Saatnya Melahirkan Gagasan dan Memperluas Panggung*

Paulus Suryanta Ginting[1]

Gerakan demokratik, pada umumnya, dan gerakan kiri-sosialis, pada khususnya, memiliki peluang menjadi alternatif. Alternatif dalam menawarkan jalan keluar atau alternatif memuarakan keresahan politik rakyat. Karena kaum borjuasi, sebagai sebuah kelas, semakin tidak populer dihadapan rakyat. Penyebabnya tentu saja karena kegagalan mereka mengatasi krisis, baik krisis ekonomi, maupun yang lebih jauh lagi: krisis peradaban. Ketidakpopuleran tersebut ditunjukkan dengan semakin besarnya golput, menurunnya harapan rakyat pada tokoh ataupun alat yang mewakili kaum borjuasi, serta ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem ekonomi dan demokrasi borjuis.

Akan tetapi, menurunnya popularitas elit ini tidak serta merta menjadikan gerakan sebagai alternatif, atau meruntuhkan hegemoni politik elit di kalangan rakyat dengan sendirinya. Sebaliknya, elit berhasil memanipulasi ketidakpercayaan rakyat hingga belum berujung pada penggulingan kekuasaan, melainkan pada apatisme, pragmastisme, hingga reformisme—selain reformisme itu sendiri adalah faktor kapasitas perlawanan rakyat. Penyebabnya tidak hanya karena kesanggupan borjuasi memainkan aparatus ideologisnya (media, institusi pendidikan, lembaga kebudayaan, lembaga keagamaan) ataupun regulasi  yang menumpulkan kekuatan rakyat, juga karena gerakan belum sanggup menawarkan gagasan alternatif dan memperluas gagasan politik tersebut, hingga menciptakan hegemoni politiknya.

Syarat utama perjuangan Pembebasan Nasional untuk Sosialisme adalah: terbebasnya rakyat dari dominasi imperialisme (penjajahan modal asing), bebas dari dominasi dan hegemoni ideologi borjuis, dan, akhirnya meyakini politik-ideologinya: Sosialis. Bukan hal mudah membebaskan kesadaran rakyat dari dominasi ideologi borjuis, karena ideologi borjuis sudah lebih lama, mapan, dan memiliki aparatus ideologis yang kuat.

Akhirnya, makna perjuangan sosialisme, bukan sekedar guling-menggulingkan kekuasaan elit satu dan lainnya, lebih jauh lagi adalah pembangunan kesadaran, kebudayaan ideologis sebagai syarat terbangunnya kekuatan dan kekuasaan rakyat, hingga pembebasan kelas. Sebab, menggulingkan kapitalisme adalah menggulingkan suatu tatanan masyarakat, baik sistem ekonomi, politik, hingga kebudayaan yang menghambat pembebasan manusia. Tak akan mungkin tercapai apabila tidak ada hegemoni ideologis proletariat yang kuat, yang meyakini bahwa muara perjuangannya adalah Sosialisme—pembebasan kelas—bukan “kapitalisme baik hati”, dan strategi perjuangannya adalah revolusi bukan reformasi.

Dalam masa “damai-relatif” ini, perjuangan sosialisme adalah perjuangan memenangkan gagasan, memenangkan pertarungan posisi antara gerakan kiri-sosialis di satu sisi vis avis dengan kaum borjuasi (yang tentunya di gardai oleh elit-elit politik dan intelektual borjuisnya) di sisi lain, atau yang disebut perang posisi.

Perjuangan memenangkan gagasan tak boleh dilepaskan dari perjuangan memenangkan tuntutan mendesak massa. Kemenangan-kemenangan tuntutan mendesak massa, baik itu upah, tanah, modal, kebebasan berserikat, memiliki peran besar bagi rakyat untuk meyakini arti penting dari bersatu dan melawan.

Antonio Gramsci, dalam Prison Notebooks, menyatakan hal ini sebagai ‘Perang Posisi’ dan ‘Perang Manuver’. ‘Perang Posisi’ adalah suatu perjuangan panjang dan perlahan dalam melawan dominasi ideologi borjuis untuk mencapai tujuan hegemoni ideologis proletariat dan kaum miskin lainnya untuk, pada akhirnya, melancarkan serangan yang menentukan: ‘Perang Manuver’.

Kemenangan perang posisi ditentukan dari sejauh mana gerakan sosialis sanggup memproduksi gagasannya yang kuat, tajam, dan meyakinkan, serta memperluas panggung-panggung propagandanya. Dengan begitu, hegemoni politik-ideologis sosialis bisa terbangun, muncul sebagai alternatif, bahkan hingga menaklukkan hegemoni politik-ideologi kaum borjuasi.

Memproduksi gagasan dan memperluas panggung yang dimuarakan dalam serangan reguler adalah problem utama gerakan saat ini. Namun, bukan berarti gerakan tak memiliki gagasan sama sekali, ada, tetapi tidak utuh. Gagasan yang utuh dan tajam adalah gagasan yang menjelaskan kepada rakyat, tentang: akar persoalan hari ini, penyebab persoalan, aktor-aktor penyebabnya, bagaimana dan apa jalan keluarnya dan dunia yang lebih baik seperti apa yang hendak dicapai.

Bukan pula tak membuat panggung sama sekali, ada, tetapi kecil dan terpecah-pecah (fragmentatif). Satu panggung berbicara solidaritas untuk Papua, panggung lain berbicara naikkan upah buruh PT. Freeport. Panggung yang satu berbicara jaminan sosial, panggung yang lain berbicara naikkan upah dan atau kebebasan berserikat.

Tentu saja ada serangan, tetapi serangan yang sporadik. Serangan yang bergerak dari satu isu ke isu lainnya, dari satu komite ke komite lainnya (komite isu), bahkan memisah-misahkan isu yang satu dengan isu yang lain. Lenin menyebut serangan sporadik ini dengan “terorisme” yang berujung pada “reformisme”. Singkat kata, baik gagasan, panggung dan serangan gerakan: fragmentatif.

Lemah gagasan, rendah kemampuan mobilisasi dan struktur, fragmentatif, bersandar pada momentum dan rendah kebudayaan demokratik (bahkan dalam kebudayaan berorganisasinya) merupakan warisan deideologisasi Orde Baru. Situasi ini berlanjut terutama karena prioritas gerakan pertengahan 90-an hingga saat ini adalah politik aksi massa atau politik serangan semata, belum pada produksi pengetahuan dari aksi massa tersebut.

Budaya demokrasi

Sekarang, mari kita berbicara tentang cara. Ada banyak cara memproduksi gagasan baik secara individual maupun kolektif. Tapi, sebelum itu yang paling penting untuk didiskusikan dan dielaborasi, yakni, bagaimana mengembangkan kebudayaan demokratik di kalangan gerakan, seperti bersolidaritas, toleran, saling belajar satu sama lain, berani mengkritik dan mau dikritik, dll.

Kenapa? Karena rendahnya kebudayaan demokrasi akan menghambat kemajuan gerakan. Padahal, di satu sisi, kita bicara demokrasi seluas-luasnya untuk rakyat, tapi disisi lain, kebudayaan demokrasi kita masih rendah. Lihat saja, tidak sedikit perpecahan dikalangan organisasi gerakan maupun persatuan gerakan karena persoalan demokrasi internal dan demokrasi persatuan. Tidak menghargai perbedaan pandangan, atau mengganggap satu kelompok lebih besar dari kelompok lain sehingga kelompok yang lebih kecil harus tunduk pada kelompok yang lebih besar, adalah sebagian fakta yang sering muncul. Padahal besar/mayoritas belum tentu benar.

Begitupun juga dalam soal kompromi. Kompromi harus dimaknai untuk mencari titik temu demi kepentingan yang lebih utama, sekaligus menghargai perbedaan dan kebebasan berpropaganda. Tanpa itu  semua, kompromi  sudah menikam demokrasi di dalam organisasi dan persatuan.

Selain itu, rendahnya penghargaan terhadap individu intelektual kiri yang belum berorganisasi juga menjadi problem. Seperti pandangan yang menganggap jika seseorang mempelajari sosialisme, tetapi belum menentukan organisasi yang dipilih atau dibangun, maka tak bisa disebut kiri atau sosialis. Padahal kiri, sosialis adalah soal kesadaran. Dan kesadaran ditunjukkan dalam praktek, dalam batas minimum apapun, apakah itu menulis, mengajar, mengorganisir, dsb. Kenapa pula, seseorang indvidu sosialis yang hendak berjuang bersama didalam persatuan harus dieliminasi? Padahal berjuang dalam persatuan adalah cerminan praktek kesadaran.

Teori sosialisme mulai digandrungi, mengapa kita tidak menghargai capaian dari hasil pembukaan demokrasi dan penyebaran gagasan itu sendiri? Penerimaan atas Marxisme, sosialisme, program dan metode politik perjuangan mulai semakin meluas dikalangan aktivis dan intelektual, saatnya mengolah dan memajukannya, bukan membentengi diri.

Begitupun terhadap kelompok reformis radikal dan gerakan sosial. Kelompok yang menyatakan dirinya ‘revolusioner’, ‘pelopor’, sering menganggap kerjasama dengan kelompok reformis radikal, atau sosial demokrat, baik yang berasal dari perpecahan organisasi bentukan masa orde baru (misal: SPSI) serta  kelompok NGO beserta organisasi komunitasnya, dianggap tak penting dengan pembenaran soal independesi. Independesi gerakan ditentukan dari sejauh mana gerakan bisa bebas beragitasi-propaganda dan bebas dari kooptasi musuh-musuh rakyat, bukan dengan mengacuhkan organisasi rakyat itu. Justru tugas utama gerakan menyatukan kekuataan, baik dalam panggung maupun serangan, agar bisa memajukan level perjuangan dari reformasi ke revolusi.

Rakyat saat ini terorganisir ke dalam berbagai kelompok, dengan berbagai kapasitas politik dan kepentingannya, tapi, mayoritas diantaranya belum berorganisasi. Terhadap organisasi-organisasi rakyat yang sudah mengenal dan menjalankan politik aksi massa inilah apresiasi harus ditambatkan. Sebab, pintu utama membuka kesadaran rakyat dari keterbelakangan politiknya adalah Aksi Massa.

Berbagai persoalan demokrasi di dalam gerakan harus banyak dielaborasi secara terbuka dan argumentatif, agar produksi gagasan, perluasan panggung politik, serta pembangunan wadah persatuan hingga serangan bersama yang menentukan memiliki landasan dan kekuatannya. Itu juga bermakna kita sedang membatasi gerakan dari intervensi politik adu domba kekuatan anti gerakan.

Produksi Gagasan

Pengalaman keberhasilan dan kegagalan dari proyek kerja bersama dari sejarah gerakan di dalam dan di luar Indonesia harus kita koleksi dan simpulkan, agar ada perbaikan atas kegagalan, dan peningkatan atas keberhasilan.

Pengalaman kelompok debat (Debating Club) dan kelompok diskusi (Discussion Club) di era pertengahan 80-an dan 90-an, serta pendidikan bersama—salah satu hasilnya adalah Serikat Mahasiswa Indonesia—ada baiknya mulai kita contoh dan kembangkan. Beberapa sudah muncul seperti komunitas Baca Marx, sekolah ekonomi politik marxis, diskusi bulan purnama, dsb. Taman sari pendiskusian semacam ini yang butuh diperbanyak oleh gerakan agar gagasan bisa lahir dan berkembang.

Ajang-ajang  tersebut didorong untuk hidup dalam aktivitas basis, agar diskusinya tak lepas dari realitas sosial. Aktivitas basis juga tidak berkutat pada soal-soal normatif saja. Menyambungkan pekerjaan ini berarti memajukan para “marxis legal” untuk berpraksis, sekaligus mengintelektualkan anggota basis. Dengan begitu gerakan sedang melahirkan intelektual organik sekaligus merevolusioner intelektual tradisional: menyatukan konsolidasi gagasan dengan konsolidasi mobilisasi.

Pendidikan, diskusi, debat, ataupun konferensi bersama jangan menjadi konsumsi unsur-unsur yang menyelenggarakannya saja. Tuliskan dan sebarkan menjadi pamflet, jurnal, terbitan, ke berbagai kelompok gerakan, agar produksi dan konsumsi gagasan meluas. Perbedaan pandangan tentu saja akan muncul, tak boleh dihentikan, justru harus semakin diluaskan, karena pertentangan gagasan yang didiskusikan secara ilmiah dan demokratik menguntungkan dan memperkaya gagasan.

Dengan meluaskan distribusi produksi dan konsumsi gagasan maka gerakan satu dan lainnya, di wilayah manapun, terhubung melalui bacaan dan penyebaran pikiran—dan itulah kekuatan utamanya.

Keterhubungan bisa terjadi melalui kesamaan isu, keserentakan aksi, tetapi bisa berhenti saat momentum habis, atau ketika elit berhasil mengkanalisasi perlawanan. Sebaliknya, keterhubungan gagasan yang melampaui batas-batas formal organisasi dan wilayah, kekuataannya bisa memperkaya taktik dan keyakinan atas platform serta kesinambungan perjuangan.

Produksi gagasan tak melulu berangkat dari pandangan sendiri. Penerjemahan literatur marxis klasik, kontemporer, proyek sosialisme abad 21, sudah dilakukan. Hadir dan terlibat dalam forum-forum internasional, sudah. Apa yang kurang? Penyelenggaraan konferensi internasional Sosialisme sangat jarang di dalam negeri—teknis keamanan lebih gampang dibicarakan bila taktiknya dirasa penting. Konsolidasi gagasan tersebut penting untuk mendapatkan masukan dan inspirasi atas pandangan dan pengalaman politik dari luar.

Perluas saluran

Sekali lagi, jangan berkutat di lingkaran kiri dan sosialis semata. Gerakan sosialis bertanggung jawab menggali aspek-aspek positif dari gerakan sosial dan kelompok reformis dan memajukannya. Gagasan sosialis tak akan memiliki kekuatan apapun jika tidak diyakini oleh sebagian besar kelas pekerja dan rakyat yang belum bergabung dengan organisasi sosialis. Jika politik-ideologi sosialis ingin meluas dan diyakini, dialektika kemajuan massa harus dihargai. Tak mungkin memenangkan kesadaran dikalangan pekerja serikat buruh kuning (SPSI), serikat tani kuning (HKTI), jika tidak terlebih dahulu meluaskan gagasan ke organisasi massa reformis.

Solidaritas, advokasi, pendidikan, konferensi politik  akan memudahkan kelompok-kelompok reformis radikal menerima literatur sosialis, platform perjuangan, hingga strategi perjuangannya. Selanjutnya kesenjangan kesadaran antara organisasi kiri dengan organisasi pekerja reformis/sosial demokrat akan semakin tipis, sehingga pembentukan konfederasi sektoral bersama menjadi logis. Itu pula yang dibutuhkan kelas pekerja dan kaum tani, suatu konfederasi sektoral yang besar, kuat, dan demokratis, dimana setiap tendensi politik memiliki kebebasan berpropaganda. Kecenderungan red unionist (serikat merah) atau meletakkan kepeloporan sebagai tugas politiknya sendiri—tak jarang memisahkan diri meski dalam platform minimum kerjasama—dapat merugikan, karena kebutuhannya: politik sosialis ada di dalam lautan reformis, berdialektika, dan memajukannya.

Muara

Kemana muara produksi gagasan ini? Pada akhirnya adalah serangan yang menentukan yaitu, ‘perang manuver’, dengan syarat: persatuan politik.

Advokasi, pendidikan, diskusi, debat, terbitan bersama, adalah bentuk-bentuk konsolidasi gagasan dan perang posisi, namun tetap fragmentatif  jika tidak dimuarakan pada konsolidasi yang lebih luas, yakni, semacam: Konsolidasi Nasional Persatuan, Konferensi Nasional atau Sidang Rakyat. Konsolidasi tersebut mendiskusikan platform, metode, bahkan wadah perjuangan. Melalui konsolidasi nasional inilah hegemoni politik kiri dibangun.

Sidang Rakyat belum memiliki kekuatan politik yang besar atau menjadi pusat perhatian apabila tidak didahului penciptaan atmosfer politik konsolidasi. Atmosfer politik konsolidasi dibangun dari kampanye menyangkut penyelenggaraan konferensi-konferensi, mulai dari persiapan, penyelenggaraan maupun hasilnya, hingga persiapan sidang rakyat. Penciptaan atmosfer dilakukan juga dengan menyatukan mobilisasi dan propaganda dalam rapat akbar. Disinilah pandangan masing-masing gerakan dipropagandakan di hadapan rakyat, agar rakyat mengerti apa tugas-tugas politik dan jalan keluar sejarahnya, serta pandangan mana yang disetujui, dan sekaligus panggung delegitimasi kaum borjuasi beserta sistemnya—dan itulah wujud perang posisi.

Sidang Rakyat akan diikuti oleh massa, tidak hanya karena ketepatan agitasi-propagandanya, atau kehadiran pimpinan massa yang populer, juga karena rakyat merasakan manfaat dari proses menuju konsolidasi, yakni serangan reguler, dari advokasi ekonomis dan advokasi politik, hingga aksi-aksi reguler pendelegitimasian rejim. Persoalan ekonomis rakyat adalah pintu masuk utama pekerjaan propaganda dan pembangunan panggung, maka, kombinasi kerja advokasi, propaganda dan penciptaan panggung menjadi pekerjaan yang tak terpisahkan.

Konsolidasi nasional tak diabdikan untuk dirinya sendiri tetapi pada wujud kongkret alat politik-ideologis gerakan yang akan terus mengampanyekan posisi dan gagasannya, serta memenangkan kesadaran massa. Wujud kongkretnya ditentukan oleh kehendak rakyat, apakah itu Partai Persatuan, Liga Politik, Konfederasi Sektoral, atau bahkan Dewan Rakyat. Dalam perang posisi, alat-alat politik rakyat inilah yang selanjutnya menjadi tulang punggung pertarungan melawan gagasan elit, menaklukkannya hingga mencapai hegemoni-ideologisnya sendiri.

Dalam makna kebudayaan, alat-alat politik tersebut tidak hanya menyatukan rakyat dari keterpecahannya, tapi juga menjadi saluran aspirasi dan partisipasi kehendak rakyat dalam membuat, menjalankan, mengontrol kebijakan: mewujudkan demokrasi kerakyatan.***


*Telah dicetak dalam Koran Pembebasan Edisi II, November-Desember 2011.

[1] Anggota Partai Pembebasan Rakyat

Share

0 thoughts on “Saatnya Melahirkan Gagasan dan Memperluas Panggung*

  1. Tak mengerti perbedaan antara yang prinsipil (yang strategis perlu dipertentangkan) dengan yang antara/stage (yang taktis perlu dikompromikan); tak mengerti diaklektika.

    kebebasan propaganda bukan dalam arti sewenang-wenang menghujat ketidaksetiaan sekutu (yang belum terbukti secara empiris) dalam platform bersama, yang akan menghancurkan persatuan–Lenin bilang: kejahatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *