Mempertahankan tanah adalah perjuangan kami sekarang

Ilustrasi Andreas Iswinarto

Jelang Hari Tani 2012, Reportase oleh Christina Yulita*

Sebentar lagi, 24 September 2012, Hari Tani.

Berbagai konsolidasi gerakan sudah mulai dilakukan, bahkan bagi gerakan tani sudah mempersiapkannya sejak 6 bulan sebelumnya.  Di Jakarta, Panitia Peringatan Hari Tani Nasional 2012 dibentuk. Panitia ini merupakan salah satu bagian dari gerakan rakyat anti perampasan tanah yang sedang melakukan persiapan menuju aksi hari Tani. Dua puluh dua organisasi terlibat dalam aliansi ini.

Situasinya saat ini ditandai dengan semakin banyaknya perlawanan kaum tani yang mempertahankan tanah atas konflik agraria di wilayah PTPN, hutan Kemenhut dan BPN sekaligus meningkatnya represi aparat keamanan terhadap kaum tani. Sulit mengharap perlindungan negara atas persoalan tanah hari ini, karena semakin banyak regulasi yang justru membuat para petani kehilangan hak atas tanahnya. Salah satu diantaranya adalah UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah yang mulus diloloskan DPR.  UU ini jelas berpotensi menimbulkan persoalan terutama terkait perampasan tanah berskala besar dari masyarakat yang akan menimbulkan konflik agraria. Belum lagi persoalan liberalisasi pertanian, seperti kebijakan import yang tidak menguntungkan petani.

Agus Ruli Ardiansyah, Ketua Departemen Politik, Hukum dan Keamanan Serikat Petani  Indonesia (SPI) menyatakan ada ada beberapa hal yang perlu dilakukan di hari tani ini.  Pertama, hari tani sebagai konsolidasi gerakan tani secara nasional baik di wilayah maupun di Jakarta. Konsolidasi  tahun ini meliputi Serikat Tani Indonesia, Serikat Petani Pasundan, Serikat Petani Karawang, Aliansi Petani Indonesia, dan beberapa organisasi lainnya dalam satu tema besar yaitu “Rezim Kapitalisme Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono Gagal jalankan Reforma Agraria Sejati.” Kedua, berdasarkan refleksi dari hari tani sebelumnya, maka harus lebih diteguhkan lagi penguatan terhadap organisasi dan perjuangan tani itu sendiri: membangun kekuatan sendiri, tidak berharap pada pemerintah.

Ruli juga mengatakan, walaupun direspon dengan kekerasan aparat, perlawanan-perlawan rakyat yang ada saat ini harus dikuatkan. Jika memang reforma agraria belum bisa diambil alih oleh negara, artinya rakyat sendirilah yang menginisiatifi pelaksanaan reforma agraria, dan sebagai organisasi nasional sebaiknya meneguhkan perjuangan itu agar rakyat menjadi yakin. Inisiatif dari rakyat harus didorong, direbut dan dipertahankan untuk dikelola rakyat. Represi yang dihadapi langsung oleh kaum tani belakangan ini tidak main-main. Peristiwa Ogan Ilir baru-baru ini[1] dan penembakan terhadap dua orang anggota SPI di Jambi oleh aparat karena mempertahankan tanah, adalah hal-hal menyangkut hidup mati sehari-hari perjuangan kaum tani yang tidak banyak diketahui publik.

Salah seorang organiser Serikat Petani Pasundan (SPP) bernama Nuryana, terkait konsolidasi gerakan tani, menyatakan siap mendukung dan akan menguatkan gerakan tani di basisnya. Menurutnya, dalam rangka hari tani SPPsedang menyiapkan aksi di nasional (Jakarta) dan daerah. Sekitar 8000 petani Pasundan akan turun ke jalan melakukan aksi nasional ke Jakarta. Begitu juga dengan aksi di wilayah, mereka berusaha melakukan reclaiming yang sudah habis HGU tanahnya dengan metode pendudukan. Aksi ini juga didukung oleh organisasi mahasiswa yang mau membantu untuk mengorganisir petani.

Sama halnya dengan kondisi petani pada umumnya hari ini, SPP juga sedang menghadapi dampak impor dan reclaiming tanah, menolak perpanjangan HGU. Persoalan lainnya adalah bagaimana petani bisa menjual hasil olahan mereka bukan hanya bahan mentah. Ini yang membuat perjuangan SPP bukan hanya merebut tanah, tetapi bisa mendapatkan hak-hak tani dan pengelolaan tanahnya.

Disisi lain, sekarang ini, gerakan buruh juga sedang bergejolak menyerukan mogok nasional menuntut penghapusan sistem outosurcing dan upah murah. Bagaimana gerakan lain diluar tani melihat hari tani ini? Surya Anta, Juru Bicara Partai Pembebasan Rakyat (PPR) mengatakan bahwa momentum hari tani dan aksi sejuta buruh ini bisa menjadi momen penyatuan kaum tani dan buruh tidak sekedar solidaritas antar sektor tetapi justru secara obyektif memiliki penyebab yang sama, yakni Kapitalisme. Perampasan tanah, penghancuran pasar petani, dan pelumpuhan kaum buruh lewat upah murah, sistem kerja outsourcing dan kontrak serta pembabatan kebebasan demokrasi adalah ekses sekaligus mekanisme jalannnya sistem penghisapan tersebut. Represifitas yang terjadi terhadap kaum petani dan buruh cerminan dari serangan demokrasi yang mulai dilakukan oleh aparatus kekerasan. Jika kedua hal ini disadari oleh pimpinan serikat buruh dan pimpinan serikat petani maka aksi bersama menjadi tugas politik yang sebaiknya diemban bersama.

Surya menekankan bahwa dalam realitanya memang tak mudah menyatukan gerakan. Hambatan-habatan penyatuan, menurutnya, adalah hal yang harus selalu didiskusikan dalam setiap kesempatan konsolidasi gerakan. Kesulitan penyatuan yang pertama adalah meyakinkan bahwa melawan kapitalisme dan militerisme tidak cukup dengan perjuangan sektoral, yang kedua, meyakinkan landasan pemikiran bahwa bersatu adalah syarat penting bagi kemenangan. Bila ini disadari maka, semestinya, hambatan-hambatan eksistensi bisa ditanggalkan. Sehingga perjuangan tani menuntut pembagian tanah, modal, pupuk dan teknologi untuk pertanian kolektif, bukan hanya menjadi kepentingan tani, tetapi menjadi kepentingan bersama.

*Anggota redaksi Koran Pembebasan

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *