Lawan kapitalisme, perhebat pergerakan hapuskan outsourcing!

Redaksi Koran Pembebasan

Untuk hidup, kapitalisme harus terus melakukan eksploitasi, ekspansi dan akumulasi. Perampasan hasil kerja buruh, dalam bentuk upah, adalah nyawa yang menghidupkan proses ini. Politik upah murah (melalui upah minimum) adalah jalan mereka memperbesar perampasan upah demi memperbesar tingkat keuntungan. Dan sistem kerja outsourcing, dalam payung fleksibelitas pasar kerja, adalah mekanisme mutakhir mereka untuk merampas upah lebih besar lagi, sekaligus meningkatkan level penindasan melalui pemecahbelahan kekuatan buruh, merendahkan posisi tawarnya, menghilangkan jaminan dan perlindungan hidupnya. Inilah yang memberi solusi bagi krisis kapitalisme dunia saat ini.

Di Indonesia, ekspansi besar-besaran perusahaan multinasional disertai tuntutan hubungan kerja yang lebih fleksibel. Hubungan kerja fleksibel dibutuhkan untuk mempekerjakan tenaga kerja seminimal mungkin dengan sumbangan maksimal sesuai tuntutan perusahaan.

Untuk mencapai tujuan ini,  perusahaan memilih fokus mengerjakan “bisnis inti” (core business), dan menyerahkan pekerjaan penunjang atau “non inti” (outsource) kepada pihak lain. Dengan fokus pada pekerjaan “inti” perusahaan bisa konsentrasi pada kompetisi utamanya dalam bisnis. Misalnya perusahaan otomotif, ia akan konsentrasi/fokus pada pembuatan mesin, dan mengalihkan pembuatan spion ke pihak lain. Fokus pada pembuatan mesin membuatnya tak perlu memikirkan pembuatan kaca spion, sehingga bisa berkonsentrasi meningkatkan pembuatan mesin agar bisa berkompetisi dengan perusahaan otomotif lainnya.

Menjadi buruh outsource berarti kehilangan hak yang setara dengan buruh inti produksi (buruh tetap). Sehingga outsourcing sebetulnya adalah perampasan upah, karena buruh outsource tidak memiliki hak atas pesangon, uang penghargaan, uang ganti rugi bila di-PHK. Selain itu, buruh outsource tidak diberikan jaminan sosial, baik jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua maupun kematian. Dan dalam prakteknya, upah buruh outsource jugamasih harus dipotong oleh yayasan, atau perusahaan penyalur tenaga kerja, sebesar 30 – 40%.

Dengan mekanisme inilah pemodal melakukan penghisapan lebih besar terhadap tenaga kerja buruh hingga bisa menumpuk keuntungan lebih banyak lagi. Dan pemerintah, melalui UUK 13/2003, yang menjamin fleksibelitas tenaga kerja, sudah memperlihatkan keberpihakannya yaitu kepada para pemodal.

Pemerintah beralasan outsourcing bisa memperluas dan memeratakan kesempatan kerja bagi seluruh rakyat Indonesia karena rekruitmen pekerja outsourcing yang sangat mudah. Dengan outosurcing, katanya, bisa mengurangi pengangguran karena akan terserap sebagai pekerja outsourcing. Demikian halnya dengan pekerja informal, yang dinilai kurang produktif, bisa berpindah ke sektor formal sebagai pekerja outsourcing. Namun, kenyataannya tidak demikian.

Sembilan puluh lima persen dari tenaga kerja Indonesia, termasuk pengangguran dan pekerja informal, adalah tenaga kerja kurang terampil, sehingga tidak mudah beralih pekerjaan ke sektor industri formal.  Berdasarkan data BPS September 2012, jumlah pekerja informal Indonesia mencapai 62,71% dari seluruh angkatan kerja Indonesia. Angka yang fantastis, karena terbesar di Asia! Meski dikatakan jumlah pengangguran terbuka berkurang menjadi 6,32%, dari 6,56%, pada Februari 2012, namun pengurangan ini mayoritas terserap dalam sektor informal. Dalih pemeritah bahwa outsourcing sanggup mengalihkan pekerja informal ke sektor formal adalah bohong.

Lebih jahat lagi, praktek outsourcing juga mengubah status kerja buruh tetap menjadi outsourcing atau kontrak. Menurut data LIPI akhir tahun 2011, perubahan status kerja dari tetap menjadi outsourcing atau kontrak meningkat, dan justru terjadi pada industri padat karya, seperti pakaian jadi, sepatu, elektronik, serta makanan dan minuman. Dengan demikian, outsource tidak hanya diterapkan pada pekerjaan penunjang produksi, tapi juga inti produksi.

Berdasarkan data ILO bulan Desember 2010, jumlah buruh kontrak dan outsourcing di Indonesia mencapai 65% dari seluruh buruh Indonesia. Artinya jumlah buruh tetap di Indonesia hanya 35%. Situasi ini disertai dengan makin meningkatnya perusahaan outsource yang pada tahun 2011 menjadi 1200, yang 80% diantaranya merupakan perusahaan abal-abal atau tidak jelas. Buruh outsourcing diperlakukan sebagai komoditi yang lebih mudah diperjualbelikan seenak perut pelaku bisnis, digardai pemerintah yang menjadi broker para pemodal. Dengan demikian, benarlah bahwa sistem outsourcing merupakan perbudakan modern.

Outsourcing juga memperberat penindasan terhadap buruh perempuan. Buruh perempuan sejauh ini masih mendominasi pekerjaan rendah skill berbasiskan ketelitian, bukan pada pekerjaan berbasis keahlian. Dan pekerjaan rendah skill adalah pekerjaan dengan kondisi kerja yang jauh lebih buruk. Buruh perempuan juga mendominasi sektor informal sebesar 54,82% dari seluruh jumlah buruh perempuan, atau sebanyak 40 juta jiwa.

Dengan outsourcing, perempuan bekerja lebih berat dengan perlindungan kerja lebih sedikit, jaminan kerja tidak ada, dan beban ganda di rumah makin bertambah. Buruh-buruh outsourcing perempuan tidak diberikan hak cuti hamil dan melahirkan, cuti haid, hingga Pojok ASI dan tempat penitipan anak bagi yang sudah memiliki anak. Dengan cara demikian buruh kontrak dan outsourching perempuan lebih banyak menyumbang surplus pengusaha. Apalagi tenaga kerja perempuan tidak pernah dianggap sebagai tenaga kerja utama, sehingga nilai upahnya tidak berbasiskan kebutuhan keluarga dan rata-rata selalu lebih rendah.

Perampasan surplus dari buruh-buruh perempuan tersebut tak saja terjadi di pabrik tetapi juga di rumah. Dengan tidak adanya tempat penitipan anak yang disediakan perusahaan, maka beban kerja ganda perempuan (pekerjaan pabrik dan domestik) semakin berat. Beban ganda buruh perempuan telah menyita energi dan waktunya, karena mereka harus bekerja hampir 12 jam di pabrik/kantor dan 12 jam di rumah tanpa upah. Selain beban ganda, buruh perempuan juga memiliki tambahan hambatan untuk berorganisasi dalam masyarakat yang menomersatukan laki-laki seperti saat ini, seperti diskriminasi dari masyarakat sekitar, lingkungan pabrik, hingga internal organisasi serikat buruhya sendiri.

Karena itulah outsourcing  harus dihapuskan. Janji Muhaimin Iskandar untuk membatasi praktek outsourcing adalah omong kosong. Outsourcing bukan dibatasi, tapi harus dihapuskan, karena tidak dibutuhkan kaum buruh. Oleh karena itu, rangkaian geruduk pabrik menghapus outsourcing dan upah murah yang sedang berlangsung di Bekasi saat ini, dilanjutkan dengan seruan aksi mogok nasional Majelis Pekerja Buruh Indonesia, harus didukung dan dijadikan aksi bersama seluruh buruh melawan kontrak, outsourcing dan upah murah.*

Share

0 thoughts on “Lawan kapitalisme, perhebat pergerakan hapuskan outsourcing!

  1. Yang saya khawatirkan jika outsource dihapuskan nanti perusahaan mencari orang2 yang kompeten (dalam hal ini pengalaman kerja banyak atau yang pendidikan lebih tinggi).

    Namun jika penghapusan outsource bisa menjamin investasi semakin berkembang di negara ini, itu perlu didukung. Karena masih 7 juta rakyat Indonesia yang membutuhkan pekerjaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *