Perlawanan Rakyat di Bima, Pulau Padang Cuatkan Pentingnya Pemahaman Ekologi Bagi Gerakan Progresif Indonesia

Pius Ginting*

Rakyat di Kecamatan Sape Bima membentuk Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) dalam perjuangan mereka pertahankan lingkungan hidup. Penamaan organisasi perlawanan ini dan tujuan yang hendak dicapai berbeda sekali dengan tuntutan yang biasa diusung oleh gerakan kiri di Indonesia.

Misalnya kita bandingkan dengan program PAPERNAS (partai persatuan nasional). Partai yang didirikan tahun 2007 oleh aktivis kelompok kiri ini mengusung program yang mereka sebut sebagai Tri Panji. Yakni, penghapusan utang luar negeri, nasionalisasi/ambil-alih industri pertambangan, dan bangun pabrik/industri nasional untuk kesejahteraan rakyat.

Jelas program yang kedua dan ketiga berbeda dengan semangat perlawanan rakyat Kecamatan Lambu dan Kecamatan Sape, Bima. Rakyat di bagian paling timur pulau Sumbawa ini sama sekali tak menghendaki perusahaan tambang di ruang hidup mereka. Karena mereka peka akan persoalan yang ditimbulkan pertambangan di lingkungan mereka. Selain tanah pertanian yang mereka kelola terancam, yang lainnya adalah persoalan lingkungan, berupa hilangnya hutan, sumber mata air mereka. Demikian penuturan Muzakir (?), seorang pemuda Kecamatan Lambu yang tergabung dalam FRAT kepada penulis. Belum lagi potensi pencemaran di daerah pantai akibat erosi yang ditimbulkan perusahaan tambang. 

Tuntutan rakyat Bima menolak tambang di ruang hidup mereka juga mengandung perbedaan jika bukan pertentangan dengan Gerakan Pasal 33 (bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan digunakan sebenar-besarnya untuk kemakmuran rakyat) yang kini diusung oleh partai kiri di Indonesia.

Gerakan kiri bisa mengklaim bahwa, pandangan rakyat yang selama ini hanya jadi penonton dan mendapatkan getah dari eksploitasi sumber daya alam akan berubah saat industri pertambangan dinasionalisasi. Seperti yang dituntut oleh Papernas. Dengan membandingkan dengan negara lain dimana kekuatan kiri sedang memimpin, klaim ini runtuh. Kita bandingkan dengan Peru dan Bolivia yang saat ini disebut dipimpin oleh kekuatan kiri. Media online yang dikelola aktivis kiri, Berdikari menyebut Ollanta Humala sebagai presiden kiri. Disebutkan “Ollanta Humala adalah bekas kolonel yang berfikiran maju dan anti-imperialisme. Humala menggambarkan politiknya sebagai anti-neoliberal dan mendukung integrasi Amerika Latin. Tekanan pokok kampanyenya adalah distribusi kekayaan yang lebih adil kepada seluruh rakyat. Selain itu, Humala menjanjikan akan menyusun konstitusi baru guna menjamin hak demokrasi rakyat, pendidikan dan kesehatan gratis, peran negara yang lebih besar dalam perekonomian, dan kontrol negara terhadap sumber daya alam.”

Setelah Humala berkuasa, rakyat di Peru daerah Conga melakukan aksi besar-besaran menolak rencana masukknya tambang Newmont. Rakyat daerah Conga tak hendaki hutan, sumber air dan bagian lain dari lingkungan hidup mereka hancur karena pertambangan. Sangking hebatnya aksi penolakan warga, Humala menetapkan daerah tersebut dalam keadaan darurat. Tentara dikerahkan, para pentolan penolakan tambang ditangkap. Seperti tekad rakyat Bima yang tak padam setelah pengepungan dan penembakan 24 Desember 2011, dalam tempo sebulan setelah represi di Conga, kembali ribuan rakyat di Peru melanjutkan aksi.

Dalam kasus Peru aktivis kiri masih bisa berkilah, bahwa Humala tak konsisten sebagai pemimpin kiri dengan program kontrol negara atas sumber daya alam. Karena masih perbolehkan tambang Newmont.

Kini kita bandingkan dengan Bolivia. Evo Morales membuat berbagai terobosan dahsyat dalam perspektif lingkungan. Konstitusi Bolivia adalah satu-satunya di dunia yang mengakui lingkungan sebagai subyek hukum. Dengan kata lain, sungai, gunung, hutan bisa menggugat siapa saja yang melanggar kepentingannya. Disetarakan dengan individu manusia atau badan hukum yang umum dikenal sebagai subyek hukum. Pemerintah Bolivia paling maju di pertemuan internasional seperti Konvensi Iklim menuntut tanggung jawab negara maju sebagai perusak terbesar lingkungan hidup demi kemajuan negari mereka. Bolivia juga mengusulkan adanya pengadilan kejahatan lingkungan internasional.

Namun pemerintahan Evo Morales tetap hadapi perlawanan hebat dalam negerinya saat memulai proyek jalan raya lewat sebuah kawasan hutan. Ribuan penduduk aksi yang peka akan dampak negatif masuknya proyek jalan ke ruang hidup mereka melakukan protes luas. Puluhan ribu rakyat terlibat. Kekerasan terjadi . Akhirnya, Morales harus mengalah dengan membatalkan proyek jalan tersebut.

Bolivia yang kiri dibawah Morales masih tergelincir dalam persoalan pembangunan yang dilakukan tanpa diawali terlebih dahulu lewat proses menanyakan persetujuan rakyat atau ketidakpersetujuan rakyat yang terdampak (veto rakyat). Dan dalam kasus pembangunan jalan ini, rakyat yang umumnya penduduk pribumi memilih kelangsungan ekosistem mereka sebelumnya, dan menolak pembangunan jalan.

Arti Sosial Lingkungan

Persoalan lingkungan terkait dengan persoalan sosial atau kelas. Terlebih dahulu kita perlu menetapkan perspektif yang digunakan dalam melihat persoalan lingkungan.
Alan Schnaiberg, sosiolog eko-marxist dalam The Environment, From Surplus to Scarcity membagi dua pandangan tentang relevansi sosial lingkungan fisik. Pertama, lingkungan sebagai rumah manusia. Konteks ini mendasari isu-isu “perusakan tempat tinggal/sangkar” kita lewat berbagai polusi. Seperti halnya rumah, persoalan estetika lingkungan fisik menjadi perhatian pandangan ini. Orang ingin punya rumah bersih, menarik, beragam, tak monoton untuk ditinggali. Berbagai persoalan tentang ketidaknyamanan visual terhadap lingkungan fisik: kotor, rusak, monoton penuh sampah—berbagai kelompok sosial telah mengambil hal ini sebagai misi perbaikan terhadap rumah kolektif. Usaha tersebut tetap penting, tapi Allan Schaneberg mengkategorikannya sebagai perhatian “kosmetik”.

Konsep kedua, lingkungan sebagai basis keberlanjutan masyarakat. Dalam hal ini linkgungan dilihat sebagai tempat/locus bagi semua dukungan material bagi manusia. Kita perlu memahami stuktur produktif lingkungan fisik-biotik. Bumi tidak sekedar rumah yang dijaga, tapi condicio sine qua non kehidupan.

Berdasarkan pandangan kedua ini, kita perlu memahami evolusi kehidupan dan manusia, sebagaimana Marx dan Engels mengapresiasi karya Darwin bahwa kehidupan berkembang dalam proses lewat proses panjang, milyaran tahun. Bentuk kehidupan alami yang ada sekarang ini, tepatnya sebelum didistorsi secara masif oleh kepentingan kapital adalah dinamika alam yang perlu kita pahami hukum-hukumnya, agar memungkinkan adanya kehidupan yang berkelanjutan. Mewariskan bumi yang lebih baik bagi generasi berikutnya.

Tak mungkin ada pembangunan berkelanjutan dibawah kapital. Contoh paling nyata adalah Indonesia telah lampui produksi puncak minyak. Tak ada lagi minyak di P.Brandan, Sumatera Utara karena telah disedot dari masa Belanda. Batubara Indonesia berdasarkan cadangan dibagi tingkat produksi maksimal hanya bertahan 20 tahun. Setelah itu? Alam telah rusak, dan tidak ada strategi/perencanaan peralihan ke energi dan lapangan pekerjaan lain tanpa PHK.

Apa yang diperjuangkan rakyat di Kecamatan Lambu dan Pulau Padang bukan sekedar konflik agraria. Lebih dari itu adalah perjuangan mereka akan dukungan lingkungan bagi kehidupan mereka, kini dan generasi seterusnya. Perjuangan lingkungan adalah bagian penting dari perjuangan sosial/kelas. Bahkan kian penting kini seiring dengan meluasnya caplokan kapitalis atas ruang hidup dan lingkungan fisik kita, seperti kelakukan Newmont dan Freeport melakukan pembuangan material fisik limbah tambang ke laut, pembuangan limbah tambang terbesar di dunia ke laut.

*Pengampanye Energi dan Tambang WALHI Indonesia

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *