Widarta*

Dian Septi Trisnanti[1]

Nama Widarta memang tak banyak dikenal dalam sejarah Indonesia. Data maupun informasi terkait kehidupan maupun perjuangannya pun sangat minim. Hal itu tak lepas dari termarjinalkannya gerakan kiri di dalam sejarah Indonesia. Namun, apa bila kita mengetahui tentang peristiwa tiga daerah (Brebes, Pemalang, Tegal) pasti akan mengingat namanya. Memang peristiwa tiga daerah erat kaitannya dengan peran seorang yang bernama lengkap Subandi Widarta ini. Peristiwa tiga daerah ini pula yang mengantarkannya ke pintu penjara bersama pimpinan tiga daerah lainnya. Naas, kematian Widarta berakhir di tangan PKI, partai yang membesarkannya.

Sosok Widarta dikenal sebagai salah satu pimpinan PKI bawah tanah di awal 1943 setelah pimpinan sebelumnya, Pamuji, ditangkap. Widarta sendiri bukan lah nama baru dalam pergerakan kiri Indonesia. Ia pernah aktif di SPI (Suluh Pemuda Indonesia) yang diketuai sang kakak, dan bertahun-tahun menjadi buronon dan berhasil bersembunyi di Pemalang. Baru di awal 1943, bersama Bung Kecil dan Kamijaya, memimpin PKI bawah tanah menggantikan Pamuji, dengan  menerbitkan Menara Merah sebagai strategi persatuan. Namun tugas paling utama adalah melindungi kader-kader PKI bawah tanah.

Pada masa itu, tempat paling aman untuk konsolidasi adalah Pemalang Selatan. Di tempat ini pula, Widarta mencetuskan gagasannya untuk membangun persatuan tiga daerah GPB3D (Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah) dengan musuh utama adalah Kapitalisme dan Feodalisme. Landasan gagasan itu sendiri adalah bergolaknya revolusi di tiga daerah setelah kemerdekaan diproklamirkan, yakni Brebes, Tegal, Pemalang yang disertai dengan penggulingan para pangreh praja. Kebanyakan para pangreh praja yang menjabat sebagai elit-elit politik tersebut, setelah digulingkan, digombreng keliling desa tanpa sehelai bajupun dan dikalungi padi. Hal itu tak lepas dari kemarahan rakyat terhadap para pangreh praja (priyayi) yang lebih dekat ke Belanda dan Jepang selama penjajahan berlangsung. Apalagi ketika kemerdekaan diproklamirkan, para pangreh praja menolak mengibarkan bendera Merah Putih dengan alasan belum ada kepastian tentang kemerdekaan Indonesia. Tentu saja itu menyulut kemarahan rakyat, yang sedang gegap gempita menyambut kemerdekaan.

Di Tegal dan Brebes, pembantaian terhadap pangreh praja, masyarakat Ambon, Menado, keturunan Cina serta Indo, terjadi secara massal. Namun di Pemalang, hal tersebut bisa dihalau, karena Supangat, bupati pilihan rakyat, bersama dengan Widarta menyerukan kepada rakyat untuk tidak melakukan pembakaran maupun pembantaian. Agar para pangreh praja terlindungi, Supangat terpaksa mengamankan mereka dalam penjara. Hal ini yang kemudian dipertanyakan oleh Karisidenan Pekalongan.

Hal yang menarik lainnya adalah di Pemalang, masyarakat keturunan Cina justru sama sekali tidak diserang karena kedekatan masyarakat keturunan Cina dengan penduduk Pemalang, yang juga turut berjuang bersama melawan Belanda dan Jepang. Situasi revolusi di tiga daerah ini lah yang mendorong Widarta mencetuskan GPB3D agar pemerintahan dipegang oleh rakyat sendiri dan bukan para priyayi (feodal). Semangat anti feodalisme memang terasa kental di tiga daerah ini. Hal itu tercermin  dari penolakan untuk membungkuk-bungkuk terhadap priyayi (ini merupakan pengaruh dari SI yang memiliki basis massa terbesar di tiga daerah semasa SI masih hidup), hingga menolak menggunakan bahasa Krama Inggil dan mengkampanyekan sebutan yang setara bagi seluruh pejabat pemerintahan dan pimpinan organisasi. Sebagai contoh, mereka menolak memanggil Sukarno dengan “Presiden Sukarno” tapi “Bung Karno”, karena setiap orang adalah setara.

GPB3D sendiri memiliki tujuan untuk menjangkau Pekalongan yang belum terkena imbas revolusi. Seluruh jabatan pemerintahan masih dipegang oleh para priyayi. Oleh karena itu, GBP3D mengajukan tuntutan  (1) Sarjio harus diangkat sebagai Residen; (2) sisa-sisa pangreh praja yang masih berkuasa harus diganti; (3) semua pendukung NICA harus dibersihkan; (4) apabila Pekalongan dalam waktu 3 hari tidak melaksanakan tuntutan ini, maka GBP3D akan terpaksa menentukan sikap tegas dan bertanggung jawab atas akibatnya. Hal yang melandasi tuntutan ini adalah untuk mencegah kekerasan, kerusuhan, dan kekacauan yang terus berlangsung. Ketika dengan segera menggantikan residen yang lama, maka pergolakan sosial yang lebih lanjut bisa dicegah. Sementara, melaporkan kepada pemerintah pusat agar segera mengatasi persoalan di tiga daerah tidak akan ada gunanya, karena pemerintah pusat tengah berkonsentrasi pada pertempuran menghadapi NICA di Surabaya dan sikap pasif Pekalongan menghadapi pergolakan tiga daerah dianggap membahayakan.

Ketiga tuntutan GPB3D memang dipenuhi pada 9 Desember 1945, tapi pemerintahan baru GPB3D tidak berlangsung lama, hanya 3 hari. Tergulingnya pemerintahan baru ini tak lepas dari hilangnya dukungan TKR Pekalongan yang merasa sakit hati karena penolakan bantuan untuk bertempur di Semarang, serta marahnya para pemuda Islam karena pidato Kamijaya yang menyatakan golongan Islam tidak revolusioner bila dibanding gerakan rakyat lainnya. Akhirnya TKR dan pemuda Islam bergerak menggulingkan pemerintahan rakyat yang baru berkuasa 3 hari tersebut. Kamijaya, Widarta, dan pimpinan-pimpinan lainnya dipenjarakan. Sementara pimpinan PKI di bawah Amir Sjarifuddin, tidak bergerak untuk menyelamatkan Widarta dan kawan-kawannya.

Ada beberapa sumber (seperti yang terdapat di buku One Soul, One Struggle) yang menyatakan bahwa itu sengaja dilakukan oleh pimpinan PKI, karena berseberangan dengan kelompok Widarta. Perbedaan tersebut terkait dengan posisi musuh rakyat pasca diproklamirkannya kemerdekaan. Menurut Widarta, musuh yang harus segera dilawan tidak hanya penjajah (Belanda, Jepang, NICA, sekutu) namun juga feodalisme dengan merebut pemerintahan dari tangan priyayi, sementara menurut Amir Sjarifuddin, tugas yang mendesak yakni dengan bertarung mati-matian mengusir NICA dan Jepang, bukan memerangi para priyayi. Perbedaan lainnya adalah terkait pandangan tentang perundingan internasional. Widarta menolak dengan tegas upaya – upaya perundingan internasional yang justru melemahkan posisi Indonesia, sementara menurut Amir Sjarifuddin upaya diplomasi melalui perundingan internasional adalah penting. Amir juga mengecam pembantaian di Brebes dan Tegal yang bagi Widarta, di sisi lain, meski tak bisa dibenarkan, namun revolusi sosial di tiga daerah mestinya tetap didukung.

Keberadaan Widarta cs dianggap hanya akan menggangu upaya diplomasi Indonesia yang didukung sepenuhnya oleh PKI. Selama di penjara, Widarta tetap gigih menolak perundingan internasional, salah satunya adalah perjanjian LinggarJati. Bersama dengan kelompok Tan Malaka, Widarta menandatangani petisi penolakan perjanjian Linggarjati yang membuat Amir Sjarifuddin berang.

Selepas keluar dari penjara pada tahun 1947, Widarta menuntut dibukanya perdebatan di Internal PKI, namun Widarta bersama Kamijaya justru diculik oleh PKI dan dihadapkan pada sidang pengadilan. Amir Sjarifuddin menjadi kepala mahkamah pengadilan tersebut dan hakim-hakimnya terdiri atas anggota PKI bawah tanah yang dulu menjadi bagian kelompok Widarta. Widarta dan tiga orang lainnya dijatuhi hukuman mati. D.N Aidit yang sebelumnya turut serta sebagai bagian dari mahkamah pengadilan partai ini kemudian undur diri setelah mendengar pembelaan pimpinan tiga daerah.

Penjatuhan hukuman mati ini pun mendapat kritik keras dari Muso, dan selama bertahun-tahun lamanya PKI tidak mengutak-atik kasus ini hingga akhirnya memutuskan merehabilitasi nama Widarta. Proses rehabilitasi nama Widarta dilakukan oleh Komite Verifikasi CC PKI yang diinisiatifi oleh Kamijaya. Komite ini memutuskan menulis buku “20 Tahun di Bawah Tanah” dan mengubah nama Sekolah Partai Central menjadi Institut Widarta, yang berada di bawah Akademi Sosial Aliarcham (kini bernama Universitas Trisakti). Sayang, hal tersebut tak pernah terjadi, nama Widarta turut tenggelam bersama dengan nama-nama lain dalam tragedi pembantaian 1965.

Diulas berdasarkan buku “Peristiwa Tiga Daerah, Revolusi dalam Revolusi”, oleh Anton E. Lucas, Pustaka Utama Grafiti, 1989.


*Telah dicetak dalam Koran Pembebasan Edisi II, November-Desember 2011.

[1] Anggota Partai Pembebasan Rakyat, pengurus Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia (PPBI)

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *