64 yang merupakan warisan kolonial Belanda? Sementara Pemerintah dan DPR telah memasukkan RUU Perkumpulan dalam Prolegnas 2010-2014. RUU Perkumpulan ini secara hukum lebih punya dasar, namun malah tergeser dengan RUU Ormas yang salah arah, yang justru masuk dalam Prioritas Legislasi 2011. Melalui Pasal 12 ayat (4), DPR dan Pemerintah justru menempatkan ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum perkumpulan dalam Peraturan Pemerintah (PP), yang jelas-jelas mengacaukan sistem hukum dan mengganggu independensi sistem peradilan Indonesia dalam menentukan keabsahan suatu perikatan termasuk di dalamnya badan hukum. Tidak hanya itu, RUU Ormas juga memandatkan pencabutan Staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum yang akan menimbulkan kekosongan hukum bagi badan hukum Perkumpulan (Pasal 54 huruf b).
  6. RUU Ormas Memukul Rata Dan Akan Menimbulkan Kekacauan Mendasar jika Disahkan. Dengan memasukkan badan hukum Yayasan ke dalam kategori Ormas, Pemerintah dan DPR jelas tidak memahami produk hukum yang dilahirkannya sendiri. UU Yayasan dengan jelas mengatur yayasan sebagai badan hukum tanpa anggota. Jika RUU Ormas disahkan, maka ribuan Yayasan (Rumah Sakit, Sekolah, Panti Asuhan, Pesantren, CSR, Lembaga Amil Zakat, dsb) akan terseret ke ranah
    politik dengan dikategorikan sebagai Ormas di bawah kendali pengawasan Pemerintah.
  7. Persyaratan Administrasi Menjadi Instrumen Penghambat Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul (Pasal 16) Ormas tidak berbadan hukum harus mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Pemerintah (Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota) agar bisa menjalankan aktivitasnya. Ormas akan dilarang melakukan kegiatan apabila tidak memiliki SKT. Sementara untuk mendapatkan selembar SKT, Ormas harus memenuhi persyaratan administrasi seperti memiliki AD/ART atau akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang memuat AD/ART, program kerja, kepengurusan, surat keterangan domisili, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Ormas, surat pernyataan bukan organisasi sayap partai politik, surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan/perkara pengadilan, dan surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan. Sungguh luar biasa proses birokratisasi untuk bisa menjalankan kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Ketua Pansus beberapa kali menyatakan, “hanya organisasi yang memiliki struktur saja yang diatur oleh RUU Ormas ini nantinya”. Realitasnya, kelompok pecinta bola, jaringan sosial, paguyuban keluarga, kelompok pengajian/doa, arisan, dlsb tidak akan terkecualikan karena sesederhana apapun mereka umumnya memiliki struktur kepengurusan.
  8. RUU Ormas untuk Alat Meningkatkan Akuntabilitas Ormas kepada Masyarakat? Apakah Indonesia memiliki kekosongan hukum untuk ‘memaksa’ akuntabilitas Ormas kepada masyarakat? Jawabannya tidak. Dalam UU Yayasan ada keharusan untuk melakukan audit keuangan eksternal jika Yayasan menerima dana lebih dari 500 juta, dan mengumumkan hasilnya ke publik melalui media massa. Undang Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjadikan organisasi nonpemerintah sebagai badan publik nonpemerintah yang berkewajiban bersikap transparansi kepada publik. Jadi tidak perlu ada RUU Ormas untuk mendorong akuntabilitas Ormas kepada Masyarakat.
  9. RUU Ormas Memuat Serangkaian Pasal Larangan yang Multitafsir (Pasal 61) RUU Ormas memuat serangkaian larangan yang berpeluang disalahgunakan sesuai selera penguasa. Organisasi sosial keagamaan akan dilarang untuk menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas. Pasal larangan ini mengancam keberadaan organisasi sosial keagamaan yang biasa menerima donasi tanpa identitas jelas, dan pada sisi lain bisa mematikan jiwa filantropi masyarakat Indonesia. Organisasi anti korupsi yang sedang menyuarakan upaya penindakan terhadap pejabat publik yang korup bisa saja dianggap sebagai organisasi yang membahayakan keselamatan negara. Organisasi yang mengkampanyekan perlawanan pelanggaran HAM berat kepada dunia internasional, bisa saja dianggap sebagai organisasi yang melakukan kegiatan yang mengancam, mengganggu, dan/atau membahayakan keutuhan dan kedaulatan NKRI. Organisasi yang menerima dana asing, misalnya dari lembaga kerja sama internasional, badan PBB, funding agency, secara kelembagaan atau perorangan, bisa saja dilarang karena dianggap sebagai kaki tangan asing dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Organisasi media, pers, wartawan, atau jurnalis akan terancam melanggar pasal larangan menganut, mengembangkan, atau menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Yang dimaksud dengan “ajaran dan paham yang bertentangan dengan Pancasila” antara lain ajaran atau paham Komunisme, Marxisme, Leninisme, Kapitalisme, dan Liberalisme. Sebagai media, wartawan, dan jurnalis yang profesional serta hidup dalam sistem yang demokratis adalah kewajiban untuk menyajikan informasi dari berbagai sudut pandang agar pembaca memperoleh informasi yang komprehensif guna meningkatkan pengetahuan dan kesejahteraan hidupnya.
  10. Pemerintah Memegang Kekuasaan Menjatuhkan Sanksi Bagi Ormas (Pasal 62-63) kekuasaan menjatuhkan sanksi berada di tangan pemerintah (atau pemerintah daerah), mulai dari sanksi administratif berupa teguran, penghentian bantuan atau hibah, hingga sanksi pembekuan (penghentian kegiatan) dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, pencabutan SKT, dan pencabutan pengesahan badan hukum. Peradilan baru dilibatkan oleh pemerintah (atau pemerintah daerah) pada saat menjatuhkan sanksi pembubaran ormas berbadan hukum. Sanksi akan dijatuhkan bagi ormas yang melanggar kewajiban (Pasal 21) serta larangan (Pasal 61), misalnya tidak memiliki surat pengesahan badan hukum atau tidak memiliki SKT, menganut,mengembangkan, atau menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila diantaranya kapitalisme dan liberalisme, menggunakan nama, bendera, simbol “menyerupai” organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang, atau tanda gambar ormas atau partai politik lain, menerima sumbangan dalam bentuk apapun dari pihak mana pun tanpa identitas yang jelas, atau melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan kewenangan aparat penegak hukum. Ancaman sanksi ini jelas merupakan instrumen rezim otoriter untuk merepresi pertumbuhan organisasi masyarakat sipil sebagai counter balance pemerintah.
  11. RUU Ormas Merefleksikan Ambisi Rezim Politik Atas Nama Negara untuk menciptakan totalitarianisme, absolutisme,otoritarianisme, etatisme yang semuanya anti demokrasi dan membangkitkan kembali kediktatoran kepemimpinan negara. Oleh karena itu RUU Ormas harus ditolak dan dibatalkan!!

* Foto    aksi FSPMI

 

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *