Kebohongan Dibalik Kampanye Nasionalisme dan Anti Asing*

Ganjar Krisdiyan[1]

Beberapa tahun belakangan ini, kampanye nasionalisme dan “anti asing” sering kita dengar. Hampir semua spektrum, baik elit maupun gerakan “anti” SBY, menggunakan argumentasi ini sebagai salah satu senjata untuk menyerang. Berbagai konsolidasi persatuan pun tercipta di atas platform ini. Tentu kita semua setuju bahwa rezim SBY memang pro asing, namun apakah kampanye penolakan terhadap asing oleh elit atau yang didukung oleh sebagian besar gerakan akan mengatasi problem-problem rakyat? Pertanyaan ini sangat penting diajukan agar cita-cita pembebasan rakyat semakin dapat diwujudkan. Namun, diatas semua tujuan-tujuan tersebut, yang paling penting adalah memahami apakah persatuan luas berbasis kampanye anti asing sudah tepat sebagai strategi perjuangan dalam menyerang SBY.

Untuk mejawab pertanyaan tersebut, kita harus mengenal terlebih dahulu apa itu nasionalisme. Nasionalisme adalah suatu paham yang menganggap bahwa kepentingan elemen-elemen suatu bangsa adalah sama, tak perduli siapapun dia, laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin; dan sebaliknya, kepentingan nasional tersebut berbeda dari kepentingan bangsa-bangsa lain manapun di dunia, dan, biasanya, kepentingan tersebut dianggap lebih utama. Seperti itulah nasionalisme kita difinisikan.

Namun apakah benar kepentingan seluruh elemen dalam satu bangsa sama? Apakah kepentingan kaum buruh dan pemilik modal sama? Apakah kepentingan petani miskin sama dengan kepentingan para pengusaha perkebunan? Dan apakah kepentingan kaum buruh dan kaum tani miskin Indonesia berbeda dengan kepentingan kaum buruh dan kaum tani miskin di Filipina, Australia, Bolivia, Perancis dll? Saya tidak menjawabnya sekarang.

Kapital, Nasion (Bangsa) dan Nasionalisme

Bangsa atau nasion itu terbentuk sejalan dengan berkembangnya kapitalisme. Sebelum ada kapitalisme tidak ada yang namanya bangsa, yang ada hanyalah kelompok-kelompok etnis, kesukuan, kerajaan dan sebagainya—bukan negara-bangsa. Suatu komunitas dapat dikatakan sebagai bangsa jika memenuhi syarat-syarat, yang menurut Stalin, sebagai berikut: 1) memiliki wilayah yang sama, 2) memiliki bahasa yang dipakai bersama, 3) adanya kehidupan ekonomi bersama dan 4) ada perasaan psikologis yang sama yang tercermin dalam satu kebudayaan bersama. Tapi syarat-syarat ini haruslah dilihat secara dinamis berdasarkan realita pergerakan politiknya, atau menurut Micahel Lowy, kondisi historisnya yang kongkrit.

Dalam sejarah, kaum borjuislah yang pertama-tama berkepentingan terhadap adanya bangsa dalam rangka penyatuan pasar (teritori), mata uang, pemerintahan, aturan, pungutan, bahasa dsb, untuk mengatasi kerumitan dalam transaksi ekonomi yang semakin mendesak seiring perkembangan modal. Itulah salah satu alasan mengapa kaum borjuis bangkit melawan kekuasaan feodal. Karenanya, ideologi nasionalis merupakan ekspresi ideologi kapitalis (borjuis).

Dalam tahap ini bisa dikatakan bahwa kaum borjuis adalah progresif, karena mendorong pecahnya hubungan produksi lama yang sudah tidak bisa lagi dipertahankan oleh kemajuan tenaga produktif yang baru dan menuntut hubungan produksi yang sesuai (perjuangan kelas), yaitu kapitalisme. Tetapi ketika hubungan produksi kapitalisme sudah ada, maka kaum borjuis menjadi konservatif, ia telah berkuasa atas negara dan memiliki sebagian besar kekayaan.

Di dalam negara kapitalis, seorang kapitalis melakukan ekspolitasi atas sebagian besar elemen bangsa yang tidak memiliki kekayaan (buruh) untuk terus memproduksi barang dagangan (komoditi). Jadi dalam satu bangsa, kita dapat melihat ada kepentingan yang terpecah, antara kapitalis dan buruh. Lenin mengatakan dalam artikel Sosialisme dan Kaum Tani tentang perpecahan ini:

Tetapi masyarakat itu sendiri, yang sekarang nampaknya bersatu dan utuh dalam perjuangan melawan otokrasi, sudah pasti terpecah oleh jurang antara kapital dan kerja. Rakyat, yang telah berontak melawan otokrasi, bukanlah Rakyat yang bersatu. Pemilik-pemilik dan buruh-buruh upahan, sejumlah orang-orang kaya (“sepuluh ribu orang-orang atasan”) yang tak berarti dan puluhan juta orang tak berpunya dan yang bekerja, itu sesungguhnya merupakan “dua nasion”, ….”

Apabila suatu bangsa memiliki kepentingan yang sama, yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain manapun di dunia, dan kepentingan bangsa sendiri menjadi utama maka menjadi masuk akal bahwa kapitalis menyerukan proteksi terhadap produksi yang dijual kapitalis bangsa lain, sekalipun dari segi kualitas lebih baik dan harganya lebih murah. Dan akibatnya, menjadi masuk akal pula para kapitalis dalam negeri akan menurunkan tingkat upah buruhnya, agar dapat menjual produksinya dengan lebih murah, demi kepentingan nasional. Lebih jauh lagi, dengan alasan demi kepentingan nasional, kaum kapitalis dapat saja melakukan penindasan kemanusian, mendiskriminasi perempuan, merusak lingkungan, melakukan penindasan terhadap minoritas ras tertentu yang dianggap kurang pribumi (rasis), dll.

Terakhir, terkait perkembangan lanjut kapital, yaitu imperialisme, permasalahan bangsa dapat kita bedakan antara bangsa penindas dan bangsa penindas, Lenin lah yang pertama membuat pembedaan ini. Pembedaan ini penting agar kita dapat menilai watak dan karakter imperialisme itu sendiri dan secara khusus membuat jalan keluar atas perjuangan pembebasan bangsa-bangsa tertindas. Imperialisme adalah kapitalisme pada tahap perkembangan dimana dominasi monopoli dan kapital finansial telah menjadi kenyataan; ekspor kapital telah menjadi sangat penting; pembagian dunia di antara sindikat-sindikat internasional telah dimulai; pembagian teritori-teritori dunia di antara kekuatan-kekuatan kapitalis terbesar telah selesai.

Imperialisme terjadi karena kelas penguasa di suatu negara mempunyai modal atau keuntungan yang sangat besar untuk diinvestasikan ke negara lain, membeli bahan mentah dan buruh, dan menghisap keuntungan lebih besar lagi dari mereka. Negara Imperialis mendominasi negara terbelakang melalui berbagai macam bentuk kontrol langsung, saat ini, kebanyakan bentuk kontrol langsungnya adalah dominasi ekonomi atau modal. Imperialisme telah membagi dunia atas sejumlah kecil bangsa penindas dan sejumlah besar bangsa tertindas yang menguasai kemakmuran secara besar-besaran. Pada pengantar pidatonya dalam sidang Komisi Tentang Permasalahan Nasional dan Kolonial 26 Juli 1920, Lenin mengatakan:

“……apa yang merupakan gagasan pokok yang mendasari tesis kita? Pembedaan antara negara tertindas dan penindas. Dan tidak seperti Internasional Kedua dan demokrasi borjuis, kita memberikan penekanan pada pemisahan ini. Pada jaman imperialisme ini, adalah penting bagi kaum proletariat dan Komunis Internasional untuk membangun fakta-fakta ekonomi yang konkret dan beranjak dari realitas-realitas konkret bukan dari postulat-postulat abstrak, mengenai permasalahan kolonial dan kebangsaan.

Terhadap permasalahan ini, Lenin memberikan dukungan penuh pada pembebasan bangsa-bangsa yang ditindas oleh imperialisme. Tetapi dukungan tersebut, selain untuk pembebasan bangsa-bangsa tertindas dari bangsa-bangsa penindas, sekaligus sebagai prasyarat menghapuskan penghisapan rakyat dari kelas borjuasi lokalnya dan membangun persatuan rakyat tertindas dari bangsa-bangsa yang lebih bebas secara internasional. Inilah yang disebut perjuangan pembebasan nasional.

Perjuangan pembebasan nasional bisa saja bersama-sama kelompok borjuasi, sepanjang mereka tidak menghalangi kerja kaum revolusioner. Lenin sama sekali menolak sikap bekerja sama ini jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi. Posisi ini penting menjadi tekanan dalam pembebasan nasional bangsa-bangsa tertindas, karena, di dalam banyak kasus, sekalipun borjuasi negara tertindas mendukung gerakan nasional, mereka tetap bergandengan tangan dengan borjuasi imperialis, yakni, menjalin kekuatan bersama menentang semua gerakan dan kelas-kelas revolusioner, hal ini dimungkinkan karena terdapat kesesuaian karakter antara kaum borjuasi negara penghisap dengan mereka.

Bangsa-bangsa yang menjadi sasaran penghisapan imperialisme adalah bangsa yang secara ekonomi terbelakang, bahkan dalam banyak kasus, bangsa-bangsa tersebut masih dalam corak pra-kapitalis, dimana tidak terdapat golongan proletariat industri. Namun sejak awal Lenin menganjurkan kaum revolusioner untuk tetap memainkan peranan memimpin, yaitu satu posisi untuk menginspirasi massa pada pemikiran politis independen dan aksi politis independen diantara kaum taninya, karena rakyat yang tereksploitasi bukan hanya oleh kapital namun juga oleh kaum feodal (negara yang didasarkan feodalisme). Kaum revolusioner dapat menerapkan prinsip-prinsip sosialisme dalam kondisi demikian. Dalam banyak peristiwa bisa dibuktikan, bahwa gagasan organisasi semacam sovyet, dapat diterima dengan mudah oleh para petani yang hidup dalam ketergantungan semi-feodal.

Kaum determinis ekonomis sering kali gagal memahami posisi ini. Menurut mereka, tahap perkembangan ekonomi kapitalis tak terelakan bagi bangsa-bangsa pra-kapitalis, sehingga kapitalisme menjadi tak terelakan. Gagasan ini adalah pemvulgaran atas marxisme, yang ujung-ujungnya merupakan cerminan oportunisme kaum reformis. Kaum revolusioner harus dapat membedakan diri dengan gerakan reformis, jika kaum revolusioner dapat memenangkan propaganda sistematis di antara kaum tani, maka tahap perkembangan kapitalis bisa dilalui, untuk segera menuju sosialisme.

Itulah mengapa, tuntuan “anti asing” (imperialis) tidak boleh melepaskan dari propaganda tentang pemerintahan sendiri (rakyat), jika kita tidak ingin menjebloskan rakyat kedalam jurang penindasan dan penghisapannya lagi. Perjuangan Sosialisme di Kuba adalah salah satu contoh perjuangan anti imperialis yang melahirkan negara Sosialis.

Situasi Indonesia dan Gerakan

Indonesia adalah sebuah negara kapitalis terbelakang, baik dalam pengertian historis maupun politik (terkait kebebasan politik, penegakan HAM dll). Selain itu, Indonesia juga merupakan negara yang telah lama dikuasai imperialisme.

Kelas borjuasi Indonesia tidak pernah melakukan revolusi borjuis seperti di Eropa. Sebelum menjadi bangsa, Indonesia terpecah-pecah dalam belasan suku dan kerajaan, kerajaan terbesar yang pernah hadir di nusantara adalah Majapahit. Pada masa kerajaan ini, tenaga produktif manusianya tinggi, dibuktikan dengan kemampuan Majapahit membuat kapal dan meriam. Dengan kapal tersebut mampu berlayar ke tempat-tempat yang jauh untuk berdagang, bahkan menguasai pusat perdagangan terbesar saat itu, Malaka.

Namun kerajaan Majapahit tak bertahan lama, timbul perpecahan dan pemisahan diri yang mengakibatkan munculnya kerajaan-kerajaan kecil. Perpecahan ini berakibat pada penurunan tenaga produktifnya pula. Disamping itu, ada perbedaan dalam konsep kepemilikan tanah di nusantara dengan apa yang terjadi di Eropa/barat. Di nusantara, raja merupakan pusat ketatanegaraan dan kedudukannya hampir bersifat Ilahiah. Tanah dimiliki oleh raja, yang kemudian dibagi-bagikan ke berbagai penugasan/pengawasan kepada para pejabat yang ditunjuk oleh raja atau yang berwenang di Istana. Pejabat kerajaan hanya mempunyai hak yurisdiksi atas tanah-tanah di wilayahnya untuk dipertahankan, dikuasai, dan digunakan untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan hasil-hasil buminya sesuai adat yang berlaku. Sistem seperti ini sering kita sebut Lungguh, yaitu tanah garapan yang diberikan pejabat kerajaan sebagai pengganti gaji sesuai kedudukannya. Hal ini, antara lain, menyebabkan tidak lahirnya kaum ningrat yang kokoh.

Kapitalisme di negeri ini lahir dari hasil kolonialisme Belanda. Pada masa inilah lahir kelas buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan, atau proyek-proyek infrastruktur milik mereka. Namun ini bukan berarti bangsa Indonesia lahir karena Belanda, apa yang dilakukan oleh kolonialisme bukanlah mempersatukan seluruh rakyat, tetapi justru memecah belahnya, rakyat diadu domba satu sama lain demi kelanggengan penjajahan. Usaha membentuk negara Indonesia murni lahir dari pergerakan politik dan penyebarluasan sastra oleh kaum gerakan. Politik disini memegang peranan sangat penting, dengan perjuangan politiklah gagasan keluar dari penjajahan dan keinginan merdeka dibangkitkan, dan dengan sastra, penyebarluasan bahasa secara nasional dilakukan.

Kapitalisme yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia juga gagal membangun pondasi ekonomi yang kuat dan melahirkan tenaga produktif manusia yang tinggi. Belanda sama sekali tidak membangun industri, selain industri gula yang tidak seberapa dibanding besarnya wilayah Indonesia. Pengorganisasian aktivitas ekonomi dilakukan dengan cara-cara perampasan yang membuat jutaan orang kehilangan segalanya.

Ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, bangsa Indonesia bukanlah sebuah bangsa yang sudah memiliki syarat untuk segera maju: tidak memiliki kapital, industri pertaniannya sangat rendah, tingkat melek hurufnya sangat kecil, dan lain sebagainya. Namun usaha membangun sebuah negara yang kuat telah dimulai oleh kelompok-kelompok progresif semacam Sukarno dan PKI, melalui politik kemandirian, yang merupakan warisan perjuangan menentang kolonialisme.

Namun usaha itu digagalkan oleh kekuatan reaksi pada tahun 1965. Naiknya Suharto justru mengintegrasikan ekonomi Indonesia dengan kapitalisme internasional. Kroni-kroni Suharto kemudian membangun basis ekonomi sendiri, menjadi pengusaha di dalam negeri yang lemah. Ditengah-tengah segala keterbatasan, baik dari segi kapital, kemampuan manajerial, rendahnya tenaga produktif manusia dan lain sebagainya, membuat kaum borjuasi Indonesia, disatu sisi, sangat tergantung pada asing, dan disisi lain, selalu dihantui ketakutan terhadap kekuatan proletariat yang siap mengancam modalnya.

Pada masa Suharto, semua kegiatan politik yang dianggap akan membahayakan kekuasaan dilarang, rakyat dibuat apolitis dengan ideologi pembangunan, kegiatan politik rakyat digantikan dengan kegiatan kewirausahaan kecil-kecil, kegiatan kaum perempuan diarahkan hanya untuk mendampingi suami atau membantu ekonomi keluarga. Sementara disisi lain, hutannya, emasnya, minyaknya semua digadaikan kepada asing. Di sekolah-sekolah, kurikulum pendidikan diarahkan sekadar memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah (link and match), sementara sejarahnya, sastranya, organisasinya, semua dilarang. Pada masa ini, kemiskinan terjadi dimana-mana, terjadi juga kesenjangan kesejahteraan antara pusat-daerah, sementara, rakyatnya buta politik, buta sejarah dan buta sastranya sendiri. Itulah sebabnya Indonesia terus menerus gagal menjadi sebuah bangsa yang kuat.

Pasca Suharto, kita tidak dapat terlalu banyak berharap bahwa elit-elit politik benar-benar dapat memiliki nasionalisme. Kaum borjuis Indonesia tidak pernah berkembang menjadi progresif. Dalam pertarungan politik Pilpres yang lalu misalnya, sebagian besar kandidat, terutama yang gencar mengkampanyekan soal proteksi terhadap industri nasional seperti Jusuf Kalla dan Wiranto, atau yang getol mengampanyekan ekonomi kerakyatan seperti Megawati dan Prabowo, atau calon lainnya seperti Habibie, SBY dll, semuanya adalah bagian dari kekuasaan Suharto sebelumnya. Mungkin hanya Megawati yang tidak pernah menjabat sebagai menteri di jaman Suharto, tetapi apakah selama Suharto berkuasa, kita mendengar Megawati mengadvokasi ekonomi rakyat? Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, ketika Megawati diberi kesempatan menjadi Presiden, meski hanya sebentar, ia justru memecahkan rekor dengan menjual aset nasional kepada asing (privatisasi BUMN).

Oleh karena itu, tidak ada cara lain agar lepas dari penghisapan asing, sekaligus memberikan kemajuan bagi bangsa Indonesia, selain kaum pergerakannya sendiri yang melakukannya. Karenanya hanya rakyatlah yang paling berkepentingan dan paling bisa menyelesaikan tugas revolusi yang tidak bisa diselesaikan oleh borjuasi ini, dan memajukannya sampai ke tahap sosialisme. Inilah yang disebut Pembebasan Nasional.

Internasionalisme

Rakyat yang bercita-cita merebut kekuasaan ke tangannya, karena tidak ada pilihan lain selain kekuasaan itu sendiri yang dapat mengubah masyarakat, harus membangun kekuatannya secara internasional. Tidak bisa sosialisme dibangun di dalam satu negara, karena dia akan terisolasi dan diganggu oleh kekuatan imperialis yang berskala internasional. Imperialis melalui kekuatan modal dan sekutu-sekutunya terbukti beberapa kali menghancurkan proses menuju sosialisme di berbagai negara.

Disamping itu, kekuasan politik yang dijalankan oleh rakyat juga membutuhkan dukungan proletariat internasional, dalam rangka mempertahankan revolusi, baik dalam pengertian politik maupun ekonomi. Di negara-negara terbelakang, seperti Indonesia, yang kekurangan modal, sumber daya manusia yang terdidik, dan lain sebagainya, tidak mungkin mempertahankan pemerintahan sosialis sendirian.***


**Telah dicetak dalam Koran Pembebasan Edisi II, November-Desember 2011.

[1] Anggota Partai Pembebasan Rakyat

Share

0 thoughts on “Kebohongan Dibalik Kampanye Nasionalisme dan Anti Asing*

  1. Anti asing? Produk-produk asing nyaris tak terpisahkan, bagaimana bisa? Contoh kongkrit, dalam bidang agama, misalnya Katolik atau yg paling kental Islam; penuh dengan bersabiag ritual budaya tradisi dan kepercayaan Arab. Mau dihilangkan? Atau tebang pilih, yg mana?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *