Sekitar 100 orang, perempuan dan laki-laki, bergabung dalam Aksi Rok Mini – Perempuan Melawan Perkosaan di Bundaran Hotel Indonesia, Thamrin, Jakarta, pada Minggu 18 September 2011. Puluhan perempuan, termasuk beberapa aktivis dari Perempuan Mahardhika, juga mengenakan rok mini, sebagai pernyataan bahwa perkosaan tidak ada hubungannya dengan cara berpakaian perempuan.
Demonstrasi ini sebagai protes menanggapi pernyataan Gubernur Jakarta, Fauzi Bowo (dijuluki Foke), mengenai kasus baru-baru ini yang menimpa seorang mahasiswi, Livia, yang diperkosa dan dibunuh di dalam transportasi umum.
“Bayangkan jika seseorang duduk dalam mikrolet mengenakan rok mini, tentu saja anda agak gerah juga”. Ujar Foke. “Wanita harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga tidak memprovokasi orang melakukan perbuatan yang tidak diinginkan”, tambahnya.
Seruan untuk aksi dilakukan oleh puluhan aktivis yang membentuk “Aliansi Perempuan Melawan Perkosaan”, mampu mengumpulkan perempuan dari berbagai latar belakang (aktivis, guru, mahasiswa, istri, rumah tangga, dll) untuk melakukan demonstrasi. Para pengunjuk rasa ini berteriak dan bernyanyi, mengacungkan poster dengan slogan-slogan seperti: “Jangan Ajari Kami Cara Berpakaian, Katakan pada Mereka Jangan Memperkosa ” dan “Rok Miniku, adalah Hakku, Foke You”, “Rok Miniku tidak salah, tetapi Pikiranmu yang Salah”, dll.
Aliansi ini menyatakan, antara lain: pemerkosaan adalah penyerangan seksual terhadap seorang warga negara, seorang perempuan. Perkosaan tidak pernah diinginkan oleh perempuan manapun, tidak peduli latar belakang sosial ekonominya. Korban perkosaan perlu solidaritas dan bantuan dari seluruh masyarakat, seperti pengobatan fisik maupun perawatan. Tetapi justru pernyataan seorang pejabat publik tidak memberikan dukungan, melainkan memalukan, menyalahkan, dan memberikan beban pada korban. ”
Selain itu, mereka juga menuntut agar penegak hukum melindungi korban, dan aparat harus menangani semua kasus pemerkosaan dengan serius. Pemerintah daerah harus menjamin keamanan transportasi publik dan ruang publik serta memperbaiki sistem transportasi di ibukota.
Respon Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap perempuan
Tiga kasus pemerkosaan dalam transportasi umum telah dilaporkan tepat seminggu sebelum aksi protes berlangsung. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNASPER) telah mencatat 3753 perkosaan pada tahu 2011, sementara untuk kepolisian Jakarta sejauh ini telah menerima 41 laporan, dibandingkan pada tahun 2010 sebanyak 40 laporan di sepanjang tahun. KOMNASPER juga telah menerima 105.103 laporan kekerasan terhadap perempuan. Menanggapi protes tersebut, pada Hari Jumat, 23 September 2011, KOMNASPER memberikan rekomendasi yang berkisar tentang peningkatkan keamanan bagi perempuan dalam transportasi umum dan harus ada hukuman yang lebih keras di dalam KUHP terhadap penyerangan seksual.
Kepala Bagian Partisipasi Publik, Andy Yentriyani mengatakan sistem hukum tidak memberikan perlindungan yang memadai terhadap kekerasan seksual bagi perempuan. “[Hukum] masih lemah, karena kekerasan seksual dikategorikan sebagai pelanggaran sosial” kata Andy.
“Dalam satu klausul, [hukuman] sampai 12 tahun. Tetapi di klausul lain, bisa dua tahun, delapan bulan,” katanya. “Untuk anak-anak, hanya diklasifikasi sebagai penyalahgunaan, yang mengurangi tingkat keseriusannya.” Dibawah hukum Indonesia, kekerasan seksual bukan kejahatan spesifik, dan hanya diperlakukan sebagai “tindakan tidak menyenangkan,” dengan demikian respon penegakan hukumnya sangat lemah. Komnas Perempuan berharap inisiatif mereka akan memperbaiki mekanisme hukum, khususnya dengan adanya undang-undang baru.
Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dari tahun 1998 hingga 2010, seperempat dari total 295.836 kasus kekerasan terhadap perempuan adalah kasus kekerasan seksual. Ini hanya kasus yang dilaporkan, mungkin lebih banyak lagi yang tidak dilaporkan. Setiap hari, 28 perempuan mengalami kekerasan seksual di Indonesia, kata lembaga itu. “Solusinya bukan hanya dengan menyediakan ruangan khusus perempuan, seperti di kereta api-yang telah dilakukan sebelumnya, karena tidak ada jaminan kebijakan ini akan mencegah pelecehan terjadi,” kata Andy.
Dia juga menyampaikan kekhawatiran jika seorang perempuan dilecehkan ketika bepergian ke lokasi-lokasi dimana laki-laki perempuan berbaur, dia bisa (saja) dituduh mencari masalah. “Ini kembali pada ide bahwa laki-laki tidak dapat mengontrol diri,” katanya. “Asumsi itu sama buruknya dengan asumsi bahwa tingkah laku atau pakaian perempuan adalah penyebab kekerasan terhadap diri mereka.”
Dari Misoginisme ke Persoalan Kelas dan Jender
Pernyataan Fauzi Bowo itu diikuti pernyataan serupa oleh para pejabat publik lainnya diberbagai tempat di negara ini, termasuk oleh salah seorang kepala administrasi lokal di Aceh Barat yang menyatakan bahwa perempuan yang tidak berpakaian sesuai dengan norma-norma agama harus menyalahkan diri mereka sendiri jika diperkosa. Pernyataan ini memicu kemarahan di kalangan aktivis, karena menurut mereka, ini tidak lain hanyalah tuduhan misoginis kepada para korban dan merupakan bentuk kekerasan verbal terhadap perempuan. Pernyataan ini adalah produk dari cara berpikir yang berakar pada patriarki.
Di dalam ‘Atas Nama’, sebuah film dokumenter yang dibuat oleh Komnasper, seorang wanita dari Aceh – dia sendiri mengenakan jilbab – menyatakannya dengan sangat baik: “secara umum saya pikir tidak ada perempuan suka diatur bagaimana cara dia berpakaian”. Dalam pandangan kami inilah ide dasar dari aksi protes rok mini: perempuan memiliki hak atas tubuh mereka sendiri, untuk mengekspresikan diri dan merasa nyaman atas dirinya, bebas dari prasangka, pelabelan (stereotipe), diskriminasi, dan kekerasan. Ini adalah landasan utama dari perjuangan pembebasan perempuan.
Beberapa aktivis kiri (kebanyakan pria) di Jakarta merasa kurang nyaman dengan pernyataan atau bentuk cara protes di atas, yang mereka anggap menganjurkan mengenakan rok mini. Bentuk-bentuk keberatan itu antara lain, dianggap aksi protes ini ‘terlalu liberal’ , ‘tidak meliputi isu-isu kelas’, dan mungkin menimbulkan ‘antipati dari mayoritas perempuan yang masih konservatif—yang seharusnya menjadi sasaran jangkauan para aktivis feminis ‘. Beberapa bahkan berfikir lebih jauh dengan memberikan pilihan apakah “perjuangan kelas atau perjuangan seksual”. Namun, bagaimanapun juga komentar ini lebih baik daripada banyak aktivis kiri lainnya yang tidak mengatakan apa-apa. Memang kampanye ini hanya didukung oleh segelintir aktivis kiri laki-laki.
Kurangnya perhatian terhadap isu ini sangat tidak mengherankan, karena hanya sedikit gerakan dan organisasi kiri yang mengambil isu seksualitas dan jender. Kami dapat mengatakan bahwa banyak kelompok-kelompok kiri di Indonesia masih menomorduakan isu penindasan perempuan dari isu ‘kelas’, yang oleh mereka didefinisikan hanya dari sisi ekonomi yaitu penindasan ekonomi seperti upah, kemiskinan, dll. Itulah sebabnya, sejauh ini, mereka masih asing dengan isu-isu hak perempuan terkait dengan tubuhnya, seksualitas, LGBTI, dan sebagainya. Pengalaman kami sendiri dalam membangunan kelompok feminis-sosialis Perempuan Mahardhika menegaskan pandangan ini.
Kami berpendapat, seperti yang kami lakukan ketika menanggapi beberapa komentar tersebut, bahwa kita harus melawan penindasan kelas, patriarki dan seksisme, karena di dalam masyarakat berkelas, patriarki dan seksisme mempunyai peran sangat penting dalam mereproduksi sistem sosial. Sejarah menunjukkan tidak ada sosialisme tanpa pembebasan perempuan, dan tidak ada kesadaran kelas yang sejati tanpa benar-benar memahami dan memperhatikan karakter yang sangat kompleks dari patriarki dan seksualitas dalam hubungannya dengan kelas. Jika aksi pada tanggal 18 September, terutama masalah “rok mini”, dianggap berpandangan liberal, ini berarti kita memiliki tanggung jawab untuk terlibat lebih banyak dalam kampanye ini, sehingga tujuannya tidak hanya berhenti pada kebebasan masing-masing individu, melainkan kebebasan setiap individu sebagai syarat untuk kebebasan seluruh manusia.
Kenyataan bahwa banyak perempuan di Indonesia—religius atau tidak—setuju dengan tuntutan dan slogan aksi, terutama bahwa pada kenyataan bahwa pemerkosaan tidak ada hubungannya dengan pakaian, adalah sesuatu yang menggembirakan, ditengah situasi politik yang sulit dengan hadirnya 154 peraturan-peraturan syariah dan intoleransi antar umat beragama yang terus berkembang didorong oleh beberapa kelompok reaksioner berbasiskan agama.
Kami senang telah menjadi bagian dalam kampanye ini—dan kami juga senang memakai Rok Mini! Karena seringkali bertahan (difensif) dan lupa untuk menyerang pola pikir laki-laki.
Artikel ini diterjemahkan oleh Dian Novita dari bahasa inggris di blogsite http://kprm-prd-english.blogspot.com/2011/10/indonesian-feminists-dont-blame-victim.html
*Telah dicetak dalam Koran Pembebasan Edisi II, November-Desember 2011.