Krisis Ekonomi Dunia: Krisis Rakyat Miskin dan Perempuan Miskin!

Image

Oleh: Linda Sudiono*

Hari ini, masyarakat kapitalis menyembunyikan, di dalam dirinya sendiri, banyak kasus kemiskinan dan penindasan yang tidak kasat mata. Penyebaran keluarga miskin di perkotaan, pengrajin, buruh, karyawan dan pekerja rendahan hidup dalam kesulitan yang luar biasa, nyaris tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Jutaan demi jutaan Perempuan di keluarga tersebut hidup sebagai “budak domestik”, bekerja keras untuk memenuhi pangan dan sandang keluarga mereka dengan sangat hemat, menggunakan biaya dari upaya kerasnya dan menyimpan biaya tersebut untuk segalanya, kecuali tenaga kerjanya sendiri[i]

Landasan

Ketika wacana globalisasi pertama kali diperkenalkan kepada dunia, ekspektasi masyarakat adalah bayangan bentuk pembangunan yang setara, merata dan adil. Para teoritisi globalisasi mulai memaparkan kebaikan globalisasi secara ekonomi yang memberi gambaran tentang dunia baru. Nigel Harris menyambut globalisasi ekonomi dengan mengatakan bahwa invisible hands globalisasi akan mengikis perbedaan negara dunia ketiga dan negara dunia pertama karena memungkinkan para produsen bersaing secara bebas. Persaingan bebas ini akan memicu pembukaan lahan-lahan investasi baru di daerah terpencil di mana terdapat limpahan sumber daya alam dan tenaga kerja murah sehingga ketergantungan terhadap alat produksi tetap akan semakin terkikis. Harapan utopis ini lah yang ia sebut sebagai prospek penuh harapan kesetaraan ekonomi antar kawasan.[ii]

Memang benar globalisasi menghilangkan jarak dunia, melalui kemajuan transportasi, komunikasi, dan regulasi perdagangan. Perjalanan dari satu benua ke benua lain, yang sebelumnya memerlukan waktu bulanan, kini dapat ditempuh dalam hitungan jam. Gejolak sosial politik yang terjadi di Mesir dapat diketahui oleh seluruh dunia hanya dalam hitungan menit pasca peristiwa. Hilangnya batas bangsa mendorong terciptanya alkulturasi budaya  yang sangat unik dan harmonis.  Lebih dalam lagi, Globalisasi ternyata juga turut andil dalam memperbesar ketimpangan ekonomi negara dunia pertama dan dunia ketiga. Kesejahteraan dan kemakmuran, sebagaimana yang dijanjikan, ternyata tidak pernah terwujud, sebaliknya digantikan oleh kuasa institusi regulasi multinasional—badan internasional, bank pembangunan regioal, World Bank, IMF—demi terbangunnya “dunia utang baru”[iii], yang berandil besar dalam pembentukan kebijakan dalam negeri negara-negara ‘penghutang’’ negara-negara dunia ketiga.

Salah satu konsekuensi tak terhindarkan yang akan terjadi adalah meluasnya skala krisis ekonomi dunia, yang kemudian menjadikan negara dalam kategori ekonomi lemah semakin terjerat dalam rantai penindasan tak berujung.

Daya beli masyarakat yang semakin rendah disinyalir sebagai salah satu penyebab krisis ekonomi dunia, dan menyebabkan overproduksi komoditi yang beredar di pasaran, yang dilatar belakangi oleh suatu kondisi surplus tenaga kerja (meningkatnya pengangguran atau upah yang tidak setara dengan harga) dan surplus kapital (berlimpahnya komoditi, surplus finansial yang kehilangan saluran investasi baru yang produktif). Upaya-upaya yang biasa dilakukan adalah pengalihan investasi ke dalam proyek infrastruktur jangka panjang maupun sosial  untuk menciptakan daya saing tenaga kerja dan atau ekspansi pasar baru untuk menemukan sumber daya baru, kapasitas produksi baru dan tenaga kerja murah baru. Dengan demikian, menyebarluaskan pula tekanan tenaga kerja yang pada akhirnya kembali menciptakan krisis overproduksi dunia dengan skala yang berbeda dalam setiap belahan dunia. David harvey menjelaskan secara gamblang dengan merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Henderson terkait krisis 1997-1998 dalam bukunya Uneven Crises: Institutional Foundation Of East Asian Economic Turmoil:

“Taiwan dan Singapura terlindung dari arus-arus spekulatif berkat adanya posisi negara yang kuat dan pasar finansial yang terlindungi, sementara Thailand dan Indonesia, yang telah sama-sama meliberalisasikan pasar kapital mereka, tidak demikian halnya. Perbedaan-perbedaan semacam ini jelas sangat besar artinya. Dalam kasus ini, perbedaan-perbedaan itu menentukan siapa yang terpukul oleh devaluasi ”[iv]

Asia Pasifik tercatat sebagai wilayah yang paling terkena dampak krisis akibat gerbang ekonomi yang cenderung tanpa proteksi, tenaga kerja yang sangat murah, infrastruktur memadai dan sumberdaya alam melimpah ruah. Menjadi tidak heran jika arus modal masuk (Net Capital Inflows) pada tahun 1990-1996 meningkat lebih dari 300%, yang kemudian mengakibatkan katergantungan berlebihan negara-negara yang bersangkutan, khususnya Indonesia. Total utang luar negeri Indonesia per Maret 1998 mencapai US$ 138 Milyar, dan 85% berasal dari pinjaman swasta dengan total utang US$ 20 Milyar yang jatuh tempo pada tahun 1998. Selain itu nilai tukar mata uang terdepresiasi lebih dari 80% pada Agustus 1997, yang menyebabkan pengangguran mencapai titik yang mengkhawatirkan, yaitu 7,3 juta antara tahun 1997-1998 berdasarkan data dari Depnaker.

Hilangnya kuasa negara terhadap sumber daya alam juga disinyalir menjadi landasan ketergantungan Indonesia pada fluktuasi ekonomi global. Terdapat 175 Juta lahan di Indonesia (setara 91% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh modal swasta, disamping 90% kekayaan migas, 89% tambang mineral dan 75% tambang batu bara yang dikuasai oleh investor asing. Berdasarkan data yang dilansir oleh Bank Dunia pada tahun 2012, tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 117 (51%) dari total populasi di Indonesia.

Perempuan ‘Juga’ Korban Krisis Dunia

“Feminisme kontemporer lahir dari pemberontakan (kaum perempuan muda kelas menengah)dalam menentang domestfikasi dan tuntutan mereka untuk mencari karir diluar rumah, yang merupakan satu sisi dari politik jender di tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Sisi lainnya adalah pemberontakan menentang pekerjaan dalam masyarakat yang dikuasai korporat, yang merupakan bagian dari gerakan kaum muda kiri baru, dan tuntutan mereka tak pernah benar-benar jelas untuk sesuatu hal yang lebih berarti…. aku pikir yang kita butuhkan adalah versi terbaru radikalisme tahun 1960-an, yang akan menyertakan kedua perspektif, sosialis dan feminis, dan kedua perspektif tersebut harus dihadapkan pada peningkatan kekuasaan korporat serta pengaruh nilai-nilai pasar.”[v]

Suatu capaian berarti ketika tindakan afirmatif perempuan untuk menggapai kesetaraan jender di tempat kerja telah “membebaskan” perempuan dari pingitan domestikasi. Sekilas tampaknya perempuan telah mencapai kesetaraan melalui kesempatan publik sekaligus perlindungan hukum untuk menjamin partisipasinya. Setelah puluhan tahun paska tuntutan kesempatan kerja terkabulkan, kenyataannya partisipasi perempuan di dunia kerja masih menjadi sebuah pekerjaan rumah yang jauh dari selesai, atau walaupun angkatan kerja perempuan telah meningkat pesat dibanding tahun-tahun sebelumnya, itupun hanya terbatas pada pekerjaan informal bagi mayoritas perempuan atau pekerjaan strategis dan profesional hanya untuk perempuan-perempuan terpilih (mempunyai akses pendidikan yang tinggi, kualifikasi kecantikan yang memadai, akses informasi dan teknologi yang mumpuni). Menjadi jelas kelemahan perjuangan afirmatif gerakan perempuan pada saat itu adalah tidak hadirnya analisis kritis dan mandiri terhadap latar belakang kelas setiap perempuan, dan kecenderungan menyatukan perempuan dalam kesatuan “sisterhood” yang menyesatkan.

Peran eksploitasi kelas membuktikan bahwa perempuan dari kelas pekerja mengalami tekanan yang lebih besar akibat penindasan yang mereka alami dibandingkan dengan perempuan dari kelas penguasa, yang karena posisi kelasnya memiliki kemampuan lebih untuk menyelesaikan perbedaan praktis yang dialami karena gendernya. Perempuan dari kelas penguasa mempunyai independensi ekonomi untuk keluar dari hubungan keluarga (ketika terjadi KDRT), membayar layanan penjagaan anak, tidak perlu masak setiap hari, memiliki fasilitas rumah yang memadai, dll. Hal ini jelas menunjukkan bahwa mustahil untuk memahami penindasan tanpa melihat pada eksploitasi kelas, karena pada kenyataannya, perempuan dari kelas penguasa memiliki kepentingan untuk mempertahankan sistem penindasan yang bercokol saat ini demi melanggengkan keistimewaannya sebagai Borjuasi.[vi]

Survey dunia terhadap perempuan dalam pembangunan yang dilakukan oleh PBB pada tahun 2009 mengakui bahwa kebijakan perdagangan berdampak pada perempuan melalui pekerjaan, harga dan pemasukan. Perdagangan dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi perempuan melalui sektor manufaktur padat karya berorientasi ekspor, khususnya negara berkembang. Hal ini tidak dapat bertahan lama karena akan segera digantikan oleh bentuk produksi padat kapital atau keterampilan, sehingga akan mengakibatkan peralihan kapital dan tenaga kerja. Pemotongan hambatan perdagangan akan mengurangi pendapatan negara dan mendorong pemerintah pada kebijakan pencabutan subsidi sosial dan peningkatan pajak yang berdampak besar terhadap perempuan miskin. Kompetisi untuk menarik investasi asing juga akan berdampak pada melemahnya standar perlindungan perburuhan, terutama pada sektor manufaktur padat karya yang beresiko terhadap relokasi, dimana mayoritas adalah angkatan kerja perempuan. Keterbatasan ini mencerminkan akses perempuan yang lemah terhadap berbagai fasilitas publik seperti pendidikan, teknologi dan informasi, kesehatan, yang berujung pada rendahnya posisi tawar, terjebak pada pekerjaan informal atau paruh waktu, penerimaan secara suka rela tekanan gaji di bawah standar, sistem outsourcing ataupun kontrak.

Siapa lagi perempuan yang mempunyai akses terbatas terhadap fasilitas pengembangan diri kalau bukan perempuan miskin? Menjadi tidak heran ketika fenomena ini lazim terjadi di negara dunia berkembang yang juga sering disebut sebagai negara dunia ketiga, dan tidak perlu disangsikan lagi mengapa representasi perempuan dalam lapangan kerja formal di negara berkembang rata-rata hanya mencapai 28%, diantaranya 31% dia Amerika Latin, 15% di Asia dan 9% di Timur Tengah. Dari segi pendapatan, perempuan yang bekerja penuh waktu mendapatkan gaji sebesar 82% dari gaji penuh waktu laki-laki per jam dan perempuan yang bekerja paruh waktu hanya mendapatkan 59% dari gaji laki-laki.[vii]

Apa yang terjadi di Indonesia?

Ketergantungan perekonomian Indonesia pada investasi asing  telah membawa mimpi buruk bagi rakyat miskin, khususnya perempuan. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana pemerintahan Orde Baru membangun kokoh jembatan bagi Imperialisme dengan kebijakan investasi luar negerinya, atau ideologi Ibuisme yang membatasi akses publik perempuan, sekaligus melanggengkan perempuan sebagai pekerja loyal sektor informal seperti pekerja rumah tangga, pelacur, buruh migram, dll. tidak akan Terlupakan, bagaimana seorang Presiden perempuan pertama di Republik Indonesia dengan senang hati menghadiahi perempuan dengan kemiskinan yang fantastik melalui kebijakan penjualan aset negara, pemberlakuan sistem kerja outsourcing dan sistem kerja kontrak. Ketidak berpihakannya terhadap perempuan semakin teruji dengan ketidaksepakatannya terhadap pemberlakuan kuota 30% untuk perempuan di parlemen. Ketika kekuasaan beralih ketangan Susilo Bambang Yudhoyono, kebijakan privatisasi dan pencabutan subsidi sosial semakin menjadi.

Sebagai akibatnya, akses rakyat miskin, khususnya perempuan semakin terbatasi. Data PNFI Depdiknas menunjukan bahwa dari total angka buta aksara di Indonesia (9,7 juta), 65 %nya adalah perempuan. PBB mengungkap bahwa dari 1,3 miliar warga miskin dunia, 70 % diantaranya adalah perempuan. Di Indonesia menurut data Women Development Survey, perempuan Indonesia memilki angka kemiskinan sebesar 111 juta jiwa, dan data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta menunjukan angka pengangguran perempuan sebesar 88% dari total angka pengangguran. Hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia pada tahun 2008 menunjukkan bahwa angka kematian ibu melahirkan di Indonesia mencapai 390/100.000 kelahiran.

Patriarki menempatkan perempuan dalam pingitan domestifikasi dan pekerja reproduktif. Kapitalisme “menyelamatkannya” dari kegelapan domestik, melibatkannya dalam industri dan pekerjaan produksi. Inilah yang disebut Feminization of Industry . Jangan berharap kapitalisme rela melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan sistem produksi. Di satu sisi, kapitalisme memang membebaskan perempuan dari pingitan domestifikasi yang mencengkam. Di sisi lain, budaya patriarki tetap dilanggengkan untuk mempertahankan sistem keluarga yang menempatkan perempuan sebagai pekerja reproduktif untuk memastikan adanya transmisi kepemilikan pribadi dalam bentuk pewarisan. Perempuan dijadikan tenaga kerja industri yang di upah rendah, sifatnya yang reseptif menjadi keyakinan teredamnya gejolak perlawanan buruh, mitos kecantikkan yang melekat dimanfaatkan sebagai daya tarik produk. Beberapa perusahaan bahkan memberlakukan kualifikasi kecantikan profesional (Professional Beauty Qualification) untuk memastikan perempuan memperoleh posisi pekerjaan yang mereka inginkan. Oleh standar tersebut perempuan dipaksa untuk selalu memikirkan kecantikkannya, dan menjadi konsumen produk kecantikkan hasil produksi kapitalisme.

Apa yang harus dilakukan?

Peran perempuan dalam produksi sosial, pada satu sisi telah membebaskan perempuan dari domestikasi yang membosankan, pada sisi lain menempatkan perempuan tidak hanya sebagai korban yang hanya bisa pasrah tanpa pilihan, tetapi sebaliknya, sebagai pejuang kelas bagi penghancuran sistem. Menjadi bagian dari kekuatan sosial yang potensial untuk melawan kapitalisme adalah prospek terbaik untuk pembebasan. Bukan dengan mengharapkan, mencari atau menunggu seseorang untuk menyelamatkan perempuan, tetapi sudah seharusnya perempuan menjadi bagian dari perjuangan ini.[viii]

Kenyataan ini memberikan landasan keharusan bagi perempuan untuk bergabung bersama semua elemen masyarakat, yang turut menjadi korban sekaligus tenaga penggerak bagi kehancuran sistem kapitalisme dunia. Dengan demikian maka masih ragukah kau, perempuan maju, untuk terlibat dalam mogok nasional pada tanggal 28-30 Oktober 2013? Tentu kau, para perempuan progresif, telah mempunyai jawabannya.

*Anggota Pembebasan Yogyakarta dan Kader Partai Pembebasan Rakyat


[i] Vladimir Lenin, 1913, Collected Works : Capitalism and Female Labour, Pravda, Moscow.

[ii] Nigel Harris, 1986, The End of Third World : Newly Industrialising Countries and the Decline of an Ideology, Penguin, Harmondsworth.

[iii] Susan Strange, 1998, New Left Review : The New World of Debt

[iv] Menurut Handerson, dalam David Harvey, Imperialisme Baru, 2010, Resist Book, Yogyakarta.

[v] Barbara Eipstein, Apa yang Terjadi dalam Gerakan Perempuan, Setara, Nomor 1, April, 2004

[vi] Judith Orr, 2007, Sexism and The System : A Rebel’s Guide to Women’s Liberation, Bookmarks Publication, Cambridge

[vii] Department of Economic and Social Affairs , 2009, 2009 World Survey on The Role of Women in Development : Women’s Control Over Economic Resources and Access to Financial Resources including Microfinance, United Nation, New York.

[viii] Judith, Opcit.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *