Krisis Energi: Akar Masalah dan Solusi*

Oleh: Paulus Suryanta Ginting**

“Kemerosotan industri energi (Minyak, Gas dan Listrik) merupakan bagian dari privatisasi perusahaan negara, bukan sekedar pengambilalihan perusahaan melainkan (sejatinya) untuk melapangkan jalan monopoli kapital nasional seutuhnya ke tangan kapitalis internasional.”

Ekonomi neoliberal, telah menempatkan energi sebagai komoditi yang harus dikuasai. Apakah itu dengan tujuan untuk mensuplai terus bahan energi bagi produksi massal kapitalisme ataupun penguasaan dan eksploitasinya secara sepihak—melalui politik neoliberal—bagi keuntungan akumulasi yang sebesar-besarnya ke tangan minoritas klas dalam masyarakat dunia: korporasi internasional—beserta kaki tangannya.

Neoliberalisme[1], telah menempatkan energi sebagai bagian dari kapital sosial keluar dari fungsinya untuk memenuhi kebutuhan suatu kolektif masyarakat, energi telah ditempatkan sebagai hasil produksi kapitalisme yang diperuntukkan bagi kemakmuran masyarakat kapitalis dunia.

Suatu lembaga kolektif (Negara)—cerminan masyarakat berklas—telah dicerabut fungsinya untuk mengolah kapital sosial tersebut bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan publik. Hal ini merupakan hukum perkembangan kapitalisme yang tak menghendaki adanya hambatan-hambatan bagi penumpukan (akumulasi) keuntungan—yang menurut Adam Smith merupakan dasar bagi perkembangan ekonomi. Sayangnya, penumpukan kapital ini berada ditangan segilintir orang (klas kapitalis) yang selanjutnya menghambat perkembangan ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, segala cara akan dilakukan demi berjalannya proses eksploitasi bagi akumulasi kapital, meskipun melalui pendekatan militeristik.

Dengan mengatasnamakan Pancasila, TINA (There is No Alternative) dan efek “tetes ke bawah” (Tricle Down Effect) penerapan neoliberalisme dibidang energi, melalui politik energi, sepenuhnya ditujukan bagi penerapan konsep kesetaraan permainan (Level Playing Field) melalui pembukaan pasar dan perombakan struktur industri energi, yang nyatanya hanya berlaku bagi korporasi-korporasi internasional—yang memiliki modal dan teknologi skala besar dan modern. Tapi tidak bagi negara berkembang yang mengalami capital flight—diakibatkan pembayaran utang luar negeri (cicilan dan bunga), rekapitalisasi obligasi perbankan, kredit eksport militer, dllSehingga basis bagi Industrialisasi Nasional dibidang Energinya—melalui pembangunan Industri Hulu (Downtream), Industri Antara (Midstream[2]), Industri Hilir[3] (Upstream)—tidak terbangun.

Fakta meningkatnya inflasi suatu negeri, meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok: beras, sayur-sayuran, biaya rumah tinggal, pakaian—yang berkaitan erat dengan nilai salah satu produk energi, minyak—meningkatnya jumlah pengangguran dan perusahaan bangkrut, merupakan relasi yang tak terpisahkan dengan pendekatan kebijakan energi yang pro pasar. Yang jelasnya ditunjukkan ketika fluktuasi minyak di pasar internasional yang tidak memberikan WindFall Profit (lonjakan keuntungan) bagi negara ini, melainkan peningkatan import minyak dan harga BBM, serta pencabutan subsidi.

Secara jelas kita akan membahas apakah  kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment program) memberikan kedaulatan sumber daya energi nasional ataukah penjajahan (kembali) atas kekayaan energi nasional yang mengakibatkan perpanjangan sejarah kemiskinan penduduk negeri ini?

Potensi Sumberdaya Energi Indonesia beserta fakta-faktanya, antara lain: 

Pertama Indonesia merupakan negara dengan kapasitas panas bumi terbesar di dunia (40% cadangan dunia, atau sekitar 27.140,5 MegaWatt). Tapi pemanfaatan cadangan panas bumi Indonesia masih sangat minim, yakni hanya 800 MW. Plus, potensi bahan tambang lainnya, seperti batubara 3,1% cadangan dunia, dan gas[4] 1,4% cadangan dunia, tenaga air[5] 75 Giga Watt, biomasa 49 GW, tenaga matahari 48 kWh/m2/hari[6], tenaga angin[7] 9 GW, dan uranium dengan kapasitas  sebesar 32 GW atau total ada lebih 230 GW. Fakta yang ada atas potensi tersebut, antara lain:

  • Ketersediaan listrik di Indonesia baru mencapai 21,6 GW atau 108 watt per orang, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Jepang yang mencapai 1.874 watt/orang. Padahal, kebutuhan listrik dunia diproyeksikan akan meningkat dari 14.275 milyar watt di tahun 2002 melonjak menjadi 26.018 milyar watt di tahun 2025.
  • Batubara dipasok untuk industri ketenagalistrikan dengan jumlah 22,882 juta ton. Meski sudah ada pasokan dari batubara, tetapi produksi energi listrik masih juga memakan 6,796 Juta kilo liter bahan bakar minyak. Seiring dengan kenaikan harga minyak maka jumlah dan harga energi listrik juga menjadi semakin mahal. Hal tersebut mengakibatkan tarif listrik semakin mahal. Terlebih penjualan minyak dan batubara serta bahan penunjang lainnya antar BUMN ataupun tidak di dalam negeri, dilakukan dengan mata uang dollar.
  • Sejauh ini produksi listrik nasional untuk konsumsi dalam negeri baru 80%, sedangkan 20%nya harus dibeli PLN.
  • Di Indonesia Black Out (pemadaman sementara) pernah terjadi pada tahun 1997, 1999, 2000 dan 2002 dan memiliki kecenderungan akan terus terjadi dengan tingkat yang lebih besar.
  • Tarif dasar listrik terus dinaikkan—hal ini menunjukkan pencabutan subsidi listrik diberlakukan oleh pemerintah.

Kedua, Indonesia merupakan negara net eksporter Gas dunia—dengan  10 perusahaan asing  (Exxon Mobil, Vico, BP, Unocal, Conoco Philips, Energi, Caltex, Exspan, Premier/Amoseas, Cnooc/YPF/Maxus) menguasai 55% produksi gas Indonesia—dengan cadangan gas saat ini diperkirakan sebesar 134,0 TSCF yang tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Natuna, Sulawesi Selatan, dan Papua. Sementara produksi gas tercatat sebesar 8,6 miliar kaki kubik per hari, dimana 6,6 miliar kaki kubik dari produksi tersebut digunakan untuk ekspor dan sisanya sebesar 2,0 miliar kaki kubik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yaitu untuk keperluan fertilizers, refinery, petrochemicals, LPG domestik, PGN, PLN, dan industri lainnya. Penerimaan negara dari gas bumi rata-rata sebesar 10,2% dari total penerimaan negara dan 80% dari jumlah tersebut berasal dari ekspor. Fakta yang ada dari potensi tersebut, antara lain:

  • 10 perusahaan asing  (Exxon Mobil, Vico, BP, Unocal, Conoco Philips, Energi, Caltex, Exspan, Premier/Amoseas, Cnooc/YPF/Maxus) menguasai 55% produksi gas Indonesia.
  • Jepang memperoleh 75% dari total pengiriman gas LPG perusahaan besar asing dari Indonesia.
  • Jepang juga memperoleh 64% dari total pasokan LNG yang dikirim dari Indonesia.
  • PT Pupuk Iskandar Muda dan PT ASEAN Aceh Fertilizer hampir bangkrut karena kurangnya pasokan Gas, karena target eksport ke Jepang dan Korea Selatan. Serta pembelian harga LNG yang tinggi—dengan standar harga internasional dan dengan pembayaran melalui dolar Amerika.
  • Naiknya harga minyak internasional hingga pada level $135 per barel tidak memberikan windfall profit melainkan meningkatnya harga premium ke harga Rp. 6000 per liter.

Ketiga, Potensi energi fosil jenis minyak, antaralain: minyak 86,9 miliar barel (sumberdaya), 9 miliar barel (Cadangan), 500 juta barel (Produksi per tahun)[8]. Produksi 989.880 barel per hari itu dengan rincian kondensat 128.785 barel per hari dan minyak mentah 861.095 barel per hari (Mei 2008). Dengan sumur yang siap diproduksi: Cepu/Jawa Timur: 170 ribu bph,  Jeruk/Jawa Timur: 50 ribu bph,  West Seno/Selat Makasar: 27 ribu bph,  Belanak/Natuna: 50 ribu bph,  Petrochina: 25 ribu bph, Pertamina: 30,6 ribu bph. Fakta yang nyata dari potensi tersebut:

  • Terjadi penurunan produksi minyak dari tahun 1978 ketika Oil Shock  ke II produksi minyak Indonesia sebesar 1,4 Juta Barel per hari.
  • Sepuluh perusahaan asing ( BP, Caltex, CNOOC, Connocophilips, Exonmobil, EXSPAN, Total Fina/ELF, Unocal, VICO, Petrocina) menguasai 84% produksi minyak Indonesia dan perusahaan Caltex menguasai sebesar 56%.
  • Cost Recovery[9] yang harus dibayarkan pemerintah untuk seluruh kontraktor selama 2007 mencapai US$ 8,33 miliar.
  • Ladang minyak yang diyakini menyimpan cadangan dalam jumlah mencapai 1.1 milyar barel di kedalaman kurang dari 1.700 meter itu, memiliki cadangan potensial yang mencapai 11 milyar barel di kedalaman di atas 2000 meter dikuasai oleh Exxon Mobil Oil.

Dari paparan potensi dan fakta diatas, pertanyaan mendasar mengapa dengan kapasitas sumberdaya sebesar ini—yang sebagian belum/kurang tereksplorasi karena rendahnya biaya penelitian dan pengembangan eksplorasi—mengalami persoalan krisis energi?

Akar masalah:

Beberapa pandangan menyatakan bahwa kenaikan harga BBM yang disebabkan oleh naiknya harga minyak dunia, hingga harga $130 per barrel, karena faktor kurangnya pasokan minyak dunia ke pasaran, selayaknya pada teori penawaran dan permintaannya (Suplay and Demand). Kenyataannya tidak sesederhana itu. Liberalisasi keuangan dan liberalisasi perdagangan internasional—yang merupakan perkembangan historis dari kapital bank dan dagang, telah menghasilkan fluktuasi terhadap komoditi, keuangan dan kondisi perekonomian suatu negeri. Seperti dalam konsep A. Smith, aktor–aktor pasarlah yang menjadi penentu, sekaligus perusak perkembangan ekonomi suatu negeri.

Kenaikan harga minyak dunia baru-baru ini bukanlah karena faktor turunnya suplai dari negara-negara net eksportir minyak atau terlalu besarnya tingkat konsumsi negara-negara konsumen minyak seperti India, China, Amerika.

Secara internasional, faktor utama disebabkan oleh pelaku spekulan. Minyak sebagai komoditi saat ini tidak lagi diperdagangkan dengan menghadirkan barang terlebih dahulu. Perkembangan perdagangan, telah menghasilkan suatu sistem dimana perdagangan dapat dilakukan tanpa menghadirkan barang (commodity) terlebih dahulu melainkan melalui surat-surat dengan nilai tertentu yang diperdagangkan secara fluktuatif hingga diluar nilai produksinya. Dewasa ini perdagangan bursa komoditi berjangka (Commodity Futures Market[9]) menghasilkan fluktuasi terhadap tingkat harga barang dalam pasar internasional. Minyak yang diperdagangkan dengan cara yang sama (bursa komoditi berjangka) di bursa Singapura (Mid Oil Plats Singapore/MOPS) ataupun New York Mercantile Exchange (Nymex) telah mendorong spekulan-spekulan kredit perumahan (subprime mortgage) Amerika yang tengah mengalami krisis di pasar modal AS merambah pada bursa komoditi berjangka minyak. Para spekulan tersebut membeli surat-surat barang dalam jumlah besar hingga nilai barang tersebut meningkat drastis. Selanjutnya para spekulan tersebut melepas/menjual kembali surat-surat tersebut dan mengambil margin keuntungan atau sering disebut Profit Taking Action/aksi ambil untung. Atau dengan menjualnya dengan nilai yang tinggi ke  pedagang lain ataupun perusahaan negara.

Atas pelipatgandaan tingkat harga komoditas minyak ini dari cost of production awal yang diuntungkan adalah korporasi minyak dan gas internasional, para spekulan komoditi dan broker/calo-calo minyak yang mengambil rente lebih besar ke konsumen minyak, AS, Jepang dan Inggris yang menjadi pemilik korporasi minyak internasional. Lalu siapa yang menjadi korban? Dengan tingkat pendapatan yang rendah maka rakyat dan negara-negara miskin menjadi korban dari kenaikan minyak dalam skala internasional ini.

Penumpukan kapital dari meningkatnya harga minyak internasional menambah konsentrasi kapital di negara-negara imperialis ini. Sebaliknya, negara-negera miskin, yang terpaksa menjalankan program penyesuaian nilai minyak di dalam negerinya, membuat industri nasionalnya hancur. Situasi ini disebabkan karena negara-negara tersebut berkembang dengan basis industri yang lemah, teknologi yang rendah, modal yang kecil, kemudian biaya produksi yang tinggi, karena meningkatnya harga minyak internasional, hasilnya: komoditi dengan kualitas rendah dan harga yang tinggi.

Selanjutnya, harus dihadapkan pada komoditi dari korporasi-korporasi internasional yang berkembang dengan konsentrasi produksi yang besar, modern dan massal ditangan kapitalis internasional—yang nilai komoditinya lebih murah dan berkualitas. Hasil akhirnya, dengan daya beli yang rendah, konsumen akan membeli komoditi korporasi internasional dan komoditi perusahaan negara atau perusahaan swasta dengan konsentrasi produksi yang rendah akan ditinggalkan. Akibatnya: Deindustrialisasi Nasional.

Faktor internasional ini diperparah dengan, pelaksanaan secara konsisten kebijakan ekonomi-politik neoliberal. Industri energi, di negeri ini, berkembang dari perebutan perusahaan-perusahaan asing paska kemerdekaan. Industri listrik (Perusahaan Lisrik Negara/PLN) misalnya, pada pra kemerdekaan dibangun dari perusahaan swasta Belanda, NV.NIGM, yang memperluas usahanya dari bidang gas ke tenaga listrik. Dalam masa berikutnya, seperti perusahaan lainnya, akibat perang dunia ke II, perusahaan ini dikuasai oleh Jepang. Paska kemerdekaan perusahaan ini diambil-alih oleh pemerintahan Soekarno, melalui perjuangan heroik pemuda republik, dengan membentuk Jawatan Listrik dan Gas. Dimana ketika itu kapasitas produksi tenaga listrik baru sebesar 157,5 MegaWatt.

Sedangkan Industri minyak dan gas, dibangun juga dari perusahaan asing. Industri minyak dimulai ketika De Dordtsche Petroleum Maatschappij membangun kilang wonokromo yang merupakan unit distilasi atmosfir. Tapi pencarian minyak sendiri pertama kali dilakukan oleh Jan Reerink pada tahun 1871 di Cibodas Jawa Barat. Meski Aelko Zijlker pada tahun 1883 yang menemukan ladang minyak di Langkat Sumatera Utara. Kemudian De Koninklijke pada 1891 membangun kilang pangkalan berandan untuk mengolah crude oil (Minyak mentah) dari Sumatera bagian utara. Pada tahun 1894 De Dordtsche Petroleum Maatschappij membangun kilang cepu untuk mengolah crude oil, yang selanjutnya dibeli oleh British Petroleum Maatschappij tahun 1911.

Di Balikpapan, Shell Transport and Trading Company membangun kilang Balikpapan. Pada tahun 1926 Stanvac membangun Kilang Sungai Gerong. BPM dan Stanvac merupakan dua perusahaan minyak yang beroperasi dalam penyediaan dan pemasaran BBM pada masa kolonial Belanda. Pada tahun 1945, terbentuk  3 perusahaan minyak negara: Perusahaan Tambang Minyak Negara Republik Indonesia Sumatera Utara (PTMNRI Sumatera Utara), Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia (Permiri) Sumsel dan Jambi, dan Perusahaan Tambang Minyak Negara Cepu (PTMN Cepu. Tetapi hingga 1950 tinggal Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia (PTMRI Sumatera Utara) dan PTMRI Cepu. Pada 22 Juli 1957 lahir Perseroan Terbatas Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara (PT ETMSU) lalu pada 10 Desember 1957 berubah menjadi PT Perusahaan Minyak Nasional (PT Permina) dengan Kol. Dr. Ibnu Sutowo sebagai Presiden Direkturnya. Sebelumnya, pada Oktober 1957, KSAD Jenderal A.H. Nasution menunjuk Kolonel Dr. Ibnu Sutowo untuk membentuk perusahaan minyak yang berstatus hukum perseroan terbatas. Kemudian tahun 1959, NV Niam (NV Nederlans Indische Aardolie Maatschappij) diubah menjadi PT Permindo (PT Pertambangan Minyak Indonesia).

Melalui UU No 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, PT. PERMINA diubah dari perseroan terbatas menjadi perusahaan negara. Melalui UU Minyak dan Gas Bumi No. 44 tahun 1960, tanggal 26 oktober 1960, seluruh pengusahaan minyak di Indonesia dilaksanakan oleh negara. Melalui PP No. 198 tahun 1961 di dirikan perusahaan negara dengan nama PN Pertambangan Minyak Nasional PN Permina (PT Permina masuk kedalamnya).

Nasionalisasi yang dilakukan melalui Undang-undang No. 86/1958 tentang nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda di Indonesia, PP 50/1959, tentang Penentuan Perusahaan-Perusahaan Perindustrian/Pertambangan milik Belanda yang dikenakan nasionalisasi, kemudian melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 163 tahun 1953 tentang Nasionalisasi semua perusahaan Listrik diseluruh Indonesia dan PP No. 018/1959 tentang Penentuan Perusahaan Listrik Dan/Atau Gas Milik Belanda yang dikenakan Nasionalisasi, melalui apa yang disebut oleh Bung karno sebagai program “Banteng”. Pada kenyataannya tidak jatuh ketampuk kekuasaan rakyat, melainkan jatuh ke tangan militer.

Meski telah diambil-alih, industri energi tidak berkembang secara pesat dalam pemenuhan produksi. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: keterbatasan modal, teknologi yang rendah dan sumber daya manusia yang belum berkembang, serta kurangnya prespektif pembangunan secara signifikan dan berjangka panjang dalam Industri energi—selain juga faktor-faktor politik yang berpengaruh pada kegiatan produksi. Hal tersebut ditunjukkan dengan produksi energi yang belum signifikan dalam kurun waktu 20 tahun. Misalnya, pada tahun 1965 produksi tenaga listrik hanya pada tingkat 300 Megawatt.

Kondisi ini tidak berubah dalam masa pemerintahan Soeharto, peningkatan kapasitas infrastruktur produksi, efisiensi struktur dan manajemen produksi, serta peningkatan kualitas tenaga produktif tidak diubah bahkan konsep diversifikasi dan konservasi energi listrik tidak disiapkan secara serius[10]. Akibatnya, PLN pada juni 1994 dialihkan dari Perusahaan Umum/Publik/Negara menjadi perusahaan Perseroan. Melalui kebijakan ini kapitalis asing dapat terlibat dalam bisnis penyediaan tenaga listrik[11]. Pada industri minyak, Pertamina yang berhasil meraup keuntungan pada masa boom oil justru dikerdilkan oleh pemerintah melalui Inpres No. 12/1975. Inpres ini mewajibkan seluruh penerimaan migas masuk ke rekening pemerintah membuat modal Pertamina menjadi sangat terbatas untuk masuk ke sektor hulu. Padahal sektor inilah yang mampu mengembangkan perusahaan migas agar menjadi besar.

Pragmatisme diselesaikan pula dengan pragmatisme baru. Itulah yang dilakukan oleh pemerintah Soeharto, dengan mengubah PLN menjadi persero. Hal ini merupakan gambaran politis dari struktur ideologis/kelas kapitalis kroni yang tidak berkemampuan mengembangkan industri ini secara mandiri. Melainkan memberikan ruang bagi capital swasta masuk dan berkembang secara signifikan, meski (tetap) dalam monopolisasi perusahaan “publik” pemerintahan kroni Soeharto. Meski tetap dalam monopoli perusahaan “publik” tetapi kenyataan itu adalah awal dari strategi panjang kapitalisme internasional untuk memonopoli perusahaan negara.

Kebijakan Ini memberikan dasar kesimpulan adanya pragmatisme dalam konsep awal pembangunan industri energi, yang ditunjukkan dengan tidak meningkatnya jumlah total produksi dalam kurun waktu 20 tahun tersebut—bahkan pada kasus industri minyak yang ditahun 70-an mendapatkan keuntungan dengan adanya oil shock justru tidak menyiapkan prasyarat pengembangan industri minyak tersebut—tidak menjadi catatan penting dalam peningkatan jumlah produksi energi.

Di sisi lain, pemerintah (bahkan dalam masa pemerintahan Soeharto yang memiliki konsep Pembangunanisme) tidak memiliki orientasi mandiri—karena memang tekanan konsep ekonominya adalah mengundang masuknya modal asing ke dalam negeri (investasi)— dalam konteks peningkatan pasokan (supply), pengefektifan (konservasi[12]) dan penganekaragaman (diversifikasi[13]) industri energi. Meski pada Rencana Korporat Ketiga (Renkorp III, 1994/1995 – 1998/1999, Pertamina menginventarisasi persoalan kedepan—yang menjadi persoalan nyata hari ini—antara lain: peningkatan kebutuhan BBM, Indonesia sebagai net importer, persoalan lingkungan, diversifikasi dan konservasi energi. Tetapi kesemuanya tidak terlihat prakteknya di lapangan untuk mengantisipasi krisis energi.

Padahal peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak dapat dilepaskan dalam bingkai Industrialisasi Nasional, yang mensyaratkan adanya efektifitas dan efesiensi produksi, meningkatnya jumlah dan mutu produk yang tidak dapat dilepas dari faktor pendukungnya yaitu: pembangunan Sumber Daya Manusia, Infrastruktur Produksi, distribusi modal yang tepat guna. Yang terjadi justru sebaliknya: ketidakefisienan organisasi dan manajemen produksi, pembiayaan tenaga kerja asing yang berlebih, susbsidi dan sub kontrak proyek kepada perusahaan swasta mengakibatkan terkurasnya anggaran yang tidak perlu sehingga capital tidak dikembangkan untuk industri tenaga listrik. Disisi lain, cara yang digunakan pemerintah pada saat itu, malah melahirkan raksasa-raksasa capital privat yang justru hari ini dan kedepannya menandingi bahkan akan menguasi perusahaan negara. Permerintah dengan capitalnya melahirkan monster yang secara perlahan dan pasti menguasai capital publik sendiri.

14 TAHUN sejak Peraturan Pemerintah yang melegitimasi kebijakan perubahan PLN ini dijalankan dan 33 tahun sejak pemerintah mengkerdilkan PERTAMINA, kedua perusahaan negara ini belum mampu memenuhi kebutuhan yang meningkat seiring dengan pertumbuhan konsumsi energi, baik untuk rumah tangga, industri, bisnis, dan pemerintahan. Justru sebaliknya, negara yang pernah dikenal dengan nama macan asia ini, untuk kali pertama mengalami black out seiring dengan resesi ekonomi, pada tahun 1997, dan terus mengalamami krisis energi hingga hari ini.

Penindasan kapitalisme kroni yang membelenggu demokrasi dan kesejahteraan dilawan oleh gerakan demokratik (Mahasiswa dan Rakyat) dan tergulinglah rezim yang berkuasa selama kurun 32 tahun ini pada 21 Mei 1998. Ruang Demokrasi terbuka. Tapi penindasan belum selesai. Kedikaktoran Individu (Soeharto) pun digantikan oleh kediktaktoran baru, Kediktaktoran Modal Internasional, dengan bonekanya: Pemerintahan Agen Kedikatoran Modal Internasional.

Liberalisasi ekonomi, yang dikhawatirkan oleh kroni-kroni Soeharto akan membahayakan kapital mereka, kenyataannya terwujud. Ekonomi Liberal yang sedang krisis akut, membutuhkan perluasan penghisapan dan hambatan untuk memenuhi tujuan itu harus dilapangkan, baik di bidang politik, hukum, sosial maupun ekonomi. Kebijakan yang dilakukan dalam ekonomi adalah memangkas semua rintangan-rintangan yang menghambat kebebasan bagi korporasi internasional untuk mendirikan cabang-cabang (dengan berbagai topeng-pen) mereka di berbagai negara untuk mengeksploitasi pasar domestik dan “melompati” dinding tarif[14].

Selanjutnya, liberalisasi melalui privatisasi berbagai perusahaan negara dilakukan. Tentu saja dengan dalih: kebobrokan sistem dan manajemen produksi, penciptaan iklim investasi dan penciptaan harga yang kompetitif[15]. Senjata untuk menghancurkan rintang-rintangan proteksi tersebut tentu saja berupa regulasi. Taktik yang digunakan, tidak berbeda seperti yang terjadi di Amerika latin, pinjaman utang luar negeri melalui lembaga donor beserta berkas-berkas (jebakan) kebijakan yang harus ditandatangani dalam Letter Of Intent (LOI).

Perubahan bangunan bawah harus pula di ikuti oleh perubahan supra-struktur, dalam kepentingan melegitimasi arah ekonomi yang berjalan: ekonomi pasar bebas. Dalam konteks kebijakan Privatisasi, regulasi yang sudah berjalan terjadi dalam industri minyak dan gas bumi melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.  Pertamina, melalui PP 31/2003 juga telah diubah statusnya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), dan melalui  PP 42/2002 telah dibentuk Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS).

Bersamaan dengan itu telah dibentuk BPH MIGAS MELALUI PP No. 67/2002. BPH MIGAS akan berperan sangat vital karena kewenangannya mengatur dan menetapkan ketersediaan dan distribusi BBM, cadangan BBM nasional, dan pemanfaatan fasilitas pengangkutan dan penyimpanan BBM. Dengan kebijakan ini, struktur industri minyak dan gas tidak lagi terintegrasi vertikal dan berada sepenuhnya di tangan negara. Misalnya, kegiatan hilir BBM (pengilangan, penyimpanan, ekspor-impor dan transportasi) yang didominasi oleh Pertamina dibuka untuk perusahaan swasta, termasuk asing. Sistem baru pengadaan BBM nasional diperkenalkan, akan melibatkan perusahaan lama dan baru, dibawah koordinasi Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH MIGAS).

Dalam regulasi ini terjadi open access bagi aktor-aktor pasar (semacam eufimisme bagi kapitalis) dalam Industri hulu (upstream), transmisi & refenery, serta industri hilir (downstream). Bukti kelapangan jalan bagi monopoli capital  asing terhadap capital publik.

Lalu apa akibat dari liberasi industri Minyak dan Gas Bumi?

Akibat dari pelaksanaan ini antara lain:

  1. Pertamina, sebagai badan usaha negara, tidak lagi memegang monopoli pengelolaan industri Minyak dan Gas. Sehingga modal asing dapat terlibat baik pada industri hulu, transmisi dan refinery maupun industri hilir. Seperti yang dapat kita lihat akhir-akhir ini beberapa perusahaan minyak skala internasional (Shell, Petronas) membuka penjualan eceran di berbagai tempat dan dengan penetapan harga serta jenis sesuai kehendak mereka. Hasilnya, Pertamina—sebagai badan usaha milik negara— di sektor hilir harus berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan seperti ini di negara sendiri.
  2. Rantai Produksi Migas dari hulu ke hilir semakin panjang dan tidak terintegrasi. Akibatnya, sering terjadi kekurangan pasokan-pasokan minyak dan gas di suatu daerah.
  3. Pemecah-mecahan  produksi Migas mengakibatkan harga minyak menjadi meningkat karena perusahaan-perusahaan swasta mengambil keuntungan, mulai dari Industri hulu (Upstream), transmisi & refenery, serta industri hilir (downstream). Sehingga nilai yang diterima oleh konsumen bukanlah nilai keekonomisannya, melainkan nilai yang telah diakumulatifkan dari rantai produksi tersebut. Tingkat harga BBM yang tinggi membuat akses masyarakat berkurang karena faktor rendahnya daya beli.
  4. Pemecahan rantai produksi juga mengakibatkan suburnya praktek spekulan.
  5. Peningkatan pasokan Minyak dan Gas bumi dititipkan pada korporasi yang berinvestasi di sektor hulu. Tapi pada kenyataannya, korporasi internasional lebih banyak berinvestasi di sektor hilir dan tidak menambah jumlah produksi minyak mentahnya di sektor hulu. Program-program pengembangan eksplorasi Migas baik dari segi teknik dan teknologi untuk menggali sumber-sumber Migas di sumur-sumur yang lebih dalam menjadi terhambat.  Artinya, impian untuk menjadi net eksporter minyak memang hanya mimpi belaka.
  6. Pemerintah harus berbagi keuntungan dengan Korporasi internasional, dalam beberapa kontrak kerjasama prosentase Production Sharring (bagi hasil) antara pemerintah dan perusahan tersebut besar. Akan tetapi besarnya cost recovery yang harus dibebankan kepada pemerintah sebenarnya menguntungkan korporasi internasional.
  7. Tidak ada kedaulatan terhadap penentuan arah produksi Migas nasional, karena setiap struktur dari badan industri Migas telah dikuasai oleh korporasi internasional.

Dalam kasus industri Ketenagalistrikan, pemerintah sudah mengeluarkan regulasi yang menguatkan skenario pasar bebas, melalui UU Ketenagalistrikan No 20 Tahun 2002[16]. Dimana dalam regulasi ini arah yang dilakukan adalah: 1) Membuka pasar tenaga listrik (dicirikan dengan sistem multi buyer-multi seller[17]), 2) berkonsekuensi menjadi berwatak kompetitif,  3) PLN menjadi tidak lagi terintegrasi vertikal (kohesif) melainkan dipecah-pecah (Unbundled), 4) mengurangi otoritas Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam fungsinya menyediakan listrik di tanah air[18]. Sehingga industri ketenagalistrikan akan terbagi menjadi: pembangkitan, penjualan tegangan tinggi/menengah, transmisi, distribusi dan penjualan tegangan rendah.

Undang-undang ini tidak sempat dijalankan sepenuhnya (meski dalam banyak aspek, aroma kecenderungan tersebut nampak dalam blue print pengembangan industri ketenagalistrikan 2003-2020) karena pada 15 Desember 2004 Mahkamah Konstitusi kemudian mencabut UU No 20/2002[19] dan mengembalikan pada UU Ketenagalistrikan yang lama No 15/1985. Selanjutnya pemerintah kembali merancang undang-undang ketenagalistrikan yang baru, tentu saja dengan aroma yang tidak beda jauh dengan UU No. 20/2002, aroma pasar bebas. Dan meski undang-undang yang syarat liberalisasi tersebut telah dicabut akan tetapi Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2006[20] yang dibuat kemudian, secara substantif memberikan porsi keterbukaan seperti yang diharapkan oleh UU No 20 tahun 2002 dan tentunya multinational corporation sehingga tidak mematahkan harapan kapitalis internasional.

Rendahnya pasokan listrik juga tidak bisa dilepaskan dengan jumlah dan harga pasokan energi lain yang menunjang produksi tenaga listrik. Pasokan minyak misalnya, sebelumnya masih sangat dominan dalam produksi tenaga listrik. Kemudian batubara dipasok untuk industri ketenagalistrikan dengan jumlah 22,882 juta ton. Meski sudah ada pasokan dari batubara, tetapi produksi energi listrik masih juga memakan 6,796 Juta kilo liter bahan bakar minyak. Sebagai catatan, bahwa dalam pemenuhan konsumsi minyak dalam negeri pemerintah masih mengimport dari luar.  Seiring dengan  kenaikan harga minyak maka jumlah dan harga energi listrik juga menjadi semakin mahal. Hal tersebut mengakibatkan tarif listrik semakin mahal. Terlebih penjualan minyak dan batubara serta bahan penunjang lainnya antar BUMN ataupun tidak didalam negeri dilakukan dengan mata uang dollar.

Meski dicabut, tapi ada baiknya kita bahas apakah UU No. 20/2002 berorientasi terhadap Industrialisasi Nasional ataukah sebaliknya?

Seperti yang disampaikan diatas dalam arah kebijakan UU No 20/2002. regulasi tersebut mengakibatkan PLN sebagai pemegang usaha ketenagalistrikan, telah dilucuti kewenangannya atas nama open access, kemajuan peningkatan inventasi sebagai tolak ukur peningkatan pertumbuhan ekonomi, serta tarif yang kompetitif. Maka, tidakkah ini adalah bukti terjadinya denasionalisasiHugo Chavez, sering menyebutkan bahwa privatisasi mengakibatkan terciptanya Negara dalam Negara yang justru merugikan kepentingan publik.  

Secara organisasional struktur industri ketenagalistrikan juga difragmentatifkan, akibatnya antara lain: Pertama, semakin panjangnya birokrasi suply tenaga listrik kepada konsumen (besar, menengah, maupun kecil), sehingga akan mengakibatkan terhambatnya distribusi. Kedua, semakin banyaknya rantai pemain maka disisi lain akan menyuburkan praktek spekulan dalam industri listrik. Ketiga, investasi yang terbuka dalam setiap level alur industri mengakibatkan meningkatnya harga/tariff listrik karena semakin banyaknya rantai pelipatgandaan tarif dalam skala kecil jika dikumulatifkan tentu akan besar jika sudah dibebankan  pada konsumen. Keempat, keterbukaan investasi tetap tidak menyelesaikan persoalan black out, sebab persoalan terbesar terletak pada rendahnya produksi industri hulu (up stream) bukan sekedar pada transmisi dan distribusi. Kelima, fragmentasi secara vertikal (pusat-daerah) juga akan mengakibatkan satu situasi dimana terdapat daerah yang kelebihan listrik (surplus) dan daerah yang kekurangan (defisit) suplai listrik[21]. Ini merupakan point konsistensi dari logika desentralisasi[22] dan dekonsentrasi[23] yang menjadi skenario neolib,yang secara politik mengakibatkan kehancuran karakter kebangsaan (masyarakat menjadi sangat provinsialis dan sukuisme[24]) dan ketimpangan kesejahteraan[25].  Dalam aspek harga, sistem yang kompetitif akan mengakibatkan suplai kepada industri-industri menengah-besar, menengah-kecil dan industri kecil tidak akan cukup mendapatkan suplai tenaga listrik sebab dalam sistem kompetisi menerapkan sistem rimba, siapa yang terkuat (capitalnya) dia yang akan dapat terus hidup.   

Energi, merupakan salah satu industri dimana berbagai industri lain sangat bergantung banyak dalam proses produksinya. Sehingga, apabila harga listrik dan minyak semakin mahal, tentu biaya produksi industri yang lainnya akan berlipat. Hal ini membuat daya saing produk dalam negeri tidak bisa diperimbangkan dengan produk asing yang secara kualitatif lebih baik, karena tentunya dengan teknologi yang lebih maju, dan juga dalam harga jauh lebih murah sebab di banyak negara maju konservasi dan diversifikasi energi listrik tidak membuat beban biaya produksi dan haraga produk tidak meningkat. Ditambah rendahnya daya beli masyarakat maka lengkaplah pula syarat-syarat kehancuran industri nasional, dalam bahasa lain adalah Deindustrialisasi Nasional. Inilah perang ekonomi yang lebih terselubung itu, lebih halus, lebih tertutup, yang dulu hanya dapat disingkapkan oleh Marx. Sebuah metode baru yang melapangkan jalan bagi segilintir individu menguasa perekonomian suatu negara, dan seperti diungkapkan oleh lenin, muaranya adalah Imperialisme.

Jalan Keluar:

Dalam soal rendahnya pasokan listrik ditengah meningkatnya kebutuhan, maka jalan keluar kita adalah:

Pertama, meningkatkan subsidi listrik untuk rumah tangga miskin-menengah, fasilitas publik dan industri. Dan meningkatkan pajak dan tarif untuk rumah tangga kaya yang selama ini mengkonsumsi listrik dengan jumlah yang besar tetapi dengan harga yang mahal. Pada tahun 2002, 20% penduduk kaya di Indonesia menggunakan tenaga listrik rata-rata perkapita sebesar 441,72 Kwh[26]. Hampir 3 kali lipatnya rata-rata konsumsi per kapita penduduk menengah-miskin pada tahun yang sama.

Kedua, membuat aturan/regulasi konservasi energi/penghematan energi, beserta lembaga pengontrol. Dimana penerapannya dalam kepentingan optimalisasi industri untuk kesejahteraan rakyat. Contoh: memberlakukan standar energi untuk AC, lampu penerangan, refrigerator, TV, Komputer.

Ketiga, mengembangkan teknologi konservasi energi.

Keempat, mengkonsentrasikan capital nasional ditangan negara sehingga dapat mewujudkan optimalisasi industri ketenagalistrikan (ditahun 2005 saja, PLN membutuhkan dan Rp 20 Triliun untuk membangun infrastruktur)  dengan jalan:

  • Menghapuskan utang luar negeri. Prinsip menghapuskan luar negeri bukan berarti menolak utang luar negeri. Kita menolak utang luar negeri sebab aturan yang mengiringi peminjaman utang tersebut menjebak (debt trap) engan kurs mata uang yang fluktuatif, orientasi penggunaan uang yang tidak tepat guna, penjanjian dibalik pinjaman yang mengharuskan negara debitor menjalankan konsep ekonomi pasar bebas. Sehingga yang terjadi adalah larinya modal nasional keluar (capital flight) Kita menerima pinjaman dana luar negeri dalam prinsip utang yang adil (debt-fair).
  • Tarik Surat Utang Negara. Surat Utang Negara, tidak lebih subsidi yang dinikmati para bankir, yang kebanyakan juga banker-bankir asing seperti Temasek, Farallon, dan sejenisnya.
  • Tangkap, Adili dan Sita Harta Soeharto serta Koruptor lainnya. Tindakan ini dilakukan dalam kasus-kasus besar seperti korupsi Soeharto dan Kroninya. Sekaligus juga korupsi yang dilakukan di jajaran PLN dan industri yang terkait dengannya.
  • Nasionalisasi Industri Minyak, Gas dan Pertambangan di bawah Kontrol Rakyat.
  • Menghapuskan kebijakan liberalisasi keuangan: yaitu dalam jangka pendek segera mengeluarkan kebijakan untuk mensentralisasi devisa/dollar hasil ekspor dari seluruh BUMN dan korporasi atau perusahaan swasta yang berdomisili dan berbasis di Indonesia ke bank-bank yang ditentukan oleh Pemerintah. Seluruh transaksi dan lalulintas keuangan dari dalam dan dari luar negeri harus dikontrol. Jika kebijakan sentralisasi devisa/dollar ini sudah berjalan efektif harus segera diikuti dengan kebijakan untuk mematok rupiah terhadap dollar pada tingkat yang rasional. Seluruh transaksi dan lalulintas keuangan dari dalam dan dari luar negeri harus dikontrol[27].

Kelima, dengan dijalankannya program sentralisasi kapital ditangan negara, maka banyak yang dapat dilakukan untuk optimalisasi pembangunan energi nasional:

  • Meneliti dan mengembangkan potensi-potensi teknologi konservasi dan diversifikasi.
  • Mengembangkan bahan bakar yang terbarukan (renewable) untuk produksi tenaga listrik nasional. Contoh: di Juhne, Jerman dengan pupuk kandang (dari tumbuhan-tumbuhan dan hewan), hasilnya mereka dapat memproduksi sebesar 5 Juta Kwh. Ataupun dengan penggunaan energi matahari, air ataupun panas bumi.

Keenam, melakukan diversifikasi industri listrik dengan mengoptimalkan potensi terbesar yang ada, yaitu pembangkit listrik panas bumi (Geothermal).

Ketujuh, melakukan diversifikasi industri minyak dan gas.

Kedelapan, dan tentunya program-program diatas harus didukung oleh beberapa program lainnya:

  • Kampanye dan pelatihan/pembinaan hemat energi. Agar konservasi energi tidak sekedar regulasi, lembaga, tetapi menjadi kesadaran secara umum.
  • Bekerjasama dengan negeri-negeri yang memiliki pengalaman berhasil mengatasi krisis listrik, seperti Jerman, Jepang dan Kuba.
  • Peningkatan kapasitas tenaga produktif dengan cara bekerjasama dengan universitas-universitas di luar negeri yang melakukan riset dan pengembangan dalam bidang konservasi dan diversifikasi tenaga listrik dan minyak.

Kesembilan, pemerintahan Rakyat Miskin. Pemerintahan Rakyat Miskin adalah pemerintahan yang selanjutnya akan menjalankan program-program demokrasi dan kesejahteraan yang berpihak bagi rakyat miskin. Pemerintahan yang dibangun, dijalankan, dikontrol, dipertahankan, dan diabdikan bagi kesejahteraan dan demokrasi rakyat miskin. Mengapa? Karena rakyat miskin adalah mayoritas yang tertindas dan di eksploitasi oleh Agen Imperialisme dan Imperialisme. Pemerintahan Rakyat Miskin merupakan jalan keluar dari kebangkrutan pemerintahan borjuis, ketidaksanggupannya menyediakan kesejahteraan dan demokrasi bagi rakyat dan ketertundukkannya kepada Kekuasaan Modal Imperialisme. Maka dari itu, program-program ekonomi-politik yang berpihak pada rakyat miskin tidak dapat di titipkan kepada pemerintahan borjuis yang berwatak komprador dan tunduk pada imperialisme. Watak/karakter dari Pemerintahan Rakyat Miskin, adalah: Anti Imperialisme, Demokratik, Kerakyatan, Ekologis, Merdeka, Modern dan Ekologis. Dengan watak ini maka komposisi dari kekuatan dalam Pemerintahan Rakyat Miskin antara lain: Buruh, Petani, Mahasiswa dan Intelektual Progressif, Kaum Miskin (desa dan kota).

Pemerintahan Rakyat Miskin merupakan hasil dari persatuan gerakan rakyat yang melawan Imperialisme dan menggantikan kekuasaan pemerintahan agen imperialis. Pemerintahan Rakyat Miskin juga merupakan alternatif dari sistem demokrasi borjuis (Trias Politica) dengan mendasarkan pada sistem demokrasi kerakyatan. Demokrasi kerakyatan adalah alternatif dari segudang kebobrokan demokrasi borjuis: ketiadaan partisipasi publik, lemahnya kontrol rakyat, pemilahan-milahan fungsi pembuat kebijakan dengan pelaksanaan dan pengontrol kebijakan. Demokrasi kerakyatan adalah demokrasi yang meletakkan beberapa prinsip utama yang menentukan dalam bentuk dan mekanismenya, antara lain: Pertama, partisipasi seluruh rakyat dalam membuat, melaksanakan, mengontrol kebijakan. Kedua, kepentingan bersama diatas kepentingan individu. Ketiga, penyatuan kebijakan ekonomi, politik dan sosial. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, Pemerintahan Rakyat Miskin adalah badan organisasi yang berfungsi sebagai eksekutif, legislatif, yudikatif maupun pertahanan negara—sehingga yang akan dikenal dalam konsep pertahanan adalah Rakyat Tentara[28]. Sehingga efektifitas dalam pembuatan kebijakan (Politik) dan pelaksanaan kebijakan (Sosial dan Ekonomi) akan berjalan maksimal.

Dalam Pemerintahan Rakyat Miskin tidak ada lagi satu bagian dari masyarakat yang membuat kebijakan (kerja mental) tanpa menjalankan (kerja manual) dan mengontrol kebijakan tersebut. Sehingga setiap individu memiliki kesetaraan posisi dalam kerja yang selanjutnya menghasilkan suatu kerja bersama berdasarkan kepentingan kolektif bukan kompetisi—seperti dalam masyarakat kapitalisme. Hasil dari kerja bersama untuk kepentingan kolektif ini selanjutnya mensituasikan suatu kesadaran/kebudayaan maju, kesadaran/kebudayaan kerjasama. Kemudian tidak ada lagi pemisahan antara negara dan masyarakat. Setiap individu adalah bagian dari negara yang terlibat aktif dalam membuat, menjalankan, mengontrol kebijakan karena itu intisari dari demokrasi kerakyatan/partisipasi.

###

*Tulisan dibuat sekitar tahun 2008.

**anggota Partai Pembebasan Rakyat, Dewan Redaksi Koran Pembebasan.

Catatan:

[1] Dari kelompok kecil diskusi, seorang ahli Filsafat-Ekonomi Friedrich von Hayek dan muridnya Milton Friedman berhasil mensebarluaskan pandangan: Tidak butuh Intervensi Negara dalam urusan ekonomi-politik, harus ada kebebasan pasar (freedom market) dan kesetaraan capital dan pemilik modal dalam bermain (konvergensi). Semuanya ini dicita-citakan, menurut mereka: agar dapat terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang diikuti pensetaraan ekonomi. Dari institusi pendidikan, lembaga kajian dan media, pandangan-pandangan mereka berkembang hingga kemudian rumusan tersebut disahkan dalam pertemuan IFI (International Finance Institution’s) dan selanjutnya dikenal sebagai Consensus Washington (1989). 10 Konsensus Washington tersebut ialah: tiga di antaranya merupakan bagian dari kebijakan makro, disiplin anggaran, liberalisasi suku bunga, dan kebijakan nilai tukar berbasis pasar. Sedangkan tujuh langkah lain merupakan bagian dari kebijakan struktural. Yaitu, privatisasi, deregulasi, liberalisasi impor, liberalisasi investasi asing langsung, reformasi perpajakan, penjaminan hak kepemilikan, dan redistribusi dana-dana publik pada sektor pendidikan serta kesehatan.

[2] Industri antara (midstream) antaralain: pemasaran, transport ke kilang.

[3] Kegiatan hilir BBM antaralain:pengilangan, penyimpanan, ekspor-impor dan transportasi.

[4] Cadangan yang diperkirakan untuk gas 170 TSCF (trilion standart cubic feed) sedangkan kapasitas produksi mencapai 8,35 BSCF (billion standart cubic feed) yang dibagi untuk ekspor 4,88 BSCF dan untuk domestik 3,47 BSCF.

[5] Pemanfaatan tenaga air skala besar untuk pembangkit tenaga listrik sampai dengan tahun 2000 mencapai 4.208 MW atau hanya sekitar 5,6% dari potensi yang ada. Namun, potensi tenaga air yang berada di Pulau Jawa telah dikembangkan secara optimal, yaitu telah dikembangkan sekitar 2.389 MW atau 53% dari total potensi yang ada. Sedangkan mini dan mikrohidro, potensinya sekitar 460 MW, dan yang sudah dimanfaatkan sekitar 64 MW yang pada umumnya dimanfaatkan untuk listrik perdesaan.

[6] Sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai potensi energi surya dengan radiasi harian matahari rata-rata 4,8 kWh/m2.

[7] Potensi energi angin di Indonesia secara umum kecil karena kecepatan angin pada umumnya rendah yaitu antara 3 – 5 m/detik. Tetapi di beberapa daerah tertentu khususnya di Kawasan Timur Indonesia, kecepatan anginnya lebih dari 5 m/detik. Walaupun kecepatan angin rendah, namun sudah memadai untuk pembangkit listrik skala kecil. Sedangkan untuk daerah yang kecepatan anginnya tinggi, pembangkit listrik skala besar sangat mungkin untuk dikembangkan. Kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga angin saat ini relatif masih kecil dibandingkan dengan potensi yang ada. Diperkirakan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga angin saat ini kira kira 0,5 MW khususnya untuk listrik perdesaan. Energi angin dapat digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik, antara lain untuk listrik perdesaan, pompa air, pengisian baterai (battery charging), dan keperluan mekanik, antara lain untuk pemompaan air dan aerasi tambak ikan/udang.

[8] Blue Print Pengelolaan energi nasional 2005-2025.

[9] Cost recovery merupakan pengeluaran negara untuk membiayai investasi pengembangan lapangan migas sehingga pendapatan dari migas harus dipotong cost recovery dulu baru masuk kantong pemerintah.

[10] Commodity Futures Trading atau perdagangan berjangka adalah perdagangan untuk bulan mendatang (future) yang diperjualbelikan sebelum kontrak tersebut jatuh tempo pada bulan sekarang (spot). Komoditi yang diperdagangkan adalah “Soft Commodity” seperti Jagung, Kopi, Gula dll dan “Hard Commodity” seperti Gasoline, Platinum dll.

[11] Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik.

[12] Keppres N0 37/1992.

[13] Konservasi Energi ialah penggunaan energi secara efisien dan rasional tanpa mengurangi penggunaan energi yang memang benar-benar diperlukan.

[14] Diversifikasi Energi iallah penganekaragaman penyediaan dan pemanfaatan berbagai sumber energi dalam rangka optimasi penyediaan energi.

[15] Labirin Privatisasi, James Petras dan Henry Veltmeyer.

[16] Blue Print PEN 2005-2020.

[17] UU Ketenagalistrikan 20/2002 mengamanatkan untuk menyiapkan atau dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah mengenai: (i) Penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik, (ii) Izin usaha penyediaan tenaga listrik dan izin operasi, (ii) Larangan pengusahaan pasar tenaga listrik dalam wilayah kompetisi, (iii) Jual beli, sewa jaringan transmisi dan distribusi tenaga listrik, (iv) Kompensasi atas tanah, bangunan dan tanaman yang dilintasi oleh transmisi tenaga listrik, (v) Usaha penunjang ketenagalistrikan, (vi) Sarana transmisi dan distribusi, dan (vii) Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (BAPEPTAL).

[18] Sebelumnya dalam sistem Monopoli pada UU 15/1985 PLN menjalankan sistem SBSS (Single Buyer,Single Seller).

[19] Penyediaan listrikselanjutnya menjadi tanggungjawab Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (BAPEPTAL) untuk wilayah kompetisi dan Bupati/Walikota, Gubernur dan Menteri untuk wilayah non-kompetisi.

[20] Tiga pasal dalam UU No.20/2002 yang dinyatakan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat:

1. Pasal 16: Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat(2) dilakukan secara terpisah oleh badan usaha yang berbeda.

2. Pasal 17 ayat 3: Larangan penguasaan pasar sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 meliputi segala tindakan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, antara lain meliputi: Menguasai kepemilikan, menguasai sebagian besar kapasitas terpasang pembangkitan tenaga listrik dalam satu wilayah kompetisi, menguasai sebagian besar kapasitas pembangkitan listrik pada beban puncak, menciptakan hambatan masuk pasar bagi badan usaha lainnya, membatasi produk tenaga listrik dalam rangka mempengaruhi pasar, melakukan praktek diskriminasi, melakukan jual rugi dengan maksud menyingkirkan usaha pesaingnya, melakukan kecurangan usaha dan atau melakukan persekongkolan dengan pihak lain.

3. Pasal 68: Pada saat Undang-undang ini berlaku, terhadap Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dianggap telah memiliki izin yang terintegrasi secara vertikal yang meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik dengan tetap melaksanakan tugas dan kewajiban penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sampai dengan dikeluarkannya Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik berdasarkan Undang-undang ini.

[21] PP NO 26/2006, merupakan perubahan dari PP No 3/2005 dan PP No 10/1989 tentang penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik.

[22] Penyediaan listrik selanjutnya menjadi tanggungjawab Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (BAPEPTAL) untuk wilayah kompetisi dan Bupati/Walikota, Gubernur dan Menteri untuk wilayah non-kompetisi.

[23] Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerah.

[24] Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerah.

[25] Provinsialisme dan Sukuisme semakin diberikan tempat berkembang ketika proyek desentralisasi dan dekonsentrasi melalui otonomi daerah dikembangkan secara besar-besaran. Pandangan multikulturalisme dan pluralisme tidak akan pernah terwujud apabila konsep ekonomi dan karakter politiknya penuh dengan pengaruh Neoliberalisme.

[26] Dalam undang-undang Perimbangan Pendapatan Pusat dan Daerah Pasal 6 porsi pendapatan untuk daerah jauh lebih besar sehingga mengakibatkan: 1. capital yang didapat tidak sepenuhnya bisa maksimal untuk mengembangkan daerah lainnya (yang miskin) dan juga pembangunan industri hulu Listrik. 2. capital yang didapat dominannya dikorupsi, ini mengakibatkan semakin berkembangnya kapitalis birokrat,yang kedepannya tidak menguntungkan bagi perkembangan perusahaan negara.

[27] Handbook Statistics Economy Energi of Indonesia 2005.

[28] Rakyat Tentara adalah konsep dimana rakyat sendiri yang berfungsi sebaga kekuatan pertahanan dan penyerangan. Adapun tentara reguler jumlahnya sangat sedikit, dan fungsinya untuk melatih rakyat belajar kemiliteran ataupun mengawal pejabat pemerintahan dan penjagaan gudang makanan dan persenjataan. Konsep rakyat tentara ini dimaksudkan agar semakin kecilnya peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah dengan memanfaatkan tentara reguler. Semakin tinggi kesadaran politik rakyat baik dalam membuat, mengontrol dan mempertahankan negara maka akan semakin sempit peluang kekuasaan akan melenceng.

Share

0 thoughts on “Krisis Energi: Akar Masalah dan Solusi*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *