Resesi Besar: apa pula yang terjadi pada Keynes?

By Allen Myers

Direct Action — March 14, 2012Segera setelah pecahnya krisis ekonomi-keuangan di tahun 2008, terdapat spekulasi yang bingung di media (bahkan dalam Partai Buruh Australia) bahwa pemerintah (yakni, kelas penguasa) akan kembali menyampahkan neoliberalisme dan kembali pada beberapa bentuk dari ekonomi Keynesian yang cukup standar sejak Perang Dunia ke II sampai awal tahun 1970-an. Spekulasi ini dirangkum dengan baik akhir Oktober lalu oleh jurnalis Truthout Michael Corcoran:

“Setelah bailout (menalangi kebangkrutan) Bear Stearns tahun 2008, Martin Wolf, seorang penulis ekonomi untuk Financial Times dan biasanya pendukung setia terhadap globalisasi pasar-bebas, menulis: ‘Ingat 14 Maret 2008: adalah hari dimana mimpi kapitalisme pasar bebas global mati.’ Di artikel yang sama, mengutip Joseph Ackerman, kepala eksekutif Deutsche Bank, ia mengatakan: ‘saya tak lagi percaya pada kekuatan pasar untuk menyembuhkan diri sendiri.’ Dalam artikel 10 Oktober, The Washington Post — dengan segala keseriusan — mengemukakan bahwa krisis ekonomi saat ini berarti ‘Akhir dari Kapitalisme Amerika’ yang selama ini kita kenal. Sampul majalah Time pada Februari 2009, menyatakan, Kita semua Sosialis sekarang,’ mengacu pada kebutuhan akan intervensi pemerintah untuk menyelamatkan kapitalisme yang sakit. ‘Apapun yang mau kita akui ataupun tidak,’ artikel tersebut mengamati, ‘Amerika tahun 2009 sedang menuju suatu negara Eropa modern.’”

Namun, kebangkitan Keynesianisme tak terjadi. Pemerintah di seluruh dunia secepatnya kembali pada ortodoksi neoliberal, mencoba mengurangi pengeluaran publik dalam hal kesejahteraan sosial. Kenapa Keynes sekali lagi dirangkul dan kemudian dengan cepat dibuang?

Mengenai apa Keynes itu?

Sebelum Keynes, ekonom kapitalis tradisional (biasanya disebut “ekonom neo klasik”) memotret kapitalisme sebagai sistem yang pada prinsipnya mengatur dirinya sendiri yang dapat sesekali mengalami gangguan namun cenderung kembali secara otomatis ke “normal”, “kenormalan” ini termasuk full employment—lapangan kerja penuh/pemenuhan lapangan kerja. Depresi Besar agaknya merupakan pukulan yang keras atas optimisme semacam itu, tanpa perlu menjahati lebih lanjut dari yang benar-benar dibutuhkan teori pokok yang salah itu.

Ekonomi neo klasik mengasumsukan bahwa permintaan dan penawaran menentukan harga, produksi, lapangan kerja, dll. Keynes, tanpa melanggar asumsi ini, berargumen bahwa permintaan dan penawaran bisa menentukan dua atau lebih situasi yang agak berbeda: di satu keadaan, permintaan dan penawaran boleh jadi seimbang pada kemakmuran secara umum, namun di lain keadaan, dapat seimbang pada depresi yang berkepanjangan (seperti tahun 1930-an). Sebagai pembela yang teguh (dan kaya) dari tatanan saat ini, Keynes berupaya merancang resep untuk menggeser suatu kesetimbangan yang tak dikehendaki (seperti resesi permanen) ke (kesetimbangan) yang lebih dikehendaki.

Pada awal suatu penurunan dalam siklus bisnis kapitalis, Keynes mencatat, biasanya terdapat ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan: lebih banyak yang diproduksi daripada adanya permintaan yang efektif (permintaan didukung oleh uang). Kapitalis, oleh karena itu, memotong produksi, namun hanya akan memperparah persoalan, karena mengurangi pekerja dan oleh karena itu mengurangi permintaan efektif.

Keynes berargumen bahwa pemerintah dapat mencegah spiral penurunan ini jika, pada saat yang tepat, mereka menghadang ketidakseimbangan permintaan dan penawaran melalui penciptaan suatu permintaan artificial (bohong-bohongan). Tak penting bagaimana cara pemerintah melakukannya; bahkan mereka dapat sekadar membayar orang untuk menggali lubang dan kemudian mengisinya kembali, demikian katanya. Kuncinya adalah meletakkan uang di tangan rakyat yang akan membelanjakannya kurang lebih sesegera mungkin, sehingga permintaan efektif itu akan naik dan para kapitalis tak perlu memotong produksi.

Inflasi

Kritik mengatakan bahwa menciptakan daya beli tambahan tanpa meningkatkan produksi cenderung akan mendorong naik harga-harga, yakni berupa inflasi. Keynesian mengakui bahwa ini dapat terjadi, namun menyatakan bahwa inflasi dapat dinetralisir dari kesibukan siklus bisnis. Jika pemerintah mencegah “jebolnya” siklus bisnis dengan meningkatkan permintaan efektif, maka ia dapat menghadang inflasi dengan mengurangi permintaan efektif selama masa “ledakan/boom”. Contohnya, pemerintah dapat melakukan defisit anggaran untuk mencegah resesi namun kemudian melakukan surplus anggaran ketika permintaan mulai melampaui penawaran. Strategi itu disebut “counter-cyclical” (konter-siklus): pemerintah harus belanja ketika kaum buruh dan kapitalis tidak bisa atau tidak mau melakukannya, dan memotong pengeluaran belanja tersebut ketika konsumen dan pengeluaran investasi menciptakan suatu kemajuan.

Lebih jauh lagi, Keynes mengatakan, sedikit inflasi tentu saja lebih baik daripada kembali pada Depresi Besar tahun 1930, dan dalam dirinya sendiri hal itu bukanlah sesuatu yang buruk. Derajat inflasi yang masuk akal akan mendorong profit dengan mengikis upah riil, ia bilang: “kaum buruh berada dalam situasi yang lebih sulit melawan serangan semacam ini ketimbang melawan pemotongan upah langsung”.

Apakah berhasil?

Dari sekitar akhir Perang Dunia ke II hingga awal 1970-an, Keynesianisme merupakan ideologi ekonomi dominan pemerintah-pemerintah di negeri-negeri kapitalis maju. Dan ia tampak menjadi kesuksesan: secara keseluruhan, periode tersebut merupakan salah satu ekspansi kapitalis, dan resesi-resesi pada umumnya bersifat pendek dan ringan dibanding dengan awal abad ke 20, apalagi 1930-an. Namun demikian, penampilan kesuksesan Keynesian ini bersifat simplistic dan cenderung membingungkan antara sebab dan akibat.

Penghancuran standar kehidupan kelas pekerja dan organisasinya selama tahun 1930an dan penghancuran luar baisa akibat Peran Dunia II telah menciptakan landasan yang ideal bagi kapitalisme: suatu pasar yang hampir-hampir tanpa batas dan keuntungan yang dijamin secara virtual. Situasi, bukanlah teori ekonomi siapapun, merupakan sebab fundamental dari ledakan kapitalis pasca perang.

Periode ledakan (boom) kapitalis, seperti yang ditunjukkan Marx, secara umum lebih menguntungkan bagi kondisi kelas pekerja, ketimbang resesi, meskipun ekspansi kapitalis dalam jangka panjang meningkatkan penindasan dan eksploitasi pekerja. Ledakan pasca perang tersebut saat ini dikenali dalam pikiran publik sebagai Keynesianisme dan “negara kesejahteraan”.

Ini merupakan suatu periode ketika rata-rata upah meningkat secara gradual namun relatif teratur, hanya jika upah tersebut mulai dari tingkat yang paling rendah. Langkah-langkah “kesejahteraan sosial”, yang secara umum merupakan bagian dari upah buruh yang dibayar secara kolektif bukannya individual, lebih baik ketimbang saat ini, karena suatu kombinasi dari beberapa faktor: tunjangan pengangguran adalah pembiayaan yang lebih sedikit bagi kapital karena lebih sedikit orang yang menganggur; perubahan teknologi membutuhkan lebih banyak tenaga kerja terdidik, sehingga pendidikan harus dibuat lebih murah; pemerintah-pemerintah imperialis butuh meyakinkan bagian-bagian kelas pekerja mereka bahwa sistem ini adil dan masuk akal untuk mendapatkan dukungan atas perang melawan revolusi kolonial; super-profit imperialisme masih sangat luar biasa besar, membuatnya lebih mudah bagi kapital mengucurkan uang kemana-mana ketika dibutuhkan untuk menenangkan ketegangan sosial.

Keynesianisme berkebalikan dengan ekonomi neoliberal, yang mulai semakin dominan sejak resesi internasional 1973-74, dan yang lebih kurang merupakan ideologi resmi pemerintah dalam periode kemunduran bagi kondisi dan organisasi kelas pekerja. Dibawah topeng kepedulian terhadap hutang, neoliberalisme berusaha mengurangi sebanyak mungkin semua elemen upah sosial: pendidikan, kesehatan, asuransi pengangguran, pensiun, transportasi publik, taman-taman dan kenyamanan publik, udara bersih—semua hal yang membuat kehidupan buruh lebih mudah dan lebih menyenangkan yang untuknya mereka tidak perlu membayar biaya-biaya tertentu.

Perbedaan dalam teori ekonomi benar-benar ada, namun kurang signifikan dibandingkan kondisi kapitalisme dunia yang sudah berubah, yang merupakan alasan dibalik pergeseran dari Keynesianisme ke neoliberalisme. Keynesianisme dan neoliberalisme tidak melayani kepentingan kelas yang berbeda, namun merupakan cara lain untuk melindungi kepentingan kapitalis di dalam kondisi objektif yang berbeda.

Apa yang sudah berubah?

Apa yang sudah berubah dalam kondisi objektif yang menyebabkan kelas kapitalis berkuasa beralih dari Keynesianism eke neoliberalisme?

Bahkan dimasa kejayaan Keynesian, kebijakan konter-siklus tidak pernah bisa diikuti secara konsisten. Kenaikan harga adalah salah satu kekuatan pendorong utama dari suatu ledakan (boom).  Konsekuensinya, pemerintah tidak dapat mengurangi daya belanja selama ledakan dalam jumlah yang sama dengan jumlah yang ditambahkan dalam (masa) penurunan; mencoba melakukannya hampir selalu berarti ancaman mengubah kemajuan menjadi resesi baru.

Ketidakmampuan mengikuti nasehat Keynes ini—bahwa pemerintah harus bisa ‘menarik’ ekonomi pada tahap atas siklus sebanyak permintaan efektif yang mereka buat pada tahap menurun—sebagian dikarenakan terlalu mengabaikan faktor psikologi. (Hal yang ironis karena teori Keynes yang banyak mengandalkan pengamatan dan asumsi perilaku psikologi para kapitalis, buruh, dan konsumen). Jika anda pikir ingin membeli kulkas baru atau mesin cuci baru, dan anda punya cukup uang dan harga secara umum naik, lalu hal yang masuk akal dilakukan adalah membeli alat itu sekarang. Namun jika harga jatuh (karena pemerintah mengurangi daya belanja agar menjadikan harga berubah sejumlah nol terhadap seluruh siklus bisnis), kemudian hal logis yang dilakukan adalah tunggu untuk melihat siapa tahu (harga) akan turun lebih banyak. Ketika banyak orang mulai melakukan hal yang sama atas dasar logika ini, surplus anggaran memiliki efek penekan yang lebih besar dari yang diharapkan oleh Keynes atau pemerintah-pemerintah yang mengikuti idenya.

Hasilnya, inflasi menjadi bangunan dalam ekonomi kapitalis pasca perang. Serikat-serikat buruh mulai mencari penyesuaian “biaya hidup” dalam kontrak-kontrak kerja mereka dengan pengusaha; guna menolong pengusaha, pemerintah-pemerintah meningkatkan kebohongan mereka menyangkut tingkat inflasi. Namun berbohong tidak menghentikan bergeraknya realitas di jalannya sendiri. Di akhir tahun 1960an, suntikan “normal” pemerintah terhadap permintaan efektif tak lagi cukup untuk memblokade resesi. Inflasi dan resesi (“stagnasi”) sekarang terjadi secara bersamaan dan dijelaskan oleh suatu istilah baru: “stagflasi”.

Seperti setiap ledakan lain yang panjang (maupun pendek), ledakan pasca perang secara gradual merusak kondisi-kondisi yang membuat keberadaannya menjadi mungkin. Dibawah kondisi-kondisi ekonomi yang lebih menguntungkan di tahun 1950-an dan 60-an, kaum buruh secara gradual (dapat) meningkatkan upah mereka. Seiring produksi meledak, pasar mulai dibanjiri (barang-barang) dan kemudian (menjadi) kepenuhan. Semakin banyak kapitalis mengakumulasi profit, semakin mereka desakkan tekanan penurunan pada tingkat keuntungan. Resesi internasional di tahun 1973-74 menunjukkan bahwa ledakan pasca perang telah berakhir.

Keynesianisme tidak benar-benar bertanggung jawab atas ledakan tersebut, dan bahkan lebih tidak bisa lagi menghadang kekuatan yang membuat ledakan itu berakhir. Untuk mempertahankan kepentingan mereka lebih baik lagi dalam kondisi-kondisi yang baru, mayoritas kapitalis mulai bergeser pada strategi neoliberalisme yang lebih agresif, melakukan serangan yang lebih terbuka dan langsung pada rakyat pekerja, standar kehidupan mereka, dan kemampuan mereka untuk mengorganisir.

Keynes dan politik

 “Kembalinya Keynesian” pada tahun 2008 boleh jadi telah membangkitkan harapan pada segelintir politisi-politisi sosial demokrat, namun hal itu tak pernah benar-benar serius dimaksud oleh bagian signifikan manapun dari kelas penguasa. Pembicaraan tentang Keynesianisme tampaknya dimaksud hanya untuk memberi selubung atas kucuran (dana dalam) jumlah besar pada bank-bank yang tampak mendekati kejatuhan. Ini bukan suatu langkah Keynesian yang sesungguhnyam karena Keynes menghendaki daya belanja didistribusi pada rakyat yang akan membelanjakannya, dengan cepat. Bank-bank yang ditalangi sebagian besar duduk-duduk saja di atas uang yang mereka terima. (Di AS, beberapa diantara mereka meminjam uang dari pemerintah dengan bunga yang hampir nol dan kemudian meminjamkannya lagi ke pemerintah dengan bunga yang lebih tinggi.)

Alasan bagi ketidak-minatan kapitalis pada Keynesianisme sederhana saja. Baik kondisi ekonomi dan politik kapitalisme hari ini benar-benar berbeda dari tahun 1950-an dan 1960-an, ketika kebijakan Keynesian sepertinya yang paling cocok untuk melindungi kepentingan kapitalis. Kita masih dalam periode yang mendesak kapitalis pada kebutuhan akan neoliberalisme.

Kebijakan “upah sosial” (atau “kesejahteraan sosial”) yang lebih baik akan menguntungkan rakyat pekerja, dan berjuang untuk mempertahankan atau meningkatkannya adalah suatu bagian penting dari perjuangan melawan para kapitalis dan pemerintahan mereka. Namun jangan ada ilusi bahwa perjuangan itu akan dimenangkan melalui permohonan dengan penjelasan, dengan meyakinkan para politisi bahwa kebijakan semacam itu lebih rasional daripada kebijakan neoliberal. Seperti dalam pertempuran langsung, kapitalis hanya akan menyerahkan apa yang dipaksa untuk diserahkan.

*Diterjemahkan oleh Zely Ariane

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *