Sikap dan Seruan Politik Sekber Buruh Jabotabek Menuju 14 Tahun Reformasi

Aksi Sekber buruh 21 Mei 2012

Persoalan Rakyat Tidak Mampu Diselesaikan Dengan Reformasi!
Lawan & Gulingkan Kediktatoran (Orde) Modal!

Beberapa hari lagi kita akan masuk pada momentum bersejarah yang membuktikan kebesaran kekuatan rakyat, yaitu tumbangnya kediktatoran orde baru Soeharto. Tepat pada 21 Mei 1998, atas tekanan kekuatan rakyat yang membanjiri pusat-pusat kekuasaan dan aset-aset vital ketika itu, Soeharto tak punya jalan lain kecuali mengikuti tuntutan rakyat untuk berhenti jadi penguasa. Sorak kemenangan seakan memperpanjang ‘nafas rakyat’ untuk mengenyam harapan atas kehidupan yang lebih merdeka dan bermartabat.

Kini, menjelang berjalannya tahun ke-14 reformasi, banyak rakyat mulai bertanya, apakah hasil dari reformasi itu? Diawal-awal perjalanannya (1998-2001) kita masih dapat melihat bahwa reformasi menghasilkan kebebasan berkumpul/berorganisasi, berpendapat, dan aspek-aspek lain atas demokrasi (kelembagaan/prosedural), yang sedikit meluaskan ruang partisipasi ekonomi politik rakyat. Namun semakin berjalannya waktu, permukaan yang seakan demokratis dan berpengharapan terlihat semakin bopeng dan keropos. Rakyat mulai mengeluhkan kenyataan yang semakin absen menghadirkan kesejahteraan. Bahkan kebebasan berkumpul dan berpendapat saja yang dahulu sempat didapat kini mulai dicerabut oleh penguasa dengan berbagai macam cara. Puluhan lembaga yang hadir pasca reformasi pun seperti tak memiliki kekuatan untuk membela kepentingan rakyat.

14 Tahun Reformasi: Tumpukan Persoalan dan Masa Depan Rakyat Terancam

Bagi kita, kaum buruh/pekerja, upah murah dan ketidakpastian kerja sudah menjadi beban yang menggerogoti kesejahteraan dan kemerdekaan buruh. Sejak diterbitkannya UUK no.13 tahun 2003 yang didalamnya terdapat sistem kerja kontrak dan outsourcing, bukan hanya hak-hak normatif yang dipangkas sesuka hati para pemodal, namun PHK sepihak juga menggentayangi buruh yang ingin sekedar membentuk atau bergabung dalam organisasi serikat buruh sebagai alat berjuangnya memperbaiki martabat. Sekarang ini telah terdapat lebih dari 50% jumlah buruh yang bekerja dengan sistem kontrak/outsourcing dari total buruh yang bekerja di sektor formal, dimana hal tersebut sangat mempengaruhi rendahnya partisipasi/keikutsertaan buruh dalam organisasi serikat buruh/pekerja yang hanya berkisar 10% dari jumlah total buruh. Berbagai taktik telah dilakukan pemodal untuk menghalang-halangi buruh berorganisasi dan memberangusnya (union busting), walau hal tersebut sebenarnya telah dijamin dalam UU tentang kebebasan serikat.

Kehadiran permen 17 tahun 2005 sebagai dasar penghitungan upah minimum juga tak kalah sadisnya, dengan hanya mengukur kebutuhan hidup buruh (lajang) sekedar dapat bekerja lagi esok harinya. Tak heran, walaupun dewan pengupahan seakan mengakomodir perwakilan serikat pekerja, upah minimum yang direkomendasikan tidak bisa jauh keluar dari batas peraturan (permen 17/2005) yang menempatkan buruh sama dengan budak. Inilah mengapa persentasi upah di Indonesia tidak melebihi 10% dari keseluruhan biaya produksi di setiap bidang usaha. Sangatlah kecil dibanding biaya produksi lainnya, apalagi dibandingkan dengan keuntungan yang dirampas para pemodal untuk mendirikan dan membeli properti-properti mewahnya.

Begitu juga dengan sahabat kami, kaum tani, yang semakin tercerabut dari tanahnya akibat perampasan-perampasan tanah berkedok hukum. Baik itu atas nama “tanah hutan” (lewat UU no.41/1999 tentang kehutanan), “tanah HGU” (lewat UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal dan UU 18/2004 tentang Perkebunan), dan “tanah untuk tambang” (lewat UU No. 4/2009 Mineral dan Batubara), kaum tani dan rakyat secara umum diusir dari tempatnya hidup. Ditambah, sebentar lagi juga akan ada kedok “tanah untuk pembangunan” lewat UU Pengadaan Tanah yang baru saja dikeluarkan.

Masalah kaum buruh dan kaum tani diatas terhubung dengan meluasnya jumlah pengangguran yang mencapai 10% dari angkatan kerja, sebuah jumlah yang sebenarnya diluar batas normal dari sistem ini sendiri.

Dalam kondisi yang demikian, tentu saja data-data yang dimanipulasi pemerintah untuk menunjukkan kenaikan “kelas menengah” di Indonesia (dengan ukuran pengeluaran berkisar 2$ – 6$/hari atau Rp.18.000 – Rp.54.000/hari atau Rp.540.000 – Rp 1.350.000 /bulan) tidak dapat dipercaya. Dengan berpikir waras saja kita tahu bahwa Rp 1.350.000/bulan masihlah dibawah Upah Minimum dan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), lalu dari mana jalannya kategori tersebut dikatakan “kelas menengah”? Jika secara moderat saja kita mengikuti standar Bank Dunia (pendapatan 2$/hari atau Rp 18.000/hari), maka telah terdapat 130 juta penduduk Indonesia (lebih dari 50% dari 237 jumlah penduduk) tergolong miskin. Kondisi ini yang kemudian membuat pemerintah berkepentingan untuk menutupi kenyataan bahwa sistem yang dijalankannya telah bangkrut.

Ditengah eksploitasi demi eksploitasi, pencabutan subsidi (khususnya subsidi energi) justru semakin diberlakukan pemerintah untuk mempertahankan ‘performance anggaran’ dan kesetiaanya dihadapan pemilik modal, agar dapat terus-menerus mengemis hutang.

Cerminan masa depan rakyat yang terancam juga tergambar dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM)–untuk mengukur tingkat harapan hidup, standar hidup, pendidikan dan melek huruf—yang hanya menempati peringkat 124 dari 187 negara dengan skor 0,617.

Keterancaman hidup rakyat ini sebenarnya sudah semakin disadari, baik oleh buruh, tani, maupun rakyat secara umum. Perlawanan demi perlawanan tak henti-hentinya dilakukan. Atas alasan ini jugalah demokrasi sedikit demi sedikit dipangkas oleh penguasa. Prosedur demonstrasi diperketat; protap ‘tembak ditempat’ dikeluarkan; UU Intelijen disahkan; lalu menyusul UU keamanan nasional dan UU penanganan konflik sosial. Bahkan baru-baru ini juga telah dikeluarkan suatu peraturan menteri dalam negeri No.33/thn 2012 yang membatasi kehadiran dan aktivitas organisasi-organisasi kemasyarakatan.

Upaya teraman bagi penguasa dalam membatasi demokrasi juga sering dilakukan penguasa dengan ‘memakai’ alat-alat ’sipil’. Tak asing lagi bagi kita melihat pembubaran-pembubaran forum diskusi, serangan kekerasan terhadap agama dan kepercayaan non arus besar, serangan terhadap hak berekspresi, berkumpul, dan berorientasi seksual, oleh FPI atau sejenisnya yang mengklaim pemegang kebenaran dari langit dan dibiarkan saja oleh negara. Atau seperti biasanya, sipil-sipil bersenjata ala pamswakarsa dan preman juga sering dikerahkan untuk mengintimidasi perjuangan rakyat, dimana seperti biasanya juga, aparat menutup mata atas ini.

Dalam kondisi seperti inilah pertanyaan demi pertanyaan tentang sistem mulai lahir di sudut-sudut ruang rakyat: apakah sistem dan penguasa sekarang justru tidak lebih baik (atau bahkan lebih kejam) dari sistem dan penguasa dulu (orba)? Walau tak sedikit juga rakyat, karena ketidaktahuannya, mennyatakan lebih baik di masa orba dulu. Hal ini sebenarnya wajar ditengah tidak adanya penglihatan yang cukup menyeluruh dimata rakyat tentang fakta dan hakikat dari reformasi. Semakin wajar jika tidak adanya alternatif sistem bagi rakyat.

Reformasi: Dari Kediktatoran Orba Menuju Kediktatoran Modal

Jika dikaji lebih mendalam, reformasi sebenarnya merupakan suatu kesalahan-relatif yang dibidani oleh para pejuang demokrasi yang peragu termasuk para pembajak demokrasi—sisa-sisa orba?. Merekalah yang mengorganisasikan dan berkumpul dalam ‘pertemuan elite’ di ciganjur. Disisi lain hal tersebut juga dikarenakan rakyat masih gagap untuk bicara kekuasaan, apalagi kesiapan merebutnya.

Kita tahu bahwa prakondisi reformasi merupakan hasil dari gagalnya sistem pembangunan sentralistik dan otoriter dibawah komando konglomerasi cendana. Orde baru bukanlah sebuah sistem yang tidak berlandaskan pada modal (kapital), melainkan sistem yang dikelola secara terpusat dan militeristik.

Penandatanganan letter of intent (Loi) IMF yang menjadi salah satu tonggak terpenting era reformasi akihirnya menerobos pagar konglomerasi cendana yang sudah bangkrut. Soeharto dengan terpaksa (dan senang hati) menandatangani ini, karena dalam situasi yang sudah semakin terjepit oleh krisis dan tekanan rakyat, semua hutang cendana justru akan diputihkan dan dibebankan pada rakyat dalam bentuk hutang baru dan pencabutan subsidi. Sebuah lingkaran yang menyeret kesetiaan kaum modal (borjuis) Indonesia kepada Imperialisme lebih dalam lagi. Sejak saat itulah Indonesia masuk dalam skenario Neoliberal dan membutuhkan penguasa yang lebih mampu mengilusi harapan rakyat lewat demokrasi yang digembar-gemborkan.

Sehingga sejatinya, reformasi, yang berkarakter kekuasaan elit, menjadi ‘jalan baru’ kesetiaan kaum modal (borjuis) Indonesia kepada Imperialisme dan sistem kapitalisme. Itulah mengapa pemerintahan kaum modal di Indonesia yang mengikuti skenario neoliberal hari ini tidak berkepentingan terhadap demokrasi. Seperti halnya ketika mereka, para reformis gadungan hasil Ciganjur, segera bergandeng-gandeng tangan dengan Golkar dan tentara pendukung kekuasaan orde baru. Demokrasi bagi mereka hanyalah ‘hiasan dan kendaraan’ bagi akumulasi modal yang sejatinya bekerja dengan cara menghisap dan menindas jutaan rakyat Indonesia.

Itulah sebabnya tak satupun kejahatan pelanggaran HAM berat masa orde baru (pembantaian 1965-66, peristiwa petrus, tanjung priuk, talangsari, Semanggi I dan II, dst) mendapatkan keadilan di masa reformasi. Orde Modal tak butuh keadilan bagi korban. Itulah makna kediktatoran modal yang membuat demokrasi berdiri diatas angin, sehingga ketika sewaktu-waktu ketika ia bertentangan dengan kehendak akumulasi modal, dia dapat segera dihembus-hilangkan.

Sekarang, terang bagi kita bahwa reformasi tidak lagi mampu menjawab persoalan rakyat dan menegakkan demokrasi. Dalam bahasa lain, kaum pemodal (borjuis) lewat reformasi tidak akan pernah sanggup mengemban amanat demokrasi dan kesejahteraan.

Sehingga dengan ini kami Sekber Buruh Jabotabek menyerukan sikap kami:

1) Menolak dan akan melawan politik upah murah dan sistem kontrak/outsourcing.
2) Menolak dan akan melawan upaya-upaya pencabutan subsidi rakyat (BBM, TDL, dll).
3) Menolak dan akan melawan upaya-upaya perampasan tanah rakyat
4) Menuntut diturunkannya harga-harga kebutuhan pokok rakyat
5) Menuntut diselenggarakannya pendidikan gratis serta menolak RUU Pendidikan Tinggi.
6) Menuntut dengan tegas dicabutnya seluruh Undang-Undang Anti Demokrasi seperti UU Intelijen, UU Penanganan konflik sosial, maupun RUU Keamanan Nasional.
7) Menuntut dengan tegas dituntaskannya seluruh kasus-kasus pelanggaran HAM.
8) Dan hanya ketika kekuasaan terbuat dari, oleh dan untuk rakyat melalui pemerintahan rakyatlah demokrasi dan kesejahteraan dapat ditegakkan.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *