HUT POLRI BERLUMURAN DARAH RAKYAT PAPUA!

Aksi NaPaS ‘memperingati’ HUT Polri, Jakarta, 2 Juli 2012.

Pernyataan Sikap

Sudah 43 Tahun rakyat Papua dicaplokan masuk ke dalam Indonesia melalui rekayasa PEPERA yang cacat hukum, yang tidak sesuai dengan New York Agreement (One Man One Vote). Walau Papua dicaplokan dengan rekayasa, rakyat Papua diberikan malapetaka. Malapetaka yang membuat tak hanya kekayaan alamnya yang diperas, tetapi juga manusia-manusianya pun diperkosa, disiksa, dibantai, dinistakan dan dibunuh, yang kemudian diarahkan pada Pemusnaan Papua.

Salah satu aktor dibalik malapetaka bagi rakyat Papua adalah Institusi yang baru saja merayakan ulang tahunnya ke 67 yakni, POLRI,  selain pemerintah, militer, Freeport, MIFEE dan perusahaan asing dan lokal lainnya.

Betapa tidak, rakyat Papua asli yang terdiri lebih dari 250 Suku ini, selama kurang lebih 43 tahun jumlahnya kian menyusut menjadi sekitar 1,2 Juta orang, baik karena penyebaran virus HIV/AIDS, hingga pembunuhan dan pembataian. Rakyat Papua adalah ‘orang sisa-sisa’, yang pada akhirnya akan dilenyapkan keberadaannya oleh aktor-aktor kekerasan, pendukung keberlangsungan penghisapan modal di Papua.

Akar masalahnya tidak hanya manipulasi sejarah Pepera(Pencaplokan), namun terjadi investasi besar-besaran yang membuat mayoritas rakyat Papua yang tinggal di kawasan investasi pertambangan dan perkebunan disingkirkan dari wilayah adat mereka. Lingkungan tempat mereka hidup penuh dengan limbah tailing. Sementara penanganan dari kesemua masalah di Papua serta reaksi atas ketidak adilan sosial tersebut dilakukan oleh Rezim Soeharto hingga SBY-Boediono melalui pendekatan “militeristik, dan stigmatisasi separatis”.

Pendekatan militeristik membuat kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua selalu melambung tinggi, apalagi kekerasan justru dilakukan oleh Institusi Negara, apalagi institusi dan aktor pelaku kekerasan  tidak perna ditangkap, dipecat dan diadili, namun justru diberikan penghargaan, dinaikan pangkat dan bahkan dipromosikan jabatannya, walau aktor-aktornya adalah penjahat kemanusian.

Sejak 1969 hingga hari ini, Arnold Ap, Tom Wanggay, Theys Eluay, Petrus Ayamiseba, Leo Wandagau, Daniel Kedepa, Max Asayeu dan Yakob Samon Sabra  dan terakhir Mako Taboni, beserta ribuan rakyat Papua lainnya sejak 1969 menjadi korban peluru panas dan sangkur Polisi/Tentara  yang dibunuh atas nama stabilitas keamanan dan investasi yang dibingkai oleh “Nasionalisme Cupet” dan “stigmatisasi separatis”. Setiap bayi orang Papua sejak dalam kandungan sudah dianggap “separatis dan musuh Pemerintah”.

Pembunuhan, Penculikan, Pemerkosaan, Pembantaian, maupun penghinaan terhadap orang sisa-sisa berambut kriting-kulit hitam, sudah,sedang dan akan terus terjadi. Karena pada dasarnya tidak ada niat baik pemerintah untuk menciptakan demokrasi; menjunjung tinggi kemanusiaan dan mensejahterakan rakyat Papua. Hal itu terlihat jelas, dalam 2 bulan terakhir sebelum HUT POLRI, Penembakan, pembunuhan baik yang dilakukan oleh POLRI, maupun OTK (Orang Terlatih Khusus) sudah mencapai lebih dari 25 orang, dimana salah satunya, Mako Tabuni yang secara legal ditembak oleh Polisis dan Tentara, saat Mako Tabuni makan pinang bersama warga di Waena. Mako ditembak mati tanpa alasan apapuan. Mako adalah Tokoh Muda Papua yang selalu menyuarakan kebenaran di Papua. Dan hingga hari ini eskalasi tindak kekerasan oleh Polisi dan Tentara terhadap Rakyat dan Aktivis Pejuang HAM dan Demokrasi di Papua Melunjang tinggi, meskipun Solidaritas Nasional dan Internasional “hentikan kekerasan di Papua”. Setelah Mako Tabuni ditembak mati, tgl 18 Juni, Polisi menembak mati dua kakak beradik di Timika. Tanggal 26, Polisi menembak seorang warga di Entrop Jayapura, dan kematin, di hari HUT Polri, OTK menembak Kepala kampung keerom, Yohanes Yanofrom, langsung meninggal di tempat. Sementara SBY Selaku Presiden menganggap masalah Papua “Berskala Kecil”, dan SBY menyatakan tak perlu ada suatu proses dialog yang adil, setara dan demokrastis dengan rakyat Papua. Hal tersebut terlihat dari statemennya yang bersedia berdialog apabila ada pembatasan yang sesuai dengan frame kebijakan Pemerintah, atau sandiwara dialog yang hanya menguntung penindas.

Kemarin merupakan Hari Ulang Tahun POLRI dan sekali lagi kami menyatakan, HUT POLRI Berlumuran darah Rakyat Papua. POLRI sebagai institusi keamanan yang wajib memberikan perlidungan terhadap rakyat ternyata bagian dari penjahat kemanusiaan di Papua.

Dalam kesempatan aksi ini, kami, NAPAS, menuntut:

  1. POLRI Segera hentikan Stigmatisasi dan Pengkambinghitaman terhadap Rakyat Papua dan Aktifis Papua;
  2. POLRI segera bebaskan Buktar Tabuni, dan tahanan lainnya tanpa syarat;
  3. POLRI segera mengungkap kasus-kasus OTK secara transparan;
  4. POLRI segera menghentikan pengiriman Polisi dan tarik Densus 88 dari Papua.
  5. POLRI segera menangkap tentara yang melakukan penembakan-penembakan terhadap rakyat Papua.
  6. Segera digelarnya pengadilan sipil terhadap pelaku penembakan Mako Musa Tabuni. 
  7.  Hentikan segala bentuk Bisnis Militer di Tanah Papua;
  8. Hentikan pengiriman pasukan-pasukan siluman ke Papua.

Dan terhadap pernyataan SBY yang menyatakan pemerintah bersedia berdialog apabila tidak ada pembicaraan mengenai Referendum, Pelurusan sejarah, dll, NAFAS menilai bahwa sesungguhnya pemerintah tidak mau berdialog; dan tidak mau ada demokrasi di Papua. Pada prinsipnya Dialog adalah proses komunikasi pihak-pihak yang bersengketa secara adil, setara, demokratis dan bebas dari tekanan.

Karenanya, dalam pra-Dialog, sebagai penghormatan terhadap ruang demokratis, haruslah:

  1. Negara memberikan kebebasan menyatakan pendapat termasuk referendum dan pelurusan sejarah;
  2. Menarik Tentara dan Polisi Non Organik beserta pasukan siluman lainnya, serta mengurangi pasukan organik dari tanah Papua.
  3. Pemerintah meminta maaf atas segala kejahatan yang telah dilakukan terhadap Rakyat Papua, dan memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban;
  4. Bisnis militer dihentikan/dihapuskan;
  5. Menangkap dan Mengadili Pelaku Pelanggaran HAM;
  6. Menangkap dan mengadili Penembak Misterius;
  7. Membebaskan Tapol dan Napol;
  8. Kebebasan Akses Informasi: Seluruh media asing dan lokal dapat mengakses Papua; kemudahan akses internet dan telekomunikasi;
  9. Membuka ruang bagi pembelah HAM Nasional dan Internasional dilakukannya investigas/advokasi secara menyeluruh tuk pengungkapan fakta-fakta kejahatan kemanusiaan di Papua.

Dalam kesempatan ini kami pun menyerukan:

A. Kepada rakyat papua untuk berani! Bersatu dan melawanlah! Jangan terpecah dengan politik adu domba gunung-pantai, pribumi-pendatang dan jangan takut dengan segala macam intimidasi dan ancaman! Ketakutan adalah cara untuk melumpuhkan perlawanan!

B. Kepada rakyat Indonesia: Bersolidaritaslah! Kekerasan oleh polisi dan militer terjadi dimana-mana tidak hanya di Papua, dan apabila tak ada solidaritas serta perlawanan maka ruang demokrasi yang sudah di dapat selama 14 tahun ini tak pelak akan kembali dirampas dari tangan kita.

Salam Kemanusiaan!

Salam Demokrasi!

Jakarta, 2 Juli 2012

Marthen Goo

Humas

*Nasional Papua Solidaritas (NaPaS) adalah komite solidaritas yang dibentuk oleh aktivis-aktivis pro demokrasi Papua, dan didukung penuh oleh Partai Pembebasan Rakyat, Pusat Pergerakan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN), dan Perempuan Mahardhika.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *